Kemauan Lebih Penting untuk Manggul Salib
Salib adalah tempat menggantung manusia. Tidak ada orang yang suka menggantungkan diri pada salib. Kristus yang disalib dan bangkit adalah pusat pemberitaan Kabar Baik. Ia tidak mengelak dan mengakui adanya penderitaan. Hidup di dalam Allah tidak berarti bebas dari penderitaan. Setiap orang percaya sesungguhnya diutus untuk ikut serta mewujudkan apa yang menjadi pekerjaan Tuhan di bumi ini.
Manggul Salib adalah tugas mulia, meskipun bukan tugas yang ringan dan mudah, yang kita sudah perjanjikan dengan Tuhan Yesus Kristus untuk kita terima. Lalu apa itu Manggul Salib, mengapa dan bagaimana tugas tersebut harus kita laksanakan?
Salib
Salib, adalah tempat menggantung manusia. Siapapun yang tergantung di sana, hendak dinyatakan kepada orang yang memandangnya, ‘Inilah dia, manusia terkutuk! Orang yang ditolak di bumi, di bawah, dan sorga, di atas’. Oleh karena itu, tidak ada orang yang suka menggantungkan diri pada salib. Jika bisa, hampir pasti, orang akan menolak untuk disalib. Di dalam penderitaan salib, manusia kehilangan kemanusiaannya, sebab ia menjadi makhluk terkutuk.
Yesus tergantung di sana, menjadi sama dengan para penjahat nista. Di sana, ketika tergantung pada kayu salib, kesengasaraan-Nya meniti puncak. Ia sungguh merasakan bagaimana ditolak dan dihujat oleh manusia, sementara itu Yesus merasa bahwa Allah Bapa di surga juga meninggalkan-Nya (Mat 27:46). Suatu keadaan yang dipenuhi penolakan: bumi menolak, sorga dirasakan juga menolak. Bahkan oleh sesama-Nya, para penjahat yang sedang tersalib pun, Ia ditolak!
Secara manusiawi, salib tampaknya langsung bertentangan dengan pengharapan. Sebab salib itu kerap dipandang sebagai kegagalan dan bukan kejayaan, kebodohan dan bukan hikmat. Tetapi ditinjau dengan iman, salib itu penggenapan dan bahkan peningkatan pengharapan. Salib sebenarnya kekuatan, kuasa Kasih dan hikmat Allah. Kristus yang disalib dan bangkit adalah pusat pemberitaan Kabar Baik, pusat yang mempersatukan. Jikalau saja ada cara yang dapat memberikan jaminan hidup kekal, mengapa Dia harus mati? Salib membentangkan Hati Allah kepada manusia, tetapi juga melingkupi kehidupan manusia menuju Keselamatan kekal.Kristus sebagai wujud hikmat dan kuasa Allah. Bagaimana sikap Yesus menghadapi salib?
Sikap taat
Sampai titik yang tak tertahankan lagi, Ia memanggil-manggil Allah, “Allah-Ku, Allah-Ku ….. mengapa Engkau meninggalkan Aku?. Akan tetapi, Allah yang dirasakan meninggalkan-Nya dan tidak lagi berkenan, bukan merupakan hambatan bagi Yesus untuk tetap menyeru dan menyerahkan diri kepada-Nya. Ini sungguh suatu sikap manusia sejati. Ia tidak mengelak dan mengakui adanya penderitaan. Hidup di dalam Allah tidak berarti bebas dari penderitaan. Penderitaan adalah realita, yang selalu mengada (dan akan ada), yang akan membawa manusia pada pengalaman yang gelap, yang dapat digambarkan sebagai suatu keadaan yang dirasakan tanpa Allah dan tanpa daya.
Setiap orang akan merasakan ditinggalkan Allah ketika ia mengalami situasi yang serba tidak: Tidak sehat, tidak damai, tidak sejahtera, tidak punya ini-itu, tidak dapat berelasi, tidak ….. Akan tetapi, Ia tetap menyeru kepada-Nya. Seruan-Nya “Allah-Ku, Allah-Ku mengapa Engkau meninggalkan Aku” adalah sebuah tanda iman yang tetap menyala ketika menghadapi kehidupan yang gulita, sebuah keadaan tanpa Allah. Bagaimana kita menyikapi ‘Manggul Salib’ itu?
Perjanjian
Allah mengadakan perjanjian dengan Abram dan keturunannya. Bukan sekedar perjanjian yang sewaktu-waktu dapat diingkari tanpa ada sanksi, atau berubah menurut kepentingan sepihak. Allah menciptakan perjanjian yang tertib dan sah, berdasarkan hukum dan keadilan Allah. Ini adalah hal yang luar biasa!
Berapa kali kita pernah membuat perjanjian atau berjanji pada Tuhan? Pada waktu kita baptis dewasa atau sidi, menikah, membaptiskan anak-anak kita. Belum lagi janji-janji pribadi kepada Tuhan. Bagaimana kita memandang perjanjian tersebut? Asal janji, atau dengan kesungguhan janji, menyadari konsekuensi hukum dari perjanjian kita dengan Allah. Sekali kita berjanji pada Tuhan, seharusnya kita berupaya untuk menepati janji tersebut, dan tidak mengingkarinya.
Manggul Salib adalah suatu bentuk memenuhi perjanjian dengan Tuhan. Pertanyaannya, apakah kita telah dan selalu menaati perjanjian denganNya? Karena sesungguhnya kita, manusia, diberikan satu lagi kesempatan memulai sesuatu yang baru dari awal. Bentuk ketaatan itu adalah bahwa kita berkewajiban untuk lebih nyata mendorong pendamaian, tegas berpihak pada kebenaran,kepedulian kepada yang lemah serta dilemahkan, menyatakan kebahagiaan dan menyalurkan Kasih penyelamatan Allah kepada umat manusia.
Bersedia diutus
Yesus tidak menghendaki murid-muridNya terus-terusan hanya menjadi pendengar ajaran-ajaranNya. Sekarang sudah tiba saatnya bagi mereka untuk juga memberitakan dan melakukan apa yang Ia lakukan. Hal ini berlaku juga bagi kita. Yesus tentu paham betul bahwa kita memiliki banyak kekurangan dan belum sepenuhnya mampu mengenal diriNya dan misiNya di dunia ini. Tetapi Yesus tetap mengutus kita, karena yang penting adalah kesediaan kita untuk diutus oleh Yesus. Yesus sendiri nantinya yang akan memperlengkapi dengan kuasaNya.
Setiap orang percaya sesungguhnya diutus untuk ikut serta mewujudkan apa yang menjadi pekerjaan Tuhan di bumi ini. Jangan mengatakan ‘saya tidak tahu’ atau ‘saya tidak mampu’ jangan saya yang diutus. Persoalan sebenarnya tidak terletak pada ketidaktahuan dan ketidakmampuan. Yang penting: mau dulu! Kalau kita mau, kita akan merasakan kuasa Kristus diberikan kepada kita, dan kuasa itu akan membuat kita menjadi tahu dan mampu. Kalau kita bersedia, lalu apa bentuk –bentuk ‘Manggul Salib’?
Menyatakan kebenaran
Tindakan Tuhan Yesus menyucikan Bait Allah sangat menginspirasi kita untuk bertindak menyatakan kebenaran. Peristiwa perjalanan Tuhan Yesus ke Yerusalem terjadi menjelang Paskah, saat di mana orang dari berbagai tempat berduyun-duyun menuju Bait Allah untuk merayakan Paskah. Bait Allah dipahami sebagai tempat kehadiran Tuhan di tengah umat-Nya. Namun Bait Allah juga merupakan institusi yang kompleks. Disatu sisi untuk menjaga kemurnian upacara keagamaan, para imam memastikan bahwa persembahan yang dibawa umat memang persembahan yang tak bercacat. Agar mereka yang datang dari jauh tidak terlalu repot membawa binatang kurban, dan belum tentu lolos seleksi dari para imam yang meneliti kelayakan hewan kurban itu, maka agar praktis disediakan lah hewan kurban di pelataran Bait Allah. Pada sisi lain pemerintah Romawi mengambil keuntungan dengan mengontrol berbagai kegiatan di Bait Allah.
Bait Allah yang semestinya menjadi tempat dimana kebenaran dan kehendak Tuhan dilaksanakan telah berubah menjadi tempat transaksi jual beli yang menguntungkan kelompok tertentu tetapi merugikan bagi masyarakat umum. Praktek di Bait Allah saat itu dipandang tidak benar dan ketidakbenaran yang harus dihentikan.
Tindakan Tuhan Yesus menyucikan Bait Allah ini mengingatkan kita untuk berani bertindak di tengah ketidakbenaran. Keberanian kita dapat diawali dengan kepekaan terhadap ketidakbenaran yang ada di sekitar kita atau bahkan sangat mungkin justru kita sendirilah pelakunya. Seandainya itu masih sulit dilakukan, setidaknya kita masih dapat melakukan introspeksi diri memastikan kiranya tindakan kita tidak bertentangan dengan hikmat dari Tuhan. Bukankah kita ini adalah Bait Allah dan Roh Allah diam di dalam diri kita.
Menabur
Ini juga tugas kita dalam Manggul Salib. Tuhan Yesus adalah si Penabur Yang Utama. Dan kita mau menjadi ‘penabur-penabur kecil’ yang setia menaburkan semua berkat cinta kasih Tuhan kepada berbagai jenis orang . Lewat hidup, pekerjaan dan pelayanan kita yang terus lebih baik., sampai kapanpun juga. Dan jika Tuhan berkenan, Dia akan menumbuhkan sehingga lebih banyak orang yang akan berbuah. Berbuah dalam Kasih.
Bagaimana dengan kita? Kita memang sangat jauh dengan sifat dan perjuangan pelayanan Yesus. Tetapi minimum kita mampu menjadi teladan sebagai manusia yang taat pada rancangan dan kehendak Allah dengan merelakan diri berkorban demi menyatakan kasih dan kuasa Allah, agar sesama kita terbebas dari penghukuman Allah, serta beroleh kasih dan keselamatan dari Allah.
Menjadi mulut Kristus
Dalam persekutuan dengan Kristus, kita harus siap berkurban dan menjadi berkat bagi sesama. Siap menjadi mata dan telinga bagi Kristus yang melihat dan mendengarkan, serta peduli terhadap kebutuhan dan masalah sesama.Apakah kita sudah menjadi mulut bagi Kristus untuk kebenaran dan keadilan dalam lingkungan kita? Dan sudahkah kita menjadi tangan bagi Kristus yang berkarya memperjuangkan damai sejahtera di bumi? Kalau kita siap Manggul Salib, lalu apa syarat yang harus kita penuhi?
Kuat dalam iman
Manggul Salib juga berarti kita harus lebih kuat dalam iman di segala pergumulan dan kesakitan. Saat menjalani hidup yang sulit sekali, ‘gunung masalah’ menghadang bahkan sepertinya tidak ada harapan lagi, milikilah iman sebiji sesawi. Nilai rupiah boleh makin melemah, tapi manmu jangan ikut-ikutan melemah. Harus makin berpengharapan dengan berserah pada Tuhan Yesus. Ibadah-ibadah kita boleh dilarang dan ditutup, tapi jangan sedikitpun tutup pintu iman kita. Kasih percayalah, semua penderitaan diperkenankan-Nya kita lalui.
Kuat (untuk memanggul salib) syarat
Tuhan Yesus ditolak, apa lagi yang mau dekat denganNya. Dunia menolakNya bahkan dunia terdekatNya, orang –orang yang mengenal dan dikenalnya di Nazaret, kota tempat Dia dibesarkan. Semakin kita ingin dekat Tuhan, semakin merasakan penolakan itu. Penderitaan iman, masalah keluarga, kesinisan dalam pekerjaan dan pergumulan pelayanan akan semakin menjadi gelombang yang kian tinggi. Karenanya penting untuk kita fokus hanya kepada rencana dan rancangan-Nya, bukan pada penderitaan dan masalah. Hanya dengan pertolonganNya, kita dimampukan bertahan dalam iman yang kuat. Bukan kekuatan kita! Kita harus lebih berserah pada Tuhan Yesus khususnya saat penolakan-penolakan terjadi. Agar kita bisa menolak untuk menyerah. Bertahan dalam iman yang kuat! Sehingga kita mendapatkan ketenangan hati-pikiran, jalan keluar, kesempatan dan damai sejahtera.
Menjadi Pelaku
Dalam proses pembelajaran , dikenal prinsip: manusia belajar melalui melakukan. Prinsip ini dipegang karena studi terhadap sistem otak manusia menunjukkan: manusia hanya akan mengingat 10% dari apa yang mereka dengar, mereka bisa mengingat 60% dari apa yang mereka lihat, dan mereka bisa mengingat 90% dari apa yang mereka lakukan. Hanya dengan melakukan, manusia bisa mengingat apa yang dipelajari itu dengan lebih baik. Rupanya, kurang lebih, prinsip pembelajaran ini sudah dipahami oleh Yakobus. Oleh sebab itu Yakobus meminta orang beriman untuk menjadi pelaku firman, dan tidak sekedar menjadi pendengar. Tuhan Yesus menunggu kita menjadi pelaku bukan pendengar.
Penutup
Untuk Manggul Salib, kita memang perlu kemampuan. Dan untuk itu perlu pembelajaran yang berkelanjutan. Akan tetapi bukan itu yang penting, yang paling penting adalah ‘kemauan’ lebih dahulu. Dengan kemauan yang kuat, Tuhan Yesus sendiri yang akan melengkapi dan menguatkan kita dengan kemampuan. Semoga bermanfaat. Dari beberapa sumber. Depok, 20 Maret 2015
Manggul Salib adalah tugas mulia, meskipun bukan tugas yang ringan dan mudah, yang kita sudah perjanjikan dengan Tuhan Yesus Kristus untuk kita terima. Lalu apa itu Manggul Salib, mengapa dan bagaimana tugas tersebut harus kita laksanakan?
Salib
Salib, adalah tempat menggantung manusia. Siapapun yang tergantung di sana, hendak dinyatakan kepada orang yang memandangnya, ‘Inilah dia, manusia terkutuk! Orang yang ditolak di bumi, di bawah, dan sorga, di atas’. Oleh karena itu, tidak ada orang yang suka menggantungkan diri pada salib. Jika bisa, hampir pasti, orang akan menolak untuk disalib. Di dalam penderitaan salib, manusia kehilangan kemanusiaannya, sebab ia menjadi makhluk terkutuk.
Yesus tergantung di sana, menjadi sama dengan para penjahat nista. Di sana, ketika tergantung pada kayu salib, kesengasaraan-Nya meniti puncak. Ia sungguh merasakan bagaimana ditolak dan dihujat oleh manusia, sementara itu Yesus merasa bahwa Allah Bapa di surga juga meninggalkan-Nya (Mat 27:46). Suatu keadaan yang dipenuhi penolakan: bumi menolak, sorga dirasakan juga menolak. Bahkan oleh sesama-Nya, para penjahat yang sedang tersalib pun, Ia ditolak!
Secara manusiawi, salib tampaknya langsung bertentangan dengan pengharapan. Sebab salib itu kerap dipandang sebagai kegagalan dan bukan kejayaan, kebodohan dan bukan hikmat. Tetapi ditinjau dengan iman, salib itu penggenapan dan bahkan peningkatan pengharapan. Salib sebenarnya kekuatan, kuasa Kasih dan hikmat Allah. Kristus yang disalib dan bangkit adalah pusat pemberitaan Kabar Baik, pusat yang mempersatukan. Jikalau saja ada cara yang dapat memberikan jaminan hidup kekal, mengapa Dia harus mati? Salib membentangkan Hati Allah kepada manusia, tetapi juga melingkupi kehidupan manusia menuju Keselamatan kekal.Kristus sebagai wujud hikmat dan kuasa Allah. Bagaimana sikap Yesus menghadapi salib?
Sikap taat
Sampai titik yang tak tertahankan lagi, Ia memanggil-manggil Allah, “Allah-Ku, Allah-Ku ….. mengapa Engkau meninggalkan Aku?. Akan tetapi, Allah yang dirasakan meninggalkan-Nya dan tidak lagi berkenan, bukan merupakan hambatan bagi Yesus untuk tetap menyeru dan menyerahkan diri kepada-Nya. Ini sungguh suatu sikap manusia sejati. Ia tidak mengelak dan mengakui adanya penderitaan. Hidup di dalam Allah tidak berarti bebas dari penderitaan. Penderitaan adalah realita, yang selalu mengada (dan akan ada), yang akan membawa manusia pada pengalaman yang gelap, yang dapat digambarkan sebagai suatu keadaan yang dirasakan tanpa Allah dan tanpa daya.
Setiap orang akan merasakan ditinggalkan Allah ketika ia mengalami situasi yang serba tidak: Tidak sehat, tidak damai, tidak sejahtera, tidak punya ini-itu, tidak dapat berelasi, tidak ….. Akan tetapi, Ia tetap menyeru kepada-Nya. Seruan-Nya “Allah-Ku, Allah-Ku mengapa Engkau meninggalkan Aku” adalah sebuah tanda iman yang tetap menyala ketika menghadapi kehidupan yang gulita, sebuah keadaan tanpa Allah. Bagaimana kita menyikapi ‘Manggul Salib’ itu?
Perjanjian
Allah mengadakan perjanjian dengan Abram dan keturunannya. Bukan sekedar perjanjian yang sewaktu-waktu dapat diingkari tanpa ada sanksi, atau berubah menurut kepentingan sepihak. Allah menciptakan perjanjian yang tertib dan sah, berdasarkan hukum dan keadilan Allah. Ini adalah hal yang luar biasa!
Berapa kali kita pernah membuat perjanjian atau berjanji pada Tuhan? Pada waktu kita baptis dewasa atau sidi, menikah, membaptiskan anak-anak kita. Belum lagi janji-janji pribadi kepada Tuhan. Bagaimana kita memandang perjanjian tersebut? Asal janji, atau dengan kesungguhan janji, menyadari konsekuensi hukum dari perjanjian kita dengan Allah. Sekali kita berjanji pada Tuhan, seharusnya kita berupaya untuk menepati janji tersebut, dan tidak mengingkarinya.
Manggul Salib adalah suatu bentuk memenuhi perjanjian dengan Tuhan. Pertanyaannya, apakah kita telah dan selalu menaati perjanjian denganNya? Karena sesungguhnya kita, manusia, diberikan satu lagi kesempatan memulai sesuatu yang baru dari awal. Bentuk ketaatan itu adalah bahwa kita berkewajiban untuk lebih nyata mendorong pendamaian, tegas berpihak pada kebenaran,kepedulian kepada yang lemah serta dilemahkan, menyatakan kebahagiaan dan menyalurkan Kasih penyelamatan Allah kepada umat manusia.
Bersedia diutus
Yesus tidak menghendaki murid-muridNya terus-terusan hanya menjadi pendengar ajaran-ajaranNya. Sekarang sudah tiba saatnya bagi mereka untuk juga memberitakan dan melakukan apa yang Ia lakukan. Hal ini berlaku juga bagi kita. Yesus tentu paham betul bahwa kita memiliki banyak kekurangan dan belum sepenuhnya mampu mengenal diriNya dan misiNya di dunia ini. Tetapi Yesus tetap mengutus kita, karena yang penting adalah kesediaan kita untuk diutus oleh Yesus. Yesus sendiri nantinya yang akan memperlengkapi dengan kuasaNya.
Setiap orang percaya sesungguhnya diutus untuk ikut serta mewujudkan apa yang menjadi pekerjaan Tuhan di bumi ini. Jangan mengatakan ‘saya tidak tahu’ atau ‘saya tidak mampu’ jangan saya yang diutus. Persoalan sebenarnya tidak terletak pada ketidaktahuan dan ketidakmampuan. Yang penting: mau dulu! Kalau kita mau, kita akan merasakan kuasa Kristus diberikan kepada kita, dan kuasa itu akan membuat kita menjadi tahu dan mampu. Kalau kita bersedia, lalu apa bentuk –bentuk ‘Manggul Salib’?
Menyatakan kebenaran
Tindakan Tuhan Yesus menyucikan Bait Allah sangat menginspirasi kita untuk bertindak menyatakan kebenaran. Peristiwa perjalanan Tuhan Yesus ke Yerusalem terjadi menjelang Paskah, saat di mana orang dari berbagai tempat berduyun-duyun menuju Bait Allah untuk merayakan Paskah. Bait Allah dipahami sebagai tempat kehadiran Tuhan di tengah umat-Nya. Namun Bait Allah juga merupakan institusi yang kompleks. Disatu sisi untuk menjaga kemurnian upacara keagamaan, para imam memastikan bahwa persembahan yang dibawa umat memang persembahan yang tak bercacat. Agar mereka yang datang dari jauh tidak terlalu repot membawa binatang kurban, dan belum tentu lolos seleksi dari para imam yang meneliti kelayakan hewan kurban itu, maka agar praktis disediakan lah hewan kurban di pelataran Bait Allah. Pada sisi lain pemerintah Romawi mengambil keuntungan dengan mengontrol berbagai kegiatan di Bait Allah.
Bait Allah yang semestinya menjadi tempat dimana kebenaran dan kehendak Tuhan dilaksanakan telah berubah menjadi tempat transaksi jual beli yang menguntungkan kelompok tertentu tetapi merugikan bagi masyarakat umum. Praktek di Bait Allah saat itu dipandang tidak benar dan ketidakbenaran yang harus dihentikan.
Tindakan Tuhan Yesus menyucikan Bait Allah ini mengingatkan kita untuk berani bertindak di tengah ketidakbenaran. Keberanian kita dapat diawali dengan kepekaan terhadap ketidakbenaran yang ada di sekitar kita atau bahkan sangat mungkin justru kita sendirilah pelakunya. Seandainya itu masih sulit dilakukan, setidaknya kita masih dapat melakukan introspeksi diri memastikan kiranya tindakan kita tidak bertentangan dengan hikmat dari Tuhan. Bukankah kita ini adalah Bait Allah dan Roh Allah diam di dalam diri kita.
Menabur
Ini juga tugas kita dalam Manggul Salib. Tuhan Yesus adalah si Penabur Yang Utama. Dan kita mau menjadi ‘penabur-penabur kecil’ yang setia menaburkan semua berkat cinta kasih Tuhan kepada berbagai jenis orang . Lewat hidup, pekerjaan dan pelayanan kita yang terus lebih baik., sampai kapanpun juga. Dan jika Tuhan berkenan, Dia akan menumbuhkan sehingga lebih banyak orang yang akan berbuah. Berbuah dalam Kasih.
Bagaimana dengan kita? Kita memang sangat jauh dengan sifat dan perjuangan pelayanan Yesus. Tetapi minimum kita mampu menjadi teladan sebagai manusia yang taat pada rancangan dan kehendak Allah dengan merelakan diri berkorban demi menyatakan kasih dan kuasa Allah, agar sesama kita terbebas dari penghukuman Allah, serta beroleh kasih dan keselamatan dari Allah.
Menjadi mulut Kristus
Dalam persekutuan dengan Kristus, kita harus siap berkurban dan menjadi berkat bagi sesama. Siap menjadi mata dan telinga bagi Kristus yang melihat dan mendengarkan, serta peduli terhadap kebutuhan dan masalah sesama.Apakah kita sudah menjadi mulut bagi Kristus untuk kebenaran dan keadilan dalam lingkungan kita? Dan sudahkah kita menjadi tangan bagi Kristus yang berkarya memperjuangkan damai sejahtera di bumi? Kalau kita siap Manggul Salib, lalu apa syarat yang harus kita penuhi?
Kuat dalam iman
Manggul Salib juga berarti kita harus lebih kuat dalam iman di segala pergumulan dan kesakitan. Saat menjalani hidup yang sulit sekali, ‘gunung masalah’ menghadang bahkan sepertinya tidak ada harapan lagi, milikilah iman sebiji sesawi. Nilai rupiah boleh makin melemah, tapi manmu jangan ikut-ikutan melemah. Harus makin berpengharapan dengan berserah pada Tuhan Yesus. Ibadah-ibadah kita boleh dilarang dan ditutup, tapi jangan sedikitpun tutup pintu iman kita. Kasih percayalah, semua penderitaan diperkenankan-Nya kita lalui.
Kuat (untuk memanggul salib) syarat
Tuhan Yesus ditolak, apa lagi yang mau dekat denganNya. Dunia menolakNya bahkan dunia terdekatNya, orang –orang yang mengenal dan dikenalnya di Nazaret, kota tempat Dia dibesarkan. Semakin kita ingin dekat Tuhan, semakin merasakan penolakan itu. Penderitaan iman, masalah keluarga, kesinisan dalam pekerjaan dan pergumulan pelayanan akan semakin menjadi gelombang yang kian tinggi. Karenanya penting untuk kita fokus hanya kepada rencana dan rancangan-Nya, bukan pada penderitaan dan masalah. Hanya dengan pertolonganNya, kita dimampukan bertahan dalam iman yang kuat. Bukan kekuatan kita! Kita harus lebih berserah pada Tuhan Yesus khususnya saat penolakan-penolakan terjadi. Agar kita bisa menolak untuk menyerah. Bertahan dalam iman yang kuat! Sehingga kita mendapatkan ketenangan hati-pikiran, jalan keluar, kesempatan dan damai sejahtera.
Menjadi Pelaku
Dalam proses pembelajaran , dikenal prinsip: manusia belajar melalui melakukan. Prinsip ini dipegang karena studi terhadap sistem otak manusia menunjukkan: manusia hanya akan mengingat 10% dari apa yang mereka dengar, mereka bisa mengingat 60% dari apa yang mereka lihat, dan mereka bisa mengingat 90% dari apa yang mereka lakukan. Hanya dengan melakukan, manusia bisa mengingat apa yang dipelajari itu dengan lebih baik. Rupanya, kurang lebih, prinsip pembelajaran ini sudah dipahami oleh Yakobus. Oleh sebab itu Yakobus meminta orang beriman untuk menjadi pelaku firman, dan tidak sekedar menjadi pendengar. Tuhan Yesus menunggu kita menjadi pelaku bukan pendengar.
Penutup
Untuk Manggul Salib, kita memang perlu kemampuan. Dan untuk itu perlu pembelajaran yang berkelanjutan. Akan tetapi bukan itu yang penting, yang paling penting adalah ‘kemauan’ lebih dahulu. Dengan kemauan yang kuat, Tuhan Yesus sendiri yang akan melengkapi dan menguatkan kita dengan kemampuan. Semoga bermanfaat. Dari beberapa sumber. Depok, 20 Maret 2015
Salib Kehidupan
“Dan TUHAN akan menulahi Mesir untuk menulahinya; apabila Ia melihat darah pada ambang atas dan pada kedua tiang pintu; maka TUHAN akan melewati pintu itu dan tidak membiarkan pemusnah masuk ke dalam rumahmu untuk menulahi.” (Kel 12 : 23).
Paskah yang berarti yang dikewati pertama kali terjadi pada tulah kematian anak sulung di Mesir, penulah akan melewati rumah yang ada darah korban yang dioleskan pada ambang atas dan kedua tiang pintu sehingga pemilik rumah terhindar tulah kematian anak sulungnya.
Kebangkitan dari antara orang mati adalah pusat berita Alkitab, sehingga Paskah masa kini dipepringati pada hari Minggu setelah Jumat Agung dimana Tuhan Yesus mencurahkan darah untuk menebus dosa sekali secara sempurna sehingga kita memperoleh karunia hidup kekal.
Salib secara umum lambang hukuman dan kematian, tetapi iman kita menegaskan salib menghasilkan kehidupan kekal, secara jelas bahwa semua garis hidup Tuhan Yesus menuju salib, terus menuju ke kebangkitan dari antara orang mati, kini hidup dan memegang kunci surga dan neraka.
Salib kehidupan (dua kata) seolah adalah anomali, tetapi itu adalah jalan keselematan umat manusia, sehingga akan dibahas dalam tukisan ini, perlu diawali dengan kejadian alam mengenai anomali air yang menghasikan suatu kehidupan, perdamaian karena salib, kebangkitan dari orang mati, dan pemerintahan yang tidak kelihatan.
Kritik dan saran yang membangun sangat dinantikan untuk kelengkapan dan kesempurnaan materi pembahasan judul tersebut di atas.
ANOMALI AIR MENGHASILKAN KEHIDUPAN
Air kalau didinginkan akan menyusut volumenya, tetapi pada penurunan dibawah empat derajat Celcius justru air itu mengembang, jadi waktu menjadi es pada temperature nol, volemanya lebih besar dari air dan berat jenis lebih ringan sehingga es akan mengambang/mengapung, itulah peristiwa alam (anomali), sehingga es di kutub akan menyelimuti air dibawahnya akan tetap hangat berakibat kehidupan biota kaut seperti ikan, tumbuhan, batu karang , akan tetap hidup dengan tidak kedinginan,.
PERDAMAIAN KARENA SALIB
Garis hidup Tuhan Yesus menuju salib, sejak lahir telah nampak bayangan itu, Ia dilahirkan seabagai anak miskin , di sekitar kelahiranNya yang ajaib itu terdengarlah suara-suara yang mencemarkan namaNya .KedatanganNya ke dunia untuk menanggung kemiskinan, kemerosotan dan kecemaran hidup kita. Ia datang untuk mengorbankan diri. Bayangan salib itu semakin kelihatam seiring bertambahnya usia, Ia diserang dimanapun Ia berada tetapi Ia tetap taat, Ia tertimpa dosa seluruh dunia. Ia diperlakukan sebagai musuh oleh bangsaNya sendiri, tetapi tiada Ia menyimpang, bahkan maju terus ke Yerusalem, tempat terbunuhnya para nabi sebelumnya. Para murid tidak dapat menerima kalau Ia akan menjadi Raja Salib, penderita dan pakai mahkota duri. Tuhan Yesus memandang jalan ke salib itu sebagai jalan untuk memenuhi panggilanNya, sebagai tugas yang dibebankan dari Allah Bapa.
