Siklus Tahunan dan Kalender
Membicarakan tahun baru, tidak bisa dilepaskan dari siklus tahunan. Kuasa Allah telah menciptakan matahari, bumi dan bulan dengan putarannya masing-masing di jagat raya. Dan kecerdasan manusia, berkat rakhmat Allah, telah mampu menciptakan ukuran itu yang disebut ‘Kalender’. Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM.
Tahun baru memiliki sejuta makna, ada luapan gembira, perasaan duka, juga ada yang memaknai biasa-biasa. Ini semua tergantung pada siapa yang memaknai. Yang pasti adalah usia bertambah dan dari sisi lain jatah menikmati dunia semakin habis. Hari esok harus lebih baik dari hari ini.
Membicarakan tahun baru, tidak bisa dilepaskan dari siklus tahunan, yakni suatu putaran waktu yang dipercaya oleh orang purba maupun orang modern sebagai ukuran bertambahnya usia manusia. Kuasa Allah telah menciptakan matahari, bumi dan bulan dengan putarannya masing-masing di jagat raya, sehingga dapat dibaca oleh manusia dan dijadikan pedoman dalam menentukan ukuran tahun. Dan kecerdasan manusia, berkat rakhmat Allah, telah mampu menciptakan ukuran itu yang disebut ‘Kalender’. Apa, mengapa dan bagaimana kalender itu, sekilas kita bahas dalam kesempatan merayakan tahun baru 2015 ini.
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes seorang ahli astronomi dari Iskandarsyah yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penganggalan baru dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM, sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun , satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.
Kalender
Setiap kurun waktu yang beradab, purba ataupun modern, kalender itu sangat diperlukan. Kalender masa kini adalah hasil dari abad keabad yang penuh dengan penelitian yang tekun dan percobaan yang terus-menerus. Pada saat manusia pertama kali mengamati benda-benda di langit untuk mencari cara mengukur waktu, mereka melihat bahwa tampaknya matahari berulang-ulang melakukan perjalanan yang sama di langit dan selalu kembali ke tempat yang sama setelah beberapa hari. (Sebenarnya bumi yang mengelilingi matahari setiap tahunnya.) Pada waktu itu orang melihat bahwa bulan juga bergerak membentuk suatu lingkaran.
Sebagian besar kalender yang terdahulu didasarkan atas peredaran bulan. Kalender-kalender ini dibuat agar sedapat mungkin sesuai dengan peredaran matahari yang lebih luas. Tahun dalam kalender ini pada umumnya terdiri atas dua belas daur rembulan atau bulan-bulan. Karena dua belas daur bulan tidak sama dengan satu tahun matahari, ditambahkanlah satu bulan ekstra disebut bulan yang disisipkan. Beberapa bangsa purba seperti Babilonia, Yahudi, Yunani, dan Romawi mengambil perhitungan metode ini.
Kalender Matahari Pertama
Bangsa Mesir adalah yang pertama kali mendasarkan kalendernya pada daur matahari dan menjadikan bulan suatu unit yang berubah-ubah semata-mata, yang tidak sesuai dengan daur bulan yang sebenarnya. Mereka menyusun satu tahun 360 hari yang terbagi atas 12 bulan dan tiap-tiap bulan 30 hari. Karena sesuai dengan perhitungannya bahwa matahari melengkapi lintasannya di langit selama 365 hari, mereka menambahkan 5 hari pada setiap akhir tahun yang hanya 360 hari itu. Tambahan hari itu adalah “hari-hari besar”. Para pendeta di Mesir dipercayakan untuk tugas pengaturan hari-hari besar itu. Kalender Mesir ini dipakai pada tahun 4236 SM, menurut seorang ahli purbakala Amerika, James Henry Breasted.
Kalender Julius Caesar
Bangsa Romawi purba mempunyai kalender bulan yang sangat sulit dan membingungkan. Terdapat 12 bulan dan kadang-kadang ada bulan ketigabelas, dinamakan Mercedonius, yang kadang-kadang disisipkan dengan cara yang serampangan. Nama-nama bulan itu adalah: Martius, Aprilis, Maius, Junius, Quantilis, Sextilis, September, October, November, December, Januarius, Februarius.
Dalam tahun 153 SM, Januari ditentukan sebagai bulan pertama, bukan dari Martius. Kalender dipercayakan pada suatu dewan pendeta the College of Pontiffs yang dikepalai seorang pontifex maximus. Julius Caesar sebagai pemegang kuasa ini. Para Pontifex bertanggungjawab atas pengaturan berbagai masalah keagamaan tertentu, termasuk penentuan tanggal untuk upacara-upacara dan pesta-pesta. Baru pada tahun 47 SM Caesar mengambil langkah pertama untuk mengubah kalender, dengan menggunakan tahun matahari untuk kalender Romawi. Dia menetapkan tahun itu terdiri dari 365 hari, ditambah ¼ hari yang terdiri dari 6 jam. Seperempat hari itu ditahan sampai terkumpul menjadi satu hari penuh. Hari itu kemudian ditambahkan pada tahun yang umum menjadi 1 hari pada tahun kabisat. Hal ini terjadi setiap 4 tahun sekali. Tahun 46 SM menjembatani kalender yang tua dengan yang baru. Tahun berikutnya, 45 SM, benar-benar merupakan tahun pertama yang menggunakan kalender yang sudah diubah. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM dia mengubah nama bulan Quantilis dengan namanya yaitu Julius atau Juli. Kemudian nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus
Kalender Gregorian
Pada tahun 1582 sebuah reformasi kalender yang penting terjadi. Paus Gregory XIII memutuskan untuk menyesuaikan kalender dengan musim. Tahun kabisat bukan abad (seperti kalender Julius Caesar) tetap menerima satu hari ekstra. Tidak ada usaha untuk untuk menyamakan jumlah hari dalam sebulan atau untuk menstabilkan kalender. Kalender Gregorian inilah yang kita pakai saat ini. Semua Negara Katolik Roma memakai reformasi Gregorian, Tetapi kelompok Kristen lainnya sulit menerimanya. Bangsa Inggris baru memakai kalender Gregorian pada tahun 1752. Perancis-seperti Negara-negara Katolik di Eropa yang lain-telah memakai kalender Gregorian sejak tahun 1582, tetapi untuk beberapa waktu lamanya setelah tahun 1792 kalender itu diganti dengan ‘kalender Revolusioner’. Pada tahun 1806 Napoleon mengembalikan penggunaan kelander Gregorian sebagai suatu tanda rujuk dengan gereja. Jepang memakai kalender Gregorian pada tahun 1873, Cina pada tahun 1912, Yunani pada tahun 1924, dan Turki pada tahun 1927. Rusia menggunakan kalender ini pada tahun 1918, menggantinya dengan sebuah kalender lain ketika kelompok Bolshevik mengambil alih kekuasaan terhadap Rusia, dan kembali pada kalender Gregorian pada tahun 1940.
Kalender-kalender Lain
Kalender Gregorian bukanlah satu-satunya kalender yang digunakan pada saat ini. Untuk tujuan-tujuan keagamaan, orang-orang Yahudi menggunakan kalender Ibrani, yang dimulai dari tahun kejadian, yaitu 3.760 tahun sebelum Masehi. Kalender ini berdasarkan pada peredaran bulan. Ada 12 bulan, yang terdiri dari 29 dan 30 hari secara bergantian. Suatu bulan tambahan yang terdiri dari 29 hari disisipkan 7 kali setiap siklus 19 tahun. Setiap kali ini terjadi, salah satu dari bulan- bulan yang terdiri dari 29 hari menerima tambahan 1 hari. Tahun dimulai pada musim gugur.
Kalender penting yang lain adalah kalender Islam atau kalender Muslim. Kalender ini juga didasarkan pada peredaran bulan. Ada 354 hari dan 12 bulan, separuhnya memiliki 29 hari dan yang lain 30 hari. Tiga puluh tahun membentuk suatu daur; 11 kali pada setiap daur satu hari ditambahkan pada akhir tahun. Kalender Muslim dimulai pada hari pertama tahun Hijriah, yaitu perjalanan Nabi Muhammad ke Medinah. Tanggal ini bertepatan dengan tanggal 15 Juli 622 Masehi.
Meskipun kalender Gregorian adalah kalender resmi di Cina, tahun baru Cina tetap dihitung dari kalender bulan Cina purba. Bulan-bulan dari kalender ini dikenal dengan nama-nama kedua belas hewan dari zodiac Cina: tikus, sapi, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayamjantan, anjing dan babi.
Perbaikan Kalender Modern
Kalender Gregorian telah melayani kebutuhan manusia selama hampir 4 abad. Meskipun demikian, beberapa orang pemikir mencoba menciptakan perbaikan yang akan mengembalikan kestabilan pada kalender di dalam kerangka tahun berdasarkan musim. Salah satunya, pada tahun 1834, Abbe Marco Mastrofini mengutarakan sebuah rencana sehingga setiap tahun akan sama dan kestabilan kalender yang sudah hilang akan dikembalikan.
Perbaikan kalender berjalan lamban sampai Liga Bangsa-Bangsa mengajukan pertanyaan pada tahun 1923. Suatu usul Kalender Dunia, angka yang mudah dibagi 12 pernah tampak memberi harapan. Dalam kalender ini, tiap-tiap kuartal tahun terdiri dari 91 hari atau 13 minggu atau 3 bulan, sesuai dengan lamanya tiap-tiap musim. Setiap tahun dalam kalender ini seperti tahun-tahun yang lain. Hari pertama setiap tahun selalu jatuh pada hari Minggu; Hari Natal 25 Desember, jatuh pada hari Senin. Untuk menyediakan hari ke 365, suatu hari – dikenal sebagai hari Dunia – dimasukkan setelah 30 Desember dan sebelum 1 Januari. Hari ke 366 dalam tahun kabisat disisipkan antara tanggal 30 Juni dan 1 Juli. Aturan tahun kabisat 400 abad Gregorian tetap dipegang. Meskipun demikian, gagasan ini tidak diterima dan hanya mendapatkan sukses yang kecil sekali dalam tahun-tahun berikutnya sampai sekarang.
Budaya Tahun Baru
Berabad-abad kita melalui kebiasaan-kebiasaan telah melaksanakan suatu kejadian, yang melalui waktu, yang makna intinya sudah ‘kabur’dan hanya merupakan peristiwa memperingati yang indah pada masa lampau. Begitu peristiwa telah melewati titik kejenuhan, kehidupan akan jalan terus dengan masih terikatnya kita pada kejadian-kejadian masa lampau, yang masih memenuhi pikiran-pikiran kita. Yang penting sebenarnya adalah membangun niat baru yang positif. Memang hal ini tidak mudah, karena kita sudah terkekang oleh kebiasaan yang sudah menjadi budaya. Hari esok harus lebih baik dari hari ini. Ini adalah harapan yang kebanyakan hanya untuk ungkapan tanpa disertai usaha nyata untuk mewujudkannya. Dari beberapa sumber. Munari. Depok, 25 Januari 2015.
Tahun baru memiliki sejuta makna, ada luapan gembira, perasaan duka, juga ada yang memaknai biasa-biasa. Ini semua tergantung pada siapa yang memaknai. Yang pasti adalah usia bertambah dan dari sisi lain jatah menikmati dunia semakin habis. Hari esok harus lebih baik dari hari ini.
Membicarakan tahun baru, tidak bisa dilepaskan dari siklus tahunan, yakni suatu putaran waktu yang dipercaya oleh orang purba maupun orang modern sebagai ukuran bertambahnya usia manusia. Kuasa Allah telah menciptakan matahari, bumi dan bulan dengan putarannya masing-masing di jagat raya, sehingga dapat dibaca oleh manusia dan dijadikan pedoman dalam menentukan ukuran tahun. Dan kecerdasan manusia, berkat rakhmat Allah, telah mampu menciptakan ukuran itu yang disebut ‘Kalender’. Apa, mengapa dan bagaimana kalender itu, sekilas kita bahas dalam kesempatan merayakan tahun baru 2015 ini.
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes seorang ahli astronomi dari Iskandarsyah yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penganggalan baru dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM, sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun , satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.
Kalender
Setiap kurun waktu yang beradab, purba ataupun modern, kalender itu sangat diperlukan. Kalender masa kini adalah hasil dari abad keabad yang penuh dengan penelitian yang tekun dan percobaan yang terus-menerus. Pada saat manusia pertama kali mengamati benda-benda di langit untuk mencari cara mengukur waktu, mereka melihat bahwa tampaknya matahari berulang-ulang melakukan perjalanan yang sama di langit dan selalu kembali ke tempat yang sama setelah beberapa hari. (Sebenarnya bumi yang mengelilingi matahari setiap tahunnya.) Pada waktu itu orang melihat bahwa bulan juga bergerak membentuk suatu lingkaran.
Sebagian besar kalender yang terdahulu didasarkan atas peredaran bulan. Kalender-kalender ini dibuat agar sedapat mungkin sesuai dengan peredaran matahari yang lebih luas. Tahun dalam kalender ini pada umumnya terdiri atas dua belas daur rembulan atau bulan-bulan. Karena dua belas daur bulan tidak sama dengan satu tahun matahari, ditambahkanlah satu bulan ekstra disebut bulan yang disisipkan. Beberapa bangsa purba seperti Babilonia, Yahudi, Yunani, dan Romawi mengambil perhitungan metode ini.
Kalender Matahari Pertama
Bangsa Mesir adalah yang pertama kali mendasarkan kalendernya pada daur matahari dan menjadikan bulan suatu unit yang berubah-ubah semata-mata, yang tidak sesuai dengan daur bulan yang sebenarnya. Mereka menyusun satu tahun 360 hari yang terbagi atas 12 bulan dan tiap-tiap bulan 30 hari. Karena sesuai dengan perhitungannya bahwa matahari melengkapi lintasannya di langit selama 365 hari, mereka menambahkan 5 hari pada setiap akhir tahun yang hanya 360 hari itu. Tambahan hari itu adalah “hari-hari besar”. Para pendeta di Mesir dipercayakan untuk tugas pengaturan hari-hari besar itu. Kalender Mesir ini dipakai pada tahun 4236 SM, menurut seorang ahli purbakala Amerika, James Henry Breasted.
Kalender Julius Caesar
Bangsa Romawi purba mempunyai kalender bulan yang sangat sulit dan membingungkan. Terdapat 12 bulan dan kadang-kadang ada bulan ketigabelas, dinamakan Mercedonius, yang kadang-kadang disisipkan dengan cara yang serampangan. Nama-nama bulan itu adalah: Martius, Aprilis, Maius, Junius, Quantilis, Sextilis, September, October, November, December, Januarius, Februarius.
Dalam tahun 153 SM, Januari ditentukan sebagai bulan pertama, bukan dari Martius. Kalender dipercayakan pada suatu dewan pendeta the College of Pontiffs yang dikepalai seorang pontifex maximus. Julius Caesar sebagai pemegang kuasa ini. Para Pontifex bertanggungjawab atas pengaturan berbagai masalah keagamaan tertentu, termasuk penentuan tanggal untuk upacara-upacara dan pesta-pesta. Baru pada tahun 47 SM Caesar mengambil langkah pertama untuk mengubah kalender, dengan menggunakan tahun matahari untuk kalender Romawi. Dia menetapkan tahun itu terdiri dari 365 hari, ditambah ¼ hari yang terdiri dari 6 jam. Seperempat hari itu ditahan sampai terkumpul menjadi satu hari penuh. Hari itu kemudian ditambahkan pada tahun yang umum menjadi 1 hari pada tahun kabisat. Hal ini terjadi setiap 4 tahun sekali. Tahun 46 SM menjembatani kalender yang tua dengan yang baru. Tahun berikutnya, 45 SM, benar-benar merupakan tahun pertama yang menggunakan kalender yang sudah diubah. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM dia mengubah nama bulan Quantilis dengan namanya yaitu Julius atau Juli. Kemudian nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus
Kalender Gregorian
Pada tahun 1582 sebuah reformasi kalender yang penting terjadi. Paus Gregory XIII memutuskan untuk menyesuaikan kalender dengan musim. Tahun kabisat bukan abad (seperti kalender Julius Caesar) tetap menerima satu hari ekstra. Tidak ada usaha untuk untuk menyamakan jumlah hari dalam sebulan atau untuk menstabilkan kalender. Kalender Gregorian inilah yang kita pakai saat ini. Semua Negara Katolik Roma memakai reformasi Gregorian, Tetapi kelompok Kristen lainnya sulit menerimanya. Bangsa Inggris baru memakai kalender Gregorian pada tahun 1752. Perancis-seperti Negara-negara Katolik di Eropa yang lain-telah memakai kalender Gregorian sejak tahun 1582, tetapi untuk beberapa waktu lamanya setelah tahun 1792 kalender itu diganti dengan ‘kalender Revolusioner’. Pada tahun 1806 Napoleon mengembalikan penggunaan kelander Gregorian sebagai suatu tanda rujuk dengan gereja. Jepang memakai kalender Gregorian pada tahun 1873, Cina pada tahun 1912, Yunani pada tahun 1924, dan Turki pada tahun 1927. Rusia menggunakan kalender ini pada tahun 1918, menggantinya dengan sebuah kalender lain ketika kelompok Bolshevik mengambil alih kekuasaan terhadap Rusia, dan kembali pada kalender Gregorian pada tahun 1940.
Kalender-kalender Lain
Kalender Gregorian bukanlah satu-satunya kalender yang digunakan pada saat ini. Untuk tujuan-tujuan keagamaan, orang-orang Yahudi menggunakan kalender Ibrani, yang dimulai dari tahun kejadian, yaitu 3.760 tahun sebelum Masehi. Kalender ini berdasarkan pada peredaran bulan. Ada 12 bulan, yang terdiri dari 29 dan 30 hari secara bergantian. Suatu bulan tambahan yang terdiri dari 29 hari disisipkan 7 kali setiap siklus 19 tahun. Setiap kali ini terjadi, salah satu dari bulan- bulan yang terdiri dari 29 hari menerima tambahan 1 hari. Tahun dimulai pada musim gugur.
Kalender penting yang lain adalah kalender Islam atau kalender Muslim. Kalender ini juga didasarkan pada peredaran bulan. Ada 354 hari dan 12 bulan, separuhnya memiliki 29 hari dan yang lain 30 hari. Tiga puluh tahun membentuk suatu daur; 11 kali pada setiap daur satu hari ditambahkan pada akhir tahun. Kalender Muslim dimulai pada hari pertama tahun Hijriah, yaitu perjalanan Nabi Muhammad ke Medinah. Tanggal ini bertepatan dengan tanggal 15 Juli 622 Masehi.
Meskipun kalender Gregorian adalah kalender resmi di Cina, tahun baru Cina tetap dihitung dari kalender bulan Cina purba. Bulan-bulan dari kalender ini dikenal dengan nama-nama kedua belas hewan dari zodiac Cina: tikus, sapi, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayamjantan, anjing dan babi.
Perbaikan Kalender Modern
Kalender Gregorian telah melayani kebutuhan manusia selama hampir 4 abad. Meskipun demikian, beberapa orang pemikir mencoba menciptakan perbaikan yang akan mengembalikan kestabilan pada kalender di dalam kerangka tahun berdasarkan musim. Salah satunya, pada tahun 1834, Abbe Marco Mastrofini mengutarakan sebuah rencana sehingga setiap tahun akan sama dan kestabilan kalender yang sudah hilang akan dikembalikan.
Perbaikan kalender berjalan lamban sampai Liga Bangsa-Bangsa mengajukan pertanyaan pada tahun 1923. Suatu usul Kalender Dunia, angka yang mudah dibagi 12 pernah tampak memberi harapan. Dalam kalender ini, tiap-tiap kuartal tahun terdiri dari 91 hari atau 13 minggu atau 3 bulan, sesuai dengan lamanya tiap-tiap musim. Setiap tahun dalam kalender ini seperti tahun-tahun yang lain. Hari pertama setiap tahun selalu jatuh pada hari Minggu; Hari Natal 25 Desember, jatuh pada hari Senin. Untuk menyediakan hari ke 365, suatu hari – dikenal sebagai hari Dunia – dimasukkan setelah 30 Desember dan sebelum 1 Januari. Hari ke 366 dalam tahun kabisat disisipkan antara tanggal 30 Juni dan 1 Juli. Aturan tahun kabisat 400 abad Gregorian tetap dipegang. Meskipun demikian, gagasan ini tidak diterima dan hanya mendapatkan sukses yang kecil sekali dalam tahun-tahun berikutnya sampai sekarang.
Budaya Tahun Baru
Berabad-abad kita melalui kebiasaan-kebiasaan telah melaksanakan suatu kejadian, yang melalui waktu, yang makna intinya sudah ‘kabur’dan hanya merupakan peristiwa memperingati yang indah pada masa lampau. Begitu peristiwa telah melewati titik kejenuhan, kehidupan akan jalan terus dengan masih terikatnya kita pada kejadian-kejadian masa lampau, yang masih memenuhi pikiran-pikiran kita. Yang penting sebenarnya adalah membangun niat baru yang positif. Memang hal ini tidak mudah, karena kita sudah terkekang oleh kebiasaan yang sudah menjadi budaya. Hari esok harus lebih baik dari hari ini. Ini adalah harapan yang kebanyakan hanya untuk ungkapan tanpa disertai usaha nyata untuk mewujudkannya. Dari beberapa sumber. Munari. Depok, 25 Januari 2015.
44 Tahun GKJ Nehemia
Gereja Kristen Jawa Betawi
Pada awal tahun 1942 Gereformeerde Kerk Kwitang sebagai pelindung, membantu Kelompok Jemaat berbahasa Jawa. Tetapi karena keadaan ekonomi pada waktu itu semakin tidak menentu dengan datangnya Tentara Jepang maka Kelompok Jemaat berbahasa Jawa tersebut pada tanggal 21 Juni1942 terpaksa didewasakan sebagai Gereja Kristen Jawa Betawi, yang di kemudian hari menjadi GKJ Jakarta dengan anggota majelis pertama :
1. Bp. Basuki Probowinoto, sebagai Penetua
2. Bp. Soemarjo, sebagai Penetua
3. Bp. Soedarmo, sebagai Penetua
4. Bp. Jatman, sebagai Diaken
5. Bp. Sisworo, sebagai Diaken
Jemaat yang belum mempunyai Pendeta sendiri ini bergabung dengan Klasis Yogyakarta, Jawa Tengah. Dari Kwitang maka tempat kebaktian pindah ke SD Kernolong. Mulai hari itu juga ada hasrat dari kelompok Salemba 10 untuk bersatu dengan jemaat GKJ yang dulu mengadakan kebaktian di Kernolong. Persatuan ini diresmikan pada 30 Agustus 1942, yang menjadi Konsulen ialah Bp. Ds. K. Tjokrosoewondo dari GKJ Bandung. Jumlah warga gereja pada waktu itu sudah mencapai 121 orang (wanita dan pria). Setelah satu tahun jemaat GKJ Jakarta hidup tanpa pendeta, maka pada tanggal 28 Maret 1943 Bp. Basuki Probowinoto ditahbiskan sebagai pendeta pertama di GKJ Jakarta oleh Ds. Darmohatmodjo dari Yogyakarta. Dalam satu tahun itu warga gereja bertambah menjadi 203 orang, dan selanjutnya pada tgl, 17 Agustus 1943 anggotanya menjadi 223 orang.
Kelompok Bogor dan sekitarnya dilayani oleh pendeta dari GKJ Bandung Ds. K. Tjokrosoewondo sebulan sekali, dan setelah Ds. Probowinoto menjadi pendeta di GKJ Jakarta maka beliau juga melayaninya. Pada tgl, 25 Maret 1945 jemaat GKJ Jakarta memanggil Bp. Roesman Moeljodwiatmoko untuk membantu Ds. Probowinoto, karena daerah kerjanya semakin luas, sampai ke kota Banten. Kesibukan Pendeta Ds. Probowinoto bertambah setelah beliau diangkat menjadi Penghubung Umat Kristen dengan Pemerintah sampai tanggal 1 Februari 1946. Pada tanggal 25 juli 1948 setelah melampaui prosedur tata-gereja yang berlaku, maka Bp. Roesman Moeljodwiatmoko ditahbiskan sebagai Pendeta GKJ Jakarta.
Sejak tahun 1944 di GKJ Jakarta mulai timbul pemikiran untuk mendirikan gedung gereja, sehingga tidak perlu pindah-pindah tempat kebaktian. Pada tahun 1952 dibentuklah Panitia Pembangunan Gereja. Pada tanggal 6 Nopember’66 Bp. Ds. Roesman Moeljodwiatmoko meletakkan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan gedung gereja di Jl. Persahabatan-Rawamangun dan selesai pada tanggal 29 Juni 1969 dan sudah siap untuk dipakai kebaktian.
Gereja Kristen Jawa Kebayoran
Mulai tahun 1970 GKJ Jakarta kelihatan semakin hidup dan berkembang, sementara kelompok Kebayoran yang mulai kebaktian pertama tanggal 12 Februari 1953 di salah satu ruang SMA Negeri Kebayoran (sekarang SMA 6) dan dilayani oleh Bp. Ds. Roesman juga bertambah subur dan sudah mempunyai anggota lebih dari 500 orang. Pada permulaan 1970 di Kebayoran timbul gagasan untuk belajar mengatur Rumah Tangga sendiri, supaya di kemudian hari dapat berdiri jemaat GKJ Kebayoran yang dewasa. Pada saat itu anggota Majelis GKJ Jakarta untuk kelompok Kebayoran adalah Bp. F.W. Singotaruno, Bp. Soegiarto Tjokrosoegondo, Bp. Rinekso, Bp. Soetrisno, SH, Bp. Soemarto Dibjopranoto dan Bp. Soeratto. Gagasan mendewasakan diri ini setelah ditimbang-timbang dengan masak-masak lalu disampaikan kepada majelis GKJ Jakarta sebagai gereja induk, namun ada juga yang berpendapat demikian: “Apa mungkin mengatur rumah tangga sendiri, sedangkan anggotanya terdiri dari koki, tukang kebon dan pegawai negeri?” Pendapat itu tidak ditanggapi karena kelompok Kebayoran hanya melihat jiwanya anggota gereja saja, dan bukan status pekerjaan maupun kedudukannya dalam masyarakat. Akhirnya Majelis GKJ Jakarta melaporkan hal ini kepada Klasis Tegal yang membentuk Panitia Penjajagan untuk kelompok Kebayoran. Setelah beberapa kali bersidang di gedung Sekolah Yayasan Pendidikan Kristen (YPK), dan sebagai Ketua Bp. Soemarto Dibjopranoto. Panitia Penjajagan berpendapat bahwa usul kelompok Kebayoran adalah pantas, sungguh-sungguh, keluar dari hati yang murni dan yang menunjukkan keinginan untuk hidup mandiri. Bahkan kelompok Kebayoran berharap di kemudian hari akan dapat membantu gereja yang sekeng di lain tempat.
Akhirnya pada tanggal 1 Januari 1971 dalam kebaktian yang dipimpin oleh Bp. Pdt. Roesman Moeljodwiatmoko, diresmikanlah pembiakan kelompok Kebayoran menjadi Gereja Kristen Jawa di Kebayoran. Setelah didewasakan maka jemaat GKJ Kebayoran dibagi menjadi 13 wilayah yang tersebar di Jakarta Selatan dan kemudia berkembang lagi menjadi 16 wilayah yang tersebar di daerah DKI Jakarta, Depok dan Tangerang. Baptisan pertama sesudah kelompok Kebayoran didewasakan, dilaksanakan pada tanggal 28 Februari’71 oleh Bp. Pdt. Soesilo Djojosoedarmo.
Setelah didewasakan maka susunan Majelis GKJ Kebayoran adalah sbb.:
Pendeta Konsulen : Bp. Pdt. Roesman Moeljodwiatmoko
Ketua Majelis : Bp. F.W. Singotaroeno
Wk. Ketua Majelis : Bp. Soegiarto Tjokrosoegondo
Scriba : Bp. Soemarto Dibjopranoto
Anggota/Tua-tua : Bp. Rinekso
Anggota/Tua-tua : Bp. Soenarjo Sir
Anggota/Diaken : Bp. Soetrisno SH
Kwestor : Bp. Soeratto
Pada tanggal 17 Maret 1971 ditambah lagi lima anggota Majelis Baru yaitu Bp. Soedirdjo, Bp. Ir. Martsanto, Bp. Drs. Soedharto, Bp. Soetopo Paulus dan Bp. Soekirman.
Jatuhlah sekarang untuk kelompok Kebayoran mencari gembalanya. Akhirnya panitia diberi tugas ke Jawa Tengah berjumpa dengan seorang Sarjana Theologia yang masih muda bernama Soetarman, dan pada tanggal 1 Mei 1971 bersedia dipanggil untuk menjadi Pendeta di Kebayoran Baru. Orang muda yang bernama Soetarman tersebut berasal dari GKJ Nusukan-Surakarta dan selama menjadi vikaris karena belum ada rumah, maka disediakan kamar di Panglima Polim XVIII di keluarga “S”. Sebelum Bp. Soetarman ditahbiskan sebagai Pendeta, maka Ds. Roesman Moeljodwiatmoko dari GKJ Rawamangun tetap menjadi Konsulen untuk Kebayoran yang pada tahun 1953 sudah lahir. Akhirnya pada tanggal 29 Nopember 1972 Vik. Soetarman STh ditahbiskan menjadi Pendeta GKJ Kebayoran oleh Bp. Pdt. Roesman Muljodwiatmoko di Gedung GKI Kebayoran Baru. (catatan dari Tim Penulisan Sejarah GKJ Kebayoran yang terdiri dari Drs. Singotaroeno, SH, Soetrisno, SH, Drs. Soedirdjo, Drs. Srijadi Joedosoewarno, Ds. Soetarman, MTh, Soeratto dan Soemarto Djbjopranoto).
Sesuai dengan perkembangan jumlah jemaat yang mencapai 1.050 orang, maka terpikirkan pula untuk menambah jumlah gembala. Setelah empat bulan Pdt. Soetarman ditahbiskan, maka pada tanggal 1 April 1973 dipanggilah Humprey Sudarmadi Kariodimedjo STh lulusan STT Jakarta sebagai tenaga khusus yang menangani masalah pemuda, remaja dan Sekolah Minggu. Namun pada pertengahan tahun 1975 ia mengakhiri tugasnya karena dipanggil menjadi pendeta di GKJ Gondokusuman-Yogyakarta. Usaha untuk mencari penggantinya terus-menerus dilakukan, dan baru pada pertengahan tahun 1979 saat jumlah jemaat bertambah menjadi 2.200 orang maka Pdt. Harsono, BTh alumni STT Duta Wacana-Yogyakarta (sebelumnya sebagai gembala jemaat di Gereja Kristen Bengkulu-Talang Boseng) dipanggil sebagai pendeta ke-2 untuk GKJ Kebayoran dan diteguhkan pada tanggal 4 Juni 1979 bersamaan dengan peresmian gedung gereja Depok sekaligus berdirinya Pepanthan Depok. Pepanthan Depok baru didewasakan 14 th kemudian yaitu pada tanggal 4 Juni 1993 menjadi GKJ Yeremia.