Sengsara dan kematian Tuhan Yesus
Permulaan sengsara Tuhan Yesus yang berat ialah perjuangan dalam doa di taman Getsemane, dalam pergumulan doa Ia memohon kepada Akkah Bapa, supaya piala yamg berisi kesengsaraan itu bisa lepas dariiNya. Ia tahu bahwa Ia telah ditunjuk sebagai Penyelamat, Penolong dunia, Ia bertanya apakah keselamtan itu dapat dicapai dengan jalan lain. Tetapi Allah menegaskan Ia harus minum piala itu sampai tetes penghabisan. Ketika Ia berdiri dari pergumulan itu maka tenanglah hatiNya. Ia telah dapat menaklukkan kemauanNya sendiri untuk taat kepada kehendak Bapa, Ia akan menghabiskan isi piala itu dengan kesadaran bahwa tugas yang diembanNya harus tuntas dijalaniNya. Kemudian ditangkaplah Ia, dijatuhi hukuman mati oleh Kayafas Imam Agung Israel, kepala Pengadilan Adat.
Dan untuk meneguhkan putusan hukuman mati itu, orang-orang Parisi dan Ahli Taurat mengajukanNya kepada wakil pemerintah Rum yakni Pontius Pikatus. Meskipun Pontius Pilatus yakin bahwa Yesus tidak bersalah tetapi ia tidak berani menentang kemauan rakyat yang berteriak-teriak meminta supaya Yesus dijatuhi hukuman mati. Lalu Pilatus menyerahkan Yesus supaya disalib. Prajurit-prajurit Rum membawaNya keluar kota Yerusakem ke bukit Golgota, tempat orang menjalani hukuman mati, Di Golgota Tuhan Yesus disalib diantara dua orang penjahat yang disalib juga. Pada tengah hari tiba-tiba gelaplah di seluruh bumi, juga di bukit Golgota , tiga jam lamanya.
Di dalam kegelapan itu Tuhan Yesus mengalami ditinggal BapaNya, pada akhir kegelapan berserulah Ia dengn suara nyaring menggema di sekitar Golgota : “ Eli, Eli, lama sabakhtani?” yang artinya ya Tuhanku, apakah sebabnya Engkau meninggalkan Daku ? Setelah terang kembali Tuhan Yesus menyatakan telah selesailah sengsaraNya dengan bersabda :”Sudah genap.”. Lalu Ia menundukkan kepala dan menyerahkan nyawaNya ke tangan Allah Bapa. Dengan hati-hati diturunkan jenazahNya dari salib, lalu dikuburkan dalam taman Yusuf Arematea. Disitulah tubuh Tuhan Yesus diletakkan sampai hari yang ke tiga, hari Paskah.
Arti sengsara dan kematian Tuhan Yesus
Alkitab memberitakan, di kayu salib, pada zaman Pontius Pilatus telah tercapai perdamaian antara Allah dan manusia. Perdamaian antara langit dan bumi ditandatangani dengan darah Kristus sehingga utang kita dibayar lunas. Korban telah dipersembahkan, sekali untuk selama-lamanya secara sempurna, itu pernyataan Allah yang lebih dahulu mengasihi kita sebelum kita mengasiha Dia.
Berita tentang perdamaian
Antara Allah dan mamusia terbentang jurang yang amat dalam, dan ada jarak yang sangat jauh Terdapat ketimpangan antara Allah Yang Maha Kudus dan manusia yang penuh dosa sehingga Allah mengambil prakarsa mengadakan perdamaian dan itu terjadi di kayu salib bukit Golgota. Darah Yesus yang tertumpah di Golgota itulah yang menyucikan / menguduskan kita sehingga kita layak menerima berkat kehidupan kekal dan kita dihindarkan dari malapetaka secara sempurna. Oleh karena itu kita harus mengucap syukur atas kasih karunia Allah dalam karya penyelamatanNya, sehingga kita wajib hidup dengan penuh ketaatan kepadaNya karena kita sebagai anak Allah yang telah dikuduskanNya,.Sumber kekuatan kita adalah kuat kuasa Allah dalam kasih karunia melalui Tuhan Yesus Kristus Juru Selamat yang hidup.
KEBANGKITAN TUHAN YESUS
Penyelamatan di bukit Golgota harus dilengkapi dengan kebangkitan Tuhan Yesus dari antara orang mati. Dia yang disalibkan dan Dia yang bangkit Dia telah mati dan kini hidup dan memegang kuasa surga dan alam maut / neraka dan dunia. Itulah berita kesukaan dalam Injil. Kita menjadi warga jemaat karena Yesus telah bangkit. Kerajaan Allah tak akan tersebar dan tidak akan menjadi nyata kalau Yesus tidak bangkit. Kebangkitan pusat pemberitaan Alkitab.
Peristiwa Paskah pagi
Pagi-pagi pada hari Minggu turunlah malaikat dari surga dan membuka kuburNya. Allah Bapa yang membangunkan Tuhan Yesus, kemudian bangkitkah Ia. Ia bangkit dan tidak akan mati lagi selama-lamanya. Tubuh yang disalibkan masih ada tanda paku, tubuh itulah yang bangkit dari kubur. Pada tubuh itu masih ada bekas peperangan melawan dosa, iblis dan maut. Tubuh Kristus yang telah bangkit itu suatu bukti, bahwa Ia telah unggul dan telah menunaikan tugas dengan sempurna.
Dengan tubuh kebangkitan menyatakan diri
Selama empat puluh hari Tuhan Yesus senantiasa menyatakan diri kepada para murid dengan tubuh kebangkitan untuk meyakinkan bahwa Ia benar-benar telah bangkit dan menyuruh murid-murid melihat tanda bekas paku pada tangan dan kaki dan mereka disuruh meraba, supaya yakin Ia bukan hantu atau badan halus atau hanya halusinasi, melainkan seorang manusia yang berdarah dan berdaging. Dengan perantaraan tangan para rasul itulah seolah-olah jemaat dari segala abad telah pula meraba tubuh kebangkitan Tuhan Yesus. Dengan mata merekalah kita seakan memandang Dia. Dengan telinga merekalah kita seakan mendengarkan sabdaNya. Dengan pernyataan itu para murid dipersiapkan untuk menghadapi masa depan pada saat Tuhan Yesus tidak menyertai mereka secara fisik, tetapi masih menyertai secara rohani, yaitu melalui kuasa Roh Kudus.Hal itu ditegaskan di Tiberias dalam Yohanes 21. Sehingga Tuhan Yesus akan menyertai dan memimoin kita dalam Roh Kidis selama-lamanya.
Arti kebangkitan Tuhan Yesus
Pertama Tuhan Yesus benar-benar Anak Allah. Kedua Tuhan Yesus adalah Kristus Sang Mesias. Ketiga kebangkitan adalah proklamasi Allah tentang perdamaian dan pengudusan orang percaya. Keempat Tuhan Yesus tekah mengalahkan kuasa Ib;is. Kelima Tuhan Yesus telah mengalahkan maut. Tuhan Yesus pernah berkata :”Aku ini adalah Kebangkitandan Hidup; siapa yang percaya akan Daku, walaupun sudah mati, ia akan hidup.” Salib dan kebangkitan menjadi dasar iman Kristen. Iman Kristen tidak berdasar pada teori-teori, cerita atau dongeng, anggapan-anggapan, filsafat dan sebagainya, tetapi iman Kristen berdasar kenyataan tentang Salib dan kenyataan tentang Kebangkitan, serta kenyataan Tuhan Yesus yang disalibkan telah bangkit dan memegang kuasa di dunia, surga dan nereka. Oleh karena itu, orang yang percaya akan berita tentan Salib dan Kebangkitan, akan selalu terang dalam hidupnya sehingga Salib kehidupan kekal akan senantiasa menyertainya. Yesua naik takhta dalam pemerintahan yang tidak kelihatan.
PEMERINTAHAN YANG TIDAK KELIHATAN
Yesus naik takhta
Tuhan Yesus tidak menetap di dunia dengan tubuhNya.Ia tidak mendirikan takhtaNya di Yerusalem seperti yang diharapkan oleh murid-muridNya. Kerajaan yang didirikan olehNya bukanlah kerajaan duniawi. Ia naik ke surga dari bukit Zaitun , empatpuluh hari setelah bangkit dari orang mati. Akan tetapi itu tidak berarti Yesus telah meleoaskan dunia. Kenaikan Tuhan Yesus ke surga berarti bahwa Ia naik takhta memegang pemerintahan langit dan bumi, dan akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Allah telah menyerahkan pemerintahan di tangan Kristus. Rahasia ini telah dinyatakan :”Bahwa segaka kuasa dikaruniakan kepadaKu baik di surga baik di atas bumi ini.” (Mat 28 : 15-20).
Yesus di Golgota kelihatan tidak berdaya , kimi mempunyai segala kuasa. Dia yang dahulu waktu di bumi tanpa kerajaan, kini membawa akam semesta dakam kuasaNya. Kerajaan kasih karunia telah didirikan. Menurut kitab Wahyu pasal 5, Di surga tedengar ratap tangis yang mengeriaka, siapakah yang dapat mengakhirinya ? Tampillah ke depan seekor Anak Domba berdiri di depan takhta dan menerima rencana kelepasan dari tangan Allah Bapa. Kejadian ini telah dilukiskan oleh Rembrandt.Awan mengandung hujan menghitam, halilintar menyambar-nyambar, akan tetapi dari dalam awan itu tampaklah sebuah wajah Anak Manusia yang telah disalibkan menjadi sumber ketenteraman ditengah kegaduhan itu. Ia memerintah dan menanggung akan datangnya zaman baru yang penuh kauasa Allah.
Tuhan Yesus menjalankan pemerintahanNya
Pemerintahan Tuhan Yesus adalah pemerinthan yang tidak kelihatan bahkan tersembunyi dan belum kelihatan. Dakam kegelapan sejarah dunia orang beriman dapat mengenal pemerintahan berdasar darah perjanjian yang telah dicurahkan sehingga di dalam Roh perdamaian. Kekuasaan kasih tanpa senjata di bawah panji salib
Tuhan Yesus memerintah jemaat
Sejak Tuhan Yesus naik ke surga maka mulailah sejarah gereja pada zaman Perjanjian Baru, sejarah gereja merupakan poros sejarah dunia karena bekerja di dalam hati manusia melalui kuasa Roh Kudus .
Tuhan Yesus memerintah dunia
Semua bangsa, zaman dan kebudayaan ada hubungannya dengan Dia. Itulah rahasia sejarah dunia sejak kebangkitanNya, sejarah dunia bagaikan perahu yang diombang ambingkan gelombang laut yang dahsyat akhirnya bersandar di pelabuhan yang kekal. Semua ini untuk kemuliaan kerajaanNya saat ini dan yang akan datang.
Salib kehidupan
Orang beriman mengarungi hidup atas dasar kasih karuniaNya, namun salib kehidupan senantiasa berada di pundak kita, tetapi Dia dengan penuh setia menguatkan kita, Amin. JS/PI.
Paskah yang berarti yang dikewati pertama kali terjadi pada tulah kematian anak sulung di Mesir, penulah akan melewati rumah yang ada darah korban yang dioleskan pada ambang atas dan kedua tiang pintu sehingga pemilik rumah terhindar tulah kematian anak sulungnya.
Kebangkitan dari antara orang mati adalah pusat berita Alkitab, sehingga Paskah masa kini dipepringati pada hari Minggu setelah Jumat Agung dimana Tuhan Yesus mencurahkan darah untuk menebus dosa sekali secara sempurna sehingga kita memperoleh karunia hidup kekal.
Salib secara umum lambang hukuman dan kematian, tetapi iman kita menegaskan salib menghasilkan kehidupan kekal, secara jelas bahwa semua garis hidup Tuhan Yesus menuju salib, terus menuju ke kebangkitan dari antara orang mati, kini hidup dan memegang kunci surga dan neraka.
Salib kehidupan (dua kata) seolah adalah anomali, tetapi itu adalah jalan keselematan umat manusia, sehingga akan dibahas dalam tukisan ini, perlu diawali dengan kejadian alam mengenai anomali air yang menghasikan suatu kehidupan, perdamaian karena salib, kebangkitan dari orang mati, dan pemerintahan yang tidak kelihatan.
Kritik dan saran yang membangun sangat dinantikan untuk kelengkapan dan kesempurnaan materi pembahasan judul tersebut di atas.
ANOMALI AIR MENGHASILKAN KEHIDUPAN
Air kalau didinginkan akan menyusut volumenya, tetapi pada penurunan dibawah empat derajat Celcius justru air itu mengembang, jadi waktu menjadi es pada temperature nol, volemanya lebih besar dari air dan berat jenis lebih ringan sehingga es akan mengambang/mengapung, itulah peristiwa alam (anomali), sehingga es di kutub akan menyelimuti air dibawahnya akan tetap hangat berakibat kehidupan biota kaut seperti ikan, tumbuhan, batu karang , akan tetap hidup dengan tidak kedinginan,.
PERDAMAIAN KARENA SALIB
Garis hidup Tuhan Yesus menuju salib, sejak lahir telah nampak bayangan itu, Ia dilahirkan seabagai anak miskin , di sekitar kelahiranNya yang ajaib itu terdengarlah suara-suara yang mencemarkan namaNya .KedatanganNya ke dunia untuk menanggung kemiskinan, kemerosotan dan kecemaran hidup kita. Ia datang untuk mengorbankan diri. Bayangan salib itu semakin kelihatam seiring bertambahnya usia, Ia diserang dimanapun Ia berada tetapi Ia tetap taat, Ia tertimpa dosa seluruh dunia. Ia diperlakukan sebagai musuh oleh bangsaNya sendiri, tetapi tiada Ia menyimpang, bahkan maju terus ke Yerusalem, tempat terbunuhnya para nabi sebelumnya. Para murid tidak dapat menerima kalau Ia akan menjadi Raja Salib, penderita dan pakai mahkota duri. Tuhan Yesus memandang jalan ke salib itu sebagai jalan untuk memenuhi panggilanNya, sebagai tugas yang dibebankan dari Allah Bapa.
Sengsara dan kematian Tuhan Yesus
Permulaan sengsara Tuhan Yesus yang berat ialah perjuangan dalam doa di taman Getsemane, dalam pergumulan doa Ia memohon kepada Akkah Bapa, supaya piala yamg berisi kesengsaraan itu bisa lepas dariiNya. Ia tahu bahwa Ia telah ditunjuk sebagai Penyelamat, Penolong dunia, Ia bertanya apakah keselamtan itu dapat dicapai dengan jalan lain. Tetapi Allah menegaskan Ia harus minum piala itu sampai tetes penghabisan. Ketika Ia berdiri dari pergumulan itu maka tenanglah hatiNya. Ia telah dapat menaklukkan kemauanNya sendiri untuk taat kepada kehendak Bapa, Ia akan menghabiskan isi piala itu dengan kesadaran bahwa tugas yang diembanNya harus tuntas dijalaniNya. Kemudian ditangkaplah Ia, dijatuhi hukuman mati oleh Kayafas Imam Agung Israel, kepala Pengadilan Adat.
Dan untuk meneguhkan putusan hukuman mati itu, orang-orang Parisi dan Ahli Taurat mengajukanNya kepada wakil pemerintah Rum yakni Pontius Pikatus. Meskipun Pontius Pilatus yakin bahwa Yesus tidak bersalah tetapi ia tidak berani menentang kemauan rakyat yang berteriak-teriak meminta supaya Yesus dijatuhi hukuman mati. Lalu Pilatus menyerahkan Yesus supaya disalib. Prajurit-prajurit Rum membawaNya keluar kota Yerusakem ke bukit Golgota, tempat orang menjalani hukuman mati, Di Golgota Tuhan Yesus disalib diantara dua orang penjahat yang disalib juga. Pada tengah hari tiba-tiba gelaplah di seluruh bumi, juga di bukit Golgota , tiga jam lamanya.
Di dalam kegelapan itu Tuhan Yesus mengalami ditinggal BapaNya, pada akhir kegelapan berserulah Ia dengn suara nyaring menggema di sekitar Golgota : “ Eli, Eli, lama sabakhtani?” yang artinya ya Tuhanku, apakah sebabnya Engkau meninggalkan Daku ? Setelah terang kembali Tuhan Yesus menyatakan telah selesailah sengsaraNya dengan bersabda :”Sudah genap.”. Lalu Ia menundukkan kepala dan menyerahkan nyawaNya ke tangan Allah Bapa. Dengan hati-hati diturunkan jenazahNya dari salib, lalu dikuburkan dalam taman Yusuf Arematea. Disitulah tubuh Tuhan Yesus diletakkan sampai hari yang ke tiga, hari Paskah.
Arti sengsara dan kematian Tuhan Yesus
Alkitab memberitakan, di kayu salib, pada zaman Pontius Pilatus telah tercapai perdamaian antara Allah dan manusia. Perdamaian antara langit dan bumi ditandatangani dengan darah Kristus sehingga utang kita dibayar lunas. Korban telah dipersembahkan, sekali untuk selama-lamanya secara sempurna, itu pernyataan Allah yang lebih dahulu mengasihi kita sebelum kita mengasiha Dia.
Berita tentang perdamaian
Antara Allah dan mamusia terbentang jurang yang amat dalam, dan ada jarak yang sangat jauh Terdapat ketimpangan antara Allah Yang Maha Kudus dan manusia yang penuh dosa sehingga Allah mengambil prakarsa mengadakan perdamaian dan itu terjadi di kayu salib bukit Golgota. Darah Yesus yang tertumpah di Golgota itulah yang menyucikan / menguduskan kita sehingga kita layak menerima berkat kehidupan kekal dan kita dihindarkan dari malapetaka secara sempurna. Oleh karena itu kita harus mengucap syukur atas kasih karunia Allah dalam karya penyelamatanNya, sehingga kita wajib hidup dengan penuh ketaatan kepadaNya karena kita sebagai anak Allah yang telah dikuduskanNya,.Sumber kekuatan kita adalah kuat kuasa Allah dalam kasih karunia melalui Tuhan Yesus Kristus Juru Selamat yang hidup.
KEBANGKITAN TUHAN YESUS
Penyelamatan di bukit Golgota harus dilengkapi dengan kebangkitan Tuhan Yesus dari antara orang mati. Dia yang disalibkan dan Dia yang bangkit Dia telah mati dan kini hidup dan memegang kuasa surga dan alam maut / neraka dan dunia. Itulah berita kesukaan dalam Injil. Kita menjadi warga jemaat karena Yesus telah bangkit. Kerajaan Allah tak akan tersebar dan tidak akan menjadi nyata kalau Yesus tidak bangkit. Kebangkitan pusat pemberitaan Alkitab.
Peristiwa Paskah pagi
Pagi-pagi pada hari Minggu turunlah malaikat dari surga dan membuka kuburNya. Allah Bapa yang membangunkan Tuhan Yesus, kemudian bangkitkah Ia. Ia bangkit dan tidak akan mati lagi selama-lamanya. Tubuh yang disalibkan masih ada tanda paku, tubuh itulah yang bangkit dari kubur. Pada tubuh itu masih ada bekas peperangan melawan dosa, iblis dan maut. Tubuh Kristus yang telah bangkit itu suatu bukti, bahwa Ia telah unggul dan telah menunaikan tugas dengan sempurna.
Dengan tubuh kebangkitan menyatakan diri
Selama empat puluh hari Tuhan Yesus senantiasa menyatakan diri kepada para murid dengan tubuh kebangkitan untuk meyakinkan bahwa Ia benar-benar telah bangkit dan menyuruh murid-murid melihat tanda bekas paku pada tangan dan kaki dan mereka disuruh meraba, supaya yakin Ia bukan hantu atau badan halus atau hanya halusinasi, melainkan seorang manusia yang berdarah dan berdaging. Dengan perantaraan tangan para rasul itulah seolah-olah jemaat dari segala abad telah pula meraba tubuh kebangkitan Tuhan Yesus. Dengan mata merekalah kita seakan memandang Dia. Dengan telinga merekalah kita seakan mendengarkan sabdaNya. Dengan pernyataan itu para murid dipersiapkan untuk menghadapi masa depan pada saat Tuhan Yesus tidak menyertai mereka secara fisik, tetapi masih menyertai secara rohani, yaitu melalui kuasa Roh Kudus.Hal itu ditegaskan di Tiberias dalam Yohanes 21. Sehingga Tuhan Yesus akan menyertai dan memimoin kita dalam Roh Kidis selama-lamanya.
Arti kebangkitan Tuhan Yesus
Pertama Tuhan Yesus benar-benar Anak Allah. Kedua Tuhan Yesus adalah Kristus Sang Mesias. Ketiga kebangkitan adalah proklamasi Allah tentang perdamaian dan pengudusan orang percaya. Keempat Tuhan Yesus tekah mengalahkan kuasa Ib;is. Kelima Tuhan Yesus telah mengalahkan maut. Tuhan Yesus pernah berkata :”Aku ini adalah Kebangkitandan Hidup; siapa yang percaya akan Daku, walaupun sudah mati, ia akan hidup.” Salib dan kebangkitan menjadi dasar iman Kristen. Iman Kristen tidak berdasar pada teori-teori, cerita atau dongeng, anggapan-anggapan, filsafat dan sebagainya, tetapi iman Kristen berdasar kenyataan tentang Salib dan kenyataan tentang Kebangkitan, serta kenyataan Tuhan Yesus yang disalibkan telah bangkit dan memegang kuasa di dunia, surga dan nereka. Oleh karena itu, orang yang percaya akan berita tentan Salib dan Kebangkitan, akan selalu terang dalam hidupnya sehingga Salib kehidupan kekal akan senantiasa menyertainya. Yesua naik takhta dalam pemerintahan yang tidak kelihatan.
PEMERINTAHAN YANG TIDAK KELIHATAN
Yesus naik takhta
Tuhan Yesus tidak menetap di dunia dengan tubuhNya.Ia tidak mendirikan takhtaNya di Yerusalem seperti yang diharapkan oleh murid-muridNya. Kerajaan yang didirikan olehNya bukanlah kerajaan duniawi. Ia naik ke surga dari bukit Zaitun , empatpuluh hari setelah bangkit dari orang mati. Akan tetapi itu tidak berarti Yesus telah meleoaskan dunia. Kenaikan Tuhan Yesus ke surga berarti bahwa Ia naik takhta memegang pemerintahan langit dan bumi, dan akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Allah telah menyerahkan pemerintahan di tangan Kristus. Rahasia ini telah dinyatakan :”Bahwa segaka kuasa dikaruniakan kepadaKu baik di surga baik di atas bumi ini.” (Mat 28 : 15-20).
Yesus di Golgota kelihatan tidak berdaya , kimi mempunyai segala kuasa. Dia yang dahulu waktu di bumi tanpa kerajaan, kini membawa akam semesta dakam kuasaNya. Kerajaan kasih karunia telah didirikan. Menurut kitab Wahyu pasal 5, Di surga tedengar ratap tangis yang mengeriaka, siapakah yang dapat mengakhirinya ? Tampillah ke depan seekor Anak Domba berdiri di depan takhta dan menerima rencana kelepasan dari tangan Allah Bapa. Kejadian ini telah dilukiskan oleh Rembrandt.Awan mengandung hujan menghitam, halilintar menyambar-nyambar, akan tetapi dari dalam awan itu tampaklah sebuah wajah Anak Manusia yang telah disalibkan menjadi sumber ketenteraman ditengah kegaduhan itu. Ia memerintah dan menanggung akan datangnya zaman baru yang penuh kauasa Allah.
Tuhan Yesus menjalankan pemerintahanNya
Pemerintahan Tuhan Yesus adalah pemerinthan yang tidak kelihatan bahkan tersembunyi dan belum kelihatan. Dakam kegelapan sejarah dunia orang beriman dapat mengenal pemerintahan berdasar darah perjanjian yang telah dicurahkan sehingga di dalam Roh perdamaian. Kekuasaan kasih tanpa senjata di bawah panji salib
Tuhan Yesus memerintah jemaat
Sejak Tuhan Yesus naik ke surga maka mulailah sejarah gereja pada zaman Perjanjian Baru, sejarah gereja merupakan poros sejarah dunia karena bekerja di dalam hati manusia melalui kuasa Roh Kudus .
Tuhan Yesus memerintah dunia
Semua bangsa, zaman dan kebudayaan ada hubungannya dengan Dia. Itulah rahasia sejarah dunia sejak kebangkitanNya, sejarah dunia bagaikan perahu yang diombang ambingkan gelombang laut yang dahsyat akhirnya bersandar di pelabuhan yang kekal. Semua ini untuk kemuliaan kerajaanNya saat ini dan yang akan datang.
Salib kehidupan
Orang beriman mengarungi hidup atas dasar kasih karuniaNya, namun salib kehidupan senantiasa berada di pundak kita, tetapi Dia dengan penuh setia menguatkan kita, Amin. JS/PI.
Apakah arti Paskah, “Kematian” atau “Kebangkitan” ?
Ada sejumlah orang mempertanyakan apakah arti “Paskah”. mereka berpendapat bahwa Paskah artinya adalah ‘kematian’, sedang Paskah yang diartikan ‘kebangkitan’ itu adalah produk konstantin di tahun 300-an? Paskah berasal dari kata Ibrani, “Pesach”. Kitab Suci mengartikan dengan kata; “timpang atau melangkahi atau melewati” (2Sam. 4:4, 1Raj. 18:21). Dalam tulah terakhir kepada orang Mesir, Allah melangkahi atau melewati rumah-rumah yang melakukan persyaratan Paskah (Kel. 12:13,23,27). Memang ada teori lain yang menghubungkan kata Pesach tersebut dengan kata “pashahu” (Akkadian) yang artinya, “mendamaikan atau menenangkan”.
Di luar asal usul kata, bagi bangsa Israel, nampaknya perayaan Paskah atau Pesach, awalnya dirayakan oleh para gembala, yang mengorbankan hewan muda mereka, dengan harapan mereka agar kawanan hewan gembalaannya bertumbuh subur. Perayaan Pesach ini kemudian digabungkan dengan satu perayaan lain, yaitu perayaan “Roti Tidak Beragi”, sebuah perayaan agrikultur atau pertanian yang baru mulai dirayakan setelah bangsa Israel masuk ke tanah Kanaan. Perayaan ini dikaitkan dengan perhitungan minggu, dan dilakukan selama seminggu (Kel. 23:15; 34:18) dan perayaan panen, ditetapkan pada tujuh minggu setelah perayaan roti tidak beragi (Im. 23:15; Ul. 16:9).
Kemudian kedua perayaan tersebut, “Paskah dan Roti Tidak Beragi”, yang sama-sama dirayakan di musim semi, digabungkan menjadi satu. Perayaan Paskah yang sudah ditetapkan pada bulan purnama, tidak diubah, dan perayaan Roti Tidak Beragi disertakan pada perayaan tersebut, dan dirayakan selama 7 hari (Im. 23:5-8). Dengan dibebaskannya bangsa Israel dari Mesir, kedua ritual tersebut digabungkan dalam kisah eksodus bangsa Israel menuju “tanah perjanjian”, inilah yang juga dirayakan sampai kepada zaman Kristus dan para Rasul.
Dengan menyadari bahwa peringatan Paskah bangsa Yahudi dan perayaan Roti Tidak Beragi berlangsung selama 7 hari, dan dapat dilihat bahwa ‘kejadian sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus’ memang terjadi di sekitar jangka waktu perayaan tersebut. “Kebangkitan Tuhan Yesus” yang terjadi di hari pertama (minggu) artinya setelah hari Sabat berakhir, menjadi puncak penggenapan kedua perayaan tersebut dan menyempurnakan maknanya.
Jadi Paskah tidak berarti ‘kematian’, melainkan “melangkahi atau melewati”, yang tidak berdiri sendiri, namun terkait dengan keadaan berikut yang dituju, yaitu dengan menghubungkan perayaan ini dengan perayaan “Kebangkitan Yesus Sang Anak Domba Allah”; sebab melalui kebangkitan Kristus atas kematian-lah, kita umat-Nya dapat dihantar kepada kehidupan kekal di Tanah Perjanjian yang sesungguhnya yaitu Sorga. Para Rasul kemudian menyebut hari kebangkitan Yesus ini, yang jatuh pada hari “Minggu, sebagai Hari Tuhan”.
Apakah “Easter” atau “Passover” sebagai Padanan kata Paskah ?
Banyak orang Kristen sadar bahwa kata ”Easter” sebagai padanan kata Paskah itu tidak muncul dalam naskah bahasa asli Ibrani maupun Yunani. Pada kenyataannya, satu-satunya tempat yang dapat ditemukan adalah di dalam Alkitab berbahasa Inggris, King James Version (Kis. 12:4)
Bahasa Yunani untuk kata Paskah adalah “pascha”, yang menunjuk kepada perayaan Paskah yang dirayakan dari hari ke 14 hingga ke 21 bulan itu-Nisan (Kel. 12:18). Dalam hal ini, fakta bahwa “Easter” sudah dikenal baik oleh pembaca abad XVII. Dalam terjemahan KJV, tidak menolong kita untuk mengerti bahwa Paskah yang dipadankan dengan kata “Passover” dan “Easter” adalah dua hal berbeda. Misalkan yang dimaksudkan dalam Kisah Para Rasul adalah “Passover” bukan “Easter”. Versi Alkitab modern semuanya menerjemahkan Paskah atau Pascha dengan kata “Passover”.