Perkembangam jumlah jemaat terjadi pula di daerah Tangerang sehingga pada tanggal 9 Agustus 1981 diresmikanlah Pepanthan Tangerang. Pada mulanya kebaktian dilakukan di rumah warga kemudian berpindah ke Gedung Sekolah Katolik Strada dan terakhir di kompleks Geofisika-Tanah Tinggi, Tangerang di kediaman Ir. Soepomo yang juga motor penggerak cikal bakal Pepanthan Tangerang. Pembangunan gedung gereja dengan sepenuhnya dukungan warga pun segera dimulai, dan pada tanggal 17 Juni 1984 gedung tersebut diresmikan dan sudah mulai digunakan untuk Kebaktian. Pepanthan Tangerang didewasakan menjadi GKJ Tangerang pada tanggal 29 Agustus 1997.
Sementara itu kebutuhan akan tenaga Pembina di gereja induk sangat terasa, khususnya untuk pemuda, remaja dan Sekolah Minggu. Oleh karena itu pada tanggal 1 April 1983 Samuel Bambang Haryanto, STh lulusan STT Jakarta dipanggil sebagai tenaga khusus yang kemudian diarahkan untuk dipanggil menjadi gembala jemaat. Pada tahun 1983 itu jumlah jemaat GKJ Kebayoran sudah menjadi 2.875 orang. Samuel Bambang Haryanto, STh ditahbiskan menjadi pendeta pada tanggal 15 Agustus 1986 sebagai pendeta ke-3 di GKJ Nehemia.
Gereja Kristen Jawa Nehemia
Yang cukup mengherankan, dua pepanthan yaitu Pepanthan Depok dan Tangerang sudah mempunyai gedung gereja sendiri, tetapi justru gereja induk masih menumpang di GKI Kebayoran Baru. Kemudian dibentuklah Panitia Pembangunan Gedung Gereja dengan Ketua Panitia Bp. Soemario. Dengan kerja keras Panitia Pembangunan didukung penuh oleh jemaat dan beberapa pihak antara lain Ketua Yayasan Nehemia Bp. Hediyanto dan Ketua Majelis Pdt. Harsono maka tanggal 24 Nopember 1984 dimulailah pembangunan gedung gereja dan selesai pada tanggal 6 Nopember 1985. Akhirnya pada tanggal 29 Nopember 1985 setelah GKJ Kebayoran menumpang selama 14 tahun di GKI Kebayoran Baru maka gedung gereja diresmikan oleh Wagub DKI Jakarta Bidang Kesra Drs. Anwar Ilmar dan dihadiri oleh Dirjen Bimas Kristen Depag Drs. Soenarto Martowiryono, Ketua II MPH-PGI Pdt. Dr. Soelarso Sopater, Menteri Keuangan Drs. Radius Prawiro selaku simpatisan dan pendukung dana dan Walikota Jaksel Mochtar Zakaria, SH. Dalam persesmian tersebut sekaligus dilaksanakan penggantian nama dari GKJ Kebayoran menjadi GKJ Nehemia dengan jumlah jemaat 3.271 orang.
Pada tahun 1995 Majelis GKJ Nehemia memutuskan untuk memanggil seorang pendeta lagi karena meski jemaat sudah berkurang sejak GKJ Yeremia dan GKJ Tangerang resmi mandiri, namun jumlah jemaat saat itu masih berkisar 4.500 orang. Karena terjadinya pro dan kontra antara majelis dan Tim Pemanggilan Pendeta perihal pemanggilan calon pendeta tersebut, maka pemanggilan berjalan alot sehingga baru pada tanggal 2 Oktober 1998 memanggil dan menetapkan 2 orang calon pendeta yaitu Lusindo YL Tobing, STh lulusan STT Jakarta dan Agus Hendratmo, SSi lulusan UKDW-Yogyakarta. Pada tanggal 12 Mei 2000 Vic. Lusindo YL Tobing,STh dan Vic. Agus Hendratmo, SSi ditahbiskan menjadi Pendeta ke-4 dan ke-5 setelah tenaga Pendeta berkurang satu orang berkenaan dengan dipanggilnya Pdt. Harsono ke pangkuan Bapa di Surga pada tanggal 16 Juni 1999 karena sakit kanker.
Jemaat GKJ Nehemia jumlahnya berkurang lagi ketika Pepanthan Pamulang didewasakan pada tanggal 21 Juli 2007 menjadi GKJ Pamulang dan Pepanthan Kebayoran Lama menjadi GKJ Kanaan pada tangggal 9 Agustus 2008. Pada saat ini jumlah jemaat GKJ Nehemia 2.570 orang dilayani oleh 3 orang pendeta, setelah Pdt. Dr. Soetarman, MTh emeritus kemudian dipanggil ke pangkuan Bapa di Surga pada tanggal 7 Mei 2009. GKJ Nehemia mendapat tambahan pendeta baru sebagai Pendeta Pelayanan Khusus untuk STT Jakarta yang diteguhkan pada tanggal 2 Nopember 2012 atas diri Pdt. Simon Rachmadi, MHum, MA. Selamat ulang tahun ke-44 GKJ Nememia! * dari berbagai sumber
Pada awal tahun 1942 Gereformeerde Kerk Kwitang sebagai pelindung, membantu Kelompok Jemaat berbahasa Jawa. Tetapi karena keadaan ekonomi pada waktu itu semakin tidak menentu dengan datangnya Tentara Jepang maka Kelompok Jemaat berbahasa Jawa tersebut pada tanggal 21 Juni1942 terpaksa didewasakan sebagai Gereja Kristen Jawa Betawi, yang di kemudian hari menjadi GKJ Jakarta dengan anggota majelis pertama :
1. Bp. Basuki Probowinoto, sebagai Penetua
2. Bp. Soemarjo, sebagai Penetua
3. Bp. Soedarmo, sebagai Penetua
4. Bp. Jatman, sebagai Diaken
5. Bp. Sisworo, sebagai Diaken
Jemaat yang belum mempunyai Pendeta sendiri ini bergabung dengan Klasis Yogyakarta, Jawa Tengah. Dari Kwitang maka tempat kebaktian pindah ke SD Kernolong. Mulai hari itu juga ada hasrat dari kelompok Salemba 10 untuk bersatu dengan jemaat GKJ yang dulu mengadakan kebaktian di Kernolong. Persatuan ini diresmikan pada 30 Agustus 1942, yang menjadi Konsulen ialah Bp. Ds. K. Tjokrosoewondo dari GKJ Bandung. Jumlah warga gereja pada waktu itu sudah mencapai 121 orang (wanita dan pria). Setelah satu tahun jemaat GKJ Jakarta hidup tanpa pendeta, maka pada tanggal 28 Maret 1943 Bp. Basuki Probowinoto ditahbiskan sebagai pendeta pertama di GKJ Jakarta oleh Ds. Darmohatmodjo dari Yogyakarta. Dalam satu tahun itu warga gereja bertambah menjadi 203 orang, dan selanjutnya pada tgl, 17 Agustus 1943 anggotanya menjadi 223 orang.
Kelompok Bogor dan sekitarnya dilayani oleh pendeta dari GKJ Bandung Ds. K. Tjokrosoewondo sebulan sekali, dan setelah Ds. Probowinoto menjadi pendeta di GKJ Jakarta maka beliau juga melayaninya. Pada tgl, 25 Maret 1945 jemaat GKJ Jakarta memanggil Bp. Roesman Moeljodwiatmoko untuk membantu Ds. Probowinoto, karena daerah kerjanya semakin luas, sampai ke kota Banten. Kesibukan Pendeta Ds. Probowinoto bertambah setelah beliau diangkat menjadi Penghubung Umat Kristen dengan Pemerintah sampai tanggal 1 Februari 1946. Pada tanggal 25 juli 1948 setelah melampaui prosedur tata-gereja yang berlaku, maka Bp. Roesman Moeljodwiatmoko ditahbiskan sebagai Pendeta GKJ Jakarta.
Sejak tahun 1944 di GKJ Jakarta mulai timbul pemikiran untuk mendirikan gedung gereja, sehingga tidak perlu pindah-pindah tempat kebaktian. Pada tahun 1952 dibentuklah Panitia Pembangunan Gereja. Pada tanggal 6 Nopember’66 Bp. Ds. Roesman Moeljodwiatmoko meletakkan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan gedung gereja di Jl. Persahabatan-Rawamangun dan selesai pada tanggal 29 Juni 1969 dan sudah siap untuk dipakai kebaktian.
Gereja Kristen Jawa Kebayoran
Mulai tahun 1970 GKJ Jakarta kelihatan semakin hidup dan berkembang, sementara kelompok Kebayoran yang mulai kebaktian pertama tanggal 12 Februari 1953 di salah satu ruang SMA Negeri Kebayoran (sekarang SMA 6) dan dilayani oleh Bp. Ds. Roesman juga bertambah subur dan sudah mempunyai anggota lebih dari 500 orang. Pada permulaan 1970 di Kebayoran timbul gagasan untuk belajar mengatur Rumah Tangga sendiri, supaya di kemudian hari dapat berdiri jemaat GKJ Kebayoran yang dewasa. Pada saat itu anggota Majelis GKJ Jakarta untuk kelompok Kebayoran adalah Bp. F.W. Singotaruno, Bp. Soegiarto Tjokrosoegondo, Bp. Rinekso, Bp. Soetrisno, SH, Bp. Soemarto Dibjopranoto dan Bp. Soeratto. Gagasan mendewasakan diri ini setelah ditimbang-timbang dengan masak-masak lalu disampaikan kepada majelis GKJ Jakarta sebagai gereja induk, namun ada juga yang berpendapat demikian: “Apa mungkin mengatur rumah tangga sendiri, sedangkan anggotanya terdiri dari koki, tukang kebon dan pegawai negeri?” Pendapat itu tidak ditanggapi karena kelompok Kebayoran hanya melihat jiwanya anggota gereja saja, dan bukan status pekerjaan maupun kedudukannya dalam masyarakat. Akhirnya Majelis GKJ Jakarta melaporkan hal ini kepada Klasis Tegal yang membentuk Panitia Penjajagan untuk kelompok Kebayoran. Setelah beberapa kali bersidang di gedung Sekolah Yayasan Pendidikan Kristen (YPK), dan sebagai Ketua Bp. Soemarto Dibjopranoto. Panitia Penjajagan berpendapat bahwa usul kelompok Kebayoran adalah pantas, sungguh-sungguh, keluar dari hati yang murni dan yang menunjukkan keinginan untuk hidup mandiri. Bahkan kelompok Kebayoran berharap di kemudian hari akan dapat membantu gereja yang sekeng di lain tempat.
Akhirnya pada tanggal 1 Januari 1971 dalam kebaktian yang dipimpin oleh Bp. Pdt. Roesman Moeljodwiatmoko, diresmikanlah pembiakan kelompok Kebayoran menjadi Gereja Kristen Jawa di Kebayoran. Setelah didewasakan maka jemaat GKJ Kebayoran dibagi menjadi 13 wilayah yang tersebar di Jakarta Selatan dan kemudia berkembang lagi menjadi 16 wilayah yang tersebar di daerah DKI Jakarta, Depok dan Tangerang. Baptisan pertama sesudah kelompok Kebayoran didewasakan, dilaksanakan pada tanggal 28 Februari’71 oleh Bp. Pdt. Soesilo Djojosoedarmo.
Setelah didewasakan maka susunan Majelis GKJ Kebayoran adalah sbb.:
Pendeta Konsulen : Bp. Pdt. Roesman Moeljodwiatmoko
Ketua Majelis : Bp. F.W. Singotaroeno
Wk. Ketua Majelis : Bp. Soegiarto Tjokrosoegondo
Scriba : Bp. Soemarto Dibjopranoto
Anggota/Tua-tua : Bp. Rinekso
Anggota/Tua-tua : Bp. Soenarjo Sir
Anggota/Diaken : Bp. Soetrisno SH
Kwestor : Bp. Soeratto
Pada tanggal 17 Maret 1971 ditambah lagi lima anggota Majelis Baru yaitu Bp. Soedirdjo, Bp. Ir. Martsanto, Bp. Drs. Soedharto, Bp. Soetopo Paulus dan Bp. Soekirman.
Jatuhlah sekarang untuk kelompok Kebayoran mencari gembalanya. Akhirnya panitia diberi tugas ke Jawa Tengah berjumpa dengan seorang Sarjana Theologia yang masih muda bernama Soetarman, dan pada tanggal 1 Mei 1971 bersedia dipanggil untuk menjadi Pendeta di Kebayoran Baru. Orang muda yang bernama Soetarman tersebut berasal dari GKJ Nusukan-Surakarta dan selama menjadi vikaris karena belum ada rumah, maka disediakan kamar di Panglima Polim XVIII di keluarga “S”. Sebelum Bp. Soetarman ditahbiskan sebagai Pendeta, maka Ds. Roesman Moeljodwiatmoko dari GKJ Rawamangun tetap menjadi Konsulen untuk Kebayoran yang pada tahun 1953 sudah lahir. Akhirnya pada tanggal 29 Nopember 1972 Vik. Soetarman STh ditahbiskan menjadi Pendeta GKJ Kebayoran oleh Bp. Pdt. Roesman Muljodwiatmoko di Gedung GKI Kebayoran Baru. (catatan dari Tim Penulisan Sejarah GKJ Kebayoran yang terdiri dari Drs. Singotaroeno, SH, Soetrisno, SH, Drs. Soedirdjo, Drs. Srijadi Joedosoewarno, Ds. Soetarman, MTh, Soeratto dan Soemarto Djbjopranoto).
Sesuai dengan perkembangan jumlah jemaat yang mencapai 1.050 orang, maka terpikirkan pula untuk menambah jumlah gembala. Setelah empat bulan Pdt. Soetarman ditahbiskan, maka pada tanggal 1 April 1973 dipanggilah Humprey Sudarmadi Kariodimedjo STh lulusan STT Jakarta sebagai tenaga khusus yang menangani masalah pemuda, remaja dan Sekolah Minggu. Namun pada pertengahan tahun 1975 ia mengakhiri tugasnya karena dipanggil menjadi pendeta di GKJ Gondokusuman-Yogyakarta. Usaha untuk mencari penggantinya terus-menerus dilakukan, dan baru pada pertengahan tahun 1979 saat jumlah jemaat bertambah menjadi 2.200 orang maka Pdt. Harsono, BTh alumni STT Duta Wacana-Yogyakarta (sebelumnya sebagai gembala jemaat di Gereja Kristen Bengkulu-Talang Boseng) dipanggil sebagai pendeta ke-2 untuk GKJ Kebayoran dan diteguhkan pada tanggal 4 Juni 1979 bersamaan dengan peresmian gedung gereja Depok sekaligus berdirinya Pepanthan Depok. Pepanthan Depok baru didewasakan 14 th kemudian yaitu pada tanggal 4 Juni 1993 menjadi GKJ Yeremia.
Perkembangam jumlah jemaat terjadi pula di daerah Tangerang sehingga pada tanggal 9 Agustus 1981 diresmikanlah Pepanthan Tangerang. Pada mulanya kebaktian dilakukan di rumah warga kemudian berpindah ke Gedung Sekolah Katolik Strada dan terakhir di kompleks Geofisika-Tanah Tinggi, Tangerang di kediaman Ir. Soepomo yang juga motor penggerak cikal bakal Pepanthan Tangerang. Pembangunan gedung gereja dengan sepenuhnya dukungan warga pun segera dimulai, dan pada tanggal 17 Juni 1984 gedung tersebut diresmikan dan sudah mulai digunakan untuk Kebaktian. Pepanthan Tangerang didewasakan menjadi GKJ Tangerang pada tanggal 29 Agustus 1997.
Sementara itu kebutuhan akan tenaga Pembina di gereja induk sangat terasa, khususnya untuk pemuda, remaja dan Sekolah Minggu. Oleh karena itu pada tanggal 1 April 1983 Samuel Bambang Haryanto, STh lulusan STT Jakarta dipanggil sebagai tenaga khusus yang kemudian diarahkan untuk dipanggil menjadi gembala jemaat. Pada tahun 1983 itu jumlah jemaat GKJ Kebayoran sudah menjadi 2.875 orang. Samuel Bambang Haryanto, STh ditahbiskan menjadi pendeta pada tanggal 15 Agustus 1986 sebagai pendeta ke-3 di GKJ Nehemia.
Gereja Kristen Jawa Nehemia
Yang cukup mengherankan, dua pepanthan yaitu Pepanthan Depok dan Tangerang sudah mempunyai gedung gereja sendiri, tetapi justru gereja induk masih menumpang di GKI Kebayoran Baru. Kemudian dibentuklah Panitia Pembangunan Gedung Gereja dengan Ketua Panitia Bp. Soemario. Dengan kerja keras Panitia Pembangunan didukung penuh oleh jemaat dan beberapa pihak antara lain Ketua Yayasan Nehemia Bp. Hediyanto dan Ketua Majelis Pdt. Harsono maka tanggal 24 Nopember 1984 dimulailah pembangunan gedung gereja dan selesai pada tanggal 6 Nopember 1985. Akhirnya pada tanggal 29 Nopember 1985 setelah GKJ Kebayoran menumpang selama 14 tahun di GKI Kebayoran Baru maka gedung gereja diresmikan oleh Wagub DKI Jakarta Bidang Kesra Drs. Anwar Ilmar dan dihadiri oleh Dirjen Bimas Kristen Depag Drs. Soenarto Martowiryono, Ketua II MPH-PGI Pdt. Dr. Soelarso Sopater, Menteri Keuangan Drs. Radius Prawiro selaku simpatisan dan pendukung dana dan Walikota Jaksel Mochtar Zakaria, SH. Dalam persesmian tersebut sekaligus dilaksanakan penggantian nama dari GKJ Kebayoran menjadi GKJ Nehemia dengan jumlah jemaat 3.271 orang.
Pada tahun 1995 Majelis GKJ Nehemia memutuskan untuk memanggil seorang pendeta lagi karena meski jemaat sudah berkurang sejak GKJ Yeremia dan GKJ Tangerang resmi mandiri, namun jumlah jemaat saat itu masih berkisar 4.500 orang. Karena terjadinya pro dan kontra antara majelis dan Tim Pemanggilan Pendeta perihal pemanggilan calon pendeta tersebut, maka pemanggilan berjalan alot sehingga baru pada tanggal 2 Oktober 1998 memanggil dan menetapkan 2 orang calon pendeta yaitu Lusindo YL Tobing, STh lulusan STT Jakarta dan Agus Hendratmo, SSi lulusan UKDW-Yogyakarta. Pada tanggal 12 Mei 2000 Vic. Lusindo YL Tobing,STh dan Vic. Agus Hendratmo, SSi ditahbiskan menjadi Pendeta ke-4 dan ke-5 setelah tenaga Pendeta berkurang satu orang berkenaan dengan dipanggilnya Pdt. Harsono ke pangkuan Bapa di Surga pada tanggal 16 Juni 1999 karena sakit kanker.
Jemaat GKJ Nehemia jumlahnya berkurang lagi ketika Pepanthan Pamulang didewasakan pada tanggal 21 Juli 2007 menjadi GKJ Pamulang dan Pepanthan Kebayoran Lama menjadi GKJ Kanaan pada tangggal 9 Agustus 2008. Pada saat ini jumlah jemaat GKJ Nehemia 2.570 orang dilayani oleh 3 orang pendeta, setelah Pdt. Dr. Soetarman, MTh emeritus kemudian dipanggil ke pangkuan Bapa di Surga pada tanggal 7 Mei 2009. GKJ Nehemia mendapat tambahan pendeta baru sebagai Pendeta Pelayanan Khusus untuk STT Jakarta yang diteguhkan pada tanggal 2 Nopember 2012 atas diri Pdt. Simon Rachmadi, MHum, MA. Selamat ulang tahun ke-44 GKJ Nememia! * dari berbagai sumber
Kalender Jawa
Penanggalan Jawa
Kalender atau Penanggalan Jawa yang tertua adalah Penanggalan Jawa Mpu Hubayun (911 SM) merupakan penanggalan yang asli dan pertama. Hal ini wajib kita syukuri karena tidak semua bangsa di dunia ini mempunyai kalender sendiri. Kalender ini dibuat berdasarkan proses awal terjadinya alam semesta atau Sangkan dumadining Bhawana sehingga mengarah pada keselarasan alam semesta itu sendiri. Kalender Jawa ini selaras dengan aksara Jawa dan satu-satunya kalender yang tidak hanya berdasarkan hitungan angka saja.
Kalender ini berdiri di atas segala golongan termasuk agama atau suku dan berbeda dengan Kalender Jawa Sultan Agung yang banyak mengadopsi Islam. Pada waktu kerajaan Mataram dipimpin Sultan Agung, demi tujuan untuk kesejahteraan rakyat dan kedaulatan Negara maka dibuatlah penanggalan Jawa yang meng akulturisasi kan tiga unsur budaya yang ada pada waktu itu yaitu Jawa, Hindu dan Islam. Tetapi karena adanya perbedaan pedoman dasar yaitu Matahari untuk Penanggalan Jawa dan Kalender Hindu sementara peredaran Bulan sebagai pedoman kalender Hijriah maka orang yang tidak memeluk agama Islam merasa tidak ikut memiliki. Akibatnya nilai-nilai kebersamaan yaitu gotong royong, guyub rukun yang menjadi ciri khas orang Jawa menjadi hilang. Pada waktu itu lalu muncul istilah tahun Aboge (tahun Alip, tanggal 1 Sura jatuh pada hari Rebo Wage) dan tahun Asapon (tahun Alip tanggal 1 Sura jatuh pada hari Selasa Pon). Perubahan ini bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 H (Hijriah) atau 29 Besar 1554 (Jawa) atau 8 Juli 1633 (Masehi).
Kalender atau Penanggalan pada dasarnya merupakan symbol kehidupan kita sehari-hari. Kalender Nasional yang dipergunakan pada saat ini berorientasi pada Kalender Masehi dan dipergunakan secara Internasional, sebenarnya mengecilkan arti dari adanya kalender Jawa itu. Padahal seperti yang disebutkan di atas bahwa kalender Jawa mempunyai keistimewaan karena kalender itu tidak hanya terdiri dari angka saja. Masih banyak bangsa kita terutama orang Jawa yang sudah tidak mengenal lagi kalender tersebut terutama yang tinggal di kota besar. Oleh karena itu dibawah ini perlu kami paparkan hal-hal yang menyangkut Penanggalan Jawa.
Penetapan Nama Hari
Hari ke satu berdasarkan Surya (Matahari) disebut Radite atau Minggu/Ahad
Hari ke dua berdasarkan Rembulan (Bulan) disebut Soma atau Senin/Senen
Hari ke tiga berdasarkan Kartika-I (Bintang) disebut Anggara atau Selasa
Hari ke empat berdasarkan Pertiwi (Bumi) disebut Buda atau Rabu/Rebo
Hari ke lima berdasarkan Kartika-II disebut Respati atau Kamis/Kemis
Hari ke enam berdasarkan Kartika-IV disebut Sukra atau Jum’at/Jemuah
Hari ke tujuh berdasarkan Kartika-III disebut Tumpak/Saniscaya atau Sabtu/Setu
Hari pertama pada kalender Jawa adalah hari Ahad/Minggu dan bukan hari Senen/Senin. Jadi kalau menurut perhitungan kalender Jawa, Tuhan menciptakan langit dan seisinya, kemudian istirahat pada hari yang ke tujuh alias hari Sabtu. Perputaran terjadi setiap 7 hari sekali
Penetapan nama Pasaran
Pasaran ke satu berdasar cahaya warna putih atau Pethakan disebut Manis/Legi
Pasaran ke dua berdasar cahaya warna merah atau Abritan disebut Jenar/Paing
Pasaran ke tiga berdasar cahaya warna Kuning atau Jene’an disebut Palguna/Pon
Pasaran ke empat berdasar cahaya warna hitam atau Cemengan disebut Langking/Wage
Pasaran ke lima berdasar cahaya warna hijau atau Pancer disebut Kasih/Kliwon
Perputaran Pasaran terjadi setiap 5 hari sekali, sepasar lima hari
Penetapan nama Bulan
Bulan ke satu disebut Badra Warna, sekarang disebut Sura
Bulan ke dua disebut Asuji sekarang disebut Sapar
Bulan ke tiga disebut Kartika sekarang disebut Mulud
Bulan ke empat disebut Pusa sekarang disebut Bakda Mulud
Bulan ke lima disebut Manggasri sekarang disebut Jumadilawal
Bulan ke enam disebut Sitra sekarang disebut Jumadilakir
Bulan ke tujuh disebut Manggalaka sekarang disebut Rejeb
Bulan ke delapan disebut Naya sekarang disebut Ruwah
Bulan ke sembilan disebut Palguna sekarang disebut Pasa
Bulan ke sepuluh disebut Wisaka sekarang disebut Sawal
Bulan ke sebelas disebut Jita sekarang disebut Longkang
Bulan ke duabelas disebut Srawana sekarang disebut Besar
Perputaran terjadi setiap 12 bulan sekali, tiap bulan lamanya 30 hari
Penetapan Nama Tahun
Tahun ke satu disebut Sri/Harsa sekarang disebut tahun Alip
Tahun ke dua disebut Endra/Heruwarsa sekarang disebut tahun Ehe
Tahun ke tiga disebut Guru/Jimantara sekarang disebut tahun Jimawal
Tahun ke empat disebut Yama/Duryata sekarang disebut tahun Je
Tahun ke lima disebut Ludra/Dhamma sekarang disebut tahun Dal
Tahun ke enam disebut Brahma/Pitaka sekarang disebut tahun Be
Tahun ke tujuh disebut Kala/Wahyu sekarang disebut tahun Wawu
Tahun ke delapan disebut Uma/Dirgawarsa sekarang disebut tahun Jimakir
Perputaran terjadi setiap 8 tahun sekali atau satu windu
Pawukon atau Satuan Minggu
1. Sinta 2. Landep 3. Wukir 4. Kurantil
5. Tolu 6. Gumbreg 7. Warigalit 8. Warigagung
9. Julungwangi 10. Sungsang 11. Galungan 12. Kuningan
13. Langkir 14. Mandhasiya 15. Julungpujud 16. Pahang
17. Kuruwelut 18. Marakeh 19. Tambir 20. Madhangkungan
21. Maktal 22. Wuye 23. Manahil 24. Prangbakat
25. Bala 26. Wugu 27. Wayang 28. Kulawu
29. Dhukut 30. Watugunung
Satuan Wuku terdiri dari 7 hari atau satu Minggu. Perputaran Wuku ini terjadi 210 hari sekali
Penetapan Mangsa
Penetapan Mangsa adalah sebanyak duabelas mangsa dalam satu tahun dengan jumlah 365 hari, tetapi jumlah hari tiap mangsa berbeda.
Mangsa Kasa : 23 Juni – 2 Agustus = 41 hari
Candra: Sotya murca ing embanan atau Permata terlepas dari cincin pengikatnya. Musim kemarau, daun-daun berguguran, pepohonan meranggas, tanah kehilangan airnya
Mangsa Karo : 3 Agustus-25 Agustus = 23 hari
Candra: Bantala rengka atau Tanah merekah Musim kemarau, tanah berbongkah, pohon randu dan mangga mulai bersemi
Mangsa Ketiga : 26 Agustus-18 September = 24 hari
Candra: Suta manut ing Bapa atau Anak mengikut/patuh pada ayah Musim kemarau, panen palawija, gadung mulai menjalar
Mangsa Kapat : 19 September-13 Oktober = 25 hari
Candra: Waspa kumembeng jroning kalbu atau Air mata berlinang dalam batin. Peralihan musim kemarau ke musim hujan, burung-burung membuat sarang
Mangsa Kalima : 14 Oktober-9 Nopember = 27 hari
Candra: Pancuran emas sumawur ing jagad atau Pancuran emas tersebar di bumi. Musim hujan, kadang disertai angin kencang dan banjir, musim buah mangga, ular keluar dari liangnya.
Mangsa Kanem : 10 Nopember-22 Desember = 43 hari
Candra: Rasa mulya kasuciyan atau Mendapatkan kebahagiaan karena perbuatan baik. Musim hujan, banyak petir, tanah longsor, musim buah-buahan
Mangsa Kapitu : 23 Desember-3 Februari = 43 hari
Candra: Wisa kentas ing maruta atau Bisa/racun disapu angin
Musim hujan, curah hujan besar sekali, burung sulit mencari makan, terjadi bencana banjir
Mangsa Kawolu : 4 Februari-1Maret = 26 hari
Candra: Hanjrah jroning kayun atau Merana di dalam hati, menangis dalam batin. Musim hujan, padi telah tumbuh, musim kucing kawin, banyak ulat
Mangsa Kasanga : 2 Maret-26 Maret = 25 hari
Candra: Wedaring wacana mulya atau Tersiarnya berita bahagia. Musim hujan, padi menguning, tanah menyimpan air, angin satu arah, musim buah
Mangsa Kasadasa : 27 Maret-19 April = 24 hari
Candra: Gedhong minep jroning kayun atau Pintu gerbang tertutup di dalam hati. Peralihan musim hujan ke musim kemarau, curah hujan masih lumayan, angin berhembus kencang, cuaca dingin
Mangsa Dhesta : 20 April-12 Mei = 23 hari
Candra: Sotya sinara wadi atau Permata hati. Musim kemarau, panen padi, burung memberi makan anaknya
Mangsa Saddha : 13 Mei-22 Juni = 41 hari
Candra: Tirta sah saka sasana atau Air lenyap dari tempatnya. Musim kemarau, lubuk berkurang airnya, volume air sumur menurun *dari berbagai sumber. Rawasemut, medio Januari’15
Kalender atau Penanggalan Jawa yang tertua adalah Penanggalan Jawa Mpu Hubayun (911 SM) merupakan penanggalan yang asli dan pertama. Hal ini wajib kita syukuri karena tidak semua bangsa di dunia ini mempunyai kalender sendiri. Kalender ini dibuat berdasarkan proses awal terjadinya alam semesta atau Sangkan dumadining Bhawana sehingga mengarah pada keselarasan alam semesta itu sendiri. Kalender Jawa ini selaras dengan aksara Jawa dan satu-satunya kalender yang tidak hanya berdasarkan hitungan angka saja.