Apa yang kita kenal pada saat ini lebih tepat sebagai perayaan Paskah (“Easter”) yang berkembang setelah masa Perjanjian Baru. Perjanjian Baru tidak menyinggung sebuah perayaan Kristen di mana kematian dan kebangkitan Kristus dirayakan, tetapi apa yang sungguh kita lihat adalah beberapa orang Kristen mula-mula terus merayakan perayaan Paskah (“Passover”). Dan setelah kelahiran Jemaat Kristen, banyak orang-orang Kristen di Yerusalem bangga terhadap fakta bahwa mereka merayakan Paskah (“Passover”) untuk mempertahankan Hukum Taurat.
Satu ayat Alkitab tertulis : Mendengar itu mereka memuliakan Tuhan. Lalu mereka berkata kepada Paulus : “Saudara, lihatlah, beribu-ribu orang Yahudi telah menjadi percaya dan mereka semua rajin memelihara hukum Taurat”. (Kis. 21:20). Bagi orang-orang Kristen yang “rajin”, mereka taat memelihara Hukum Taurat melalui memperingati perayaan Paskah (“Passover”), yang menjadi perayaan peringatan.
Bukan lagi berhubungan dengan waktu penantian untuk penebusan dengan Tuhan di masa depan, tetapi berkaitan dengan peringatan bahwa Dia sudah menyediakan pembayaran bagi dosa-dosa umat-Nya melalui Kristus. Hal ini sangat sensitif bagi orang Kristen mula-mula, karena tidak semua orang Yahudi yang bertobat dan menjadi Kristen merasa nyaman dengan ide bahwa Kristus sudah menggenapi hukum Taurat dan mereka tidak perlu lagi berkewajiban untuk memelihara hukum Taurat. Kemudian Surat-surat Jemaat yang diberikan oleh Tuhan kepada Paulus memperjelas bahwa tidak perlu lagi berpartisipasi dalam perayaan Yahudi (Kol. 2:16-17). Sementara itu banyak orang Yahudi yang menjadi Kristen mempertahankan kebiasaan memperingati perayaan Paskah (“Passover”).
Ketika Kekristenan mulai menyebar ke seluruh dunia, orang-orang Kristen bukan Yahudi mulai merayakan kematian dan kebangkitan Kristus hampir sama dengan cara orang Yahudi. Namun sayang, seperti yang sering terjadi dengan perdebatan Yahudi-bukan Yahudi, banyak desakan yang menggiring Kekristenan bertentangan secara radikal dengan mereka yang ingin mempertahankan akar Kekristenan secara Yahudi. Pada akhirnya, perayaan kematian dan kebangkitan Kristus disisipi oleh unsur-unsur yang kurang berkaitan dengan perayaan Yahudi atau peristiwa sebenarnya dari kematian Kristus.
Apakah Paskah “Easter” mengandung Unsur Penyembahan Berhala ?
Bukan rahasia lagi bahwa banyak dari perayaan Paskah modern sudah berkembang dari sumber penyembahan berhala. Kata “Easter” sendiri pada dasarnya diadopsi oleh Jemaat dari penyembahan berhala.
Memang ada juga orang yang menduga bahwa “Easter” berasal dari nama dewi “Isthar” (dari Sumeria) atau dewi “Eostre/Astarte” (dari Teutonik); memang sekilas bunyinya mirip. Maka jika ada kemiripan bunyi Easter dengan Isthar itu hanya kebetulan, dan tidak dapat dipaksakan bahwa keduanya berhubungan.
Seperti halnya juga, bahwa besar kemungkinan kata “Easter” berakar dari kata “Ester/Eostur”, yang berarti : “musim kebangkitan” (season of rising), ataupun “musim kelahiran baru” yang mengacu kepada musim semi. Maka kata “Easter” yang digunakan di Inggris, “Eastur atau Ostern” di Jerman kuno, sebagai kata lain dari musim semi atau musim dari terbitnya matahari. Simbolisme ini dialihkan kepada arti supernatural dari Paskah (“Easter”) yang membawa kehidupan baru di atas bumi. Sedang di beberapa negara lainnya, menggunakan istilah yang berbeda: “Pascha” (Latin/Yunani), ”Pasqua” (Italia), “Pascua” (Spanyol), “Paschen” (Belanda), “Pâcques” (Prancis), dll. yang semua berasal dari kata “Pesach” (Ibrani) yang artinya “Passover”.
Mungkin menarik untuk diketahui bahwa William Tyndale (1494-1536), seorang tokoh pemimpin Protestan, ahli dan penerjemah Kitab Suci yang terkenal, adalah yang pertama kali memasukkan kata “Easter” di dalam Kitab Suci terjemahan bahasa Inggris, dan bersamaan dengan itu ia juga menyebutkan kata “Passover”.
Dengan demikian jangan dirisaukan apabila menggunakan kata “Easter” untuk Paskah, karna bagi kita tidak mengacu pada Isthar tapi pada Eostur atau Erstehen yang artinya mengacu pada Kebangkitan Kristus. Jangan lupa bahwa kitab suci menyebutkan tanda kelahiran Kristus dengan bintang timur (Mat. 2:2,9) sehingga makna Terang di Timur (East) memperoleh makna yang baru dan sempurna setelah kelahiran dan terutama kebangkitan-Nya.
Apakah Paskah jatuh pada Hari Minggu?
Selama berabad-abad, tanggal perayaan “Paskah” memperingati Kebangkitan Kristus sangat diperdebatkan. Orang-orang Kristen turunan Yahudi mula-mula, khususnya yang tinggal di Israel, Siria, dan Timur Tengah, secara alami ingin merayakannya pada tanggal 14 bulan Nisan, yaitu tanggal orang Yahudi merayakan Paskah (“Passover”), yang jatuh pada satu hari dalam seminggu, dan ini tidak cocok dengan orang Kristen, yang menghendaki satu Minggu yang Kudus yang dimulai dengan Minggu Palem, yang diteruskan dengan Jumat Agung dan diakhiri oleh Minggu Paskah (“Easter”), memperingati kebangkitan Kristus.”
Satu pertanyaan pokok adalah : Sejauh manakah nilai dan kebiasaan dunia kuno yang masih berlaku yang menjadi pemikiran dan tindakan dalam kekristenan? Sesungguhnya dituntut agar kekristenan ‘diperbarui’ melalui mengaburkan atau bahkan menghapuskan perbedaan yang sudah lama antara Bapa dan Anak.
Dengan semangat yang sama untuk memisahkan diri dari masa lalu, gereja memutuskan bahwa perayaan Kebangkitan tidak akan berdasarkan tanggal Yahudi, tetapi akan jatuh pada hari Minggu mengikuti bulan purnama setelah musim semi. Menarik sekali, perayaan hari Minggu sama sekali masih memberikan kesempatan bagi Jemaat untuk merayakan hari yang sama seperti orang Yahudi. Bagian Timur dan Barat menangani situasi itu secara berbeda; Bagian Barat menetapkan suatu peraturan bahwa jika tanggal itu bertepatan dengan orang Yahudi merayakan Paskah (“Passover”), maka jemaat akan menunggu minggu depan untuk merayakannya, sebaliknya bagian Timur terus merayakan meskipun tanggal itu bertepatan dengan Paskah (“Passover”).
Maka penetapan hari Minggu sebagai hari Tuhan itu sudah ditetapkan sejak gereja perdana, dan bukan baru ditetapkan di zaman Kaisar Konstantin. Sedangkan bahwa perkataan Paskah memang mengacu kepada kebangkitan Kristus yang tak terpisahkan dari sengsara dan wafat-Nya, itu memang benar, sehingga Gereja menghubungkan misteri Paskah dengan sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Sorga. Jadi perayaan Paskah sebagai hari Kebangkitan Kristus dan penyebutan hari Minggu sebagai Hari Tuhan (the Lord’s day), itu sudah dirayakan oleh gereja sejak abad awal.
Yesus telah bangkit dari antara orang mati pada “hari pertama minggu itu” sebagai “hari pertama” sesudah hari Sabat (Mat. 28:1, Mrk. 16:1-2, Luk. 24:1, Yoh. 20:1), dan hari kebangkitan Kristus mengingatkan kita akan penciptaan pertama, yang menunjuk kepada ciptaan baru yang datang dengan kebangkitan Kristus. Bagi orang Kristen telah menjadi hari segala hari, pesta segala pesta, sebagai “Hari Minggu – Hari Tuhan”.
Bagaimana Menemukan Keseimbangannya ?
Sebagai orang Kristen modern, kita harus memutuskan bagaimana menarik sebuah dunia yang sudah kehilangan minat terhadap keaslian sejati dari iman kita. Apakah kita harus menghakimi hari-hari libur modern sebagai penyembahan berhala yang tidak disukai? Atau apakah kita dengan segenap hati harus menerima kebudayaan kita melalui suatu sikap kerelaan? Sebagaimana dengan begitu banyak hal dalam dunia modern kita, kita harus menemukan keseimbangan yang membuat kita melatih kerohanian sejati namun masih tercakup dalam budaya asal kita.
Alkitab memakai kata yang menarik yang menunjuk kepada kemampuan kita untuk menghubungkan keadaan yang tidak disinggung secara spesifik - “kebebasan” (1Kor. 8:9). Perlu diingat bahwa bersama dengan kebebasan datanglah tanggung jawab. Apa yang harus kita perbuat sebagai orang Kristen adalah mengajar diri kita sendiri dan orang lain tentang kebebasan sejati yang sudah diberikan Kristus kepada kita. Banyak orang Kristen sangat diberkati untuk mengambil kesempatan “Paskah” dengan memberikan hormat kepada Tuhan dan kebangkitan-Nya.
Pada Alkitab tertulis : ‘Yang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri. Siapa yang berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia melakukannya untuk Tuhan’ (Rm. 14:5-6). Tuhan sudah memberikan kebebasan dari segala keterikatan kepada kita. Jangan biarkan arti sesungguhnya dari Paskah ini hilang dalam timbunan telur dan kelinci dalam dunia sekular dan coklat, yang mana orang Kristen mula-mula tidak memilikinya, tetapi ingatlah bahwa lebih banyak arti yang sesungguhnya dari kematian dan kebangkitan Tuhan yang berbicara tentang kebebasan yang sekarang kita miliki untuk merayakannya dari hati kita, dan berdoa dan bernyanyi untuk memberkati dan menghormati Dia.
Sebagai umat yang percaya, janganlah mempermasalahkan istilah atau padanan kata atau hal yang menjadi perdebatan, sebab bagi umat Kristen telah percaya bahwa perayaan Paskah itu bersumber dari penggenapan nubuat Perjanjian Lama di dalam korban Salib Kristus yang memberikan buah Kebangkitan, yang biasa kita sebut “Hari Paskah”. Semoga kita memuji Tuhan setiap hari, selama-lamanya. Selamat Paskah. (diolah dari berbagai sumber).
Ada sejumlah orang mempertanyakan apakah arti “Paskah”. mereka berpendapat bahwa Paskah artinya adalah ‘kematian’, sedang Paskah yang diartikan ‘kebangkitan’ itu adalah produk konstantin di tahun 300-an? Paskah berasal dari kata Ibrani, “Pesach”. Kitab Suci mengartikan dengan kata; “timpang atau melangkahi atau melewati” (2Sam. 4:4, 1Raj. 18:21). Dalam tulah terakhir kepada orang Mesir, Allah melangkahi atau melewati rumah-rumah yang melakukan persyaratan Paskah (Kel. 12:13,23,27). Memang ada teori lain yang menghubungkan kata Pesach tersebut dengan kata “pashahu” (Akkadian) yang artinya, “mendamaikan atau menenangkan”.
Di luar asal usul kata, bagi bangsa Israel, nampaknya perayaan Paskah atau Pesach, awalnya dirayakan oleh para gembala, yang mengorbankan hewan muda mereka, dengan harapan mereka agar kawanan hewan gembalaannya bertumbuh subur. Perayaan Pesach ini kemudian digabungkan dengan satu perayaan lain, yaitu perayaan “Roti Tidak Beragi”, sebuah perayaan agrikultur atau pertanian yang baru mulai dirayakan setelah bangsa Israel masuk ke tanah Kanaan. Perayaan ini dikaitkan dengan perhitungan minggu, dan dilakukan selama seminggu (Kel. 23:15; 34:18) dan perayaan panen, ditetapkan pada tujuh minggu setelah perayaan roti tidak beragi (Im. 23:15; Ul. 16:9).
Kemudian kedua perayaan tersebut, “Paskah dan Roti Tidak Beragi”, yang sama-sama dirayakan di musim semi, digabungkan menjadi satu. Perayaan Paskah yang sudah ditetapkan pada bulan purnama, tidak diubah, dan perayaan Roti Tidak Beragi disertakan pada perayaan tersebut, dan dirayakan selama 7 hari (Im. 23:5-8). Dengan dibebaskannya bangsa Israel dari Mesir, kedua ritual tersebut digabungkan dalam kisah eksodus bangsa Israel menuju “tanah perjanjian”, inilah yang juga dirayakan sampai kepada zaman Kristus dan para Rasul.
Dengan menyadari bahwa peringatan Paskah bangsa Yahudi dan perayaan Roti Tidak Beragi berlangsung selama 7 hari, dan dapat dilihat bahwa ‘kejadian sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus’ memang terjadi di sekitar jangka waktu perayaan tersebut. “Kebangkitan Tuhan Yesus” yang terjadi di hari pertama (minggu) artinya setelah hari Sabat berakhir, menjadi puncak penggenapan kedua perayaan tersebut dan menyempurnakan maknanya.
Jadi Paskah tidak berarti ‘kematian’, melainkan “melangkahi atau melewati”, yang tidak berdiri sendiri, namun terkait dengan keadaan berikut yang dituju, yaitu dengan menghubungkan perayaan ini dengan perayaan “Kebangkitan Yesus Sang Anak Domba Allah”; sebab melalui kebangkitan Kristus atas kematian-lah, kita umat-Nya dapat dihantar kepada kehidupan kekal di Tanah Perjanjian yang sesungguhnya yaitu Sorga. Para Rasul kemudian menyebut hari kebangkitan Yesus ini, yang jatuh pada hari “Minggu, sebagai Hari Tuhan”.
Apakah “Easter” atau “Passover” sebagai Padanan kata Paskah ?
Banyak orang Kristen sadar bahwa kata ”Easter” sebagai padanan kata Paskah itu tidak muncul dalam naskah bahasa asli Ibrani maupun Yunani. Pada kenyataannya, satu-satunya tempat yang dapat ditemukan adalah di dalam Alkitab berbahasa Inggris, King James Version (Kis. 12:4)
Bahasa Yunani untuk kata Paskah adalah “pascha”, yang menunjuk kepada perayaan Paskah yang dirayakan dari hari ke 14 hingga ke 21 bulan itu-Nisan (Kel. 12:18). Dalam hal ini, fakta bahwa “Easter” sudah dikenal baik oleh pembaca abad XVII. Dalam terjemahan KJV, tidak menolong kita untuk mengerti bahwa Paskah yang dipadankan dengan kata “Passover” dan “Easter” adalah dua hal berbeda. Misalkan yang dimaksudkan dalam Kisah Para Rasul adalah “Passover” bukan “Easter”. Versi Alkitab modern semuanya menerjemahkan Paskah atau Pascha dengan kata “Passover”.
Apa yang kita kenal pada saat ini lebih tepat sebagai perayaan Paskah (“Easter”) yang berkembang setelah masa Perjanjian Baru. Perjanjian Baru tidak menyinggung sebuah perayaan Kristen di mana kematian dan kebangkitan Kristus dirayakan, tetapi apa yang sungguh kita lihat adalah beberapa orang Kristen mula-mula terus merayakan perayaan Paskah (“Passover”). Dan setelah kelahiran Jemaat Kristen, banyak orang-orang Kristen di Yerusalem bangga terhadap fakta bahwa mereka merayakan Paskah (“Passover”) untuk mempertahankan Hukum Taurat.
Satu ayat Alkitab tertulis : Mendengar itu mereka memuliakan Tuhan. Lalu mereka berkata kepada Paulus : “Saudara, lihatlah, beribu-ribu orang Yahudi telah menjadi percaya dan mereka semua rajin memelihara hukum Taurat”. (Kis. 21:20). Bagi orang-orang Kristen yang “rajin”, mereka taat memelihara Hukum Taurat melalui memperingati perayaan Paskah (“Passover”), yang menjadi perayaan peringatan.
Bukan lagi berhubungan dengan waktu penantian untuk penebusan dengan Tuhan di masa depan, tetapi berkaitan dengan peringatan bahwa Dia sudah menyediakan pembayaran bagi dosa-dosa umat-Nya melalui Kristus. Hal ini sangat sensitif bagi orang Kristen mula-mula, karena tidak semua orang Yahudi yang bertobat dan menjadi Kristen merasa nyaman dengan ide bahwa Kristus sudah menggenapi hukum Taurat dan mereka tidak perlu lagi berkewajiban untuk memelihara hukum Taurat. Kemudian Surat-surat Jemaat yang diberikan oleh Tuhan kepada Paulus memperjelas bahwa tidak perlu lagi berpartisipasi dalam perayaan Yahudi (Kol. 2:16-17). Sementara itu banyak orang Yahudi yang menjadi Kristen mempertahankan kebiasaan memperingati perayaan Paskah (“Passover”).
Ketika Kekristenan mulai menyebar ke seluruh dunia, orang-orang Kristen bukan Yahudi mulai merayakan kematian dan kebangkitan Kristus hampir sama dengan cara orang Yahudi. Namun sayang, seperti yang sering terjadi dengan perdebatan Yahudi-bukan Yahudi, banyak desakan yang menggiring Kekristenan bertentangan secara radikal dengan mereka yang ingin mempertahankan akar Kekristenan secara Yahudi. Pada akhirnya, perayaan kematian dan kebangkitan Kristus disisipi oleh unsur-unsur yang kurang berkaitan dengan perayaan Yahudi atau peristiwa sebenarnya dari kematian Kristus.
Apakah Paskah “Easter” mengandung Unsur Penyembahan Berhala ?
Bukan rahasia lagi bahwa banyak dari perayaan Paskah modern sudah berkembang dari sumber penyembahan berhala. Kata “Easter” sendiri pada dasarnya diadopsi oleh Jemaat dari penyembahan berhala.
Memang ada juga orang yang menduga bahwa “Easter” berasal dari nama dewi “Isthar” (dari Sumeria) atau dewi “Eostre/Astarte” (dari Teutonik); memang sekilas bunyinya mirip. Maka jika ada kemiripan bunyi Easter dengan Isthar itu hanya kebetulan, dan tidak dapat dipaksakan bahwa keduanya berhubungan.
Seperti halnya juga, bahwa besar kemungkinan kata “Easter” berakar dari kata “Ester/Eostur”, yang berarti : “musim kebangkitan” (season of rising), ataupun “musim kelahiran baru” yang mengacu kepada musim semi. Maka kata “Easter” yang digunakan di Inggris, “Eastur atau Ostern” di Jerman kuno, sebagai kata lain dari musim semi atau musim dari terbitnya matahari. Simbolisme ini dialihkan kepada arti supernatural dari Paskah (“Easter”) yang membawa kehidupan baru di atas bumi. Sedang di beberapa negara lainnya, menggunakan istilah yang berbeda: “Pascha” (Latin/Yunani), ”Pasqua” (Italia), “Pascua” (Spanyol), “Paschen” (Belanda), “Pâcques” (Prancis), dll. yang semua berasal dari kata “Pesach” (Ibrani) yang artinya “Passover”.
Mungkin menarik untuk diketahui bahwa William Tyndale (1494-1536), seorang tokoh pemimpin Protestan, ahli dan penerjemah Kitab Suci yang terkenal, adalah yang pertama kali memasukkan kata “Easter” di dalam Kitab Suci terjemahan bahasa Inggris, dan bersamaan dengan itu ia juga menyebutkan kata “Passover”.
Dengan demikian jangan dirisaukan apabila menggunakan kata “Easter” untuk Paskah, karna bagi kita tidak mengacu pada Isthar tapi pada Eostur atau Erstehen yang artinya mengacu pada Kebangkitan Kristus. Jangan lupa bahwa kitab suci menyebutkan tanda kelahiran Kristus dengan bintang timur (Mat. 2:2,9) sehingga makna Terang di Timur (East) memperoleh makna yang baru dan sempurna setelah kelahiran dan terutama kebangkitan-Nya.
Apakah Paskah jatuh pada Hari Minggu?
Selama berabad-abad, tanggal perayaan “Paskah” memperingati Kebangkitan Kristus sangat diperdebatkan. Orang-orang Kristen turunan Yahudi mula-mula, khususnya yang tinggal di Israel, Siria, dan Timur Tengah, secara alami ingin merayakannya pada tanggal 14 bulan Nisan, yaitu tanggal orang Yahudi merayakan Paskah (“Passover”), yang jatuh pada satu hari dalam seminggu, dan ini tidak cocok dengan orang Kristen, yang menghendaki satu Minggu yang Kudus yang dimulai dengan Minggu Palem, yang diteruskan dengan Jumat Agung dan diakhiri oleh Minggu Paskah (“Easter”), memperingati kebangkitan Kristus.”
Satu pertanyaan pokok adalah : Sejauh manakah nilai dan kebiasaan dunia kuno yang masih berlaku yang menjadi pemikiran dan tindakan dalam kekristenan? Sesungguhnya dituntut agar kekristenan ‘diperbarui’ melalui mengaburkan atau bahkan menghapuskan perbedaan yang sudah lama antara Bapa dan Anak.
Dengan semangat yang sama untuk memisahkan diri dari masa lalu, gereja memutuskan bahwa perayaan Kebangkitan tidak akan berdasarkan tanggal Yahudi, tetapi akan jatuh pada hari Minggu mengikuti bulan purnama setelah musim semi. Menarik sekali, perayaan hari Minggu sama sekali masih memberikan kesempatan bagi Jemaat untuk merayakan hari yang sama seperti orang Yahudi. Bagian Timur dan Barat menangani situasi itu secara berbeda; Bagian Barat menetapkan suatu peraturan bahwa jika tanggal itu bertepatan dengan orang Yahudi merayakan Paskah (“Passover”), maka jemaat akan menunggu minggu depan untuk merayakannya, sebaliknya bagian Timur terus merayakan meskipun tanggal itu bertepatan dengan Paskah (“Passover”).
Maka penetapan hari Minggu sebagai hari Tuhan itu sudah ditetapkan sejak gereja perdana, dan bukan baru ditetapkan di zaman Kaisar Konstantin. Sedangkan bahwa perkataan Paskah memang mengacu kepada kebangkitan Kristus yang tak terpisahkan dari sengsara dan wafat-Nya, itu memang benar, sehingga Gereja menghubungkan misteri Paskah dengan sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Sorga. Jadi perayaan Paskah sebagai hari Kebangkitan Kristus dan penyebutan hari Minggu sebagai Hari Tuhan (the Lord’s day), itu sudah dirayakan oleh gereja sejak abad awal.
Yesus telah bangkit dari antara orang mati pada “hari pertama minggu itu” sebagai “hari pertama” sesudah hari Sabat (Mat. 28:1, Mrk. 16:1-2, Luk. 24:1, Yoh. 20:1), dan hari kebangkitan Kristus mengingatkan kita akan penciptaan pertama, yang menunjuk kepada ciptaan baru yang datang dengan kebangkitan Kristus. Bagi orang Kristen telah menjadi hari segala hari, pesta segala pesta, sebagai “Hari Minggu – Hari Tuhan”.
Bagaimana Menemukan Keseimbangannya ?
Sebagai orang Kristen modern, kita harus memutuskan bagaimana menarik sebuah dunia yang sudah kehilangan minat terhadap keaslian sejati dari iman kita. Apakah kita harus menghakimi hari-hari libur modern sebagai penyembahan berhala yang tidak disukai? Atau apakah kita dengan segenap hati harus menerima kebudayaan kita melalui suatu sikap kerelaan? Sebagaimana dengan begitu banyak hal dalam dunia modern kita, kita harus menemukan keseimbangan yang membuat kita melatih kerohanian sejati namun masih tercakup dalam budaya asal kita.
Alkitab memakai kata yang menarik yang menunjuk kepada kemampuan kita untuk menghubungkan keadaan yang tidak disinggung secara spesifik - “kebebasan” (1Kor. 8:9). Perlu diingat bahwa bersama dengan kebebasan datanglah tanggung jawab. Apa yang harus kita perbuat sebagai orang Kristen adalah mengajar diri kita sendiri dan orang lain tentang kebebasan sejati yang sudah diberikan Kristus kepada kita. Banyak orang Kristen sangat diberkati untuk mengambil kesempatan “Paskah” dengan memberikan hormat kepada Tuhan dan kebangkitan-Nya.
Pada Alkitab tertulis : ‘Yang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri. Siapa yang berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia melakukannya untuk Tuhan’ (Rm. 14:5-6). Tuhan sudah memberikan kebebasan dari segala keterikatan kepada kita. Jangan biarkan arti sesungguhnya dari Paskah ini hilang dalam timbunan telur dan kelinci dalam dunia sekular dan coklat, yang mana orang Kristen mula-mula tidak memilikinya, tetapi ingatlah bahwa lebih banyak arti yang sesungguhnya dari kematian dan kebangkitan Tuhan yang berbicara tentang kebebasan yang sekarang kita miliki untuk merayakannya dari hati kita, dan berdoa dan bernyanyi untuk memberkati dan menghormati Dia.
Sebagai umat yang percaya, janganlah mempermasalahkan istilah atau padanan kata atau hal yang menjadi perdebatan, sebab bagi umat Kristen telah percaya bahwa perayaan Paskah itu bersumber dari penggenapan nubuat Perjanjian Lama di dalam korban Salib Kristus yang memberikan buah Kebangkitan, yang biasa kita sebut “Hari Paskah”. Semoga kita memuji Tuhan setiap hari, selama-lamanya. Selamat Paskah. (diolah dari berbagai sumber).
Merayakan Paskah di Pulau Paskah
Hari Jumat, tanggal 3 April 2015, cuaca cukup cerah ketika kami bersiap-siap untuk berangkat menuju King Abdul Aziz International Airport di Jeddah. Sesuai arahan dari pemimpin rombongan (tour leader), kami harus siap di Hotel Hilton pada jam 12.00, karena pesawat yang akan kami tumpangi berangkat pada pukul 15:30. Saya termasuk dalam rombongan ekspat dari berbagai profesi berjumlah 12 orang yang akan berwisata menuju Pulau Paskah di Samudra Pasifik. Perjalanan jauh selama hampir 38 jam melintasi 2 benua dan 2 samudra sudah terbayang di depan mata. Singkat cerita kami sudah berada didalam pesawat, dan setelah transit dan berganti pesawat di Los Angeles - Atlanta (GA) – Santiago (Chile), akhirnya kami tiba di Mataveri International Airport di Hanga Roa – Pulau Paskah pada tanggal 4 April 2015 pukul 13:00.
Berwisata menuju Pulau Paskah atau Easter Island menjadi sangat spesial karena dilakukan bertepatan dengan hari Paskah tanggal 5 April 2015. Pulau Paskah terletak di Samudra Pasifik diantara Tahiti dan Santiago, ibukota Chili-Amerika Latin. Jarak dari Tahiti sekitar 4000 kilometer kearah timur, dan dari Santiago berjarak 3.760 kilometer kearah barat. Pulau Paskah sebagai pulau mini di Pasifik berbentuk segitiga dengan luas 164 kilometer persegi (hampir separo Pulau Batam atau sedikit lebih besar dari Pulau Nusa Kambangan), dengan panjang 15.3 kilometer, dan bagian terlebar hanya 12,3 kilometer.
Yang membuat orang tertarik mengunjungi pulau ini adalah peninggalan patung-patung megalitikum raksasa (Moai) yang bertebaran di seantero pulau, dan budaya polinesia yang eksotik selain pemandangan alam yang cukup indah. Perjalanan menuju hotel yang letaknya tidak jauh dari bandara, tampak pemandangan yang tak jauh berbeda dengan saat kita pergi ke pulau-pulau kecil di tanah air. Kami menginap di hotel Kaimana Inn & Hotel Restaurant di jalan Atamu Tekena. Saya teringat Kaimana di Papua Barat, jangan-jangan masih ada hubungannya dengan Papua. Selanjutnya kami istirahat dan menurut rencana setelah makan malam ada acara penjelasan tentang acara esok hari dan hari-hari berikutnya selama di Pulau Paskah.
Malam harinya sesuai dengan yang dijadwalkan, kami berkumpul di ruangan seperti ruang rapat kecil dengan kapasitas 20 orang yang cukup nyaman, dan siap mendengar briefing dari seorang pemandu wisata (tour guide).
Adalah Carlos Hariri Moana, sang pemandu wisata memperkenalkan dirinya, seorang berdarah campuran Libanon, Argentina, Tahiti, yang menguasai empat bahasa asing yaitu: bahasa Inggris, Spanyol, Arab, Perancis, selain tentu saja bahasa ibunya yaitu bahasa Rapa Nui. Dari apa yang dijelaskan oleh Carlos dapat saya rangkum sebagai berikut:
Mengapa disebut Pulau Paskah?
Pulau Paskah, disebut demikian karena ditemukan pertama kali oleh seorang penjelajah Belanda bernama Jacob Roggeveen pada tanggal 5 April, 1722 yang bertepatan dengan hari Paskah. Oleh karenanya ia menyebut pulau tersebut sebagai Paasch-Eyland, atau dalam bahasa Spanyol disebut sebagai Isla de Pascua. Bagi penduduk asli pulau ini disebut “Rapa Nui”. Tepat tanggal 5 April, 2015 besok, juga merupakan hari Paskah dan peringatan 293 tahun Meneer Jacob mendarat di Pulau Paskah. Pulau ini merupakan bagian dari negeri Chili dan saat ini memiliki jumlah penduduk 5000 jiwa. Ada kisah menarik tentang jumlah penduduk dari masa ke masa di Pulau Paskah yang mengalami pasang surut bahkan hampir punah di tahun 1870an.
Pada awalnya penduduk di pulau ini berasal dari Polinesia yang tiba di sini pada tahun 300-400 Sebelum Masehi. Pada saat Pak Jacob datang jumlah penduduk sekitar 3000 orang, namun ketika kemudian Kapten Cook tiba di tahun 1774 hanya tinggal 700 orang dan 30 di antaranya wanita. Degradasi demografi di Pulau Paskah semakin memburuk ketika di tahun 1877 jumlah penduduk hanya tinggal 111 orang dan 36 di antaranya wanita yang merupakan nenek moyang orang Rapa Nui sekarang.
Hingga saat ini masih terjadi perdebatan tentang penyebab turun drastisnya jumlah penduduk di Pulau Paskah. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa orang Rapa Nui membinasakan dirinya sendiri dengan membabat habis semua sumber alam, dan saling membunuh. Pendapat lain, karena kedatangan orang Eropa membawa penyakit dan juga menjadikan pusat perdagangan budak. Sungguh tragis, hanya selang 150 tahun sejak kedatangan pertama orang Eropa di Pulau Paskah, penduduk asli Rapa Nui hampir punah tanpa bekas dan lenyap dari peradaban.
Di tahun 1888 Pulau ini resmi menjadi bagian dari Negara Chili dan Gubernur pertama ditunjuk pada tahun 1965. Kini Pulau Paskah berpenduduk sekitar 5000 orang, kebanyakan keturunan suku bangsa polinesia dan sebagian kecil orang Eropa dan Amerindian. Bahasa resmi yang dipakai adalah bahasa Spanyol dan bahasa asli Rapa Nui. Penghasilan utama dari pariwisata yang mendatangkan pelancong sebanyak 85.000 orang dan devisa sebesar 250 juta dollar Amerika pertahun. Pada tahun 1995 UNESCO menyatakan Pulau Paskah sebagai Kekayaan Warisan Dunia (World Heritage Site) yaitu “Taman Nasional Rapa Nui” (Rapa Nui National Park)
Moai
Bercerita tentang Pulau Paskah tidak lepas dari keberadaan patung-patung batu monolitik raksasa terbuat dari batu vulkanik berbentuk kepala manusia yang disebut Moai. Terdapat 887 Moai di Rapa Nui dan sebagian besar berada di sekitar kawah Rano Raraku. Yang terbanyak dan berjejer rapi adalah yang terdapat di Ahu Tongariki dimana 15 buah Moai berdiri di atas sebuah panggung yang disebut Ahu. Besar dan tinggi Moai di Rapa Nui bervariasi, tetapi yang terbesar memiliki tinggi 10 meter dan berat 86 ton. Bahkan yang lebih besar lagi dan tampaknya belum selesai dibuat, berukuran tinggi 21,6 meter dan berat 270 ton.
Moai ini diperkirakan dibuat antara tahun 1250 – 1500 Masehi. Menurut cerita penduduk lokal, Moai adalah representasi dari nenek moyang masyarakat adat suku asli yang sangat mereka hormati. Suku asli ini akan membuat Moai setiap kali ada seorang tokoh suku penting yang meninggal dunia. Yang unik adalah hampir semua Moai didirikan di tepi pantai dan menghadap kearah daratan.
Perihal menghadap ke daratan, Carlos mengatakan, dan dipercayai pula oleh masyarakat setempat bahwa Moai menghadap ke daratan untuk mengawasi penduduk dan tempat tinggal mereka, serta melindungi mereka dari bencana. Para ahli arkeologi hingga kini masih bersilang pendapat tentang bagaimana cara orang Rapa Nui membuat patung-patung raksasa ini. Yang lebih mengundang pertanyaan lagi adalah bagaimana cara memindahkan atau menegakkannya, karena saat itu belum ada alat berat seperti mobile crane dan sejenisnya.
Ada beberapa spekulasi yang mengatakan bahwa patung-patung tersebut digelindingkan dengan memakai batang-batang kayu, sehingga pohon-pohon habis ditebang. Ada pula yang diseret dan didirikan rame-rame oleh banyak orang. Tetapi bila kita bertanya kepada orang Rapa Nui, lagi-lagi menurut Carlos, patung-patung itu berjalan sendiri (opo tumon??).
Khotbah di bukit
Hari kedua di Pulau Paskah, tanggal 5 April 2015, inilah hari yang ditunggu-tunggu karena merupakan momen spesial yang bertepatan dengan hari Paskah. Mayoritas penduduk Pulau Paskah beragama Katolik yang dibawa oleh para misionaris Katolik dari Spanyol pada akhir abad ke 19. Kami yang beragama Kristen diberi kesempatan untuk ikut kebaktian di gereja katolik Iglesia Hanga Roa yang terletak tidak jauh dari hotel. Rupanya gereja merencanakan kebaktian padang di Orongo, daerah pebukitan di sekitar gunung Rano Kau yang berjarak 4 kilometer di selatan Hanga Roa. Tempat ini merupakan situs pemujaan di jaman purbakala, dan masih terlihat bekas-bekas panggung pemujaan dari batu yang banyak berisi gambar atau pahatan simbol (petroglyph) dewa pencipta dan kesuburan Make-Make, juga Tangata Manu atau manusia burung. (Catatan: dalam bahasa Rapa Nui, manu artinya burung, mirip bahasa Jawa, kalau di Filipina manuk artinya ayam)
Kebaktian yang diikuti oleh sekitar 100 orang penduduk lokal dan turis, dipimpin oleh Pastor dengan pengantar bahasa Spanyol, sedangkan tema khotbah hari ini adalah “Khotbah di Bukit”. Walaupun tidak mengerti seratus persen bahasa Spanyol tapi saya dapat menangkap khotbah yang isinya peringatan kepada manusia tentang pentingnya menjaga lingkungan alam semesta dengan berpegang pada pesan Tuhan Yesus pada saat memberi khotbah di bukit.
Terdapat 9 ucapan “berbahagialah” dan satu ucapan “bersukacita dan bergembiralah” (Matius 5: 3-12) yang sangat bagus dan mulia bila ini benar-benar bisa dilakukan. Umat Kristen seringkali menganggap kata-kata berbahagialah dalam khotbah di bukit sebagai ucapan yang kontroversial. Orang tidak menyangkal keluhuran isi dari ucapan ini, namun mempertanyakan penerapan praktisnya. Sebagai orang berdosa kita seringkali ragu bahkan marah kepada Tuhan dan melupakan janji Allah untuk menyelamatkan umat manusia. Apa yang terjadi di Pulau Paskah adalah metafora atau gambaran yang akan terjadi di bumi kemudian hari. Ulah manusia yang mengeksploitasi sumber alam secara berlebihan menyebabkan perubahan iklim dan kehancuran. Peperangan dan konflik di mana-mana akan mempercepat kolapsnya bumi seperti yang dialami penduduk pulau Paskah di masa lalu.
Sang Pastor kembali mengingatkan, sekalipun Pulau Paskah dan penghuninya pernah mengalami masa-masa di ambang kepunahan, namun Tuhan membangkitkan kembali sesuai dengan janji-Nya. Tidak ada istilah tamat, sebelum benar-benar tamat. Seseorang atau sebuah bangsa bisa terpuruk, tetapi suatu saat pasti akan bangkit kembali. Masa lalu tidak bisa dan tidak akan menghentikan masa depan, di dalam Tuhan masa depan adalah bejana yang menampung semua kebahagiaan.
Tur hari kedua
Pada hari yang sama setelah kebaktian padang Orongo, kami memulai tur dengan menyisir ke barat laut sampai ke selatan pulau. Obyek yang dilihat mulai dari kampung nelayan di Hanga Piko, kemudian menyusuri gua Ana Kai Tangata yang penuh dengan lukisan burung Manutara, sejenis burung camar yang disakralkan. Perjalanan berlanjut menuju gunung Rano Kau (400 meter) dan melihat danau kawah yang ada di tengahnya.
Di masa silam Pulau Paskah merupakan pulau yang dikelilingi oleh gunung berapi sebagaimana lazimnya pulau-pulau di Indonesia yang berada di zona cincin api. Menurut catatan letusan gunung terakhir di Pulau Paskah terjadi sekitar 10.000 tahun yang lalu. Kini, tersisa 3 buah gunung yang tidak aktif lagi yaitu gunung Rano Terevaka, Rano Poike, dan Rano Kau. Yang tertinggi adalah gunung Rano Terevaka (507 meter). Tur hari ini berakhir di Ahu Akivi yang terletak di tengah pulau di mana terdapat panggung tempat berdirinya 7 Moai. Pemandu wisata sempat menceritakan tentang legenda 7 Moai, namun kami sudah tidak konsentrasi karena hari sudah sore dan ingin segera kembali ke hotel.
Tur hari ketiga
Hari ini kami akan melihat obyek-obyek wisata yang terletak di selatan sampai ke timur laut pulau. Tujuan pertama adalah puing-puing Moai di Akahanga, dan berlanjut menuju gunung Rano Raraku. Pada saat kami mendaki ke atas bibir kawah tampak pemandangan yang sangat menakjubkan. Saya baru ingat bahwa inilah lokasi dari obyek pemotretan yang selalu dipakai untuk promosi wisata Pulau Paskah ke seluruh dunia. Selain danau kawah, kita juga bisa melihat banyaknya Moai yang berserakan di sekeliling gunung. Di sebelah timur tampak jejeran Moai di Ahu Tongariki yang sangat terkenal diseluruh dunia. Konon bahan untuk membuat Moai sebagian besar berasal dari daerah ini. Ada 15 buah Moai berjejer di Ahu Tongariki.
Pada tahun 1960 terjadi Tsunami besar yang memporak-porandakan Moai di sini. Setelah dilakukan restorasi maka Moai kembali berdiri, tapi hanya satu yang memakai topi merah. Tidak jelas betul apakah benda yang terdapat di kepala Moai ini topi atau rambut, sebab orang Rapa Nui mengatakan itu adalah model rambut masa lalu yang disebut Pukao. Sebelum kembali ke hotel kami pergi ke pantai Anakena dan terlihat beberapa turis berenang di sana. Sungguh, pantai-pantai di kepulauan Indonesia jauh lebih indah dari pantai di sini. Bedanya pantai di sini memiliki latar belakang Moai di Ahu Nau Nau yang terdiri dari 7 Moai dan beberapa di antaranya mamakai Pukao.
Hari keempat
Setelah sarapan pagi, kami jalan-jalan ke pusat kota Hanga Roa. Karena ini adalah hari terakhir maka acaranya bebas sampai saat keberangkatan pesawat pada pukul 14:35 sore nanti. Di kota ini sebagaimana kota wisata pada umumnya banyak terdapat toko-toko cinderamata dan restoran yang menyajikan menu lokal maupun internasional.
Kunjungan selama empat hari di Pulau Paskah memberi kesan yang mendalam ketika melihat perjalanan sebuah suku bangsa yang bisa bertahan di daerah terpencil dan terisolasi di tengah samudra selama berabad-abad. Sementara kita di Indonesia yang memiliki 17.000 pulau besar dan kecil kurang memperhatikan penduduk yang berada di pulau-pulau kecil terutama yang berada di perbatasan antar negara. Perlu dipahami bahwa pulau-pulau kecil di perbatasan adalah pintu gerbang keluar masuk NKRI yang memerlukan perhatian khusus terutama bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup penduduknya.
Setelah 38 jam mengudara, tanpa terasa pesawat sudah hampir mendarat kembali di Jeddah. Tak lama kemudian setelah mendarat dan urusan tetek-bengek imigrasi selesai, dalam hitungan menit saya sudah kembali ke apartemen. Saat itu pula saya tersadar bahwa ternyata saya tidak kemana-mana. Saya baru sadar selama ini saya hanya melamun melakukan wisata imajiner ke Pulau Paskah sambil membayangkan suasana Paskah di GKJ Nehemia. Saya sangat merindukan GKJ Nehemia. Alfred Bawole, Jeddah, 27 Maret 2015.
Berwisata menuju Pulau Paskah atau Easter Island menjadi sangat spesial karena dilakukan bertepatan dengan hari Paskah tanggal 5 April 2015. Pulau Paskah terletak di Samudra Pasifik diantara Tahiti dan Santiago, ibukota Chili-Amerika Latin. Jarak dari Tahiti sekitar 4000 kilometer kearah timur, dan dari Santiago berjarak 3.760 kilometer kearah barat. Pulau Paskah sebagai pulau mini di Pasifik berbentuk segitiga dengan luas 164 kilometer persegi (hampir separo Pulau Batam atau sedikit lebih besar dari Pulau Nusa Kambangan), dengan panjang 15.3 kilometer, dan bagian terlebar hanya 12,3 kilometer.
Yang membuat orang tertarik mengunjungi pulau ini adalah peninggalan patung-patung megalitikum raksasa (Moai) yang bertebaran di seantero pulau, dan budaya polinesia yang eksotik selain pemandangan alam yang cukup indah. Perjalanan menuju hotel yang letaknya tidak jauh dari bandara, tampak pemandangan yang tak jauh berbeda dengan saat kita pergi ke pulau-pulau kecil di tanah air. Kami menginap di hotel Kaimana Inn & Hotel Restaurant di jalan Atamu Tekena. Saya teringat Kaimana di Papua Barat, jangan-jangan masih ada hubungannya dengan Papua. Selanjutnya kami istirahat dan menurut rencana setelah makan malam ada acara penjelasan tentang acara esok hari dan hari-hari berikutnya selama di Pulau Paskah.
Malam harinya sesuai dengan yang dijadwalkan, kami berkumpul di ruangan seperti ruang rapat kecil dengan kapasitas 20 orang yang cukup nyaman, dan siap mendengar briefing dari seorang pemandu wisata (tour guide).
Adalah Carlos Hariri Moana, sang pemandu wisata memperkenalkan dirinya, seorang berdarah campuran Libanon, Argentina, Tahiti, yang menguasai empat bahasa asing yaitu: bahasa Inggris, Spanyol, Arab, Perancis, selain tentu saja bahasa ibunya yaitu bahasa Rapa Nui. Dari apa yang dijelaskan oleh Carlos dapat saya rangkum sebagai berikut:
Mengapa disebut Pulau Paskah?
Pulau Paskah, disebut demikian karena ditemukan pertama kali oleh seorang penjelajah Belanda bernama Jacob Roggeveen pada tanggal 5 April, 1722 yang bertepatan dengan hari Paskah. Oleh karenanya ia menyebut pulau tersebut sebagai Paasch-Eyland, atau dalam bahasa Spanyol disebut sebagai Isla de Pascua. Bagi penduduk asli pulau ini disebut “Rapa Nui”. Tepat tanggal 5 April, 2015 besok, juga merupakan hari Paskah dan peringatan 293 tahun Meneer Jacob mendarat di Pulau Paskah. Pulau ini merupakan bagian dari negeri Chili dan saat ini memiliki jumlah penduduk 5000 jiwa. Ada kisah menarik tentang jumlah penduduk dari masa ke masa di Pulau Paskah yang mengalami pasang surut bahkan hampir punah di tahun 1870an.
Pada awalnya penduduk di pulau ini berasal dari Polinesia yang tiba di sini pada tahun 300-400 Sebelum Masehi. Pada saat Pak Jacob datang jumlah penduduk sekitar 3000 orang, namun ketika kemudian Kapten Cook tiba di tahun 1774 hanya tinggal 700 orang dan 30 di antaranya wanita. Degradasi demografi di Pulau Paskah semakin memburuk ketika di tahun 1877 jumlah penduduk hanya tinggal 111 orang dan 36 di antaranya wanita yang merupakan nenek moyang orang Rapa Nui sekarang.
Hingga saat ini masih terjadi perdebatan tentang penyebab turun drastisnya jumlah penduduk di Pulau Paskah. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa orang Rapa Nui membinasakan dirinya sendiri dengan membabat habis semua sumber alam, dan saling membunuh. Pendapat lain, karena kedatangan orang Eropa membawa penyakit dan juga menjadikan pusat perdagangan budak. Sungguh tragis, hanya selang 150 tahun sejak kedatangan pertama orang Eropa di Pulau Paskah, penduduk asli Rapa Nui hampir punah tanpa bekas dan lenyap dari peradaban.
Di tahun 1888 Pulau ini resmi menjadi bagian dari Negara Chili dan Gubernur pertama ditunjuk pada tahun 1965. Kini Pulau Paskah berpenduduk sekitar 5000 orang, kebanyakan keturunan suku bangsa polinesia dan sebagian kecil orang Eropa dan Amerindian. Bahasa resmi yang dipakai adalah bahasa Spanyol dan bahasa asli Rapa Nui. Penghasilan utama dari pariwisata yang mendatangkan pelancong sebanyak 85.000 orang dan devisa sebesar 250 juta dollar Amerika pertahun. Pada tahun 1995 UNESCO menyatakan Pulau Paskah sebagai Kekayaan Warisan Dunia (World Heritage Site) yaitu “Taman Nasional Rapa Nui” (Rapa Nui National Park)
Moai
Bercerita tentang Pulau Paskah tidak lepas dari keberadaan patung-patung batu monolitik raksasa terbuat dari batu vulkanik berbentuk kepala manusia yang disebut Moai. Terdapat 887 Moai di Rapa Nui dan sebagian besar berada di sekitar kawah Rano Raraku. Yang terbanyak dan berjejer rapi adalah yang terdapat di Ahu Tongariki dimana 15 buah Moai berdiri di atas sebuah panggung yang disebut Ahu. Besar dan tinggi Moai di Rapa Nui bervariasi, tetapi yang terbesar memiliki tinggi 10 meter dan berat 86 ton. Bahkan yang lebih besar lagi dan tampaknya belum selesai dibuat, berukuran tinggi 21,6 meter dan berat 270 ton.
Moai ini diperkirakan dibuat antara tahun 1250 – 1500 Masehi. Menurut cerita penduduk lokal, Moai adalah representasi dari nenek moyang masyarakat adat suku asli yang sangat mereka hormati. Suku asli ini akan membuat Moai setiap kali ada seorang tokoh suku penting yang meninggal dunia. Yang unik adalah hampir semua Moai didirikan di tepi pantai dan menghadap kearah daratan.
Perihal menghadap ke daratan, Carlos mengatakan, dan dipercayai pula oleh masyarakat setempat bahwa Moai menghadap ke daratan untuk mengawasi penduduk dan tempat tinggal mereka, serta melindungi mereka dari bencana. Para ahli arkeologi hingga kini masih bersilang pendapat tentang bagaimana cara orang Rapa Nui membuat patung-patung raksasa ini. Yang lebih mengundang pertanyaan lagi adalah bagaimana cara memindahkan atau menegakkannya, karena saat itu belum ada alat berat seperti mobile crane dan sejenisnya.
Ada beberapa spekulasi yang mengatakan bahwa patung-patung tersebut digelindingkan dengan memakai batang-batang kayu, sehingga pohon-pohon habis ditebang. Ada pula yang diseret dan didirikan rame-rame oleh banyak orang. Tetapi bila kita bertanya kepada orang Rapa Nui, lagi-lagi menurut Carlos, patung-patung itu berjalan sendiri (opo tumon??).
Khotbah di bukit
Hari kedua di Pulau Paskah, tanggal 5 April 2015, inilah hari yang ditunggu-tunggu karena merupakan momen spesial yang bertepatan dengan hari Paskah. Mayoritas penduduk Pulau Paskah beragama Katolik yang dibawa oleh para misionaris Katolik dari Spanyol pada akhir abad ke 19. Kami yang beragama Kristen diberi kesempatan untuk ikut kebaktian di gereja katolik Iglesia Hanga Roa yang terletak tidak jauh dari hotel. Rupanya gereja merencanakan kebaktian padang di Orongo, daerah pebukitan di sekitar gunung Rano Kau yang berjarak 4 kilometer di selatan Hanga Roa. Tempat ini merupakan situs pemujaan di jaman purbakala, dan masih terlihat bekas-bekas panggung pemujaan dari batu yang banyak berisi gambar atau pahatan simbol (petroglyph) dewa pencipta dan kesuburan Make-Make, juga Tangata Manu atau manusia burung. (Catatan: dalam bahasa Rapa Nui, manu artinya burung, mirip bahasa Jawa, kalau di Filipina manuk artinya ayam)
Kebaktian yang diikuti oleh sekitar 100 orang penduduk lokal dan turis, dipimpin oleh Pastor dengan pengantar bahasa Spanyol, sedangkan tema khotbah hari ini adalah “Khotbah di Bukit”. Walaupun tidak mengerti seratus persen bahasa Spanyol tapi saya dapat menangkap khotbah yang isinya peringatan kepada manusia tentang pentingnya menjaga lingkungan alam semesta dengan berpegang pada pesan Tuhan Yesus pada saat memberi khotbah di bukit.
Terdapat 9 ucapan “berbahagialah” dan satu ucapan “bersukacita dan bergembiralah” (Matius 5: 3-12) yang sangat bagus dan mulia bila ini benar-benar bisa dilakukan. Umat Kristen seringkali menganggap kata-kata berbahagialah dalam khotbah di bukit sebagai ucapan yang kontroversial. Orang tidak menyangkal keluhuran isi dari ucapan ini, namun mempertanyakan penerapan praktisnya. Sebagai orang berdosa kita seringkali ragu bahkan marah kepada Tuhan dan melupakan janji Allah untuk menyelamatkan umat manusia. Apa yang terjadi di Pulau Paskah adalah metafora atau gambaran yang akan terjadi di bumi kemudian hari. Ulah manusia yang mengeksploitasi sumber alam secara berlebihan menyebabkan perubahan iklim dan kehancuran. Peperangan dan konflik di mana-mana akan mempercepat kolapsnya bumi seperti yang dialami penduduk pulau Paskah di masa lalu.
Sang Pastor kembali mengingatkan, sekalipun Pulau Paskah dan penghuninya pernah mengalami masa-masa di ambang kepunahan, namun Tuhan membangkitkan kembali sesuai dengan janji-Nya. Tidak ada istilah tamat, sebelum benar-benar tamat. Seseorang atau sebuah bangsa bisa terpuruk, tetapi suatu saat pasti akan bangkit kembali. Masa lalu tidak bisa dan tidak akan menghentikan masa depan, di dalam Tuhan masa depan adalah bejana yang menampung semua kebahagiaan.
Tur hari kedua
Pada hari yang sama setelah kebaktian padang Orongo, kami memulai tur dengan menyisir ke barat laut sampai ke selatan pulau. Obyek yang dilihat mulai dari kampung nelayan di Hanga Piko, kemudian menyusuri gua Ana Kai Tangata yang penuh dengan lukisan burung Manutara, sejenis burung camar yang disakralkan. Perjalanan berlanjut menuju gunung Rano Kau (400 meter) dan melihat danau kawah yang ada di tengahnya.
Di masa silam Pulau Paskah merupakan pulau yang dikelilingi oleh gunung berapi sebagaimana lazimnya pulau-pulau di Indonesia yang berada di zona cincin api. Menurut catatan letusan gunung terakhir di Pulau Paskah terjadi sekitar 10.000 tahun yang lalu. Kini, tersisa 3 buah gunung yang tidak aktif lagi yaitu gunung Rano Terevaka, Rano Poike, dan Rano Kau. Yang tertinggi adalah gunung Rano Terevaka (507 meter). Tur hari ini berakhir di Ahu Akivi yang terletak di tengah pulau di mana terdapat panggung tempat berdirinya 7 Moai. Pemandu wisata sempat menceritakan tentang legenda 7 Moai, namun kami sudah tidak konsentrasi karena hari sudah sore dan ingin segera kembali ke hotel.
Tur hari ketiga
Hari ini kami akan melihat obyek-obyek wisata yang terletak di selatan sampai ke timur laut pulau. Tujuan pertama adalah puing-puing Moai di Akahanga, dan berlanjut menuju gunung Rano Raraku. Pada saat kami mendaki ke atas bibir kawah tampak pemandangan yang sangat menakjubkan. Saya baru ingat bahwa inilah lokasi dari obyek pemotretan yang selalu dipakai untuk promosi wisata Pulau Paskah ke seluruh dunia. Selain danau kawah, kita juga bisa melihat banyaknya Moai yang berserakan di sekeliling gunung. Di sebelah timur tampak jejeran Moai di Ahu Tongariki yang sangat terkenal diseluruh dunia. Konon bahan untuk membuat Moai sebagian besar berasal dari daerah ini. Ada 15 buah Moai berjejer di Ahu Tongariki.
Pada tahun 1960 terjadi Tsunami besar yang memporak-porandakan Moai di sini. Setelah dilakukan restorasi maka Moai kembali berdiri, tapi hanya satu yang memakai topi merah. Tidak jelas betul apakah benda yang terdapat di kepala Moai ini topi atau rambut, sebab orang Rapa Nui mengatakan itu adalah model rambut masa lalu yang disebut Pukao. Sebelum kembali ke hotel kami pergi ke pantai Anakena dan terlihat beberapa turis berenang di sana. Sungguh, pantai-pantai di kepulauan Indonesia jauh lebih indah dari pantai di sini. Bedanya pantai di sini memiliki latar belakang Moai di Ahu Nau Nau yang terdiri dari 7 Moai dan beberapa di antaranya mamakai Pukao.
Hari keempat
Setelah sarapan pagi, kami jalan-jalan ke pusat kota Hanga Roa. Karena ini adalah hari terakhir maka acaranya bebas sampai saat keberangkatan pesawat pada pukul 14:35 sore nanti. Di kota ini sebagaimana kota wisata pada umumnya banyak terdapat toko-toko cinderamata dan restoran yang menyajikan menu lokal maupun internasional.
Kunjungan selama empat hari di Pulau Paskah memberi kesan yang mendalam ketika melihat perjalanan sebuah suku bangsa yang bisa bertahan di daerah terpencil dan terisolasi di tengah samudra selama berabad-abad. Sementara kita di Indonesia yang memiliki 17.000 pulau besar dan kecil kurang memperhatikan penduduk yang berada di pulau-pulau kecil terutama yang berada di perbatasan antar negara. Perlu dipahami bahwa pulau-pulau kecil di perbatasan adalah pintu gerbang keluar masuk NKRI yang memerlukan perhatian khusus terutama bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup penduduknya.
Setelah 38 jam mengudara, tanpa terasa pesawat sudah hampir mendarat kembali di Jeddah. Tak lama kemudian setelah mendarat dan urusan tetek-bengek imigrasi selesai, dalam hitungan menit saya sudah kembali ke apartemen. Saat itu pula saya tersadar bahwa ternyata saya tidak kemana-mana. Saya baru sadar selama ini saya hanya melamun melakukan wisata imajiner ke Pulau Paskah sambil membayangkan suasana Paskah di GKJ Nehemia. Saya sangat merindukan GKJ Nehemia. Alfred Bawole, Jeddah, 27 Maret 2015.
Giat melayani TUHAN dan Sesama
Motivasi kita untuk giat melayani bagi pekerjaan Tuhan (1 Korintus 15: 58): ucapan syukur agar hidup bermakna, bisa menjadi saluran berkat dan jadi saksi (teman sekerja Allah/ ada damai sejahtera, memuliakan Tuhan dsb.)
Kepedulian terhadap sesama yang merupakan perintah Allah berdasarkan kasih, seperti teladan Tuhan Yesus sendiri yang menolong tanpa pamrih, tanpa mempertimbangkan siapa dia, dari mana dan bagaimana dia. Kita dituntut agar jadi “pemain aktif” bukan sekedar penonton.
Sebagai anak Tuhan yang mau membawa terang pelita bagi dunia, tentunya membuktikan pengorbanan yang besar al:
- Mau mendoakan secara berkesinambungan bagi mereka yang perlu kita bantu dalam doa.
- Menjadi berkat bagi banyak orang di daerah di mana mereka berada.
Pelayanan tidak semata-mata dilihat hanya dari usia tapi yang terpenting dari hati perilaku kita. Kita memberi karena kita sudah diberi, kita harus jujur di hadapan Tuhan. Apakah benar kita telah melaksanakan Firman Tuhan dalam kehidupan kristen yang sesungguhnya? (sebagai pendengar dan pelaku firman). Apa yang telah kita lakukan bagi orang-orang yang telah membutuhkan uluran tangan kita yang jelas mampu bisa berbuat untuk menolong mereka?
Apakah kita telah mengambil bagian dalam menopang orang-orang yang telah membutuhkan uluran tangan kita yang jelas mampu bisa berbuat untuk menolong mereka?
Apakah kita telah mengambil bagian dalam menopang orang-orang yang mengalami badai dan gelombang di tempat yang jauh/terpencil sekalipun.
Acara dibuka dan dihitung dengan kata sambutan dan doa oleh Pdt. Nunung Trihastomo selaku pimpinan/penyelenggara acara. Demikianlah antara lain pelayanan ceramah/sharing dengan diselingi banyak puji-pujian di GKJ Muntilan (Jateng) pada Rabu 4 Februari 2015 yang lalu yang dihadiri oleh Pdt. Nunung Trihastomo dan hampir semua majelis GKJ setempat dan tidak ketinggalan jemaat GKJ Muntilan. Meskipun suasana hujan lebat, tapi tidak menganggu berlangsung acara. Tuhan memberkati kita semua. Yanti Dharmono.
Kepedulian terhadap sesama yang merupakan perintah Allah berdasarkan kasih, seperti teladan Tuhan Yesus sendiri yang menolong tanpa pamrih, tanpa mempertimbangkan siapa dia, dari mana dan bagaimana dia. Kita dituntut agar jadi “pemain aktif” bukan sekedar penonton.