Kalender ini berdiri di atas segala golongan termasuk agama atau suku dan berbeda dengan Kalender Jawa Sultan Agung yang banyak mengadopsi Islam. Pada waktu kerajaan Mataram dipimpin Sultan Agung, demi tujuan untuk kesejahteraan rakyat dan kedaulatan Negara maka dibuatlah penanggalan Jawa yang meng akulturisasi kan tiga unsur budaya yang ada pada waktu itu yaitu Jawa, Hindu dan Islam. Tetapi karena adanya perbedaan pedoman dasar yaitu Matahari untuk Penanggalan Jawa dan Kalender Hindu sementara peredaran Bulan sebagai pedoman kalender Hijriah maka orang yang tidak memeluk agama Islam merasa tidak ikut memiliki. Akibatnya nilai-nilai kebersamaan yaitu gotong royong, guyub rukun yang menjadi ciri khas orang Jawa menjadi hilang. Pada waktu itu lalu muncul istilah tahun Aboge (tahun Alip, tanggal 1 Sura jatuh pada hari Rebo Wage) dan tahun Asapon (tahun Alip tanggal 1 Sura jatuh pada hari Selasa Pon). Perubahan ini bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 H (Hijriah) atau 29 Besar 1554 (Jawa) atau 8 Juli 1633 (Masehi).
Kalender atau Penanggalan pada dasarnya merupakan symbol kehidupan kita sehari-hari. Kalender Nasional yang dipergunakan pada saat ini berorientasi pada Kalender Masehi dan dipergunakan secara Internasional, sebenarnya mengecilkan arti dari adanya kalender Jawa itu. Padahal seperti yang disebutkan di atas bahwa kalender Jawa mempunyai keistimewaan karena kalender itu tidak hanya terdiri dari angka saja. Masih banyak bangsa kita terutama orang Jawa yang sudah tidak mengenal lagi kalender tersebut terutama yang tinggal di kota besar. Oleh karena itu dibawah ini perlu kami paparkan hal-hal yang menyangkut Penanggalan Jawa.
Penetapan Nama Hari
Hari ke satu berdasarkan Surya (Matahari) disebut Radite atau Minggu/Ahad
Hari ke dua berdasarkan Rembulan (Bulan) disebut Soma atau Senin/Senen
Hari ke tiga berdasarkan Kartika-I (Bintang) disebut Anggara atau Selasa
Hari ke empat berdasarkan Pertiwi (Bumi) disebut Buda atau Rabu/Rebo
Hari ke lima berdasarkan Kartika-II disebut Respati atau Kamis/Kemis
Hari ke enam berdasarkan Kartika-IV disebut Sukra atau Jum’at/Jemuah
Hari ke tujuh berdasarkan Kartika-III disebut Tumpak/Saniscaya atau Sabtu/Setu
Hari pertama pada kalender Jawa adalah hari Ahad/Minggu dan bukan hari Senen/Senin. Jadi kalau menurut perhitungan kalender Jawa, Tuhan menciptakan langit dan seisinya, kemudian istirahat pada hari yang ke tujuh alias hari Sabtu. Perputaran terjadi setiap 7 hari sekali
Penetapan nama Pasaran
Pasaran ke satu berdasar cahaya warna putih atau Pethakan disebut Manis/Legi
Pasaran ke dua berdasar cahaya warna merah atau Abritan disebut Jenar/Paing
Pasaran ke tiga berdasar cahaya warna Kuning atau Jene’an disebut Palguna/Pon
Pasaran ke empat berdasar cahaya warna hitam atau Cemengan disebut Langking/Wage
Pasaran ke lima berdasar cahaya warna hijau atau Pancer disebut Kasih/Kliwon
Perputaran Pasaran terjadi setiap 5 hari sekali, sepasar lima hari
Penetapan nama Bulan
Bulan ke satu disebut Badra Warna, sekarang disebut Sura
Bulan ke dua disebut Asuji sekarang disebut Sapar
Bulan ke tiga disebut Kartika sekarang disebut Mulud
Bulan ke empat disebut Pusa sekarang disebut Bakda Mulud
Bulan ke lima disebut Manggasri sekarang disebut Jumadilawal
Bulan ke enam disebut Sitra sekarang disebut Jumadilakir
Bulan ke tujuh disebut Manggalaka sekarang disebut Rejeb
Bulan ke delapan disebut Naya sekarang disebut Ruwah
Bulan ke sembilan disebut Palguna sekarang disebut Pasa
Bulan ke sepuluh disebut Wisaka sekarang disebut Sawal
Bulan ke sebelas disebut Jita sekarang disebut Longkang
Bulan ke duabelas disebut Srawana sekarang disebut Besar
Perputaran terjadi setiap 12 bulan sekali, tiap bulan lamanya 30 hari
Penetapan Nama Tahun
Tahun ke satu disebut Sri/Harsa sekarang disebut tahun Alip
Tahun ke dua disebut Endra/Heruwarsa sekarang disebut tahun Ehe
Tahun ke tiga disebut Guru/Jimantara sekarang disebut tahun Jimawal
Tahun ke empat disebut Yama/Duryata sekarang disebut tahun Je
Tahun ke lima disebut Ludra/Dhamma sekarang disebut tahun Dal
Tahun ke enam disebut Brahma/Pitaka sekarang disebut tahun Be
Tahun ke tujuh disebut Kala/Wahyu sekarang disebut tahun Wawu
Tahun ke delapan disebut Uma/Dirgawarsa sekarang disebut tahun Jimakir
Perputaran terjadi setiap 8 tahun sekali atau satu windu
Pawukon atau Satuan Minggu
1. Sinta 2. Landep 3. Wukir 4. Kurantil
5. Tolu 6. Gumbreg 7. Warigalit 8. Warigagung
9. Julungwangi 10. Sungsang 11. Galungan 12. Kuningan
13. Langkir 14. Mandhasiya 15. Julungpujud 16. Pahang
17. Kuruwelut 18. Marakeh 19. Tambir 20. Madhangkungan
21. Maktal 22. Wuye 23. Manahil 24. Prangbakat
25. Bala 26. Wugu 27. Wayang 28. Kulawu
29. Dhukut 30. Watugunung
Satuan Wuku terdiri dari 7 hari atau satu Minggu. Perputaran Wuku ini terjadi 210 hari sekali
Penetapan Mangsa
Penetapan Mangsa adalah sebanyak duabelas mangsa dalam satu tahun dengan jumlah 365 hari, tetapi jumlah hari tiap mangsa berbeda.
Mangsa Kasa : 23 Juni – 2 Agustus = 41 hari
Candra: Sotya murca ing embanan atau Permata terlepas dari cincin pengikatnya. Musim kemarau, daun-daun berguguran, pepohonan meranggas, tanah kehilangan airnya
Mangsa Karo : 3 Agustus-25 Agustus = 23 hari
Candra: Bantala rengka atau Tanah merekah Musim kemarau, tanah berbongkah, pohon randu dan mangga mulai bersemi
Mangsa Ketiga : 26 Agustus-18 September = 24 hari
Candra: Suta manut ing Bapa atau Anak mengikut/patuh pada ayah Musim kemarau, panen palawija, gadung mulai menjalar
Mangsa Kapat : 19 September-13 Oktober = 25 hari
Candra: Waspa kumembeng jroning kalbu atau Air mata berlinang dalam batin. Peralihan musim kemarau ke musim hujan, burung-burung membuat sarang
Mangsa Kalima : 14 Oktober-9 Nopember = 27 hari
Candra: Pancuran emas sumawur ing jagad atau Pancuran emas tersebar di bumi. Musim hujan, kadang disertai angin kencang dan banjir, musim buah mangga, ular keluar dari liangnya.
Mangsa Kanem : 10 Nopember-22 Desember = 43 hari
Candra: Rasa mulya kasuciyan atau Mendapatkan kebahagiaan karena perbuatan baik. Musim hujan, banyak petir, tanah longsor, musim buah-buahan
Mangsa Kapitu : 23 Desember-3 Februari = 43 hari
Candra: Wisa kentas ing maruta atau Bisa/racun disapu angin
Musim hujan, curah hujan besar sekali, burung sulit mencari makan, terjadi bencana banjir
Mangsa Kawolu : 4 Februari-1Maret = 26 hari
Candra: Hanjrah jroning kayun atau Merana di dalam hati, menangis dalam batin. Musim hujan, padi telah tumbuh, musim kucing kawin, banyak ulat
Mangsa Kasanga : 2 Maret-26 Maret = 25 hari
Candra: Wedaring wacana mulya atau Tersiarnya berita bahagia. Musim hujan, padi menguning, tanah menyimpan air, angin satu arah, musim buah
Mangsa Kasadasa : 27 Maret-19 April = 24 hari
Candra: Gedhong minep jroning kayun atau Pintu gerbang tertutup di dalam hati. Peralihan musim hujan ke musim kemarau, curah hujan masih lumayan, angin berhembus kencang, cuaca dingin
Mangsa Dhesta : 20 April-12 Mei = 23 hari
Candra: Sotya sinara wadi atau Permata hati. Musim kemarau, panen padi, burung memberi makan anaknya
Mangsa Saddha : 13 Mei-22 Juni = 41 hari
Candra: Tirta sah saka sasana atau Air lenyap dari tempatnya. Musim kemarau, lubuk berkurang airnya, volume air sumur menurun *dari berbagai sumber. Rawasemut, medio Januari’15
Semarak Natal dan Tahun Baru
Natal dan Tahun Baru kali ini agak berbeda dengan tahun-tahun yang lalu, karena ada beberapa acara yang dikemas secara khusus sekaligus untuk melestarikan budaya Jawa sesuai dengan gereja kita yang Gereja Kristen Jawa.
Kebaktian Malam Natal
Kegiatan sekitar hari Natal diawali dengan Kebaktian Malam Natal yang dilaksanakan pada hari Rabu, 24 Desember’14 pukul 19.00 yang dipimpin oleh Pdt. Samuel Bambang Haryanto STh, MMin mengambil tema Kasih Karunia Allah yang sudah nyata. Kebaktian diawali dengan menyanyi bersama KJ. 109 Hai Mari Berhimpun, votum dan salam serta litani pembuka. Pujian berikutnya adalah KJ 3 Kami puji dengan riang dinyanyikan secara bergantian antara jemaat pria, wanita dan anak-anak. Narasi Nubuatan lahirnya Sang Mesias mengawali penampilan PS Gita Paramita dengan lagu Bintang Betlehem. Kemudian PS Duta Salam melantunkan lagu Waktu Malam Senyap diawali narasi Kelahiran Mesias. Kotbah diambil dari kitab Titus 2: 11-14. Tampil setelah kotbah adalah PS Bahana Rohani dengan lagu Malam indah cemerlang. Setelah doa Persembahan dilakukan penyalaan lilin oleh Pendeta, Ketua Majelis, Ketua Panitia, sesepuh warga (diwakili ibu Umi Sutarman) dan Ketua KPR kemudian dibagikan kepada jemaat diiringi lagu Seribu lilin ditutup dengan lagu Hai dunia gembiralah. Jemaat yang hadir 1.278 orang.
Kebaktian Natal
Kebaktian Natal dengan tema Firman itu diam di antara kita dilakukan dua kali yaitu pada pukul 06.00 dan pukul 08.00. Pada Kebaktian pukul 08.00 yang dipimpin Pdt. Lusindo Tobing STh diawali prosesi Pendeta dan Majelis memasuki gedung gereja melalui pintu utama diiringi gendhing Ketawang Subakastawa oleh Karawitan Pradata Laras. Sebelum kebaktian dimulai kedatangan para jemaat disambut gendhing-gending oleh Karawitan Pradata Laras.
Karawitan Pradata Laras ini seluruh pemainnya adalah para Majelis berpakaian Jawa lengkap dengan beskap, blangkon dan keris. Dan baru kali inilah Karawitan Pradata Laras tampil perdana, karena karawitan ini memang didirikan setelah adanya Festival Gendhing Gerejawi yang ke-5. Kita boleh berbesar hati bahwa dari 18 gereja di Klasis Jakarta Bagian Barat dan Timur saat ini baru GKJ Nehemia yang mempunyai kelompok Karawitan yang seluruh penabuh dan penggerong nya terdiri dari para Majelis.
Setelah votum dan salam serta Nats Pembuka maka dilantunkan lagu pujian Ding dong Merrily On High oleh PS Anak Sekolah Minggu. Setelah warta kelahiran, jemaat menyanyikan lagu Muliakanlah. Pujian Malam sunyi bergema dinyanyikan setelah Pengakuan Dosa. Warta anugerah dan tuntunan hidup baru diakhiri dengan lagu S’lamat s’lamat datang.
Kotbah Natal kali ini digantikan dengan kotbah alternatif, yaitu dalam kotbahnya yang dipimpin Pendeta melibatkan peran Punakawan yang semuanya juga Majelis terdiri dari Semar (Dkn. Sunardi), Gareng (Pnt. Ramlan Dumadi), Petruk (Dkn. Agus Hardjanta) dan Bagong (Pnt. Agus Yulianto) dibantu para penari dari Sanggar Tari GKJ Nehemia. Penampilan Punakawan ini diiringi penuh oleh Karawitan Pradata Laras beserta swarawati (gerong) ibu-ibu Majelis dengan Dhalang Dkn. Nina Karyoso.
Ini semua merupakan kejutan bagi jemaat karena acaranya lain daripada yang lain. Dialog para Punakawan berjalan lancar diseling lawakan yang menggelikan terutama dari pemeran Bagong. Begitu juga endingnya oleh Pdt. Lusindo bisa nyambung dan cukup bagus. Sebenarnya Sutradara sekaligus penulis skenario untuk dialog alternatif oleh Punakawan ini adalah pak Petrus Sugiyono. Namun pas hari Natal itu dia punya tugas yang tidak bisa ditinggalkan yaitu Natalan Diaspora wong Semin dsk. Penampilan Karawitan dan Punakawan ini mendapat sambutan yang cukup meriah dari jemaat. Setelah kotbah alternatif ini Ibu Nurendah Hanayomima Buce penyanyi terbaik Nehemia Idol melantunkan sebuah lagu Hai kota mungil Betlehem. Jemaat yang hadir pada kebaktian Natal ini 1.365 orang.
Kebaktian Tutup Tahun
Kebaktian Tutup Tahun atau Malam Tahun Baru dilaksanakan pada hari Rabu, 31 Desember’14 pada pukul 19.00. Kebaktian Malam Tahun Baru ini dipimpin oleh Pdt. Agus Hendratmo,MTh dengan tema Memohon hati yang penuh hikmat dan pengertian untuk memaknai hidup di tahun-tahun kehidupan, merupakan tema terpanjang selama ini.
Pendeta dan Majelis memasuki ruang ibadah disambut dengan nyanyian jemaat Berhimpun semua. Setelah votum dan salam serta warta kasih jemaat melantunkan pujian Kasih Tuhan Yesus tiada bertepi. Nyanyian Di muka Tuhan Yesus dipujikan jemaat setelah Penyesalan Dosa. Warta anugerah dan Tuntunan Hidup baru ditutup dengan nyanyian kesanggupan Ya Yesus ‘ku berjanji.
Narasi Penyertaan Tuhan sepanjang tahun 2014 diawali persembahan pujian PS Nafiri. Sesudah pembacaan narasi jemaat menyanyikan lagu Setiamu, Tuhanku, tiada bertara. Pembacaan Alkitab diambil dari kitab Raja-raja 3: 5-14. Setelah kotbah ada persembahan pujian solo oleh Alver. Dalam kebaktian Tutup Tahun ini tampil pula Band KPR dan VG Eklesia serta penyanyi terbaik ke 3 Nehemia Idol ibu Sih Panganti Mulyadi. Jemaat yang hadir pada malam Tutup Tahun ini kelihatan merosot cukup tajam menjadi 436 orang karena sebagian besar warga jemaat pulang kampung.