Sebagai anak Tuhan yang mau membawa terang pelita bagi dunia, tentunya membuktikan pengorbanan yang besar al:
- Mau mendoakan secara berkesinambungan bagi mereka yang perlu kita bantu dalam doa.
- Menjadi berkat bagi banyak orang di daerah di mana mereka berada.
Pelayanan tidak semata-mata dilihat hanya dari usia tapi yang terpenting dari hati perilaku kita. Kita memberi karena kita sudah diberi, kita harus jujur di hadapan Tuhan. Apakah benar kita telah melaksanakan Firman Tuhan dalam kehidupan kristen yang sesungguhnya? (sebagai pendengar dan pelaku firman). Apa yang telah kita lakukan bagi orang-orang yang telah membutuhkan uluran tangan kita yang jelas mampu bisa berbuat untuk menolong mereka?
Apakah kita telah mengambil bagian dalam menopang orang-orang yang telah membutuhkan uluran tangan kita yang jelas mampu bisa berbuat untuk menolong mereka?
Apakah kita telah mengambil bagian dalam menopang orang-orang yang mengalami badai dan gelombang di tempat yang jauh/terpencil sekalipun.
Acara dibuka dan dihitung dengan kata sambutan dan doa oleh Pdt. Nunung Trihastomo selaku pimpinan/penyelenggara acara. Demikianlah antara lain pelayanan ceramah/sharing dengan diselingi banyak puji-pujian di GKJ Muntilan (Jateng) pada Rabu 4 Februari 2015 yang lalu yang dihadiri oleh Pdt. Nunung Trihastomo dan hampir semua majelis GKJ setempat dan tidak ketinggalan jemaat GKJ Muntilan. Meskipun suasana hujan lebat, tapi tidak menganggu berlangsung acara. Tuhan memberkati kita semua. Yanti Dharmono.
Yesus Sang Penebus
aku rehne sekeng, ngungsi maring Gusti dene rahe kang suci, mbirat dosa mami Gusti wus nyaur, pundhat utangku dosaku luwih agung, nging Gusti kang nglebur
Beberapa waktu yang lalu ketika kotbah hari Minggu, Pdt. Sugeng Mulyanto dari GKJ Jatingaleh- Semarang bertanya kepada salah seorang jemaat, apakah betul Yesus itu penebus dosa. Secara spontan dijawab oleh jemaat tersebut, “betul.” Mendengar jawaban itu secara spontan pula Pdt. Sugeng berkata: “Kalau bapak bilang Yesus penebus dosa, maka mulai sekarang bapak harus bertobat.” Pernyataan Pdt. Sugeng tersebut tidak urung membuat sebagian besar jemaat tertegun, karena selama ini pengertian mereka bahwa Yesus adalah penebus dosa.
Selanjutnya Pdt. Sugeng bilang bahwa tidak ada satu kalimatpun dalam Alkitab yang menyebut Yesus penebus dosa. Karena penasaran maka saya cari kalimat tersebut melalui Konkordansi Alkitab dan … memang tidak ada. Tetapi bukan berarti jawaban jemaat tersebut salah. Kalau di othak-athik, bisa saja disebutkan dengan Yesus Penebus dosanya manusia atau Yesus Penebus manusia dari dosa. Merujuk pada Kidung di atas, Gusti mbirat dosa mami, Gusti wus nyaur, Gusti kang nglebur, itu artinya ya sami mawonYesus menebus dosa. Memang kegemaran orang Jawa suka ngothak-athik tembung, tetapi kalau yang ngothak-athik tembung itu Pendeta dan dalam kotbah tentu kurang pas. Dalam peribahasa Jawa, bener nanging ora pener. Tetapi Pendeta kan juga manusia, he . . he . .
“ . . . ya Tuhan, gunung batuku dan penebusku.” (Mzm.19: 15)
“ . . . Ia telah mati untuk menebus pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan . . (Ibr.9: 15)
“ . . . untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan banyak orang.” (Mat.20: 28)
Pencipta dosa
Lucifer, seorang makhluk yang mulia dengan kedudukan tinggi di dunia para malaikat, menjadi sombong. Karena merasa tidak puas atas kedudukannya di dalam pemerintahan Allah maka ia mulai menginginkan kedudukan Tuhan Allah (Yes.14: 12-14). Dalam upayanya untuk mengambil alih semesta alam, malaikat yang telah jatuh ini menaburkan benih-benih keidak puasan di antara sesama malaikat dan mulai banyak yag memihak kepadanya. Akhir dari konflik yang terjadi di surga ini menyebabkan tercampaknya Lucifer yang kemudian hari dikenal dengan nama Setan bersama malaikat-malaikat pengikutnya.
“Maka timbullah peperangan di surga. Mikhael dan para malaikat-malaikatnya berperang melawan naga itu, dan naga itu dibantu oleh malaikat-malaikatnya, tetapi mereka tidak dapat bertahan; mereka tidak mendapat tempat lagi di surga. Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama denagan malaikat-malaikatnya. (Why.12: 7-9)
Timbulnya dosa
Dengan masih menyombongkan diri serta rasa tak gentar meski sudah terusir dari surga, setan bertekad memikat orang lain supaya bergabung dengannya dalam pemberontakan terhadap pemerintahan Allah. Perhatiannya tertarik kepada manusia yang baru saja diciptakan Allah. Dalam serangan yang pertama terhadap manusia itu ia memasang perangkap.
Setan mendekati Hawa ketika dia berada di dekat pohon pengetahuan yang baik dan jahat, menyamar sebagai ular. Ketika Hawa ditanya ular itu ia menjawab bahwa apabila ia makan buah itu maka ia akan mati. Lalu Setan menantangnya, bahwa “Sekali-kali kamu tidak akan mati.” Dengan bujuk rayunya Setan mengatakan bahwa Allah merintangi Hawa untuk memperoleh sebuah pengalaman baru yang menakjubkan. (Kej.3: 4,5)
Maka dengan segera akar kebimbangan terhadap perintah Allah pun ditanamkan sehingga Hawa berhasrat sekali memperoleh apa yang dapat dihasilkan oleh pohon itu. Godaan iblis telah merusak pikirannya yang suci dan kepercayaan terhadap firman Tuhan berubah menjadi percaya perkataan Setan. Tiba-tiba saja terbayang dimatanya, buah itu begitu indah dan ranum dan alangkah nimatnya kalau dimakan. Lagipula buah pohon itu akan memberikan pengertian. Hawa merasa tidak puas lagi dengan kedudukannya dan menyerah kepada godaan untuk menjadi sama dengan Allah.
“Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dia, dan suaminyapun memakannya.” (Kej.3: 6)
Hawa telah merusak ketergantungannya kepada Allah, iapun jatuh dari kedudukannya yang tinggi dan terjun ke dalam dosa.
Akibat dosa
Jawab Adam terhadap pertanyaan Allah kepadanya. “Perempuan yang Kau tempatkan disisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.” (Kej.3: 12). Jawaban itu secara tidak langsung menuduh Hawa bertanggungjawab atas dosa yang dilakukannya, menunjukkan bagaimana dosanya telah meruntuhkan hubungannya dengan isteri dan Tuhannya, kemudian Hawa ganti menuduh sang Ular. (Kej.3: 13) . Akibat dari itu Allah mengutuk sang pengantara yang digunakan Setan yakni ular, bahwa ia akan merayap dengan perutnya, mengingatkan sebagai suatau Kejatuhan selamanya. (Kej.3: 14). Kepada perempuan itu Tuhan berkata, “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan ankmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.” (Kej.3: 16)
Karena Adam lebih mendengarkan suara isterinya daripada perintah Allah maka dunia ini dikutuk dengan keluh-kesah dan susah-payah: “Terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah-payah engkau akan mencari rejekimu dari tanah seumur hidupmu; semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkan bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” (Kej.3: 17-19)
Akibat pelnggaran Adam itu semua manusia keturunannya menyandang dosa.
“Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” (Rm.5: 12)
“Semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam.” (IKor.15: 22)
“Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.” (Yak.1: 15). “Upah dosa ialah maut.” (Rm.6: 23)
Perbuatan dosa
Perbuatan dosa dimulai dari dalam pikiran manusia itu sendiri yang bertentangan dengan kehendak Allah (Kol.1: 21). Akibatnya kita menjadi tidak berkenan di hadapan Allah, yang adalah api yang menghanguskan terhadap dosa (Ibr.12: 29) dan yang pasti karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. (Rm.3: 23)
“. . . karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa.” (Rm.3: 20)
“ . . . ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai . . . (Ef.2: 3 bandingkan Ef.5: 6) dan menyerah kepada maut, sebab upah dosa ialah maut (Rm.6: 3).
“Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah.” (I Yoh.3: 4)
Murka Allah yang tertulis dalam Alkitab adalah reaksi terhadap segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman (Rm.1: 18)
“Janganlah kamu disesatkan orang dengan kata-kata yang hampa, karena hal-hal yang demikian mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka.” (Ef.5: 6)
Penolakan dengan sengaja terhadap pernyataan kehendak Allah menimbulkan murka-Nya.
“Tetapi mereka mengolok-olok utusan-utusan Allah itu, menghina segala firman-Nya, dan dan mengejek nabi-nabi-Nya. Oleh sebab itu murka Tuhan bangkit terhadap umat-Nya . . . “ (II Taw.36: 16)
Manusia sebagai hamba dosa (Rm.6: 17), takluk kepada maut dan tidak mampu melepaskan dirinya sendiri. “Tidak seorangpun dapat membebaskan dirinya, atau memberikan tebusan kepada Allah ganti nyawanya.” (Mzm.49: 8).
Pertobatan
Pertobatan dalam terjemahan dari Bahasa Ibrani adalah nacham, yang berarti meminta maaf, bertobat. Sementara dalam Bahasa Yunani metanoeq, yang berarti mengubah pikiran seseorang, merasa menyesal, bertobat.
Pertobatan yang sejati timbul dalam suatu perubahan yang radikal dalam tingkah laku manusia terhadap dosa itu sendiri. Roh Kudus menginsafkan orang yang menerima-Nya bahwa betapa seriusnya dosa itu membawa mereka ke dalam suatu perasaan duka yang mendalam dan rasa bersalah yang sangat menekan.
“Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa mengakuinya dan meninggalkannya akan disayangi.” (Ams.28: 13) mereka akan mengakui dosa-dosa mereka sampai yang sekecil-kecilnya. Dengan tekad sepenuh hati mereka tunduk sepenuhnya kepada Juruselamat serta meninggalkan tabiat mereka yang penuh dosa.
Sikap Allah terhadap orang berdosa, “Sebab Aku tidak berkenan kepada kematian seseorang yang harus ditanggungnya, demikianlah firman Tuhan ALLAH. Oleh sebab itu, bertobatlah, supaya kamu hidup.” (Yehezkiel 18: 32)
Oleh karena itu pertobatan mencapai puncaknya dalam pengakuan orang berdosa yang berpaling kepada Allah (bhs Yunani episthrope, berpaling kepada).
“Mereka diantarkan oleh jemaat sampai ke luar kota, lalu mereka berjalan melalui Fenisia dan Samaria, dan di tempat-tempat itu mereka menceritakan tentang pertobatan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Hal itu sangat menggembirakan hati saudara-saudara di situ.” (Kis.15: 3)
Walaupun pertobatan mendahului pengampunan, orang berdosa tidak bisa begitu saja melalui pertobatan itu dan melayakkan dirinya sendiri untuk memperoleh jaminan berkat Allah. Sesungguhnya orang yang berdosa tidak dapat menghasilkan pertobatan sendiri, karena pertobatan itu merupakan karunia Allah.
“Dialah yang telah ditinggalkan oleh Allah sendiri dengan tangan kanan-Nya menjadi Pemimpin dan Juruselamat, supaya Israel dapat bertobat dan menerima pengampunan dosa.” (Kis.5: 31)
Roh Kudus yang menarik orang berdosa kepada Kristus supaya orang berdosa itu dapat memperoleh pertobatan dengan hati yang sungguh-sungguh ikhlas meratapi dosa.
Penebusan
Hanya Allah sendiri yang mempunyai kuasa untuk menebus. “Akan Kubebaskan mereka dari kuasa dunia orang mati, akan Kutebuskah mereka dari maut?” (Hos.13: 14).
Yesus telah menyatakan bahwa Ia “datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan banyak orang.” (Mat.20: 28; I Tim.2: 6)
Di dalam Kristus kita beroleh penebusan.
“Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa . . .” (Ef.1: 7 band. Rm.3: 24)
Kristus menderita bagi orang-orang berdosa.
“Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” (Yesaya 53: 5)
Kematian Kristus mengesahkan tanda kepemilikan Allah atas manusia. Rasul Paulus berkata, “Bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar.” (IKor.6: 19, 20; IKor.7: 23)
Kematian-Nya untuk membebaskan kita dari segala kejahatan.
“yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik.” (Titus 2: 14)
Melalui kematian-Nya, Kristus meruntuhkan pemerintahan dosa, mengakhiri hukuman dan kutuk Taurat, dan mengadakan kehidupan kekal bagi semua orang yang bertobat.
Petrus berkata: “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek-moyangmu itu bukan dengan barang yang fana . .” (IPetr.1: 18)
Paulus menulis bahwa barangsiapa yang telah dilepaskan dari perhambaan dosa dan dari buah-buahnya yang mematikan, kini melayani Allah dengan “buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal.” (Rm.6: 22)
Di dalam hidup Kristus, penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya sebagai satu-satunya sarana penebusan manusia dari dosa, supaya dengan demikian barangsiapa yang percaya dan menerima penebusan itu dapat memperoleh hidup yang kekal. Penebusan yang sempurna ini mempertahankan kebenaran hukum Tuhan dan kemurahan-Nya. Kebangkitan Kristus memproklamasikan kemenangan Kristus atas kuasa gelap dan bagi yang menerima penebusan merupakan jaminan kemenangan akhir mereka atas dosa dan maut. *dari berbagai sumber. Rawasemut, april’15.
Beberapa waktu yang lalu ketika kotbah hari Minggu, Pdt. Sugeng Mulyanto dari GKJ Jatingaleh- Semarang bertanya kepada salah seorang jemaat, apakah betul Yesus itu penebus dosa. Secara spontan dijawab oleh jemaat tersebut, “betul.” Mendengar jawaban itu secara spontan pula Pdt. Sugeng berkata: “Kalau bapak bilang Yesus penebus dosa, maka mulai sekarang bapak harus bertobat.” Pernyataan Pdt. Sugeng tersebut tidak urung membuat sebagian besar jemaat tertegun, karena selama ini pengertian mereka bahwa Yesus adalah penebus dosa.
Selanjutnya Pdt. Sugeng bilang bahwa tidak ada satu kalimatpun dalam Alkitab yang menyebut Yesus penebus dosa. Karena penasaran maka saya cari kalimat tersebut melalui Konkordansi Alkitab dan … memang tidak ada. Tetapi bukan berarti jawaban jemaat tersebut salah. Kalau di othak-athik, bisa saja disebutkan dengan Yesus Penebus dosanya manusia atau Yesus Penebus manusia dari dosa. Merujuk pada Kidung di atas, Gusti mbirat dosa mami, Gusti wus nyaur, Gusti kang nglebur, itu artinya ya sami mawonYesus menebus dosa. Memang kegemaran orang Jawa suka ngothak-athik tembung, tetapi kalau yang ngothak-athik tembung itu Pendeta dan dalam kotbah tentu kurang pas. Dalam peribahasa Jawa, bener nanging ora pener. Tetapi Pendeta kan juga manusia, he . . he . .
“ . . . ya Tuhan, gunung batuku dan penebusku.” (Mzm.19: 15)
“ . . . Ia telah mati untuk menebus pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan . . (Ibr.9: 15)
“ . . . untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan banyak orang.” (Mat.20: 28)
Pencipta dosa
Lucifer, seorang makhluk yang mulia dengan kedudukan tinggi di dunia para malaikat, menjadi sombong. Karena merasa tidak puas atas kedudukannya di dalam pemerintahan Allah maka ia mulai menginginkan kedudukan Tuhan Allah (Yes.14: 12-14). Dalam upayanya untuk mengambil alih semesta alam, malaikat yang telah jatuh ini menaburkan benih-benih keidak puasan di antara sesama malaikat dan mulai banyak yag memihak kepadanya. Akhir dari konflik yang terjadi di surga ini menyebabkan tercampaknya Lucifer yang kemudian hari dikenal dengan nama Setan bersama malaikat-malaikat pengikutnya.
“Maka timbullah peperangan di surga. Mikhael dan para malaikat-malaikatnya berperang melawan naga itu, dan naga itu dibantu oleh malaikat-malaikatnya, tetapi mereka tidak dapat bertahan; mereka tidak mendapat tempat lagi di surga. Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama denagan malaikat-malaikatnya. (Why.12: 7-9)
Timbulnya dosa
Dengan masih menyombongkan diri serta rasa tak gentar meski sudah terusir dari surga, setan bertekad memikat orang lain supaya bergabung dengannya dalam pemberontakan terhadap pemerintahan Allah. Perhatiannya tertarik kepada manusia yang baru saja diciptakan Allah. Dalam serangan yang pertama terhadap manusia itu ia memasang perangkap.
Setan mendekati Hawa ketika dia berada di dekat pohon pengetahuan yang baik dan jahat, menyamar sebagai ular. Ketika Hawa ditanya ular itu ia menjawab bahwa apabila ia makan buah itu maka ia akan mati. Lalu Setan menantangnya, bahwa “Sekali-kali kamu tidak akan mati.” Dengan bujuk rayunya Setan mengatakan bahwa Allah merintangi Hawa untuk memperoleh sebuah pengalaman baru yang menakjubkan. (Kej.3: 4,5)
Maka dengan segera akar kebimbangan terhadap perintah Allah pun ditanamkan sehingga Hawa berhasrat sekali memperoleh apa yang dapat dihasilkan oleh pohon itu. Godaan iblis telah merusak pikirannya yang suci dan kepercayaan terhadap firman Tuhan berubah menjadi percaya perkataan Setan. Tiba-tiba saja terbayang dimatanya, buah itu begitu indah dan ranum dan alangkah nimatnya kalau dimakan. Lagipula buah pohon itu akan memberikan pengertian. Hawa merasa tidak puas lagi dengan kedudukannya dan menyerah kepada godaan untuk menjadi sama dengan Allah.
“Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dia, dan suaminyapun memakannya.” (Kej.3: 6)
Hawa telah merusak ketergantungannya kepada Allah, iapun jatuh dari kedudukannya yang tinggi dan terjun ke dalam dosa.
Akibat dosa
Jawab Adam terhadap pertanyaan Allah kepadanya. “Perempuan yang Kau tempatkan disisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.” (Kej.3: 12). Jawaban itu secara tidak langsung menuduh Hawa bertanggungjawab atas dosa yang dilakukannya, menunjukkan bagaimana dosanya telah meruntuhkan hubungannya dengan isteri dan Tuhannya, kemudian Hawa ganti menuduh sang Ular. (Kej.3: 13) . Akibat dari itu Allah mengutuk sang pengantara yang digunakan Setan yakni ular, bahwa ia akan merayap dengan perutnya, mengingatkan sebagai suatau Kejatuhan selamanya. (Kej.3: 14). Kepada perempuan itu Tuhan berkata, “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan ankmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.” (Kej.3: 16)
Karena Adam lebih mendengarkan suara isterinya daripada perintah Allah maka dunia ini dikutuk dengan keluh-kesah dan susah-payah: “Terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah-payah engkau akan mencari rejekimu dari tanah seumur hidupmu; semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkan bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” (Kej.3: 17-19)
Akibat pelnggaran Adam itu semua manusia keturunannya menyandang dosa.
“Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” (Rm.5: 12)
“Semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam.” (IKor.15: 22)
“Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.” (Yak.1: 15). “Upah dosa ialah maut.” (Rm.6: 23)
Perbuatan dosa
Perbuatan dosa dimulai dari dalam pikiran manusia itu sendiri yang bertentangan dengan kehendak Allah (Kol.1: 21). Akibatnya kita menjadi tidak berkenan di hadapan Allah, yang adalah api yang menghanguskan terhadap dosa (Ibr.12: 29) dan yang pasti karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. (Rm.3: 23)
“. . . karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa.” (Rm.3: 20)
“ . . . ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai . . . (Ef.2: 3 bandingkan Ef.5: 6) dan menyerah kepada maut, sebab upah dosa ialah maut (Rm.6: 3).
“Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah.” (I Yoh.3: 4)
Murka Allah yang tertulis dalam Alkitab adalah reaksi terhadap segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman (Rm.1: 18)
“Janganlah kamu disesatkan orang dengan kata-kata yang hampa, karena hal-hal yang demikian mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka.” (Ef.5: 6)
Penolakan dengan sengaja terhadap pernyataan kehendak Allah menimbulkan murka-Nya.
“Tetapi mereka mengolok-olok utusan-utusan Allah itu, menghina segala firman-Nya, dan dan mengejek nabi-nabi-Nya. Oleh sebab itu murka Tuhan bangkit terhadap umat-Nya . . . “ (II Taw.36: 16)
Manusia sebagai hamba dosa (Rm.6: 17), takluk kepada maut dan tidak mampu melepaskan dirinya sendiri. “Tidak seorangpun dapat membebaskan dirinya, atau memberikan tebusan kepada Allah ganti nyawanya.” (Mzm.49: 8).
Pertobatan
Pertobatan dalam terjemahan dari Bahasa Ibrani adalah nacham, yang berarti meminta maaf, bertobat. Sementara dalam Bahasa Yunani metanoeq, yang berarti mengubah pikiran seseorang, merasa menyesal, bertobat.
Pertobatan yang sejati timbul dalam suatu perubahan yang radikal dalam tingkah laku manusia terhadap dosa itu sendiri. Roh Kudus menginsafkan orang yang menerima-Nya bahwa betapa seriusnya dosa itu membawa mereka ke dalam suatu perasaan duka yang mendalam dan rasa bersalah yang sangat menekan.
“Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa mengakuinya dan meninggalkannya akan disayangi.” (Ams.28: 13) mereka akan mengakui dosa-dosa mereka sampai yang sekecil-kecilnya. Dengan tekad sepenuh hati mereka tunduk sepenuhnya kepada Juruselamat serta meninggalkan tabiat mereka yang penuh dosa.
Sikap Allah terhadap orang berdosa, “Sebab Aku tidak berkenan kepada kematian seseorang yang harus ditanggungnya, demikianlah firman Tuhan ALLAH. Oleh sebab itu, bertobatlah, supaya kamu hidup.” (Yehezkiel 18: 32)
Oleh karena itu pertobatan mencapai puncaknya dalam pengakuan orang berdosa yang berpaling kepada Allah (bhs Yunani episthrope, berpaling kepada).
“Mereka diantarkan oleh jemaat sampai ke luar kota, lalu mereka berjalan melalui Fenisia dan Samaria, dan di tempat-tempat itu mereka menceritakan tentang pertobatan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Hal itu sangat menggembirakan hati saudara-saudara di situ.” (Kis.15: 3)
Walaupun pertobatan mendahului pengampunan, orang berdosa tidak bisa begitu saja melalui pertobatan itu dan melayakkan dirinya sendiri untuk memperoleh jaminan berkat Allah. Sesungguhnya orang yang berdosa tidak dapat menghasilkan pertobatan sendiri, karena pertobatan itu merupakan karunia Allah.
“Dialah yang telah ditinggalkan oleh Allah sendiri dengan tangan kanan-Nya menjadi Pemimpin dan Juruselamat, supaya Israel dapat bertobat dan menerima pengampunan dosa.” (Kis.5: 31)
Roh Kudus yang menarik orang berdosa kepada Kristus supaya orang berdosa itu dapat memperoleh pertobatan dengan hati yang sungguh-sungguh ikhlas meratapi dosa.
Penebusan
Hanya Allah sendiri yang mempunyai kuasa untuk menebus. “Akan Kubebaskan mereka dari kuasa dunia orang mati, akan Kutebuskah mereka dari maut?” (Hos.13: 14).
Yesus telah menyatakan bahwa Ia “datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan banyak orang.” (Mat.20: 28; I Tim.2: 6)
Di dalam Kristus kita beroleh penebusan.
“Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa . . .” (Ef.1: 7 band. Rm.3: 24)
Kristus menderita bagi orang-orang berdosa.
“Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” (Yesaya 53: 5)
Kematian Kristus mengesahkan tanda kepemilikan Allah atas manusia. Rasul Paulus berkata, “Bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar.” (IKor.6: 19, 20; IKor.7: 23)
Kematian-Nya untuk membebaskan kita dari segala kejahatan.
“yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik.” (Titus 2: 14)
Melalui kematian-Nya, Kristus meruntuhkan pemerintahan dosa, mengakhiri hukuman dan kutuk Taurat, dan mengadakan kehidupan kekal bagi semua orang yang bertobat.
Petrus berkata: “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek-moyangmu itu bukan dengan barang yang fana . .” (IPetr.1: 18)
Paulus menulis bahwa barangsiapa yang telah dilepaskan dari perhambaan dosa dan dari buah-buahnya yang mematikan, kini melayani Allah dengan “buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal.” (Rm.6: 22)
Di dalam hidup Kristus, penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya sebagai satu-satunya sarana penebusan manusia dari dosa, supaya dengan demikian barangsiapa yang percaya dan menerima penebusan itu dapat memperoleh hidup yang kekal. Penebusan yang sempurna ini mempertahankan kebenaran hukum Tuhan dan kemurahan-Nya. Kebangkitan Kristus memproklamasikan kemenangan Kristus atas kuasa gelap dan bagi yang menerima penebusan merupakan jaminan kemenangan akhir mereka atas dosa dan maut. *dari berbagai sumber. Rawasemut, april’15.
Bhagwan Hai Kahaa Re Tu?
(Sebuah refleksi theologis dalam pencarian akan Tuhan)
Dalam ziarah kehidupan kita di dunia ini, seringkali kita dihadapkan dengan berbagai macam persoalan yang sangat menekan dan seolah tidak ada jalan keluarnya. Semua upaya yang kita lakukan sia-sia, semua doa-doa kita seolah terbentur dinding dan tak pernah sampai kepada Tuhan. Dalam keadaan yang demikian seringkali kita bertanya: Tuhan, di manakah Engkau berada? Tapi, apakah benar demikian? Apakah Tuhan tidak pernah mendengar doa-doa kita? Apakah Tuhan tidak bisa kita temui? Apakah semua upaya yang kita lakukan sia-sia? Sebuah film India yang baru saja diputar di bioskop berjudul PK, akan membantu kita dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Seorang manusia planet yang dikenal orang sebagai PK (pee-kay = mabuk) dikirim ke dunia untuk melihat dan meneliti kehidupan manusia di dunia ini. Namun dari awal kedatangannya kalung tanda pengenal yang dapat menghubungkannya dengan angkasa luar telah dicuri orang, sehingga ia tidak dapat kembali ke tempat asalnya. Dalam upaya pencarian akan kalung yang dimilikinya itu lah ia menemui berbagai macam hambatan yang mengantarnya pada semua ritual keagamaan dan pada akhirnya tiba pada sebuah pertanyaan hakiki: “Tuhan, di manakah Engkau berada?”
Tidak berbeda jauh dengan PK, mungkin kita juga berpikir bahwa kita telah melakukan semua hal yang berkenan di hadapan Tuhan. Beribadah ke gereja, membaca Firman Tuhan, mengikuti PA, aktif dalam berbagai macam kegiatan Gereja, dan lain sebagainya, tetapi saat badai hidup datang menerpa kita, seolah-olah Tuhan jauh dan pergi meninggalkan kita, kemudian hanya ada satu pertanyaan yang tertinggal: “Tuhan, di manakah Engkau berada?”
Sebenarnya apa yang kita rasakan juga dialami oleh Tuhan Yesus sendiri menjelang kematian-Nya di kayu salib. Dalam salah satu ucapan salib yang kita kenal, Yesus berseru dengan suara nyaring: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”(Mark 15:34) atau yang sering kita kenal dengan kalimat: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Yesus dalam ke-manusiaan-nya mengalami dan merasakan semua hal yang kita alami. Bukan hanya rasa sakit yang Ia rasakan di tubuh-Nya, tetapi juga rasa takut, cemas, gelisah, merasa seorang diri dan bahkan merasa ditinggalkan. Perasaan yang tentu saja sangat menyakitkan ketika kita harus menghadapi semua penderitaan kita seorang diri dan tak seorang pun memahami apa yang kita rasakan. Bahkan salah seorang filsuf terkenal dari Jerman bernama Friedrich Nietzsche pernah mengatakan: Tuhan sudah mati!
Setiap orang tentu pernah mengalami dan merasakan keputus asa-an yang sangat mendalam. Hal tersebut merupakan hal yang alamiah dan sangat wajar. Namun, apakah benar Tuhan meninggalkan kita dalam segala kesulitan kita? Apakah benar bahwa Tuhan sudah mati seperti yang dikatakan Nietzsche?
Kembali pada film PK, ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan dan kita ambil sebagai pelajaran dalam upaya pencarian akan Tuhan dan pemahaman akan doa, hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Percaya dan berdoa hanya kepada Tuhan dan bukan “tuhan-tuhan” yang lain. Seringkali kita mengaku percaya dan berdoa kepada Tuhan, tetapi kita masih percaya dan berdoa kepada orang-orang atau tokoh-tokoh tertentu dan menganggap bahwa mereka memiliki kuasa tertentu yang dapat memenuhi semua doa dan permohonan kita. Percaya kepada Tuhan berarti hanya percaya dan mengandalkan Tuhan dan tidak ada yang lain.
2. Membangun keintiman dan hubungan yang baik dengan Tuhan. Membangun hubungan yang baik dengan Tuhan dapat kita lakukan melalui doa. Doa yang tidak hanya meminta, namun berusaha mendengar dan memahami kehendak Tuhan dalam hidup kita. Doa dalam ketenangan hati dan biarkan jiwa kita yang berbicara kepada Tuhan, sehingga kita beroleh hikmat untuk melakukan kehendak-Nya dan bukan kehendak kita.
3. Menanti dengan setia, dengan penuh kepekaan, dan kerendahan hati. Menanti jawaban doa kita berarti menanti dengan penuh pengharapan meskipun kita tidak tahu kapan dan bagaimana doa kita akan terjawab. Namun, selain kesetiaan dan pengharapan, dibutuhkan suatu kepekaan dalam penantian akan doa-doa kita. Melalui kepekaan hati, kita akan dimampukan untuk memahami bahwa mungkin Tuhan sedang bekerja dan berproses dalam menjawab doa-doa kita, mungkin Tuhan sedang bekerja melalui orang lain dalam hidup kita tanpa kita sadari. Tuhan dapat bekerja melalui siapa saja dan melalui apa saja.
Ketika ketiga hal di atas dapat kita terapkan dengan baik maka saat badai kehidupan datang menghadang kita, kita tidak perlu lagi bertanya: Bhagwan hai kahaa re tu? (Tuhan di manakah Engkau berada?) karena Ia hanya sejauh doa kita kepada-Nya. Rr. Manda Andrian.
Seorang manusia planet yang dikenal orang sebagai PK (pee-kay = mabuk) dikirim ke dunia untuk melihat dan meneliti kehidupan manusia di dunia ini. Namun dari awal kedatangannya kalung tanda pengenal yang dapat menghubungkannya dengan angkasa luar telah dicuri orang, sehingga ia tidak dapat kembali ke tempat asalnya. Dalam upaya pencarian akan kalung yang dimilikinya itu lah ia menemui berbagai macam hambatan yang mengantarnya pada semua ritual keagamaan dan pada akhirnya tiba pada sebuah pertanyaan hakiki: “Tuhan, di manakah Engkau berada?”
Tidak berbeda jauh dengan PK, mungkin kita juga berpikir bahwa kita telah melakukan semua hal yang berkenan di hadapan Tuhan. Beribadah ke gereja, membaca Firman Tuhan, mengikuti PA, aktif dalam berbagai macam kegiatan Gereja, dan lain sebagainya, tetapi saat badai hidup datang menerpa kita, seolah-olah Tuhan jauh dan pergi meninggalkan kita, kemudian hanya ada satu pertanyaan yang tertinggal: “Tuhan, di manakah Engkau berada?”
Sebenarnya apa yang kita rasakan juga dialami oleh Tuhan Yesus sendiri menjelang kematian-Nya di kayu salib. Dalam salah satu ucapan salib yang kita kenal, Yesus berseru dengan suara nyaring: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”(Mark 15:34) atau yang sering kita kenal dengan kalimat: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Yesus dalam ke-manusiaan-nya mengalami dan merasakan semua hal yang kita alami. Bukan hanya rasa sakit yang Ia rasakan di tubuh-Nya, tetapi juga rasa takut, cemas, gelisah, merasa seorang diri dan bahkan merasa ditinggalkan. Perasaan yang tentu saja sangat menyakitkan ketika kita harus menghadapi semua penderitaan kita seorang diri dan tak seorang pun memahami apa yang kita rasakan. Bahkan salah seorang filsuf terkenal dari Jerman bernama Friedrich Nietzsche pernah mengatakan: Tuhan sudah mati!
Setiap orang tentu pernah mengalami dan merasakan keputus asa-an yang sangat mendalam. Hal tersebut merupakan hal yang alamiah dan sangat wajar. Namun, apakah benar Tuhan meninggalkan kita dalam segala kesulitan kita? Apakah benar bahwa Tuhan sudah mati seperti yang dikatakan Nietzsche?
Kembali pada film PK, ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan dan kita ambil sebagai pelajaran dalam upaya pencarian akan Tuhan dan pemahaman akan doa, hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Percaya dan berdoa hanya kepada Tuhan dan bukan “tuhan-tuhan” yang lain. Seringkali kita mengaku percaya dan berdoa kepada Tuhan, tetapi kita masih percaya dan berdoa kepada orang-orang atau tokoh-tokoh tertentu dan menganggap bahwa mereka memiliki kuasa tertentu yang dapat memenuhi semua doa dan permohonan kita. Percaya kepada Tuhan berarti hanya percaya dan mengandalkan Tuhan dan tidak ada yang lain.
2. Membangun keintiman dan hubungan yang baik dengan Tuhan. Membangun hubungan yang baik dengan Tuhan dapat kita lakukan melalui doa. Doa yang tidak hanya meminta, namun berusaha mendengar dan memahami kehendak Tuhan dalam hidup kita. Doa dalam ketenangan hati dan biarkan jiwa kita yang berbicara kepada Tuhan, sehingga kita beroleh hikmat untuk melakukan kehendak-Nya dan bukan kehendak kita.
3. Menanti dengan setia, dengan penuh kepekaan, dan kerendahan hati. Menanti jawaban doa kita berarti menanti dengan penuh pengharapan meskipun kita tidak tahu kapan dan bagaimana doa kita akan terjawab. Namun, selain kesetiaan dan pengharapan, dibutuhkan suatu kepekaan dalam penantian akan doa-doa kita. Melalui kepekaan hati, kita akan dimampukan untuk memahami bahwa mungkin Tuhan sedang bekerja dan berproses dalam menjawab doa-doa kita, mungkin Tuhan sedang bekerja melalui orang lain dalam hidup kita tanpa kita sadari. Tuhan dapat bekerja melalui siapa saja dan melalui apa saja.
Ketika ketiga hal di atas dapat kita terapkan dengan baik maka saat badai kehidupan datang menghadang kita, kita tidak perlu lagi bertanya: Bhagwan hai kahaa re tu? (Tuhan di manakah Engkau berada?) karena Ia hanya sejauh doa kita kepada-Nya. Rr. Manda Andrian.
Baptis di Girimarto
. . . . lebih mengharukan lagi betapa pasrah pasangan-pasangan orang desa berhati lugu itu bergantian berlutut di depan keenam hamba Tuhan bertoga hitam untuk dibaptis . . . .
Sekitar pertengahan tahun 1968 ketika saya masih menjadi anggota Pemuda Gereja di GKJ Wonogiri, dilaksanakan Baptis Dewasa oleh Pendeta Bapak Ds. Hastosumarto atas diri beberapa orang dari daerah Girimarto yang berjarak sekitar 25 km dari kota Wonogiri. Mungkin di sana belum ada Pepanthan, karena biasanya kalau jaraknya jauh dari kota Wonogiri, pembaptisan dilaksanakan di Pepanthan masing-masing. Waktu itu saya tidak begitu memperhatikan, siapa saja mereka yang di baptis karena peristiwa pembaptisan pada waktu itu merupakan hal yang biasa-biasa saja. Namun kemudian hari secara tidak sengaja saya menemukan tulisan Pak S. Nur Sidharta dalam buku kesaksian di Tangan-tangan Tuhan yang diterbitkan BPK Gunung Mulia tahun 1989. Pak Nur Sidharta ini pada tahun ’60 an pernah menjadi warga GKJ Wonogiri dan pernah menjadi Anggota DPRD bahkan Wakil Bupati Wonogiri, suatu hal yang langka bagi seorang warga Kristen bisa menjadi Wakil Bupati.
Kebetulan sebagai pemuda Gereja saya mengenal baik beliau karena kami sering minta nasehatnya dalam hal kegiatan kepemudaan. Saya telusuri keberadaan beliau saat ini, karena akhir 1968 saya sudah hijrah ke Jakarta sampai sekarang. Dalam catatan dari BPK Gunung Mulia terakhir pak Nur Sidharta tercatat sebagai warga GKJ Bibis Luhur. Ketika saya menghubungi GKJ Bibis Luhur-Surakarta, menurut mas Nugroho Pak Nur Sidharta memang warga GKJ Bibis Luhur tetapi Pepanthan Mojosongo. Waktu Pepanthan Mojosongo didewasakan menjadi GKJ Mojosongo pada tahun 1996 Pak Nur Sidharta menjadi pengurus gereja dan Majelis. Hal ini dibenarkan oleh mBak Nana dari GKJ Mojosongo dan ternyata Pak Nur Sidharta telah dipanggil Tuhan beberapa waktu yang lalu.
Untuk mengenang beliau, kami turunkan kembali tulisannya yang berupa kesaksian dengan judul Ternyata Tuaian Banyak seperti berikut:
Kemarin pagi aku turun dari Colt abu-abu tua di depan Balai Desa Girimarto, kira-kira 25 km dari Wonogiri. Jarak yang cukup jauh dari rumahku di Solo. Wilayah Kecamatan yang senama dengan desa itu terletak di lereng Barat Daya Gunung Lawu dan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Karanganyar di sebelah Utara.
Aku bermaksud mengunjungi Pak Ciptosumarto, sahabat lamaku. Dulu ia menjabat sebagai kepala desa dan tinggal di belakang balai desa itu. Akan tetapi setelah menyaksikan perubahan dan perkembangan yang menakjubkan di sepanjang jalan beraspal mulus Wonogiri-Sidoharjo-Girimarto tadi, hatiku menjadi ragu. Masih dapatkah kujumpai sahabat lama, cikal bakal Pepanthan GKJ Girimarto itu di tempatnya semula? Untuk memperoleh kepastian dan sekaligus mengusir pengaruh hawa dingin yang belum terkuasai oleh panas matahari pagi itu kumasuki
sebuah kedai di kios pasar di seberang jalan.
Seorang perawan tanggung meletakkan segelas kopi panas dan sepiring juadah ditambah tempe goreng di depanku sambil mempersilakan:
“Kopinya, Mbah.”
“Terima kasih ndhuk. Namamu siapa?”
Ia duduk di dekatku. “Saya Sarmi, Mbah. Mbah dari mana? Saya kok belum pernah lihat?”
“Tentu saja belum. Berapa umurmu?” tanyaku ulang.
“Empat belas tahun. Baru saja tamat SD, Mbah.” Jawabnya.
“Nah, itu! Saya terakhir kemari limabelas tahun yang lalu, jadi Sarmi belum lahir. Saya Mbah
Nur, rumah saya di Solo, ingin menemui kawan lama di sini,” jawabku menjelaskan.
“Nostalgia, to Mbah Nur. Siapa kawan lama itu?” tanyanya lagi.
“Pak Ciptosumarto yang dulu tinggal di seberang sana,” sahutku mengarahkan pandangan ke seberang.
“Pak Lurah Cipto, to Mbah,” tanyanya.
“Wo, dia sudah meninggal kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Masih famili, to Mbah?”
“Kalau famili, masa saya bertanya-tanya kepadamu, Mi. Tuh, ada tamu.”
Ia pun meninggalkan aku. Kuhirup sedikit kopi yang masih mengepul, sambil memandang bangunan gereja di sebelah kanan balai desa itu. Juadah gurih dan tempe mengantar aku menapak kenangan masa silam.
***
Duapuluh tahun yang lalu, di tempat rumah ibadah itu berdiri, terdapat sebuah gudang berdinding bambu berlantai tanah. Nama Yesus belum dikenal orang. Sebutan Kristen terucap Kresten penuh cemooh di bibir. Namun manakala tiba saatnya api Roh Kudus menyulut sumbu dinamit mujizatNya, dinding penyekat manakah yang mampu menahan ledakan dahsyat yang ditimbulkannya. Sayang komponen utama yang dipakaiNya di kala itu kini telah tiada.
Pada suatu pagi yang dingin di akhir tahun 1967, setelah menembus hujan gerimis di jalan bebas aspal Sidoharjo-Girimarto yang terus menanjak itu, di pendapa kecamatan yang waktu itu belum sebagus kini aku bertatap muka dengan para kepala desa sewilayah kecamatan. Tokoh-tokoh bertampang seram itulah yang dua hari sebelumnya telah membuat Bupati Kepala Daerah berang karena mengabaikan perintah berkumpul untuk mengikuti briefingnya.
Tugasku ialah menggembleng pejabat-pejabat desa yang tidak disiplin itu dan mengikis habis unsur-unsur penghambat Orde Baru yang tersinyalir.
Berat nian tanggungjawabku sebagai Wakil Bupati yang baru tiga bulan dilantik dan belum pernah memperoleh pendidikan ke pamong prajaan ini. Apalagi di dalam suasana politik yang belum mantap waktu itu. Bekalku hanyalah pengalaman tujuh tahun menjadi anggota DPRD sebelum diangkat menjadi pejabat eksekutif itu, dan andalanku hanyalah pengharapan akan penyertaan Tuhan yang kami mohon bersama semalam di dalam doa keluarga.
Namun bekal dan andalan yang tak tampak dimata itu ternyata lebih dari cukup.
Selama aku duduk di depan para pamong yang hampir semua berwajah seperti pesakitan itu serasa terngiang di telingaku peringatan agar aku melupakan saja kegeraman hati atasanku dan bertindak sabar berdasarkan kasih semata. Memang aku mempunyai mandat penuh untuk menjatuhkan vonis apapun, tetapi aku mendengar pesan Tuhan bahwa aku tidak boleh menghakimi sesamaku, dan aku juga tak boleh bersikap toleran terhadap kejahatan.
Dengan pendekatan menurut bisikan Roh Kudus kulihat betapa wajah-wajah yang semula suram itu berangsur menjadi ceria. Hati yang semula tertutup pun terungkap tanggap.
Akhirnya aku putuskan: “Mulai hari Senin mendatang kalian harus mengikuti kursus cepat Pamong desa selama 10 hari tanpa boleh meninggalkan lokasi pusat pendidikan, yakni di Kecamatan.”
Semua bernafas lega. Tugas pertama terintis sudah. Yang kedua belum lagi nampak dari arah mana harus kumulai, namun aku tetap percaya akan penyertaan Tuhan.
Apa sebabnya aku tak tahu, mungkin penampilannya yang lebih tertib atau nampaknya lebih cerdas daripada kawan-kawan sejawatnya, perhatianku tertarik kepada kepala desa Girimarto yang bernama Ciptosumarto itu. Seusai pertemuan kusempatkan diri berkunjung ke rumahnya.
“Pak Cipto sudah lama menjadi kepala desa?” tanyaku memulai percakapan.
“Sudah sejak tahun 1937, Pak,” sahutnya sopan.
“Wah, jadi sudah 30 tahun?” tanyaku takjub.
“Betul, Pak. Saya anak Girimarto asli, kok,” sambungnya.
“Begini, Pak. Saya ini tinggal di Wonogiri sudah 11 tahun lamanya, tetapi belum juga mendapat kesempatan menyelami keadaan masyarakat Girimarto ini. Rasanya orang-orang sini kok kurang akrab, agak bersifat tertutup dan menangggapi perkembangan dengan
acuh tak acuh. Apa penyebabnya kira-kira?” tanyaku perlahan.
“Setiap orang dari luar Girimarto pasti merasakan hal itu, Pak. Sikap itu pulalah yang membuat Pak Bupati marah besar kemarin dulu itu; keterlaluan, sih.” Jawabnya murung.
“Jadi sikap yang boleh dikata umum, begitu?” ujarku meyakinkan.
“Begitulah Pak, setidaknya menghinggapi sebagian besar penduduk.”
“Lho, Bapak kok menggunakan istilah menghinggapi. Apa itu bukan sikap yang orisinil?” tanyaku.
“Bukan, Pak. Sebenarnya kami ini sama saja dengan orang Indonesia lainnya. Tetapi di wilayah ini sejak jaman Belanda dulu berkembang suatu faham semacam Saminisme yang diajarkan oleh Kyai Tambakmerang dan hingga kini mempengaruhi dan menguasai sikap hidup masyarakat, meskipun tokoh utamanya telah tiada,” ia menjelaskan.
“Dapatkah bapak memberi contoh isi ajaran itu?”
“Ya, antara lain orang dilarang keras membunuh.”
“Lho, itu kan baik dan benar,” selaku.
“Memang baik sekali, kalau dilakukan dengan menggunakan otak Pak. Tapi, kalau membunuh ular berbisa yang siap menggigit orang atau tikus yang merusak padi juga pantang, kan sesat namanya! Itu hanya sebuah contoh saja. Masih banyak lainnya yang konyol begitu,” katanya menjelaskan.
“Oh, pantas, pantas. Kalau kaum mudanya bagaimana?” dengan penuh selidik aku bertanya lagi.
“Yaah, masyarakat disini sangat tradisionil, Pak. Yang muda kebanyakan bersikap apatis, menelan saja apa yang disuapkan orang tua mereka. Yang berpikiran agak maju tak cukup keberanian untuk menentang, ada pula yang lari ke kota sebagai pernyataan berontak,” ia menerangkan.
“Bagaimana pendapat Bapak kalau masyarakat kita garap dengan ajaran yang lebih unggul, agar mereka menjauhi dan akhirnya meninggalkan paham yang menghambat kemajuan itu?” aku memberi saran.
“Itu gagasan yang bagus sekali, Pak. Saya bersedia membantu, tetapi ajaran apa yang Bapak maksud?” tanyanya ingin tahu.
“Terima kasih atas kesediaan Bapak. Ini kebetulan saya membawa kitab yang memuat sebagian ajaran itu.” Kukeluarkan Kitab Perjanjian Baru ukuran mini yang menyertaiku di setiap perjalanan dari saku bajuku dan kuulurkan kepadanya “Cobalah baca.”
“Lho, ini kan Kitab Injil, Pak?” ia tampak heran.
“Betul, kenapa?”
“Begini, Pak Nur. Dulu di Solo saya menamatkan pelajaran di Christelijke Standraadschool (SD Kristen) Margoyudan. Saya sebenarnya sangat tertarik kepada agama yang diajarkan di sekolah itu, tetapi belum lagi sempat memahaminya, saya sudah dipanggil pulang untuk dicalonkan menjadi kepala desa ini. Sekarang baru tiba kesempatan indah itu.”
Hatiku mengembang penuh harapan.
Dua pekan kemudian aku kembali mengunjungi Pak Cipto. Bu Cipto menyertai suaminya menerimaku.
“Bagaimana, Pak Cipto?” tanyaku setelah mencicipi hidangan air teh hangat dan juadah gurih khas Girimarto. “Sudah Bapak pelajari kitab yang dulu itu?”
“Pak Nur, meskipun baru sedikit sekali yang mampu kami cerna, kami sekeluarga telah memutuskan untuk menjadi orang Kristen yang pertama di wilayah ini,” kata Pak Cipto dengan mantap.
“Tetapi kalian harus menjadi orang-orang baru. Artinya harus rela meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang tak sesuai, untuk digantikan dengan tata kehidupan baru menurut firman Tuhan,” aku mengajukan tantangan.
“Kami sanggup, Pak. Bukankah menurut ajaran Yesus itu orang harus dilahirkan kembali agar dapat masuk Kerajaan Allah?”
“Tepat sekali, Pak Cipto. Tetapi bagaimana kalau karena menyandang nama Kristen itu kalian dicemoohkan orang?” pancingku.
“Ya, biarkan saja orang mencemooh, Pak”
“Puji Tuhan. Semoga Tuhan senantiasa tinggal di tengah kelurga ini . . . . Tetapi saya ini hanya perantara. Akan segera saya laporkan niat kalian kepada Majelis Gereja di Wonogiri. Maukah kalian saya doakan?”
“Silakan, Pak Nur,” sahutnya senang.
Di pertengahan tahun 1968 suami-isteri Ciptosumarto dan beberapa anggota keluarga dekatnya menerima baptisan di GKJ Wonogiri.
Kesanggupan untuk menjadi orang-orang baru mereka laksanakan secara konsekwen.
Kalau dulu Bapak dan Ibu Cipto terkenal sebagai penjudi-penjudi ulung, kini segala jenis kartu tak mereka sentuh lagi. Kebiasaan membuka primbon dan semacamnya mereka ganti dengan menggumuli Firman Tuhan. Segala macam jimat yang dulu mereka andalkan kini mereka singkirkan.
Pembaharuan kehidupan mereka itu tentu saja mengundang banyak rintangan dan tantangan dari masyarakat yang masih tercengkeram oleh kuasa kegelapan. Namun daripada menanggapi cobaan itu dengan sikap keras yang sia-sia, mereka memilih bertekun di dalam doa dan melakukan pekerjaan sehari-hari dengan penuh gairah.
Buah-buah iman semakin menonjol.
Benar-benar Tuhan tak salah pilih! Di tengah rawa berlumpur dosa yang selalu siap menelan siapa saja yang tercebur ke dalamnya, keluarga Ciptosumarto tampak kian berseri bagaikan kota indah di atas gunung, yang dari kejauhan sedap dipandang (Mat.5: 14).
Kedatangan saudara-saudara seiman dari Wonogiri di tengah persekutuan doa mereka sangat menunjang iman mereka.
Maka lambat-laun karena berkat Tuhan rasa cemburu dan dengki itu berganti simpati.
Kian banyak orang ingin tahu bagaimana dan apa sebabnya para tebusan Yesus itu selalu tampak begitu cerah.
Demikianlah tanpa mereka rencanakn garam-garam itu meresap ke dalam bahan makanan yang tanpa sempat menghendaki atau menolaknya, menyerap saja pengasinan atas dirinya.
Itulah kuasa Roh Kudus.
Perkembangan itu membahagiakan namun juga merepotkan orang-orang Wonogiri. Pendeta Jemaat, Pak Hastosumarto yang sakit-sakitan itu sungguh terbakar oleh api Roh dan dikuatkan oleh pengharapan akan karunia Tuhan, sehingga meski fisik lemah mampu menguasai rongrongan kuman-kuman di tubuhnya untuk melayani katekisasi kepada puluhan orang peminat yang oleh Pak Cipto ditampung dirumahnya. Akan tetapi manakala jumlah yang puluhan itu meningkat menjadi ratusan, kesulitan tak teratasi lagi olehnya. “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit.” (Mat.9: 37). Syukurlah jemaat memiliki tenaga-tenaga militan yang dengan segala kemampuan masing-masing rela menyerahkan diri untuk dipekerjakan di ladang Tuhan. Beberapa orang diantaranya beruntung dapat mengikuti kursus kader Gereja di Solo, sedang aku sempat pula mengikuti kursus penyegaran di Salatiga.
Berbulan-bulan kami bekerja tanpa mengharapkan imbalan atau pujian, karena semua sadar bahwa apa yang kami lakukan itu adalah pelengkap permintaan kami kepada yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk menuai tuaian itu.
Bukankah Ia juga yang memilih kami menjadi pekerja?
Akhirnya jerih payah kami pun terupah. Kota kecil di lereng Lawu itu gempar ketika ratusan orang memadati gudang berdinding bambu di samping kantor pemerintahan desa itu dan membanjiri halaman depannya, untuk menerima baptisan kudus. Para sukarelawan dari Wonogiri berbaur di tengah mereka. (menurut keterangan mBak Tinuk dari GKJ Giri Kinasih kurang lebih 500 orang yang dibaptis pada waktu itu/pen.)
Tiada mimbar, hanya sebuah meja kecil di depan serta sederet kursi.
Tepat pukul 09.00 pintu samping-depan itu terbuka; Jemaat pun berdiri dengan khidmat. Sebuah prosesi memasuki ruangan, diawali oleh anggota majelis tertua Bapak Martobudoyo, Pdt. Ds. Hastosumarto, Pdt. Ds. Atmorejoko dari GKJ Sukoharjo, Pdt. Ds. Reksodarmojo dan
Pdt. Ds. Edy Trimodo Rumpoko dari GKJ Margoyudan-Solo, Pdt. Sie Tiang Tjwan dari GKI Wonogiri dan seorang pendeta Angkatan Darat bersuku Ambon, Benu namanya.
Berkumandang kidung-kidung pujian bernada ke Jawa-jawaan. Seusai kotbah singkat Pendeta Jemaat dan penjelasan tentang baptisan, menggemalah serentak jawaban: “Inggiih” (Ya) menyatakan kemantapan hati berserah kepada penebusan Tuhan setelah menyadari dosa.
Terjadilah peristiwa besar yang menjadi tonggak sejarah berdirinya Pepanthan GKJ Girimarto dan merupakan tonggak pembaharuan hidup banyak keluarga setelah lama terlelap dan terkungkung di kegelapan dosa.
Sungguh mengharukan betapa kedua lidah non Jawa itu memaksa diri mengucapkan kata-kata permandian: “Panjenengan kula baptis atas asmanipun Allah Sang Rama . . . (Saudara saya baptis di dalam nama Allah Bapa . . .) dst. (Yang dimaksud adalah Pdt. Sie Tiang Tjwan dan Pdt. Benu/pen.) Lebih mengharukan lagi betapa pasrah pasangan-pasangan orang desa berhati lugu itu dan anak-anak mereka bergantian berlutut di depan keenam hamba Tuhan bertoga hitam itu untuk dibaptis. Sempat kulihat pak Hasto menghapus air mata bahagia dengan saputangan putihnya.
Pekerjaan yang cukup melelahkan bagi keenam pendeta itu, namun tampak nyata sinar kebahagiaan di wajah mereka. Aku yakin bahwa peristiwa bersejarah itu tak akan mereka lupakan sepanjang hayat.
Salahlah kalau orang mengira bahwa pekerjaan telah selesai ketika Pepanthan GKJ Girimarto diteguhkan. Guna membina murid-murid baru ditempat terpencil itu Jemaat Induk mencetak kader-kader lokal. Ini kami lakukan beramai-ramai. Namun bagi Pak Hastosumarto sebagai Pejabat Catatan Sipil dan aku sebagai Pejabat Pemerintah daerah masih ada pekerjaan lain. Harus dibuatkan akte pernikahan bagi hampir semua pasangan yang telah dipermandikan itu, karena mereka ternyata hanya terikat dalam perkawinan tumpeng atau menurut istilah sekarang kawin kebo.
“Kopinya tambah, Mbah?” gadis penjaga kedai itu menyadarkan aku dari lamunan.
“Ah, ah, cukup, Ndhuk.” Kuteguk sisa kopiku.
“Mbah Nur ini pasti Kristen,” tebak Sarmi.
“Darimana kau tahu?”
“Lha, mulai tadi kok memandangi gereja itu saja. Saya ini murid Pak Guru Parna di Sekolah Minggu. Mbah Nur betul Kristen, kan?”
“Betul, Mi. Di mana Pak Parna mu itu tinggal?” Kuulurkan selembar uang ribuan kepadanya.
“Wah, belum ada kembalinya, Mbah, sepi hari ini.”
“Masukkan saja uang kembalian itu ke kantong persembahan nanti, Ndhuk.”
“Terima kasih, Mbah. Rumah pak Suparna di depan KUA sana itu.”
“Mbah Nur pulang, ya Ndhuk. Selamat tinggal, Mi.”
Akupun melangkah pergi, diantar lambaian tangan gadis tanggung itu.
“Selamat jalan, Mbah Nur.”
Setelah berkunjung sebentar ke rumah Suparna, anggota Majelis Gereja muda usia itu, kutinggalkan Girimarto tanpa mengetahui apakah aku masih akan melihatnya kembali.
Namun hati tua ini bahagia menyaksikan perluasan pemasyhuran Injil Allah yang begitu menggembirakan.
Aku tak ingat lagi berapa jiwa yang menjadi warga Kerajaan Allah di hari Minggu bahagia di tahun 1969 itu. Pada perjalanan pulang aku sempat singgah di rumah Pak Hastosumarto yang telah pensiun, yang ketika kutanya berapa jumlah anggota GKJ Girimarto menyebutkan dengan ingat-ingat lupa jumlahnya 477. Hanya buku Induk Jemaat GKJ Wonogiri yang dapat menyatakan secara tepat. Namun nyatanya kini di wilayah Kecamatan Girimarto itu terdapat tiga buah pepanthan GKJ masing-masing dengan rumah ibadatnya, yakni di Gemawang, di Simpar dan disamping kecamatan Girimarto. Sebuah SMP Kristen pun telah ada di kota kecil itu.
Pak Ciptosumarto telah tiada, Pak Hastosumarto hampir tak mampu lagi meninggalkan tempat tidurnya, Pak Martobudoyo hanya untuk mengambil uang pensiunnya saja keluar rumah. Walaupun demikian Tuhan tetap memelihara keberadaannya selama generasi penerus mengikuti jejak orang tua, setia mematuhi panggilan Juruselamat nya untuk bersaksi di tengah masyarakat, dan bertekun di dalam doa.
Tuaian memang tetap banyak. Dan Yesus tak henti-hentinya memanggil para pekerjaNya. Andreas Hutomo.
***
Catatan: Pepanthan GKJ Girimarto didewasakan dari GKJ Wonogiri menjadi GKJ Giri Kinasih pada tgl, 26 Mei 2000. Dua tahun sebelumnya pada tgl, 26 Mei 1998 Pdt. Wurihanto Handoyo Adi, STh ditahbiskan menjadi Pendeta pertama di GKJ Giri Kinasih. Saat ini menurut sumber dari Sinode, GKJ Giri Kinasih mempunyai 4 Pepanthan dengan jumlah jemaat seluruhnya 653 orang dengan Gembala Jemaat Pdt. Sumardiyono, STh.