Kebaktian Tahun Baru dan Ulang Tahun ke 44 GKJ Nehemia
Kebaktian Tahun Baru dan Ulang Tahun ke-44 GKJ Nehemia dilaksanakan pada hari Kamis, 1 Januari’15 pada pukul 08.00. Kebaktian ini dipimpin oleh Pdt. Samuel Bambang Haryanto, STh, M.Min dengan tema GKJ Nehemia mewujudkan rupa-rupa karunia dan Pelayanan dalam kesatuan dengan semua orang.
Seluruh Majelis pria termasuk Pendeta mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan blangkon dan keris sementara Majelis wanita mengenakan kain dan kebaya lengkap dengan kondhenya. Sebelum kebaktian dimulai para jemaat disambut gendhing-gendhing oleh Karawitan Widyalaras yang seluruh penabuhnya ibu-ibu, demikian juga gerong atau swarawatinya.
Kebaktian diawali dengan prosesi Pendeta dan Majelis melalui pintu utama, namun karena terdapat kesalahan teknis yaitu semestinya prosesi ini diiringi Karawitan Widyalaras dengan gendhing Ketawang Subakastawa ternyata disambut dengan nyanyian jemaat Kunyanyikan kasih setia Tuhan. Tentu saja hal ini cukup mengagetkan para Majelis yang sudah siap-siap untuk mengikuti prosesi dengan menata langkahnya masing-masing.
Apapun yang terjadi prosesi berjalan dengan lancar. Setelah votum dan salam Jemaat menyanyikan lagu Kekuatan serta penghiburan dan selesai Pengakuan dosa disambut nyanyian penyesalan dosa Siang, malam, musim, Tuhan. Persembahan pujian dari Rap Jeges Acoustic Band dengan lagu Jalan kebenaran dilantunkan setelah Warta Hidup Baru.
Kemudian jemaat saling bersalaman mengucapkan salam damai diiringi musik instrumental. Setelah doa epiklese penyanyi terbaik ke dua Nehemia Idol Priyadji Rahardja mempersembahkan sebuah lagu. Setelah penyampaian Firman Tuhan kembali Rap Jeges Acoustic Band mempersembahkan lagu Aku percaya. Persembahan jemaat melalui kantong dan gentong diiringi gendhing Ketawang Raja Agung oleh Karawitan Widyalaras.
Setelah kebaktian selesai ada prosesi pembawa tumpeng memasuki ruang ibadah diiringi gendhing Ketawang Subakastawa oleh Karawitan Widyalaras. Ketua Panitia memotong tumpeng untuk diberikan kepada Pendeta, kemudian seluruh jemaat menuju gedung Serbaguna untuk perjamuan kasih termasuk menikmati tumpeng yang dilombakan antar wilayah. Dalam lomba tumpeng ini keluar sebagi tumpeng terbaik dari wilayah Pangkalan Jati. Seperti malam sebelumnya, pada kebaktian Tahun Baru ini jumlah jemaat yang hadir 577 orang. Rio. Selamat Tahun Baru, selamat Ulang Tahun GKJ Nehemia!
Kebaktian Malam Natal
Kegiatan sekitar hari Natal diawali dengan Kebaktian Malam Natal yang dilaksanakan pada hari Rabu, 24 Desember’14 pukul 19.00 yang dipimpin oleh Pdt. Samuel Bambang Haryanto STh, MMin mengambil tema Kasih Karunia Allah yang sudah nyata. Kebaktian diawali dengan menyanyi bersama KJ. 109 Hai Mari Berhimpun, votum dan salam serta litani pembuka. Pujian berikutnya adalah KJ 3 Kami puji dengan riang dinyanyikan secara bergantian antara jemaat pria, wanita dan anak-anak. Narasi Nubuatan lahirnya Sang Mesias mengawali penampilan PS Gita Paramita dengan lagu Bintang Betlehem. Kemudian PS Duta Salam melantunkan lagu Waktu Malam Senyap diawali narasi Kelahiran Mesias. Kotbah diambil dari kitab Titus 2: 11-14. Tampil setelah kotbah adalah PS Bahana Rohani dengan lagu Malam indah cemerlang. Setelah doa Persembahan dilakukan penyalaan lilin oleh Pendeta, Ketua Majelis, Ketua Panitia, sesepuh warga (diwakili ibu Umi Sutarman) dan Ketua KPR kemudian dibagikan kepada jemaat diiringi lagu Seribu lilin ditutup dengan lagu Hai dunia gembiralah. Jemaat yang hadir 1.278 orang.
Kebaktian Natal
Kebaktian Natal dengan tema Firman itu diam di antara kita dilakukan dua kali yaitu pada pukul 06.00 dan pukul 08.00. Pada Kebaktian pukul 08.00 yang dipimpin Pdt. Lusindo Tobing STh diawali prosesi Pendeta dan Majelis memasuki gedung gereja melalui pintu utama diiringi gendhing Ketawang Subakastawa oleh Karawitan Pradata Laras. Sebelum kebaktian dimulai kedatangan para jemaat disambut gendhing-gending oleh Karawitan Pradata Laras.
Karawitan Pradata Laras ini seluruh pemainnya adalah para Majelis berpakaian Jawa lengkap dengan beskap, blangkon dan keris. Dan baru kali inilah Karawitan Pradata Laras tampil perdana, karena karawitan ini memang didirikan setelah adanya Festival Gendhing Gerejawi yang ke-5. Kita boleh berbesar hati bahwa dari 18 gereja di Klasis Jakarta Bagian Barat dan Timur saat ini baru GKJ Nehemia yang mempunyai kelompok Karawitan yang seluruh penabuh dan penggerong nya terdiri dari para Majelis.
Setelah votum dan salam serta Nats Pembuka maka dilantunkan lagu pujian Ding dong Merrily On High oleh PS Anak Sekolah Minggu. Setelah warta kelahiran, jemaat menyanyikan lagu Muliakanlah. Pujian Malam sunyi bergema dinyanyikan setelah Pengakuan Dosa. Warta anugerah dan tuntunan hidup baru diakhiri dengan lagu S’lamat s’lamat datang.
Kotbah Natal kali ini digantikan dengan kotbah alternatif, yaitu dalam kotbahnya yang dipimpin Pendeta melibatkan peran Punakawan yang semuanya juga Majelis terdiri dari Semar (Dkn. Sunardi), Gareng (Pnt. Ramlan Dumadi), Petruk (Dkn. Agus Hardjanta) dan Bagong (Pnt. Agus Yulianto) dibantu para penari dari Sanggar Tari GKJ Nehemia. Penampilan Punakawan ini diiringi penuh oleh Karawitan Pradata Laras beserta swarawati (gerong) ibu-ibu Majelis dengan Dhalang Dkn. Nina Karyoso.
Ini semua merupakan kejutan bagi jemaat karena acaranya lain daripada yang lain. Dialog para Punakawan berjalan lancar diseling lawakan yang menggelikan terutama dari pemeran Bagong. Begitu juga endingnya oleh Pdt. Lusindo bisa nyambung dan cukup bagus. Sebenarnya Sutradara sekaligus penulis skenario untuk dialog alternatif oleh Punakawan ini adalah pak Petrus Sugiyono. Namun pas hari Natal itu dia punya tugas yang tidak bisa ditinggalkan yaitu Natalan Diaspora wong Semin dsk. Penampilan Karawitan dan Punakawan ini mendapat sambutan yang cukup meriah dari jemaat. Setelah kotbah alternatif ini Ibu Nurendah Hanayomima Buce penyanyi terbaik Nehemia Idol melantunkan sebuah lagu Hai kota mungil Betlehem. Jemaat yang hadir pada kebaktian Natal ini 1.365 orang.
Kebaktian Tutup Tahun
Kebaktian Tutup Tahun atau Malam Tahun Baru dilaksanakan pada hari Rabu, 31 Desember’14 pada pukul 19.00. Kebaktian Malam Tahun Baru ini dipimpin oleh Pdt. Agus Hendratmo,MTh dengan tema Memohon hati yang penuh hikmat dan pengertian untuk memaknai hidup di tahun-tahun kehidupan, merupakan tema terpanjang selama ini.
Pendeta dan Majelis memasuki ruang ibadah disambut dengan nyanyian jemaat Berhimpun semua. Setelah votum dan salam serta warta kasih jemaat melantunkan pujian Kasih Tuhan Yesus tiada bertepi. Nyanyian Di muka Tuhan Yesus dipujikan jemaat setelah Penyesalan Dosa. Warta anugerah dan Tuntunan Hidup baru ditutup dengan nyanyian kesanggupan Ya Yesus ‘ku berjanji.
Narasi Penyertaan Tuhan sepanjang tahun 2014 diawali persembahan pujian PS Nafiri. Sesudah pembacaan narasi jemaat menyanyikan lagu Setiamu, Tuhanku, tiada bertara. Pembacaan Alkitab diambil dari kitab Raja-raja 3: 5-14. Setelah kotbah ada persembahan pujian solo oleh Alver. Dalam kebaktian Tutup Tahun ini tampil pula Band KPR dan VG Eklesia serta penyanyi terbaik ke 3 Nehemia Idol ibu Sih Panganti Mulyadi. Jemaat yang hadir pada malam Tutup Tahun ini kelihatan merosot cukup tajam menjadi 436 orang karena sebagian besar warga jemaat pulang kampung.
Kebaktian Tahun Baru dan Ulang Tahun ke 44 GKJ Nehemia
Kebaktian Tahun Baru dan Ulang Tahun ke-44 GKJ Nehemia dilaksanakan pada hari Kamis, 1 Januari’15 pada pukul 08.00. Kebaktian ini dipimpin oleh Pdt. Samuel Bambang Haryanto, STh, M.Min dengan tema GKJ Nehemia mewujudkan rupa-rupa karunia dan Pelayanan dalam kesatuan dengan semua orang.
Seluruh Majelis pria termasuk Pendeta mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan blangkon dan keris sementara Majelis wanita mengenakan kain dan kebaya lengkap dengan kondhenya. Sebelum kebaktian dimulai para jemaat disambut gendhing-gendhing oleh Karawitan Widyalaras yang seluruh penabuhnya ibu-ibu, demikian juga gerong atau swarawatinya.
Kebaktian diawali dengan prosesi Pendeta dan Majelis melalui pintu utama, namun karena terdapat kesalahan teknis yaitu semestinya prosesi ini diiringi Karawitan Widyalaras dengan gendhing Ketawang Subakastawa ternyata disambut dengan nyanyian jemaat Kunyanyikan kasih setia Tuhan. Tentu saja hal ini cukup mengagetkan para Majelis yang sudah siap-siap untuk mengikuti prosesi dengan menata langkahnya masing-masing.
Apapun yang terjadi prosesi berjalan dengan lancar. Setelah votum dan salam Jemaat menyanyikan lagu Kekuatan serta penghiburan dan selesai Pengakuan dosa disambut nyanyian penyesalan dosa Siang, malam, musim, Tuhan. Persembahan pujian dari Rap Jeges Acoustic Band dengan lagu Jalan kebenaran dilantunkan setelah Warta Hidup Baru.
Kemudian jemaat saling bersalaman mengucapkan salam damai diiringi musik instrumental. Setelah doa epiklese penyanyi terbaik ke dua Nehemia Idol Priyadji Rahardja mempersembahkan sebuah lagu. Setelah penyampaian Firman Tuhan kembali Rap Jeges Acoustic Band mempersembahkan lagu Aku percaya. Persembahan jemaat melalui kantong dan gentong diiringi gendhing Ketawang Raja Agung oleh Karawitan Widyalaras.
Setelah kebaktian selesai ada prosesi pembawa tumpeng memasuki ruang ibadah diiringi gendhing Ketawang Subakastawa oleh Karawitan Widyalaras. Ketua Panitia memotong tumpeng untuk diberikan kepada Pendeta, kemudian seluruh jemaat menuju gedung Serbaguna untuk perjamuan kasih termasuk menikmati tumpeng yang dilombakan antar wilayah. Dalam lomba tumpeng ini keluar sebagi tumpeng terbaik dari wilayah Pangkalan Jati. Seperti malam sebelumnya, pada kebaktian Tahun Baru ini jumlah jemaat yang hadir 577 orang. Rio. Selamat Tahun Baru, selamat Ulang Tahun GKJ Nehemia!
Identitas Gereja Kristen Jawa Nehemia
Cikal Bakal Gereja Kristen Jawa
Dalam Sejarah singkat Sinode GKJ diceritakan bahwa siang dan malam, sembilan orang dari kalangan terbawah masyarakat Jawa dengan profesi buruh miskin, yaitu tukang membatik yang bekerja pada Ny. Van Oostrom Phillips di Banyumas, nekad berjalan kaki dalam rombongan kecil menerabas desa-desa dan pegunungan menuju ke kota Semarang, sejauh sekitar 300 km. Suatu perjalanan yang panjang untuk sekedar mendapatkan tanda Baptis dari Zendeling NZG W. Hoezoo pada tanggal 10 Oktober 1858. Kisah ini terjadi karena pemberian tanda baptis di Karesidenan Banyumas oleh zendeling tersebut dilarang oleh pemerintah kolonial setempat. Mereka inilah cikal bakal pertama gereja yang di kemudian hari bernama GKJ Banyumas di desa Kedunguter-Kec. Banyumas. Gereja Kristen Jawa tumbuh pertama kali di kawasan Banyumas.
Cikal bakal kedua adalah dua orang lelaki dan tiga orang perempuan pekerja miskin pembantu rumah tangga Ny. Christina Petronella Phillips Stevens di Ambal-Purworejo yang menerima tanda baptis mereka di gereja Indische Kerk Purworejo pada tanggal 27 Desember 1860. Dengan demikian harus jujur diakui bahwa cikal bakal dari Gereja Kristen Jawa adalah golongan akar rumput dan buta huruf. Mereka terdiri dari keluarga para pembantu rumah tangga dan buruh membatik serta anggota masyarakat kelas bawah boemiputera jaman kolonial yang paling rendah derajat sosialnya.
Yang juga termasuk sebagai cikal bakal Gereja Kristen Jawa adalah Jemaat Kiai Sadrach di Karangjasa pada tahun1870. Dalam waktu yang relatif singkat pada tahun 1873 jemaat Sadrach menjadi 2.500 orang. Pada tahun 1883 jemaat secara resmi memberi nama persekutuan mereka sebagai Golongane Wong Kristen kang Merdika. Pada tahun 1890 berkembang pesat menjadi 7.076 orang tersebar di Bagelen, Banyumas, Yogyakarta, Kedu, Pekalongan dan Tegal. Pada tahun 1928 pernah dibaptis sebanyak 787 orang jemaat, suatu prestasi yang luar biasa. Konon pada akhir hayatnya jumlah jemaat Sadrach mencapai 20.000 orang. Mereka itu juga orang-orang desa yang tinggal di pegunungan dan lembah yang termasuk golongan koeli kendho atau petani tanpa tanah dan sawah.