Sekitar pertengahan tahun 1968 ketika saya masih menjadi anggota Pemuda Gereja di GKJ Wonogiri, dilaksanakan Baptis Dewasa oleh Pendeta Bapak Ds. Hastosumarto atas diri beberapa orang dari daerah Girimarto yang berjarak sekitar 25 km dari kota Wonogiri. Mungkin di sana belum ada Pepanthan, karena biasanya kalau jaraknya jauh dari kota Wonogiri, pembaptisan dilaksanakan di Pepanthan masing-masing. Waktu itu saya tidak begitu memperhatikan, siapa saja mereka yang di baptis karena peristiwa pembaptisan pada waktu itu merupakan hal yang biasa-biasa saja. Namun kemudian hari secara tidak sengaja saya menemukan tulisan Pak S. Nur Sidharta dalam buku kesaksian di Tangan-tangan Tuhan yang diterbitkan BPK Gunung Mulia tahun 1989. Pak Nur Sidharta ini pada tahun ’60 an pernah menjadi warga GKJ Wonogiri dan pernah menjadi Anggota DPRD bahkan Wakil Bupati Wonogiri, suatu hal yang langka bagi seorang warga Kristen bisa menjadi Wakil Bupati.
Kebetulan sebagai pemuda Gereja saya mengenal baik beliau karena kami sering minta nasehatnya dalam hal kegiatan kepemudaan. Saya telusuri keberadaan beliau saat ini, karena akhir 1968 saya sudah hijrah ke Jakarta sampai sekarang. Dalam catatan dari BPK Gunung Mulia terakhir pak Nur Sidharta tercatat sebagai warga GKJ Bibis Luhur. Ketika saya menghubungi GKJ Bibis Luhur-Surakarta, menurut mas Nugroho Pak Nur Sidharta memang warga GKJ Bibis Luhur tetapi Pepanthan Mojosongo. Waktu Pepanthan Mojosongo didewasakan menjadi GKJ Mojosongo pada tahun 1996 Pak Nur Sidharta menjadi pengurus gereja dan Majelis. Hal ini dibenarkan oleh mBak Nana dari GKJ Mojosongo dan ternyata Pak Nur Sidharta telah dipanggil Tuhan beberapa waktu yang lalu.
Untuk mengenang beliau, kami turunkan kembali tulisannya yang berupa kesaksian dengan judul Ternyata Tuaian Banyak seperti berikut:
Kemarin pagi aku turun dari Colt abu-abu tua di depan Balai Desa Girimarto, kira-kira 25 km dari Wonogiri. Jarak yang cukup jauh dari rumahku di Solo. Wilayah Kecamatan yang senama dengan desa itu terletak di lereng Barat Daya Gunung Lawu dan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Karanganyar di sebelah Utara.
Aku bermaksud mengunjungi Pak Ciptosumarto, sahabat lamaku. Dulu ia menjabat sebagai kepala desa dan tinggal di belakang balai desa itu. Akan tetapi setelah menyaksikan perubahan dan perkembangan yang menakjubkan di sepanjang jalan beraspal mulus Wonogiri-Sidoharjo-Girimarto tadi, hatiku menjadi ragu. Masih dapatkah kujumpai sahabat lama, cikal bakal Pepanthan GKJ Girimarto itu di tempatnya semula? Untuk memperoleh kepastian dan sekaligus mengusir pengaruh hawa dingin yang belum terkuasai oleh panas matahari pagi itu kumasuki
sebuah kedai di kios pasar di seberang jalan.
Seorang perawan tanggung meletakkan segelas kopi panas dan sepiring juadah ditambah tempe goreng di depanku sambil mempersilakan:
“Kopinya, Mbah.”
“Terima kasih ndhuk. Namamu siapa?”
Ia duduk di dekatku. “Saya Sarmi, Mbah. Mbah dari mana? Saya kok belum pernah lihat?”
“Tentu saja belum. Berapa umurmu?” tanyaku ulang.
“Empat belas tahun. Baru saja tamat SD, Mbah.” Jawabnya.
“Nah, itu! Saya terakhir kemari limabelas tahun yang lalu, jadi Sarmi belum lahir. Saya Mbah
Nur, rumah saya di Solo, ingin menemui kawan lama di sini,” jawabku menjelaskan.
“Nostalgia, to Mbah Nur. Siapa kawan lama itu?” tanyanya lagi.
“Pak Ciptosumarto yang dulu tinggal di seberang sana,” sahutku mengarahkan pandangan ke seberang.
“Pak Lurah Cipto, to Mbah,” tanyanya.
“Wo, dia sudah meninggal kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Masih famili, to Mbah?”
“Kalau famili, masa saya bertanya-tanya kepadamu, Mi. Tuh, ada tamu.”
Ia pun meninggalkan aku. Kuhirup sedikit kopi yang masih mengepul, sambil memandang bangunan gereja di sebelah kanan balai desa itu. Juadah gurih dan tempe mengantar aku menapak kenangan masa silam.
***
Duapuluh tahun yang lalu, di tempat rumah ibadah itu berdiri, terdapat sebuah gudang berdinding bambu berlantai tanah. Nama Yesus belum dikenal orang. Sebutan Kristen terucap Kresten penuh cemooh di bibir. Namun manakala tiba saatnya api Roh Kudus menyulut sumbu dinamit mujizatNya, dinding penyekat manakah yang mampu menahan ledakan dahsyat yang ditimbulkannya. Sayang komponen utama yang dipakaiNya di kala itu kini telah tiada.
Pada suatu pagi yang dingin di akhir tahun 1967, setelah menembus hujan gerimis di jalan bebas aspal Sidoharjo-Girimarto yang terus menanjak itu, di pendapa kecamatan yang waktu itu belum sebagus kini aku bertatap muka dengan para kepala desa sewilayah kecamatan. Tokoh-tokoh bertampang seram itulah yang dua hari sebelumnya telah membuat Bupati Kepala Daerah berang karena mengabaikan perintah berkumpul untuk mengikuti briefingnya.
Tugasku ialah menggembleng pejabat-pejabat desa yang tidak disiplin itu dan mengikis habis unsur-unsur penghambat Orde Baru yang tersinyalir.
Berat nian tanggungjawabku sebagai Wakil Bupati yang baru tiga bulan dilantik dan belum pernah memperoleh pendidikan ke pamong prajaan ini. Apalagi di dalam suasana politik yang belum mantap waktu itu. Bekalku hanyalah pengalaman tujuh tahun menjadi anggota DPRD sebelum diangkat menjadi pejabat eksekutif itu, dan andalanku hanyalah pengharapan akan penyertaan Tuhan yang kami mohon bersama semalam di dalam doa keluarga.
Namun bekal dan andalan yang tak tampak dimata itu ternyata lebih dari cukup.
Selama aku duduk di depan para pamong yang hampir semua berwajah seperti pesakitan itu serasa terngiang di telingaku peringatan agar aku melupakan saja kegeraman hati atasanku dan bertindak sabar berdasarkan kasih semata. Memang aku mempunyai mandat penuh untuk menjatuhkan vonis apapun, tetapi aku mendengar pesan Tuhan bahwa aku tidak boleh menghakimi sesamaku, dan aku juga tak boleh bersikap toleran terhadap kejahatan.
Dengan pendekatan menurut bisikan Roh Kudus kulihat betapa wajah-wajah yang semula suram itu berangsur menjadi ceria. Hati yang semula tertutup pun terungkap tanggap.
Akhirnya aku putuskan: “Mulai hari Senin mendatang kalian harus mengikuti kursus cepat Pamong desa selama 10 hari tanpa boleh meninggalkan lokasi pusat pendidikan, yakni di Kecamatan.”
Semua bernafas lega. Tugas pertama terintis sudah. Yang kedua belum lagi nampak dari arah mana harus kumulai, namun aku tetap percaya akan penyertaan Tuhan.
Apa sebabnya aku tak tahu, mungkin penampilannya yang lebih tertib atau nampaknya lebih cerdas daripada kawan-kawan sejawatnya, perhatianku tertarik kepada kepala desa Girimarto yang bernama Ciptosumarto itu. Seusai pertemuan kusempatkan diri berkunjung ke rumahnya.
“Pak Cipto sudah lama menjadi kepala desa?” tanyaku memulai percakapan.
“Sudah sejak tahun 1937, Pak,” sahutnya sopan.
“Wah, jadi sudah 30 tahun?” tanyaku takjub.
“Betul, Pak. Saya anak Girimarto asli, kok,” sambungnya.
“Begini, Pak. Saya ini tinggal di Wonogiri sudah 11 tahun lamanya, tetapi belum juga mendapat kesempatan menyelami keadaan masyarakat Girimarto ini. Rasanya orang-orang sini kok kurang akrab, agak bersifat tertutup dan menangggapi perkembangan dengan
acuh tak acuh. Apa penyebabnya kira-kira?” tanyaku perlahan.
“Setiap orang dari luar Girimarto pasti merasakan hal itu, Pak. Sikap itu pulalah yang membuat Pak Bupati marah besar kemarin dulu itu; keterlaluan, sih.” Jawabnya murung.
“Jadi sikap yang boleh dikata umum, begitu?” ujarku meyakinkan.
“Begitulah Pak, setidaknya menghinggapi sebagian besar penduduk.”
“Lho, Bapak kok menggunakan istilah menghinggapi. Apa itu bukan sikap yang orisinil?” tanyaku.
“Bukan, Pak. Sebenarnya kami ini sama saja dengan orang Indonesia lainnya. Tetapi di wilayah ini sejak jaman Belanda dulu berkembang suatu faham semacam Saminisme yang diajarkan oleh Kyai Tambakmerang dan hingga kini mempengaruhi dan menguasai sikap hidup masyarakat, meskipun tokoh utamanya telah tiada,” ia menjelaskan.
“Dapatkah bapak memberi contoh isi ajaran itu?”
“Ya, antara lain orang dilarang keras membunuh.”
“Lho, itu kan baik dan benar,” selaku.
“Memang baik sekali, kalau dilakukan dengan menggunakan otak Pak. Tapi, kalau membunuh ular berbisa yang siap menggigit orang atau tikus yang merusak padi juga pantang, kan sesat namanya! Itu hanya sebuah contoh saja. Masih banyak lainnya yang konyol begitu,” katanya menjelaskan.
“Oh, pantas, pantas. Kalau kaum mudanya bagaimana?” dengan penuh selidik aku bertanya lagi.
“Yaah, masyarakat disini sangat tradisionil, Pak. Yang muda kebanyakan bersikap apatis, menelan saja apa yang disuapkan orang tua mereka. Yang berpikiran agak maju tak cukup keberanian untuk menentang, ada pula yang lari ke kota sebagai pernyataan berontak,” ia menerangkan.
“Bagaimana pendapat Bapak kalau masyarakat kita garap dengan ajaran yang lebih unggul, agar mereka menjauhi dan akhirnya meninggalkan paham yang menghambat kemajuan itu?” aku memberi saran.
“Itu gagasan yang bagus sekali, Pak. Saya bersedia membantu, tetapi ajaran apa yang Bapak maksud?” tanyanya ingin tahu.
“Terima kasih atas kesediaan Bapak. Ini kebetulan saya membawa kitab yang memuat sebagian ajaran itu.” Kukeluarkan Kitab Perjanjian Baru ukuran mini yang menyertaiku di setiap perjalanan dari saku bajuku dan kuulurkan kepadanya “Cobalah baca.”
“Lho, ini kan Kitab Injil, Pak?” ia tampak heran.
“Betul, kenapa?”
“Begini, Pak Nur. Dulu di Solo saya menamatkan pelajaran di Christelijke Standraadschool (SD Kristen) Margoyudan. Saya sebenarnya sangat tertarik kepada agama yang diajarkan di sekolah itu, tetapi belum lagi sempat memahaminya, saya sudah dipanggil pulang untuk dicalonkan menjadi kepala desa ini. Sekarang baru tiba kesempatan indah itu.”
Hatiku mengembang penuh harapan.
Dua pekan kemudian aku kembali mengunjungi Pak Cipto. Bu Cipto menyertai suaminya menerimaku.
“Bagaimana, Pak Cipto?” tanyaku setelah mencicipi hidangan air teh hangat dan juadah gurih khas Girimarto. “Sudah Bapak pelajari kitab yang dulu itu?”
“Pak Nur, meskipun baru sedikit sekali yang mampu kami cerna, kami sekeluarga telah memutuskan untuk menjadi orang Kristen yang pertama di wilayah ini,” kata Pak Cipto dengan mantap.
“Tetapi kalian harus menjadi orang-orang baru. Artinya harus rela meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang tak sesuai, untuk digantikan dengan tata kehidupan baru menurut firman Tuhan,” aku mengajukan tantangan.
“Kami sanggup, Pak. Bukankah menurut ajaran Yesus itu orang harus dilahirkan kembali agar dapat masuk Kerajaan Allah?”
“Tepat sekali, Pak Cipto. Tetapi bagaimana kalau karena menyandang nama Kristen itu kalian dicemoohkan orang?” pancingku.
“Ya, biarkan saja orang mencemooh, Pak”
“Puji Tuhan. Semoga Tuhan senantiasa tinggal di tengah kelurga ini . . . . Tetapi saya ini hanya perantara. Akan segera saya laporkan niat kalian kepada Majelis Gereja di Wonogiri. Maukah kalian saya doakan?”
“Silakan, Pak Nur,” sahutnya senang.
Di pertengahan tahun 1968 suami-isteri Ciptosumarto dan beberapa anggota keluarga dekatnya menerima baptisan di GKJ Wonogiri.
Kesanggupan untuk menjadi orang-orang baru mereka laksanakan secara konsekwen.
Kalau dulu Bapak dan Ibu Cipto terkenal sebagai penjudi-penjudi ulung, kini segala jenis kartu tak mereka sentuh lagi. Kebiasaan membuka primbon dan semacamnya mereka ganti dengan menggumuli Firman Tuhan. Segala macam jimat yang dulu mereka andalkan kini mereka singkirkan.
Pembaharuan kehidupan mereka itu tentu saja mengundang banyak rintangan dan tantangan dari masyarakat yang masih tercengkeram oleh kuasa kegelapan. Namun daripada menanggapi cobaan itu dengan sikap keras yang sia-sia, mereka memilih bertekun di dalam doa dan melakukan pekerjaan sehari-hari dengan penuh gairah.
Buah-buah iman semakin menonjol.
Benar-benar Tuhan tak salah pilih! Di tengah rawa berlumpur dosa yang selalu siap menelan siapa saja yang tercebur ke dalamnya, keluarga Ciptosumarto tampak kian berseri bagaikan kota indah di atas gunung, yang dari kejauhan sedap dipandang (Mat.5: 14).
Kedatangan saudara-saudara seiman dari Wonogiri di tengah persekutuan doa mereka sangat menunjang iman mereka.
Maka lambat-laun karena berkat Tuhan rasa cemburu dan dengki itu berganti simpati.
Kian banyak orang ingin tahu bagaimana dan apa sebabnya para tebusan Yesus itu selalu tampak begitu cerah.
Demikianlah tanpa mereka rencanakn garam-garam itu meresap ke dalam bahan makanan yang tanpa sempat menghendaki atau menolaknya, menyerap saja pengasinan atas dirinya.
Itulah kuasa Roh Kudus.
Perkembangan itu membahagiakan namun juga merepotkan orang-orang Wonogiri. Pendeta Jemaat, Pak Hastosumarto yang sakit-sakitan itu sungguh terbakar oleh api Roh dan dikuatkan oleh pengharapan akan karunia Tuhan, sehingga meski fisik lemah mampu menguasai rongrongan kuman-kuman di tubuhnya untuk melayani katekisasi kepada puluhan orang peminat yang oleh Pak Cipto ditampung dirumahnya. Akan tetapi manakala jumlah yang puluhan itu meningkat menjadi ratusan, kesulitan tak teratasi lagi olehnya. “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit.” (Mat.9: 37). Syukurlah jemaat memiliki tenaga-tenaga militan yang dengan segala kemampuan masing-masing rela menyerahkan diri untuk dipekerjakan di ladang Tuhan. Beberapa orang diantaranya beruntung dapat mengikuti kursus kader Gereja di Solo, sedang aku sempat pula mengikuti kursus penyegaran di Salatiga.
Berbulan-bulan kami bekerja tanpa mengharapkan imbalan atau pujian, karena semua sadar bahwa apa yang kami lakukan itu adalah pelengkap permintaan kami kepada yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk menuai tuaian itu.
Bukankah Ia juga yang memilih kami menjadi pekerja?
Akhirnya jerih payah kami pun terupah. Kota kecil di lereng Lawu itu gempar ketika ratusan orang memadati gudang berdinding bambu di samping kantor pemerintahan desa itu dan membanjiri halaman depannya, untuk menerima baptisan kudus. Para sukarelawan dari Wonogiri berbaur di tengah mereka. (menurut keterangan mBak Tinuk dari GKJ Giri Kinasih kurang lebih 500 orang yang dibaptis pada waktu itu/pen.)
Tiada mimbar, hanya sebuah meja kecil di depan serta sederet kursi.
Tepat pukul 09.00 pintu samping-depan itu terbuka; Jemaat pun berdiri dengan khidmat. Sebuah prosesi memasuki ruangan, diawali oleh anggota majelis tertua Bapak Martobudoyo, Pdt. Ds. Hastosumarto, Pdt. Ds. Atmorejoko dari GKJ Sukoharjo, Pdt. Ds. Reksodarmojo dan
Pdt. Ds. Edy Trimodo Rumpoko dari GKJ Margoyudan-Solo, Pdt. Sie Tiang Tjwan dari GKI Wonogiri dan seorang pendeta Angkatan Darat bersuku Ambon, Benu namanya.
Berkumandang kidung-kidung pujian bernada ke Jawa-jawaan. Seusai kotbah singkat Pendeta Jemaat dan penjelasan tentang baptisan, menggemalah serentak jawaban: “Inggiih” (Ya) menyatakan kemantapan hati berserah kepada penebusan Tuhan setelah menyadari dosa.
Terjadilah peristiwa besar yang menjadi tonggak sejarah berdirinya Pepanthan GKJ Girimarto dan merupakan tonggak pembaharuan hidup banyak keluarga setelah lama terlelap dan terkungkung di kegelapan dosa.
Sungguh mengharukan betapa kedua lidah non Jawa itu memaksa diri mengucapkan kata-kata permandian: “Panjenengan kula baptis atas asmanipun Allah Sang Rama . . . (Saudara saya baptis di dalam nama Allah Bapa . . .) dst. (Yang dimaksud adalah Pdt. Sie Tiang Tjwan dan Pdt. Benu/pen.) Lebih mengharukan lagi betapa pasrah pasangan-pasangan orang desa berhati lugu itu dan anak-anak mereka bergantian berlutut di depan keenam hamba Tuhan bertoga hitam itu untuk dibaptis. Sempat kulihat pak Hasto menghapus air mata bahagia dengan saputangan putihnya.
Pekerjaan yang cukup melelahkan bagi keenam pendeta itu, namun tampak nyata sinar kebahagiaan di wajah mereka. Aku yakin bahwa peristiwa bersejarah itu tak akan mereka lupakan sepanjang hayat.
Salahlah kalau orang mengira bahwa pekerjaan telah selesai ketika Pepanthan GKJ Girimarto diteguhkan. Guna membina murid-murid baru ditempat terpencil itu Jemaat Induk mencetak kader-kader lokal. Ini kami lakukan beramai-ramai. Namun bagi Pak Hastosumarto sebagai Pejabat Catatan Sipil dan aku sebagai Pejabat Pemerintah daerah masih ada pekerjaan lain. Harus dibuatkan akte pernikahan bagi hampir semua pasangan yang telah dipermandikan itu, karena mereka ternyata hanya terikat dalam perkawinan tumpeng atau menurut istilah sekarang kawin kebo.
“Kopinya tambah, Mbah?” gadis penjaga kedai itu menyadarkan aku dari lamunan.
“Ah, ah, cukup, Ndhuk.” Kuteguk sisa kopiku.
“Mbah Nur ini pasti Kristen,” tebak Sarmi.
“Darimana kau tahu?”
“Lha, mulai tadi kok memandangi gereja itu saja. Saya ini murid Pak Guru Parna di Sekolah Minggu. Mbah Nur betul Kristen, kan?”
“Betul, Mi. Di mana Pak Parna mu itu tinggal?” Kuulurkan selembar uang ribuan kepadanya.
“Wah, belum ada kembalinya, Mbah, sepi hari ini.”
“Masukkan saja uang kembalian itu ke kantong persembahan nanti, Ndhuk.”
“Terima kasih, Mbah. Rumah pak Suparna di depan KUA sana itu.”
“Mbah Nur pulang, ya Ndhuk. Selamat tinggal, Mi.”
Akupun melangkah pergi, diantar lambaian tangan gadis tanggung itu.
“Selamat jalan, Mbah Nur.”
Setelah berkunjung sebentar ke rumah Suparna, anggota Majelis Gereja muda usia itu, kutinggalkan Girimarto tanpa mengetahui apakah aku masih akan melihatnya kembali.
Namun hati tua ini bahagia menyaksikan perluasan pemasyhuran Injil Allah yang begitu menggembirakan.
Aku tak ingat lagi berapa jiwa yang menjadi warga Kerajaan Allah di hari Minggu bahagia di tahun 1969 itu. Pada perjalanan pulang aku sempat singgah di rumah Pak Hastosumarto yang telah pensiun, yang ketika kutanya berapa jumlah anggota GKJ Girimarto menyebutkan dengan ingat-ingat lupa jumlahnya 477. Hanya buku Induk Jemaat GKJ Wonogiri yang dapat menyatakan secara tepat. Namun nyatanya kini di wilayah Kecamatan Girimarto itu terdapat tiga buah pepanthan GKJ masing-masing dengan rumah ibadatnya, yakni di Gemawang, di Simpar dan disamping kecamatan Girimarto. Sebuah SMP Kristen pun telah ada di kota kecil itu.
Pak Ciptosumarto telah tiada, Pak Hastosumarto hampir tak mampu lagi meninggalkan tempat tidurnya, Pak Martobudoyo hanya untuk mengambil uang pensiunnya saja keluar rumah. Walaupun demikian Tuhan tetap memelihara keberadaannya selama generasi penerus mengikuti jejak orang tua, setia mematuhi panggilan Juruselamat nya untuk bersaksi di tengah masyarakat, dan bertekun di dalam doa.
Tuaian memang tetap banyak. Dan Yesus tak henti-hentinya memanggil para pekerjaNya. Andreas Hutomo.
***
Catatan: Pepanthan GKJ Girimarto didewasakan dari GKJ Wonogiri menjadi GKJ Giri Kinasih pada tgl, 26 Mei 2000. Dua tahun sebelumnya pada tgl, 26 Mei 1998 Pdt. Wurihanto Handoyo Adi, STh ditahbiskan menjadi Pendeta pertama di GKJ Giri Kinasih. Saat ini menurut sumber dari Sinode, GKJ Giri Kinasih mempunyai 4 Pepanthan dengan jumlah jemaat seluruhnya 653 orang dengan Gembala Jemaat Pdt. Sumardiyono, STh.
Majelis Gereja
Sebagaimana layaknya sebuah organisasi, kalau organisasi itu ada pemimpinnya maka gereja juga memiliki pemimpin. Ada gereja yang memiliki pemimpin tunggal dan ada gereja yang mempunyai pemimpin yang terdiri atas sejumlah orang. Gereja Kristen Jawa menganut sistem bergereja dengan pemimpin yang terdiri atas sejumlah orang yang disebut Majelis. Seorang pakar Teologi berpendapat bahwa menurut tradisi Calvinis, keberadaan Kristus di dunia ini terselenggara dalam tiga dimensi yaitu raja, imam dan nabi. Dimensi raja adalah kawasan terbentuknya ketetepan yang bersifat definitif yang menjelmakan kehendak Allah. Dimensi imam adalah kawasan penghubung antara kehendak Allah dengan tanggapan manusiawi. Sedangkan dimensi nabi adalah kawasan kritis yang mempertanyakan keabsahan perumusan kehendak Allah dan tanggapan manusiawi. Berdasarkan tiga dimensi Kristus di dunia itu dibentuklah tiga jabatan pokok di dalam gereja Calvinis yaitu penatua, diaken dan pendeta.
Penatua
Penatua dalam Bahasa Yunani disebut presbuteros adalah jabatan yang sangat penting dalam jemaat. Istilah penatua berarti yang dituakan, mengandung makna wibawa dan dihormati. Orang yang diangkat sebagai penatua “. . . haruslah orang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah tetapi peramah, pendamai, bukan hamba uang, seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang tidak bisa mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus jemaat Allah? Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman iblis. Hendaklah ia juga mempunyai nama baik di luar jemaat, agar jangan ia digugat orang dan jatuh ke dalam jerat iblis.” (I Tim.3: 2-7)
Penatua adalah pemimpin rohani. Ia dipilih terutama untuk tugas itu, yakni menggembalakan jemaat Allah. (Kis.20: 28). Tugasnya juga mencakup pelayanan kepada orang yang lemah. (Kis.20: 35), menegor yang berbuat salah (I Tes.5: 12), waspada terhadap ajaran-ajaran palsu yang menimbulkan perpecahan (Kis.20: 29-31). Seorang Penatua haruslah menjadi contoh kehidupan yang Kristiani (Ibr.13:7; I Ptr. 5: 3) dan menunjukkan teladan kedermawanan (Kis.20:35)
Penatua bertugas untuk memfasilitasi terjadinya proses ke raja an dalam Majelis Gereja atau melaksanakan pemerintahan gereja demi terlaksananya tugas panggilan gereja. Sebagai raja majelis gereja harus berani menjadi pengantara antara manusia dan Allah. Disatu pihak menunjukkan jalan yang benar yang harus dijalani baik oleh warga gereja maupun masyarakat, dipihak lain membimbing ke pertobatan bagi mereka yang bersalah atau berdosa.
Diaken
Diaken berasal dari Bahasa Yunani diakonos, yang berarti pelayan atau penolong. Pada kitab Perjanjian Baru istilah diakonos mempunyai makna yang luas.
Digunakan untuk menggambarkan semua orang yang melayani jemaat dalam kedudukan apapun. Paulus sendiri meski seorang Rasul, sering menyebut dirinya sebagai diakonos atau pelayan (I Kor.3: 5; II Kor.3:6; Ef.3: 7; Kol.1: 23).
Jabatan diaken telah dilembagakan untuk para rasul memasrahkan segenap hidupnya dalam doa dan pelayanan Firman (Kis.6: 4)
Meskipun para diaken bertugas untuk mengurus masalah yang bersifat sementara yang timbul dalam jemaat itu, mereka pun terlibat pula dalam pewartaan Injil (Kis.6: 8; 8: 5-13, 26-40)
Seperti halnya Penatua, para Diaken juga dipilih oleh jemaat berdasarkan ukuran moral dan kerohanian (I Tim.3: 8-13)
Diaken bertugas memfasilitasi terjadinya proses ke iman an atau memelihara iman warga gereja dengan cara memperhatikan kesejahteraan hidup warga gereja dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat umum. Sebagai imam majelis gereja disatu pihak harus mengelola kehidupan bersama warga gereja secara baik dan di pihak lain harus mendampingi dan memberdayakan warga gereja dalam ikut mengelola kehidupan bersama masyarakat.
Pendeta
Di dalam Alkitab baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memang tidak ada tertulis kata Pendeta, tetapi mereka yang memberikan pengajaran disebut guru atau nabi.
Pendeta bertugas untuk memfasilitasi terjadinya proses ke nabi an atau tugas pelayanan sakramen dan pemeliharaan iman jemaat. Sebagai nabi majelis gereja harus selalu bersikap kritis baik terhadap gereja maupun pihak lain. Bila gereja sendiri bersifat dan bertindak tidak adil, tidak benar dan tidak jujur majelis gereja harus berani menyatakan bahwa gereja salah dan mengajak untuk bertobat.
Tiga jabatan itulah yang kita warisi hingga sampai saat ini, meski pembagian bidang tugasnya tidak seperti dalam gagasan Calvin mula-mula. Sebab ketiga bidang itu tidak lagi bisa dipisah-pisahkan satu sama lain. Tugas jabatan Penatua, Diaken dan Pendeta saat ini secara praktis sudah melebur jadi satu. Apa yang dilakukan oleh yang satu bisa pula dilakukan oleh yang lain, hanya bedanya pelayanan sakramen dan pemberkatan pernikahan dilakukan oleh Pendeta saja. Selama ini pelayanan pemakaman selalu dilakukan oleh Pendeta, meskipun sebenarnya boleh juga dilakukan oleh Majelis yang lain. Tetapi ada semacam pandangan atau kepercayaan kalau yang melayani pemakaman bukan Pendeta, takut yang meninggal tidak bisa masuk surga.
Meski kepemimpinan gereja itu secara kolektif namun tetap saja masing-masing orang karena kedudukannya sebagai pemimpin gereja tertuntut untuk menjadi orang yang kualitasnya lebih daripada warga gereja yang bukan majelis. Peningkatan kualitas itu dilakukan dengan penuh sukacita, meski ada juga yang karena keterpaksaan. Ada yang karena kedudukannya di gereja sebagi majelis maka semakin rajin ke gereja dan terlibat aktif dalam kegiatan gereja, dan semua itu dilakukan dengan sukacita sebagai kesempatan meningkatkan kualitas hidupnya sebagai orang Kristen. Tetapi ada juga yang merasa terpaksa harus menyesuaikan diri sebagai majelis gereja. Ketika menjadi majelis gereja tampak aktif, tetapi setelah habis masa baktinya ia kembali menjadi warga jemaat yang tidak menaruh perhatian lagi terhadap gereja.
Tentu saja yang terbaik adalah kedudukan sebagai majelis gereja itu diterima sebagai kesempatan yang sangat baik untuk meningkatkan kualitas hidup sebagai orang Kristen.
Seperti yang diuraikan di atas maka jelaslah bahwa majelis gereja itu adalah pemimpin gereja, meskipun juga diyakini bahwa pemimpin gereja yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus. Berdasar keyakinan itu maka kepemimpinan gereja juga harus bersifat Kristokratis.
Artinya pelaksanaan dan segala keputusan yang diambil oleh majelis dalam pelayanannya juga harus didasarkan pada kehendak Kristus.
Seringkali terjadi apabila ada majelis yang lereh atau habis masa baktinya selalu kesulitan mencari calon penggantinya. Berbagai alasan dikemukakan, seperti tidak ada waktu karena masih bekerja penuh waktu. Karena tidak bisa berdoa atau menyanyi atau pemahaman tentang Alkitabiah masih kurang atau berbagai alasan lain. Seharusnya sebagai orang Kristen merasa senang kalau dipanggil menjadi majelis dan serius dalam menjalankan tugasnya karena dengan demikian ia berkesempatan mewujudkan rasa syukur kepada Yesus Sang Juruselamat yang telah menebusnya. Disamping itu ke majelis an juga menjadi kesempatan yang bagus untuk mengucap syukur atas limpahan berkat dan karunia yang tiada henti.
Kadang sering kita dengar majelis yang mengeluh karena kehabisan waktu untuk bisa melayani, karena tenggelam dalam kesibukan mencari nafkah. Namun kalau saja kita mau menyadari, bila kita percaya bahwa kuasa Roh Kudus akan memberikan jalan keluar mengatasi kesulitan tersebut jalan itu akan terbuka juga. Yang penting motivasi dan semangat serta spiritualitas dalam pelayanan itu yang harus dimiliki. Kalau kita memilikinya maka kesulitan apapun yang dihadapi pasti akan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Selamat menjadi majelis, selamat melayani! *dari berbagai sumber. Ode Pamungkas. Gunungsindur, April’15
Penatua
Penatua dalam Bahasa Yunani disebut presbuteros adalah jabatan yang sangat penting dalam jemaat. Istilah penatua berarti yang dituakan, mengandung makna wibawa dan dihormati. Orang yang diangkat sebagai penatua “. . . haruslah orang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah tetapi peramah, pendamai, bukan hamba uang, seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang tidak bisa mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus jemaat Allah? Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman iblis. Hendaklah ia juga mempunyai nama baik di luar jemaat, agar jangan ia digugat orang dan jatuh ke dalam jerat iblis.” (I Tim.3: 2-7)
Penatua adalah pemimpin rohani. Ia dipilih terutama untuk tugas itu, yakni menggembalakan jemaat Allah. (Kis.20: 28). Tugasnya juga mencakup pelayanan kepada orang yang lemah. (Kis.20: 35), menegor yang berbuat salah (I Tes.5: 12), waspada terhadap ajaran-ajaran palsu yang menimbulkan perpecahan (Kis.20: 29-31). Seorang Penatua haruslah menjadi contoh kehidupan yang Kristiani (Ibr.13:7; I Ptr. 5: 3) dan menunjukkan teladan kedermawanan (Kis.20:35)
Penatua bertugas untuk memfasilitasi terjadinya proses ke raja an dalam Majelis Gereja atau melaksanakan pemerintahan gereja demi terlaksananya tugas panggilan gereja. Sebagai raja majelis gereja harus berani menjadi pengantara antara manusia dan Allah. Disatu pihak menunjukkan jalan yang benar yang harus dijalani baik oleh warga gereja maupun masyarakat, dipihak lain membimbing ke pertobatan bagi mereka yang bersalah atau berdosa.
Diaken
Diaken berasal dari Bahasa Yunani diakonos, yang berarti pelayan atau penolong. Pada kitab Perjanjian Baru istilah diakonos mempunyai makna yang luas.
Digunakan untuk menggambarkan semua orang yang melayani jemaat dalam kedudukan apapun. Paulus sendiri meski seorang Rasul, sering menyebut dirinya sebagai diakonos atau pelayan (I Kor.3: 5; II Kor.3:6; Ef.3: 7; Kol.1: 23).
Jabatan diaken telah dilembagakan untuk para rasul memasrahkan segenap hidupnya dalam doa dan pelayanan Firman (Kis.6: 4)
Meskipun para diaken bertugas untuk mengurus masalah yang bersifat sementara yang timbul dalam jemaat itu, mereka pun terlibat pula dalam pewartaan Injil (Kis.6: 8; 8: 5-13, 26-40)
Seperti halnya Penatua, para Diaken juga dipilih oleh jemaat berdasarkan ukuran moral dan kerohanian (I Tim.3: 8-13)
Diaken bertugas memfasilitasi terjadinya proses ke iman an atau memelihara iman warga gereja dengan cara memperhatikan kesejahteraan hidup warga gereja dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat umum. Sebagai imam majelis gereja disatu pihak harus mengelola kehidupan bersama warga gereja secara baik dan di pihak lain harus mendampingi dan memberdayakan warga gereja dalam ikut mengelola kehidupan bersama masyarakat.
Pendeta
Di dalam Alkitab baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memang tidak ada tertulis kata Pendeta, tetapi mereka yang memberikan pengajaran disebut guru atau nabi.
Pendeta bertugas untuk memfasilitasi terjadinya proses ke nabi an atau tugas pelayanan sakramen dan pemeliharaan iman jemaat. Sebagai nabi majelis gereja harus selalu bersikap kritis baik terhadap gereja maupun pihak lain. Bila gereja sendiri bersifat dan bertindak tidak adil, tidak benar dan tidak jujur majelis gereja harus berani menyatakan bahwa gereja salah dan mengajak untuk bertobat.
Tiga jabatan itulah yang kita warisi hingga sampai saat ini, meski pembagian bidang tugasnya tidak seperti dalam gagasan Calvin mula-mula. Sebab ketiga bidang itu tidak lagi bisa dipisah-pisahkan satu sama lain. Tugas jabatan Penatua, Diaken dan Pendeta saat ini secara praktis sudah melebur jadi satu. Apa yang dilakukan oleh yang satu bisa pula dilakukan oleh yang lain, hanya bedanya pelayanan sakramen dan pemberkatan pernikahan dilakukan oleh Pendeta saja. Selama ini pelayanan pemakaman selalu dilakukan oleh Pendeta, meskipun sebenarnya boleh juga dilakukan oleh Majelis yang lain. Tetapi ada semacam pandangan atau kepercayaan kalau yang melayani pemakaman bukan Pendeta, takut yang meninggal tidak bisa masuk surga.
Meski kepemimpinan gereja itu secara kolektif namun tetap saja masing-masing orang karena kedudukannya sebagai pemimpin gereja tertuntut untuk menjadi orang yang kualitasnya lebih daripada warga gereja yang bukan majelis. Peningkatan kualitas itu dilakukan dengan penuh sukacita, meski ada juga yang karena keterpaksaan. Ada yang karena kedudukannya di gereja sebagi majelis maka semakin rajin ke gereja dan terlibat aktif dalam kegiatan gereja, dan semua itu dilakukan dengan sukacita sebagai kesempatan meningkatkan kualitas hidupnya sebagai orang Kristen. Tetapi ada juga yang merasa terpaksa harus menyesuaikan diri sebagai majelis gereja. Ketika menjadi majelis gereja tampak aktif, tetapi setelah habis masa baktinya ia kembali menjadi warga jemaat yang tidak menaruh perhatian lagi terhadap gereja.
Tentu saja yang terbaik adalah kedudukan sebagai majelis gereja itu diterima sebagai kesempatan yang sangat baik untuk meningkatkan kualitas hidup sebagai orang Kristen.
Seperti yang diuraikan di atas maka jelaslah bahwa majelis gereja itu adalah pemimpin gereja, meskipun juga diyakini bahwa pemimpin gereja yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus. Berdasar keyakinan itu maka kepemimpinan gereja juga harus bersifat Kristokratis.
Artinya pelaksanaan dan segala keputusan yang diambil oleh majelis dalam pelayanannya juga harus didasarkan pada kehendak Kristus.
Seringkali terjadi apabila ada majelis yang lereh atau habis masa baktinya selalu kesulitan mencari calon penggantinya. Berbagai alasan dikemukakan, seperti tidak ada waktu karena masih bekerja penuh waktu. Karena tidak bisa berdoa atau menyanyi atau pemahaman tentang Alkitabiah masih kurang atau berbagai alasan lain. Seharusnya sebagai orang Kristen merasa senang kalau dipanggil menjadi majelis dan serius dalam menjalankan tugasnya karena dengan demikian ia berkesempatan mewujudkan rasa syukur kepada Yesus Sang Juruselamat yang telah menebusnya. Disamping itu ke majelis an juga menjadi kesempatan yang bagus untuk mengucap syukur atas limpahan berkat dan karunia yang tiada henti.
Kadang sering kita dengar majelis yang mengeluh karena kehabisan waktu untuk bisa melayani, karena tenggelam dalam kesibukan mencari nafkah. Namun kalau saja kita mau menyadari, bila kita percaya bahwa kuasa Roh Kudus akan memberikan jalan keluar mengatasi kesulitan tersebut jalan itu akan terbuka juga. Yang penting motivasi dan semangat serta spiritualitas dalam pelayanan itu yang harus dimiliki. Kalau kita memilikinya maka kesulitan apapun yang dihadapi pasti akan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Selamat menjadi majelis, selamat melayani! *dari berbagai sumber. Ode Pamungkas. Gunungsindur, April’15
Nguri-uri Paribahan "bagian 3"
Cegah dhahar lawan guling
Tegese, ngurang-ngurangi mangan lan turu. Pitutur iki adhehasar kapitayan menawa urip ora mung kanggo golek seneng, ngepebakake awak (mangan turu). Ngurang-ngurangi mangan lan turu kena diarani nglakoni tirakat, meper hawa nepsu murih nduweni kekuatan lair batin kanggo mbengkas ruwet rentenging urip.
Urip ing alam donya akeh alangane. Wujude uga manekawarna lan ora karuwan sangkan parane. Mula becike sadhengah wong kudu prayitna, ngati-ati. Murih uripe ayem tentrem, ora nunjang palang, kebak perkara sing ora ana enteke, becike tansah eling lan waspada.
Carane yaiku ngakeh-akehi anggone padha tirakat (kaya ngurang-ngurangi mangan lan turu). Awit sing jeneng tirakat iku mujudake olah rasa, batin, jiwa lan raga. Ing pangangkah, kanthi nglakoni tirakat mau banjur bisa ngendhaleni hawa nepsu, tumindake bener lan pener, teguh tanggon, anteng mantheng,, pikiran bening, ati resik lan sateruse.
Kanthi nduweni kapribaden kaya mangkono, kena dipesthekake yen dheweke bakal kuwawa naggulangi ruwet rentenge urip sing diadhepi saben dina.
Artinya, mengurangi makan dan tidur. Petuah ini berdasarkan sebuah kepercayaan bahwa hidup bukan hanya bertujuan untuk mencari kenikmatan, menyenangkan diri dengan makan dan tidur. Mengurangi makn dan tidur dapat disebut menjalani tirakat atau prihatin, mengekang hawa nafsu, agar mendapatkan kekuatan lahir dan batin dalam mengatasi segala persoalan hidup.
Selama hidup di dunia manusia menghadapi persoalan dan godaan yng tidak habis-habisnya. Wujud godaan itu bermacam-macam dan dapat datang darimana saja. Oleh sebab itu, sebaiknya setiap rang harus berhati-hati. Agar tenteram hidupnya, tidak penuh dengan keruwetan permasalahan yang tidak kunjung selesai, maka selayaknya kita harus selalu waspada. Salah satu caranya adalah memperbanyak tirakat atau berperilaku prihatin, yaitu dengan cara mengurangi makan dan tidur.
Tirakat merupakan latihan olah rasa, olah batin, olah jiwa dan raga. Apabila seseorang berhasil melakukannya dengan baik, dia akan mempunyai kemampuan mengendalikan hawa nafsu, memperbaiki sifat perilaku, serta hati dan pikiran menjadi jernih. Dengan memiliki kepribadian demikian, besar kemungkinan ia bakal mampu mengatasi berbagai permasalahan hidup setiap harinya.
Dadi godhong emoh nyuwek, dadi banyu emoh nyawuk
Tegese, unen-unen iki nggambarake sepira gethinge manunsa marang pawongan kang nate gawe piala marang dheweke. Saking gethinge, luwih becik pedhot anggone sesrawungan apadene paseduluran. Luwih becik wong kuwi ora canthuk lawung selawase karo wong sing nate gawe piala mau. Nganti disanepakake, upama wong mau dadi godhong emoh nyuwek, dadiya banyu ora bakal nyawuk.
Paribasan iki uga menehi pepeling kaya ngapa rakete paseduluran utawa kekancan, bisa wae ngalami cengkah lan pecah, nganti bener-bener medhotake sesambungan kang wis kelakon pirang-pirang taun lawase. Mula, raketa kaya ngapa anggone paseduluran siji lan sijine kudu tetep njaga. Aja nganti keladuk nrajang subasita kang dadi angger-angger, apadene pager wewalering pasrawungan.
Unen-unen dadi godhong emoh nyuwek, dadi banyu emoh nyawuk uga ngemot pepeling, menawa kesabarane manungsa bisa entek menawa nemahi kahanan kang nglarani ati.
Kayata bola-bali diwirang-wirangake, ditulung malah menthung, diunek-unekake thok leh ing sangareping liyan lan sapanunggalane.
Artinya, jadi daun tak mau menyobek, jadi air tak mau menciduk.
Pernyataan ini mengggambarkan betapa bencinya manusia terhadap orang yang pernah menyakiti hatinya. Oleh karena begitu benci, lebih baik orang tersebut putus pertemanan atupun persaudaraan, tidak mau lagi berhubungan dengan orang yang dibenci tersebut. Sampai diibaratkan, andai orang tersebut menjadi daun, maka orang yang disakiti enggan menyobek. Andai menjadi air, tidak bakalan menciduk.
Peribahasa ini mengingatkan, betapa pun eratnya persahabatan atau persaudaraan mungkin saja bisa pecah hingga benar-benar bisa memutuskan hubungan persahabatan yang telah terbina selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, seerat apapun hubungan persaudaraan maupun persahabatan, tiap-tiap pihak harus tetap menjaga sikap perbuatannya. Jangan sampai tiap-tiap pihak menerjang baik tata karma maupun rambu-rambu aturan dalam pergaulan.
Selain itu, peribahasa dadi godhong emoh nyuwek, dadi banyu emoh nyawuk juga memberikan nasihat bahwa kesabaran manusia bisa habis dan berubah menjadi kebencian apabila menerima perlakuan yang buruk/menyakitkan dari orang lain. Seperti dipermalukan di depan umum, dicaci-maki, dirugikan berkali-kali dengan sengaja, serta banyak lagi perbuatan buruk lainnya.
Diwenehi ati ngrogoh rempela
Tegese, diwenehi kepenak malah nranyak, njaluk sing ora-ora. Gegambarane wong kang nguja hawa nepsune. Ora ketang wis diwenehi apa kang dijaluk/diperlokake, ditulung bola-bali, tundhone malah nranyak. Njaluk kang dudu salumrahe, dudu hake. Kamangka sing menehi mau nyata-nyata wis nandur kabecikan akeh banget marang dheweke.
Patrap kaya ngene aja ditiru. Awit wong kang duwe tumindak kaya ngono ora duwe rasa rumangsa, ora ngerti matur nuwun, ora duwe isin babar pisan. Wong kaya mangkono mau bisane mung nguja kekarepan, apa sing dipengini kudu kelakon.
Unen-unen iki saperangan uga menehi pitutur yen menehi wong iku kudu nganggo duga kira-kira. Becike menawa menehi wong sepisan pindho wae, aja nganti kekerepen.
Awit yen kekerepen menehi padha karo ora menehi piwulang kang becik.
Bisa wae sing diwenehi banjur tuman, duwe penganggep sing ora-ora saengga nggampangake, kumawani nranyak, njejaluk kang ora sapantese.
Artinya, diberi hati masih mengambil ampela, sudah ditolong malah meminta lagi, lebih dari yang semestinya. Peribahasa tersebut menjadi gambaran dari orang yang mengumbar hawa nafsunya. Meskipun sudah diberi apa yang diminta/diperlukan, ditolong berkali-kali, ujung-ujungnya malah melampaui batas, yaitu meminta lagi hal yang lebih/tidak sepantasnya. Padahal orang yang memberi itu jelas-jelas sudah berbuat kebaikan yang amat banyak kepada dirinya. Perbuatan seperti ini jangan ditiru. Sebab orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak berperasaan, tidak tahu berterima kasih, tidak punya malu. Orang tersebut hanya memenuhi keinginan dirinya saja, ngotot agar apa yang diinginkan harus tercapai.
Selain itu, peribahasa ini dapat pula menjadi petunjuk bahwa memberi sesuatu kepada orang lain harus menggunakan pertimbangan, tidak asal memberi. Dalam memberi pun sebaiknya hanya sekali dua kali, jangan sampai terlalu sering. Sebab, kalau terlalu sering memberi sama saja mengajari yang tidak baik. Bisa saja yang diberi malah ketagihan dan karena setiap permintaannya diluluskan dia pun akan berani mengajukan permintaan lagi.
Emban cindhe, emban siladan
Tegese, siji digendhong nganggo slendhang, sijine digendhong nganggo pring siladan.
Paribasan mau nggambarake pemimpin, wong tuwa, utawa sapa wae kang duwe panguwasa nanging seneng mbedak-mbedakake rakyate/anak-anake. Rakyat utawa anak sing disenengi anggone nggatekake luwih-luwih. Paribasan apa penjaluke dituruti, dikepenakake uripe, dialem ngalor-ngidul. Dene rakyat utawa anak sing ora disenengi, anggone nggatekake prasasat mung waton. Malah kaya-kaya rakyat utawa anake mau digegering. Bener diunekake luput, luput ora dibenerake nanging malah dionyo-onyo.
Patrap kaya unen-unen iki kepetung ala. Mula aja ditiru. Saumpama mbesuk mimpin uwong ora kena duwe tumindak kaya mangkono. Ora kena emban cindhe, emban siladan.
Sadhengah uwong kudu diwenehi kawigaten kang padha. Mbiji uwong aja mung pathokan seneng karo ora seneng. Yen patrap kaya mangkono dicakake, ora gantalan dina panguwasane bakal ilang, awit carane mimpin gawe rugine wong akeh.
Artinya, yang satu digendong dengan selendang, yang satunya lagi digendong dengan bilah bambu yang diraut. Peribahasa ini merupakan perumpamaan pemimpin, orang tua, atau siapa saja yang berkuasa, tetapi senang membeda-bedakan rakyat atau anaknya satu sama lain. Rakyat atau anak yang disukai sangat diperhatikan. Ibarat apa yang diminta pasti dikabulkan, sangat dimanja, disanjung dimana saja. Adapun rakyat atau ank yang tidak disukai, tidak diperhatikan. Malah boleh dikata rakyat atau anak tersebut dibiarkan begitu saja.
Benar dikatakan salah, salah tidak dibetulkan, malah dimarahi.
Sikap yang digambarkan peribahasa tersebut merupakan sikap yang buruk.
Oleh sebab itu, sikap itu jangan ditiru. Andai suatu hari anda menjadi seorang pemimpin, anda tidk boleh bersikap demikian. Anda tidak boleh emban cindhe, emban siladan. Semua orang harus mendapatkan perlakuan yang sama. Menilai seseorang jangan hanya berdasar suka atau tidak suka. Apabila pemimpin berbuat seperti itu, kepemimpinannya tidak akan lama karena cara memimpinnya merugikan banyak orang. *dari berbagai sumber. berlanjut . . .
Tegese, ngurang-ngurangi mangan lan turu. Pitutur iki adhehasar kapitayan menawa urip ora mung kanggo golek seneng, ngepebakake awak (mangan turu). Ngurang-ngurangi mangan lan turu kena diarani nglakoni tirakat, meper hawa nepsu murih nduweni kekuatan lair batin kanggo mbengkas ruwet rentenging urip.
Urip ing alam donya akeh alangane. Wujude uga manekawarna lan ora karuwan sangkan parane. Mula becike sadhengah wong kudu prayitna, ngati-ati. Murih uripe ayem tentrem, ora nunjang palang, kebak perkara sing ora ana enteke, becike tansah eling lan waspada.
Carane yaiku ngakeh-akehi anggone padha tirakat (kaya ngurang-ngurangi mangan lan turu). Awit sing jeneng tirakat iku mujudake olah rasa, batin, jiwa lan raga. Ing pangangkah, kanthi nglakoni tirakat mau banjur bisa ngendhaleni hawa nepsu, tumindake bener lan pener, teguh tanggon, anteng mantheng,, pikiran bening, ati resik lan sateruse.
Kanthi nduweni kapribaden kaya mangkono, kena dipesthekake yen dheweke bakal kuwawa naggulangi ruwet rentenge urip sing diadhepi saben dina.
Artinya, mengurangi makan dan tidur. Petuah ini berdasarkan sebuah kepercayaan bahwa hidup bukan hanya bertujuan untuk mencari kenikmatan, menyenangkan diri dengan makan dan tidur. Mengurangi makn dan tidur dapat disebut menjalani tirakat atau prihatin, mengekang hawa nafsu, agar mendapatkan kekuatan lahir dan batin dalam mengatasi segala persoalan hidup.
Selama hidup di dunia manusia menghadapi persoalan dan godaan yng tidak habis-habisnya. Wujud godaan itu bermacam-macam dan dapat datang darimana saja. Oleh sebab itu, sebaiknya setiap rang harus berhati-hati. Agar tenteram hidupnya, tidak penuh dengan keruwetan permasalahan yang tidak kunjung selesai, maka selayaknya kita harus selalu waspada. Salah satu caranya adalah memperbanyak tirakat atau berperilaku prihatin, yaitu dengan cara mengurangi makan dan tidur.
Tirakat merupakan latihan olah rasa, olah batin, olah jiwa dan raga. Apabila seseorang berhasil melakukannya dengan baik, dia akan mempunyai kemampuan mengendalikan hawa nafsu, memperbaiki sifat perilaku, serta hati dan pikiran menjadi jernih. Dengan memiliki kepribadian demikian, besar kemungkinan ia bakal mampu mengatasi berbagai permasalahan hidup setiap harinya.
Dadi godhong emoh nyuwek, dadi banyu emoh nyawuk
Tegese, unen-unen iki nggambarake sepira gethinge manunsa marang pawongan kang nate gawe piala marang dheweke. Saking gethinge, luwih becik pedhot anggone sesrawungan apadene paseduluran. Luwih becik wong kuwi ora canthuk lawung selawase karo wong sing nate gawe piala mau. Nganti disanepakake, upama wong mau dadi godhong emoh nyuwek, dadiya banyu ora bakal nyawuk.
Paribasan iki uga menehi pepeling kaya ngapa rakete paseduluran utawa kekancan, bisa wae ngalami cengkah lan pecah, nganti bener-bener medhotake sesambungan kang wis kelakon pirang-pirang taun lawase. Mula, raketa kaya ngapa anggone paseduluran siji lan sijine kudu tetep njaga. Aja nganti keladuk nrajang subasita kang dadi angger-angger, apadene pager wewalering pasrawungan.
Unen-unen dadi godhong emoh nyuwek, dadi banyu emoh nyawuk uga ngemot pepeling, menawa kesabarane manungsa bisa entek menawa nemahi kahanan kang nglarani ati.
Kayata bola-bali diwirang-wirangake, ditulung malah menthung, diunek-unekake thok leh ing sangareping liyan lan sapanunggalane.
Artinya, jadi daun tak mau menyobek, jadi air tak mau menciduk.
Pernyataan ini mengggambarkan betapa bencinya manusia terhadap orang yang pernah menyakiti hatinya. Oleh karena begitu benci, lebih baik orang tersebut putus pertemanan atupun persaudaraan, tidak mau lagi berhubungan dengan orang yang dibenci tersebut. Sampai diibaratkan, andai orang tersebut menjadi daun, maka orang yang disakiti enggan menyobek. Andai menjadi air, tidak bakalan menciduk.
Peribahasa ini mengingatkan, betapa pun eratnya persahabatan atau persaudaraan mungkin saja bisa pecah hingga benar-benar bisa memutuskan hubungan persahabatan yang telah terbina selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, seerat apapun hubungan persaudaraan maupun persahabatan, tiap-tiap pihak harus tetap menjaga sikap perbuatannya. Jangan sampai tiap-tiap pihak menerjang baik tata karma maupun rambu-rambu aturan dalam pergaulan.
Selain itu, peribahasa dadi godhong emoh nyuwek, dadi banyu emoh nyawuk juga memberikan nasihat bahwa kesabaran manusia bisa habis dan berubah menjadi kebencian apabila menerima perlakuan yang buruk/menyakitkan dari orang lain. Seperti dipermalukan di depan umum, dicaci-maki, dirugikan berkali-kali dengan sengaja, serta banyak lagi perbuatan buruk lainnya.
Diwenehi ati ngrogoh rempela
Tegese, diwenehi kepenak malah nranyak, njaluk sing ora-ora. Gegambarane wong kang nguja hawa nepsune. Ora ketang wis diwenehi apa kang dijaluk/diperlokake, ditulung bola-bali, tundhone malah nranyak. Njaluk kang dudu salumrahe, dudu hake. Kamangka sing menehi mau nyata-nyata wis nandur kabecikan akeh banget marang dheweke.
Patrap kaya ngene aja ditiru. Awit wong kang duwe tumindak kaya ngono ora duwe rasa rumangsa, ora ngerti matur nuwun, ora duwe isin babar pisan. Wong kaya mangkono mau bisane mung nguja kekarepan, apa sing dipengini kudu kelakon.
Unen-unen iki saperangan uga menehi pitutur yen menehi wong iku kudu nganggo duga kira-kira. Becike menawa menehi wong sepisan pindho wae, aja nganti kekerepen.
Awit yen kekerepen menehi padha karo ora menehi piwulang kang becik.
Bisa wae sing diwenehi banjur tuman, duwe penganggep sing ora-ora saengga nggampangake, kumawani nranyak, njejaluk kang ora sapantese.
Artinya, diberi hati masih mengambil ampela, sudah ditolong malah meminta lagi, lebih dari yang semestinya. Peribahasa tersebut menjadi gambaran dari orang yang mengumbar hawa nafsunya. Meskipun sudah diberi apa yang diminta/diperlukan, ditolong berkali-kali, ujung-ujungnya malah melampaui batas, yaitu meminta lagi hal yang lebih/tidak sepantasnya. Padahal orang yang memberi itu jelas-jelas sudah berbuat kebaikan yang amat banyak kepada dirinya. Perbuatan seperti ini jangan ditiru. Sebab orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak berperasaan, tidak tahu berterima kasih, tidak punya malu. Orang tersebut hanya memenuhi keinginan dirinya saja, ngotot agar apa yang diinginkan harus tercapai.
Selain itu, peribahasa ini dapat pula menjadi petunjuk bahwa memberi sesuatu kepada orang lain harus menggunakan pertimbangan, tidak asal memberi. Dalam memberi pun sebaiknya hanya sekali dua kali, jangan sampai terlalu sering. Sebab, kalau terlalu sering memberi sama saja mengajari yang tidak baik. Bisa saja yang diberi malah ketagihan dan karena setiap permintaannya diluluskan dia pun akan berani mengajukan permintaan lagi.
Emban cindhe, emban siladan
Tegese, siji digendhong nganggo slendhang, sijine digendhong nganggo pring siladan.
Paribasan mau nggambarake pemimpin, wong tuwa, utawa sapa wae kang duwe panguwasa nanging seneng mbedak-mbedakake rakyate/anak-anake. Rakyat utawa anak sing disenengi anggone nggatekake luwih-luwih. Paribasan apa penjaluke dituruti, dikepenakake uripe, dialem ngalor-ngidul. Dene rakyat utawa anak sing ora disenengi, anggone nggatekake prasasat mung waton. Malah kaya-kaya rakyat utawa anake mau digegering. Bener diunekake luput, luput ora dibenerake nanging malah dionyo-onyo.
Patrap kaya unen-unen iki kepetung ala. Mula aja ditiru. Saumpama mbesuk mimpin uwong ora kena duwe tumindak kaya mangkono. Ora kena emban cindhe, emban siladan.
Sadhengah uwong kudu diwenehi kawigaten kang padha. Mbiji uwong aja mung pathokan seneng karo ora seneng. Yen patrap kaya mangkono dicakake, ora gantalan dina panguwasane bakal ilang, awit carane mimpin gawe rugine wong akeh.
Artinya, yang satu digendong dengan selendang, yang satunya lagi digendong dengan bilah bambu yang diraut. Peribahasa ini merupakan perumpamaan pemimpin, orang tua, atau siapa saja yang berkuasa, tetapi senang membeda-bedakan rakyat atau anaknya satu sama lain. Rakyat atau anak yang disukai sangat diperhatikan. Ibarat apa yang diminta pasti dikabulkan, sangat dimanja, disanjung dimana saja. Adapun rakyat atau ank yang tidak disukai, tidak diperhatikan. Malah boleh dikata rakyat atau anak tersebut dibiarkan begitu saja.
Benar dikatakan salah, salah tidak dibetulkan, malah dimarahi.
Sikap yang digambarkan peribahasa tersebut merupakan sikap yang buruk.
Oleh sebab itu, sikap itu jangan ditiru. Andai suatu hari anda menjadi seorang pemimpin, anda tidk boleh bersikap demikian. Anda tidak boleh emban cindhe, emban siladan. Semua orang harus mendapatkan perlakuan yang sama. Menilai seseorang jangan hanya berdasar suka atau tidak suka. Apabila pemimpin berbuat seperti itu, kepemimpinannya tidak akan lama karena cara memimpinnya merugikan banyak orang. *dari berbagai sumber. berlanjut . . .