Untuk datang kebaktian jangan dibayangkan mereka naik andong dengan pakaian necis dan alas kaki seperti layaknya orang ke gereja waktu itu, tetapi hanya dengan pakaian seadanya sebagaimana layaknya seorang pembantu rumah tangga dan petani gurem atau buruh tani. Mereka memakai sarung atau kain, baju surjan dan kain penutup kepala atau iket. Apabila kebaktian dimulai maka penutup kepala itu ditanggalkan. Pengakuan Iman Rasuli dilantunkan dalam tembang Macapat sebanyak empat bait sementara doa Bapa Kami digubah dalam bentuk tembang Pucung yang terdiri dari tujuh bait. Mereka belajar agama Kristen maupun melantunkan kidung pujian atau tembang Jawa hanya bermodalkan ketrampilan menghafal. Itulah kelebihan mereka sebagai orang yang tidak bisa membaca atau buta huruf.
Kalau GKJ Banyumas sebagai cikal bakal Gereja Jawa kemudian mendewasakan diri, maka GKJ Purworejo merupakan GKJ yang pertama kali dinyatakan sebagai gereja dewasa di lingkungan Zending Gereformeed yang bekerja di wilayah Jawa Tengah Selatan tanggal, 4 Februari 1900 kemudian disusul GKJ Temon tanggal, 11 Maret 1900.
Semua Guru Injil gereja Jawa tempo doeloe dalam dokumen selalu ditulis dengan tambahan gelar atau sebutan Mas disingkat M. Misalnya Mas Kartodihardjo, ditulis M. Kartodihardjo, kecuali yang memang memiliki gelar Raden atau sudah mendapat gelar kapandhitan. Misalnya bagi Raden Darmodjo, ketika menjadi guru Injil tidak ditulis M. Raden Darmodjo atau Raden Mas Darmodjo namun cukup ditulis M. Darmodjo.
Dalam suatu konferensi para Pendeta Zending pernah mengusulkan agar pendeta-pendeta di gereja Jawa dipanggil atau disebut Pamulang. Namun dalam prakteknya ternyata mereka lebih suka memakai gelar Dominus/Dominee, disingkat Ds seperti sebutan para pandhita Olanda, misalnya Ds. Martojuwono. Tidak ada seorangpun yang mau memakai gelar Pamulang yang disingkat Pml, misalnya Pml. Martojuwono.
Budaya Jawa dan identitas GKJ
Berbeda dengan gereja lain misalnya Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB), yang mengikuti paham Nederlandsche Hervormde Kerk (NHK) atau Gereja Reformasi Belanda yaitu di dalam GPIB dikenal hanya satu gereja GPIB dengan banyak jemaat lokal. Sementara GKJ mengikuti paham Gereformeerde Kerken in Nederland (GKN) atau Gereja-gereja Reformasi di Belanda yaitu di dalam GKJ dikenal satu himpunan GKJ dengan banyak GKJ. Secara retorik bisa dikatakan kalau GPIB hanya dikenal satu gereja dengan banyak jemaat, sebaliknya GKJ dikenal satu jemaat dengan banyak gereja. Dalam akta Sinode GKJ sering kita jumpai keputusan . . . diserahkan kepada pertimbangan Majelis Gereja setempat, artinya bisa saja keputusan satu Majelis GKJ berbeda dengan Majelis GKJ yang lain. Dan itu sah-sah saja.
Dalam makalahnya yang disampaikan oleh Pdt. Andreas Untung Wiyono dalam Temu Seniman dan Budayawan GKJ di Salatiga berjudul GKJ dalam tanggung jawab terhadap pelestarian dan pengembangan budaya Jawa dijelaskan, sebagaimana kehidupan yang bersifat dinamis, maka kebudayaan (termasuk adat istiadat dan kesenian) juga bersifat dinamis. Karena kebudayaan bersifat dinamis, maka identitas dari sebuah komunitas hidup (termasuk GKJ) yang banyak dipengaruhi oleh budayanya juga bersifat dinamis. Mengingat hal tersebut diatas maka sebagai GKJ, pertama-tama mestinya haruslah memiliki akar yang kuat didalam budaya Jawa. Dengan demikian identitas GKJ di tengah masyarakatnya menjadi jelas. Identitas GKJ yang mengakar didalam budaya Jawa tersebut selanjutnya perlu dipelihara dan dilestarikan agar terus berkembang sehingga memberi daya hidup bagi komunitas dimana GKJ berada.
Identitas GKJ yang mengakar didalam budaya Jawa bertumbuh serta berkembang sehingga mampu memberi daya hidup bagi komunitas dimana GKJ berada dan harus terbuka sehingga memberi ruang bagi proses transformasi kebudayaan.
Gereja perlu memiliki disain formasi kebudayaan yang jelas dan yang dipandang baik bagi pembangunan kehidupan bersama masyarakat dimasa depan. Untuk menyusun disain formasi tersebut diperlukan partisipasi para budayawan dan seniman GKJ sebagai bentuk pertanggung jawaban imannya. Tugas gereja sebagai institusi adalah memfasilitasi para Budayawan dan Seniman dalam aktifitas dan kreatifitas pelayanannya sehingga disain formasi kebudayaan yang dibuat dapat sungguh-sungguh dilaksanakan. Dalam rangka disain formasi kebudayaan tersebut pemanfaatan seni budaya Jawa dalam peribadahan GKJ tidak semestinya hanya dimaknai sebagi upaya untuk menjadikan dirinya memiliki akar yang kuat dalam budayanya sekaligus sebagai wujud tanggung jawab gereja dalam proses transformasi kebudayaan.
Gereja Kristen Jawa yang tumbuh dan berkembang di kalangan orang Jawa yang semula berada di wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta kemudian meluas hingga sebagian wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Meskipun GKJ saat ini tidak lagi disebut sebagai gereja etnis/suku karena jemaatnya terdiri dari berbagai suku, namun karena keberadaannya di lingkungan orang Jawa maka GKJ merupakan persekutuan yang secara langsung terlibat dan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan, pelestarian dan pengembangan budaya Jawa.
Budaya Jawa merupakan lahan sekaligus sarana bagi Pemberitaan Penyelamatan Allah, terlihat dari banyaknya budaya Jawa yang dilahirkan sebagai upaya untuk menjadikannya sarana Pemberitaan Penyelamatan Allah itu. Namun para pelaku budaya Jawa yang menjadi warga GKJ dimanapun juga masih belum tersentuh oleh rasa kebersamaan dalam bergereja di GKJ. Masing-masing budayawan dan seniman berkreasi untuk memuji dan meluhurkan nama Tuhan melalui gereja dimana mereka menjadi anggota, terlepas satu dari yang lainnya. Kreasi seni dan budaya Jawa berkembang diberbagai GKJ tanpa ada ikatan dengan yang lain, sehingga tumbuh secara sporadis. Padahal dalam kehidupan GKJ yang terkait dalam kebersamaan di Sinode akan lebih dapat mengembangkan budaya Jawa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam peribadahannya.
Banyak ragam kesenian Jawa yang dapat dipakai untuk memuji Tuhan dalam peribadahan. Tentu saja tinggal bagaimana para seniman dan budayawan itu bisa menempatkan diri di tengah jemaat yang majemuk. Segala sesuatu harus dicoba untuk melestarikan budaya Jawa ini, apakah memang bisa diselaraskan dengan situasi dan kondisi jemaat yang ada. Namun pada intinya budaya Jawa itu memang harus dipelihara, dilestarikan dan dikembangkan karena biar bagaimanapun GKJ adalah Gereja Kristen Jawa dan bukan Gereja Kristen di Jawa. *dari berbagai sumber. Gunungsindur, Januari’15
Dalam Sejarah singkat Sinode GKJ diceritakan bahwa siang dan malam, sembilan orang dari kalangan terbawah masyarakat Jawa dengan profesi buruh miskin, yaitu tukang membatik yang bekerja pada Ny. Van Oostrom Phillips di Banyumas, nekad berjalan kaki dalam rombongan kecil menerabas desa-desa dan pegunungan menuju ke kota Semarang, sejauh sekitar 300 km. Suatu perjalanan yang panjang untuk sekedar mendapatkan tanda Baptis dari Zendeling NZG W. Hoezoo pada tanggal 10 Oktober 1858. Kisah ini terjadi karena pemberian tanda baptis di Karesidenan Banyumas oleh zendeling tersebut dilarang oleh pemerintah kolonial setempat. Mereka inilah cikal bakal pertama gereja yang di kemudian hari bernama GKJ Banyumas di desa Kedunguter-Kec. Banyumas. Gereja Kristen Jawa tumbuh pertama kali di kawasan Banyumas.
Cikal bakal kedua adalah dua orang lelaki dan tiga orang perempuan pekerja miskin pembantu rumah tangga Ny. Christina Petronella Phillips Stevens di Ambal-Purworejo yang menerima tanda baptis mereka di gereja Indische Kerk Purworejo pada tanggal 27 Desember 1860. Dengan demikian harus jujur diakui bahwa cikal bakal dari Gereja Kristen Jawa adalah golongan akar rumput dan buta huruf. Mereka terdiri dari keluarga para pembantu rumah tangga dan buruh membatik serta anggota masyarakat kelas bawah boemiputera jaman kolonial yang paling rendah derajat sosialnya.
Yang juga termasuk sebagai cikal bakal Gereja Kristen Jawa adalah Jemaat Kiai Sadrach di Karangjasa pada tahun1870. Dalam waktu yang relatif singkat pada tahun 1873 jemaat Sadrach menjadi 2.500 orang. Pada tahun 1883 jemaat secara resmi memberi nama persekutuan mereka sebagai Golongane Wong Kristen kang Merdika. Pada tahun 1890 berkembang pesat menjadi 7.076 orang tersebar di Bagelen, Banyumas, Yogyakarta, Kedu, Pekalongan dan Tegal. Pada tahun 1928 pernah dibaptis sebanyak 787 orang jemaat, suatu prestasi yang luar biasa. Konon pada akhir hayatnya jumlah jemaat Sadrach mencapai 20.000 orang. Mereka itu juga orang-orang desa yang tinggal di pegunungan dan lembah yang termasuk golongan koeli kendho atau petani tanpa tanah dan sawah.
Untuk datang kebaktian jangan dibayangkan mereka naik andong dengan pakaian necis dan alas kaki seperti layaknya orang ke gereja waktu itu, tetapi hanya dengan pakaian seadanya sebagaimana layaknya seorang pembantu rumah tangga dan petani gurem atau buruh tani. Mereka memakai sarung atau kain, baju surjan dan kain penutup kepala atau iket. Apabila kebaktian dimulai maka penutup kepala itu ditanggalkan. Pengakuan Iman Rasuli dilantunkan dalam tembang Macapat sebanyak empat bait sementara doa Bapa Kami digubah dalam bentuk tembang Pucung yang terdiri dari tujuh bait. Mereka belajar agama Kristen maupun melantunkan kidung pujian atau tembang Jawa hanya bermodalkan ketrampilan menghafal. Itulah kelebihan mereka sebagai orang yang tidak bisa membaca atau buta huruf.
Kalau GKJ Banyumas sebagai cikal bakal Gereja Jawa kemudian mendewasakan diri, maka GKJ Purworejo merupakan GKJ yang pertama kali dinyatakan sebagai gereja dewasa di lingkungan Zending Gereformeed yang bekerja di wilayah Jawa Tengah Selatan tanggal, 4 Februari 1900 kemudian disusul GKJ Temon tanggal, 11 Maret 1900.
Semua Guru Injil gereja Jawa tempo doeloe dalam dokumen selalu ditulis dengan tambahan gelar atau sebutan Mas disingkat M. Misalnya Mas Kartodihardjo, ditulis M. Kartodihardjo, kecuali yang memang memiliki gelar Raden atau sudah mendapat gelar kapandhitan. Misalnya bagi Raden Darmodjo, ketika menjadi guru Injil tidak ditulis M. Raden Darmodjo atau Raden Mas Darmodjo namun cukup ditulis M. Darmodjo.
Dalam suatu konferensi para Pendeta Zending pernah mengusulkan agar pendeta-pendeta di gereja Jawa dipanggil atau disebut Pamulang. Namun dalam prakteknya ternyata mereka lebih suka memakai gelar Dominus/Dominee, disingkat Ds seperti sebutan para pandhita Olanda, misalnya Ds. Martojuwono. Tidak ada seorangpun yang mau memakai gelar Pamulang yang disingkat Pml, misalnya Pml. Martojuwono.
Budaya Jawa dan identitas GKJ
Berbeda dengan gereja lain misalnya Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB), yang mengikuti paham Nederlandsche Hervormde Kerk (NHK) atau Gereja Reformasi Belanda yaitu di dalam GPIB dikenal hanya satu gereja GPIB dengan banyak jemaat lokal. Sementara GKJ mengikuti paham Gereformeerde Kerken in Nederland (GKN) atau Gereja-gereja Reformasi di Belanda yaitu di dalam GKJ dikenal satu himpunan GKJ dengan banyak GKJ. Secara retorik bisa dikatakan kalau GPIB hanya dikenal satu gereja dengan banyak jemaat, sebaliknya GKJ dikenal satu jemaat dengan banyak gereja. Dalam akta Sinode GKJ sering kita jumpai keputusan . . . diserahkan kepada pertimbangan Majelis Gereja setempat, artinya bisa saja keputusan satu Majelis GKJ berbeda dengan Majelis GKJ yang lain. Dan itu sah-sah saja.
Dalam makalahnya yang disampaikan oleh Pdt. Andreas Untung Wiyono dalam Temu Seniman dan Budayawan GKJ di Salatiga berjudul GKJ dalam tanggung jawab terhadap pelestarian dan pengembangan budaya Jawa dijelaskan, sebagaimana kehidupan yang bersifat dinamis, maka kebudayaan (termasuk adat istiadat dan kesenian) juga bersifat dinamis. Karena kebudayaan bersifat dinamis, maka identitas dari sebuah komunitas hidup (termasuk GKJ) yang banyak dipengaruhi oleh budayanya juga bersifat dinamis. Mengingat hal tersebut diatas maka sebagai GKJ, pertama-tama mestinya haruslah memiliki akar yang kuat didalam budaya Jawa. Dengan demikian identitas GKJ di tengah masyarakatnya menjadi jelas. Identitas GKJ yang mengakar didalam budaya Jawa tersebut selanjutnya perlu dipelihara dan dilestarikan agar terus berkembang sehingga memberi daya hidup bagi komunitas dimana GKJ berada.
Identitas GKJ yang mengakar didalam budaya Jawa bertumbuh serta berkembang sehingga mampu memberi daya hidup bagi komunitas dimana GKJ berada dan harus terbuka sehingga memberi ruang bagi proses transformasi kebudayaan.
Gereja perlu memiliki disain formasi kebudayaan yang jelas dan yang dipandang baik bagi pembangunan kehidupan bersama masyarakat dimasa depan. Untuk menyusun disain formasi tersebut diperlukan partisipasi para budayawan dan seniman GKJ sebagai bentuk pertanggung jawaban imannya. Tugas gereja sebagai institusi adalah memfasilitasi para Budayawan dan Seniman dalam aktifitas dan kreatifitas pelayanannya sehingga disain formasi kebudayaan yang dibuat dapat sungguh-sungguh dilaksanakan. Dalam rangka disain formasi kebudayaan tersebut pemanfaatan seni budaya Jawa dalam peribadahan GKJ tidak semestinya hanya dimaknai sebagi upaya untuk menjadikan dirinya memiliki akar yang kuat dalam budayanya sekaligus sebagai wujud tanggung jawab gereja dalam proses transformasi kebudayaan.
Gereja Kristen Jawa yang tumbuh dan berkembang di kalangan orang Jawa yang semula berada di wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta kemudian meluas hingga sebagian wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Meskipun GKJ saat ini tidak lagi disebut sebagai gereja etnis/suku karena jemaatnya terdiri dari berbagai suku, namun karena keberadaannya di lingkungan orang Jawa maka GKJ merupakan persekutuan yang secara langsung terlibat dan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan, pelestarian dan pengembangan budaya Jawa.
Budaya Jawa merupakan lahan sekaligus sarana bagi Pemberitaan Penyelamatan Allah, terlihat dari banyaknya budaya Jawa yang dilahirkan sebagai upaya untuk menjadikannya sarana Pemberitaan Penyelamatan Allah itu. Namun para pelaku budaya Jawa yang menjadi warga GKJ dimanapun juga masih belum tersentuh oleh rasa kebersamaan dalam bergereja di GKJ. Masing-masing budayawan dan seniman berkreasi untuk memuji dan meluhurkan nama Tuhan melalui gereja dimana mereka menjadi anggota, terlepas satu dari yang lainnya. Kreasi seni dan budaya Jawa berkembang diberbagai GKJ tanpa ada ikatan dengan yang lain, sehingga tumbuh secara sporadis. Padahal dalam kehidupan GKJ yang terkait dalam kebersamaan di Sinode akan lebih dapat mengembangkan budaya Jawa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam peribadahannya.
Banyak ragam kesenian Jawa yang dapat dipakai untuk memuji Tuhan dalam peribadahan. Tentu saja tinggal bagaimana para seniman dan budayawan itu bisa menempatkan diri di tengah jemaat yang majemuk. Segala sesuatu harus dicoba untuk melestarikan budaya Jawa ini, apakah memang bisa diselaraskan dengan situasi dan kondisi jemaat yang ada. Namun pada intinya budaya Jawa itu memang harus dipelihara, dilestarikan dan dikembangkan karena biar bagaimanapun GKJ adalah Gereja Kristen Jawa dan bukan Gereja Kristen di Jawa. *dari berbagai sumber. Gunungsindur, Januari’15
Senja di Uluwatu
Sinar matahari lembayung membuat warna langit begitu indahnya
sehingga Tomi merasakan betapa agung karya cipta Sang Khalik mempertontonkan
alam yang begitu indah. Barulah dia merasakan betapa kecil dirinya seolah sebutir
debu di alam semesta. Ombak yang berkejaran dan berdebur menghantam tebing
bebatuan terlihat dari ketinggian bagai symphony yang indah. Angin dingin yang
mulai menusuk tulang nyaris tak dirasakannya melihat alam yang begitu mempesona
sehingga dia tidak berniat beranjak dari tempatnya berdiri.
Dilihatnya beberapa turis baik lokal maupun mancanegara masih berseliweran di depannya, tapi banyak juga yang bersandar dipagar pembatas tebing. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada seorang turis bule yang cantik berjalan santai dengan wajah tertuntuk. Hati Tomi tercekat ketika rasanya dia pernah mengenal bule itu tapi entah dimana. Ketika bule itu menengok ke arahnya tiba-tiba dia berdiri sambil berteriak karena kaget.
“Silvy, Silvy van Berton!” teriaknya, dan bule itupun kelihatan terkejut juga ketika ada orang yang memanggilnya. Diamatinya di sore temaram itu gerangan siapa yang memanggilnya.
“Hey, kamu Tomi kah?”
“Betul Silvy, apa kabar?”
“Aku baik-baik saja.”
“Kapan datang di Indonesia?”
“Kemarin, mau malam Tahun Baru di sini. Anakmu sudah berapa, Tom?”
“Dua, masih kecil-kecil.”
“Kamu sudah berkeluarga. Sil ?”
“Belum, Tom.” sambil menggelengkan kepalanya
Terbayang kembali ke masa lima tahun yang lalu ketika Tomi pernah berkawan dekat dengan Silvy ketika mendapat tugas belajar di negeri Belanda. Waktu itu Tomi dengan teman-temannya sesama student sedang berjalan-jalan di pantai Scheveuningen ketika tiba-tiba ada seorang noni Belanda terpeleset jatuh kemudian ditolongnya. Lalu merekapun saling berkenalan, dan sejak itu mereka berkawan akrab. Setiap Jumat sore seusai belajar di kampus dekat perbatasan Jerman itu Tomi selalu menyempatkan diri naik kereta ke Den Haag untuk berkunjung ke Rode Kruis-Zieken Huis alias Rumah Sakit Palang Merah tempat Silvy menimba ilmu sebagai siswa verpleger atau perawat. Sabtu esok paginya biasanya mereka berjalan-jalan ke tempat wisata, kadang ditemani Fredy adik Silvy tapi lebih sering mereka pergi berdua saja. Nonton Taman Safari di Arnhem, Taman Mini di Madurodam, belajar memakai kelompen kayu melihat pabrik keju dan tempat wisata lainnya. Teman Tomi di kampus sudah hafal betul setiap Jumat sore pasti ilang dan baru muncul kembali Minggu malam. Senin esoknya di kelas, sering Tomi digojlok teman-temannya apalagi teman sekamarnya U Tun Aye mahasiswa dari Birma. Tapi dasar Tomi orangnya ndableg, paling cuma cengar-cengir saja kalau sudah digojlok begitu. Paling-paling dia lantas membalas teman-temannya dan mengatakan bahwa mereka itu bodoh karena nggak bisa nggaet noni Belanda.
Ketika suatu saat mereka sedang berjalan berdua dipergoki dosennya Mijn Heer (Meneer) de Haas, besoknya dosennya itu menasihati agar kedekatan mereka selesai di bandara Schipphol saja bila nanti pulang ke Indonesia, karena Meneer de Haas tahu kalau Tomi sudah berkeluarga. Lamunan Tomi terhenti ketika pundaknya ditepuk Silvy.
“Hey, Tom. Ada apa kok kelihatan bengong?”
“Ah, enggak !” kata Tomi sambil tersipu-sipu, takut kalau Silvy tahu apa yang dilamunkannya.
Di pelataran Pura Uluwatu mulai dipasang beberapa obor karena akan ada pertunjukan Tari Kecak. Para turis yang memenuhi pelataran itu begitu antusias menonton tari tanpa gamelan yang cukup mempesona itu. Sebentar-sebentar terdengar Silvy berdecak kagum. Ketika cuaca mulai gelap maka berakhirlah pertunjukan Tari Kecak itu.
“Kamu nginap di mana, Tom?”
“Di Werdhapura Sanur, wisma milik kantor.”
“Kamu nginap dimana?” balas Tomi bertanya
“Aku di Kuta.”
“Sendiri atau dengan rombongan?”
“Sendiri Tom, aku sengaja ingin jalan sendiri.”
“Lho, kok nggak sama Beny?” Tomi tahu nama Beny karena Silvy pernah kirim kabar kalau dia pacaran sama Beny.
Matanya yang biru jernih tiba-tiba redup dan terdengar suaranya yang lirih.
“Aku tidak jadian sama Beny.”
“Lho, kenapa?”
“Panjang ceritanya, Tom. Dia terlibat penggunaan narkoba yang berlebihan.”
Tomi tertegun sejenak mendengar jawaban Silvy, karena setahu dia Beny mahasiswa dari Deventer itu orangnya rajin, ramah dan santun berbeda dengan mahasiswa Belanda lainnya yang terkesan sombong, apalagi kalau melihat student dari Indonesia.
“Sekarang dia tinggal dimana?”
Sejenak Silvy tidak segera menjawab. Ditariknya nafas dalam-dalam seperti sesak rasanya.
“Dia dikarantina di sebuah rumah sakit khusus.”
“Lho, sakit apa kok sampai di karantina?”
“Dia terkena HIV-Aids. Badannya habis dan tinggal menghitung hari saja.”
“Kok sampai begitu?” sahut Tomi saking terkejutnya.
“Ya, dia salah bergaul dan salah memilih teman sehingga terjerumus.” Dia berhenti sejenak dan tiba-tiba Silvy meneteskan air mata, dan di tengah isak tangisnya dia berkata.
“Saat ini virus itu barangkali sudah menjangkiti seluruh tubuhku. Aku sudah pasrah, Tom. Kapan saja aku dipanggil Tuhan aku sudah siap meski sudah lama aku meninggalkan-Nya.”
“Percayalah Silvy, Tuhan itu Mahakasih. Tuhan pasti mengampuni dosa anak-anak-Nya yang dengan sungguh hati mau bertobat.”
“Ya Tom, doakan aku. Besok aku kembali ke Den Haag. Salam buat isteri dan anak-anakmu.”
Tomi tak segera bisa menjawab. Kembali terbayang masa persahabatan yang indah ketika di suatu senja mereka berdua menyusuri pantai di negeri kincir-angin itu. Kenangan itu tak begitu mudah untuk dilupakan. Kemudian digenggamnya tangan Silvy erat-erat dan dibisikkannya dengan suara bergetar.
“Selamat jalan, Silvy. Tuhan memberkati kamu di Tahun yang Baru ini.” Senja di Uluwatu itu pun semakin gelap dan gelap . . . Permata Hijau, awal Januari’15.
Dilihatnya beberapa turis baik lokal maupun mancanegara masih berseliweran di depannya, tapi banyak juga yang bersandar dipagar pembatas tebing. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada seorang turis bule yang cantik berjalan santai dengan wajah tertuntuk. Hati Tomi tercekat ketika rasanya dia pernah mengenal bule itu tapi entah dimana. Ketika bule itu menengok ke arahnya tiba-tiba dia berdiri sambil berteriak karena kaget.
“Silvy, Silvy van Berton!” teriaknya, dan bule itupun kelihatan terkejut juga ketika ada orang yang memanggilnya. Diamatinya di sore temaram itu gerangan siapa yang memanggilnya.
“Hey, kamu Tomi kah?”
“Betul Silvy, apa kabar?”
“Aku baik-baik saja.”
“Kapan datang di Indonesia?”
“Kemarin, mau malam Tahun Baru di sini. Anakmu sudah berapa, Tom?”
“Dua, masih kecil-kecil.”
“Kamu sudah berkeluarga. Sil ?”
“Belum, Tom.” sambil menggelengkan kepalanya
Terbayang kembali ke masa lima tahun yang lalu ketika Tomi pernah berkawan dekat dengan Silvy ketika mendapat tugas belajar di negeri Belanda. Waktu itu Tomi dengan teman-temannya sesama student sedang berjalan-jalan di pantai Scheveuningen ketika tiba-tiba ada seorang noni Belanda terpeleset jatuh kemudian ditolongnya. Lalu merekapun saling berkenalan, dan sejak itu mereka berkawan akrab. Setiap Jumat sore seusai belajar di kampus dekat perbatasan Jerman itu Tomi selalu menyempatkan diri naik kereta ke Den Haag untuk berkunjung ke Rode Kruis-Zieken Huis alias Rumah Sakit Palang Merah tempat Silvy menimba ilmu sebagai siswa verpleger atau perawat. Sabtu esok paginya biasanya mereka berjalan-jalan ke tempat wisata, kadang ditemani Fredy adik Silvy tapi lebih sering mereka pergi berdua saja. Nonton Taman Safari di Arnhem, Taman Mini di Madurodam, belajar memakai kelompen kayu melihat pabrik keju dan tempat wisata lainnya. Teman Tomi di kampus sudah hafal betul setiap Jumat sore pasti ilang dan baru muncul kembali Minggu malam. Senin esoknya di kelas, sering Tomi digojlok teman-temannya apalagi teman sekamarnya U Tun Aye mahasiswa dari Birma. Tapi dasar Tomi orangnya ndableg, paling cuma cengar-cengir saja kalau sudah digojlok begitu. Paling-paling dia lantas membalas teman-temannya dan mengatakan bahwa mereka itu bodoh karena nggak bisa nggaet noni Belanda.
Ketika suatu saat mereka sedang berjalan berdua dipergoki dosennya Mijn Heer (Meneer) de Haas, besoknya dosennya itu menasihati agar kedekatan mereka selesai di bandara Schipphol saja bila nanti pulang ke Indonesia, karena Meneer de Haas tahu kalau Tomi sudah berkeluarga. Lamunan Tomi terhenti ketika pundaknya ditepuk Silvy.
“Hey, Tom. Ada apa kok kelihatan bengong?”
“Ah, enggak !” kata Tomi sambil tersipu-sipu, takut kalau Silvy tahu apa yang dilamunkannya.
Di pelataran Pura Uluwatu mulai dipasang beberapa obor karena akan ada pertunjukan Tari Kecak. Para turis yang memenuhi pelataran itu begitu antusias menonton tari tanpa gamelan yang cukup mempesona itu. Sebentar-sebentar terdengar Silvy berdecak kagum. Ketika cuaca mulai gelap maka berakhirlah pertunjukan Tari Kecak itu.
“Kamu nginap di mana, Tom?”
“Di Werdhapura Sanur, wisma milik kantor.”
“Kamu nginap dimana?” balas Tomi bertanya
“Aku di Kuta.”
“Sendiri atau dengan rombongan?”
“Sendiri Tom, aku sengaja ingin jalan sendiri.”
“Lho, kok nggak sama Beny?” Tomi tahu nama Beny karena Silvy pernah kirim kabar kalau dia pacaran sama Beny.
Matanya yang biru jernih tiba-tiba redup dan terdengar suaranya yang lirih.
“Aku tidak jadian sama Beny.”
“Lho, kenapa?”
“Panjang ceritanya, Tom. Dia terlibat penggunaan narkoba yang berlebihan.”
Tomi tertegun sejenak mendengar jawaban Silvy, karena setahu dia Beny mahasiswa dari Deventer itu orangnya rajin, ramah dan santun berbeda dengan mahasiswa Belanda lainnya yang terkesan sombong, apalagi kalau melihat student dari Indonesia.
“Sekarang dia tinggal dimana?”
Sejenak Silvy tidak segera menjawab. Ditariknya nafas dalam-dalam seperti sesak rasanya.
“Dia dikarantina di sebuah rumah sakit khusus.”
“Lho, sakit apa kok sampai di karantina?”
“Dia terkena HIV-Aids. Badannya habis dan tinggal menghitung hari saja.”
“Kok sampai begitu?” sahut Tomi saking terkejutnya.
“Ya, dia salah bergaul dan salah memilih teman sehingga terjerumus.” Dia berhenti sejenak dan tiba-tiba Silvy meneteskan air mata, dan di tengah isak tangisnya dia berkata.
“Saat ini virus itu barangkali sudah menjangkiti seluruh tubuhku. Aku sudah pasrah, Tom. Kapan saja aku dipanggil Tuhan aku sudah siap meski sudah lama aku meninggalkan-Nya.”
“Percayalah Silvy, Tuhan itu Mahakasih. Tuhan pasti mengampuni dosa anak-anak-Nya yang dengan sungguh hati mau bertobat.”
“Ya Tom, doakan aku. Besok aku kembali ke Den Haag. Salam buat isteri dan anak-anakmu.”
Tomi tak segera bisa menjawab. Kembali terbayang masa persahabatan yang indah ketika di suatu senja mereka berdua menyusuri pantai di negeri kincir-angin itu. Kenangan itu tak begitu mudah untuk dilupakan. Kemudian digenggamnya tangan Silvy erat-erat dan dibisikkannya dengan suara bergetar.
“Selamat jalan, Silvy. Tuhan memberkati kamu di Tahun yang Baru ini.” Senja di Uluwatu itu pun semakin gelap dan gelap . . . Permata Hijau, awal Januari’15.