Revolusi Mental dan Hidup Baru
dalam KRISTUS
Pada tanggal 17 Agustus 1962, Presiden Soekarno menyampaikan pidato pada Hari Proklamasi dengan tema : ‘Tahun Kemenangan (Takem)’. Pada saat itulah muncul pernyataan ‘revolusi belum selesai’ dan ‘revolusi mental’. Kutipan pidato tersebut sbb : “Kita juga dapat menamakan tahun 1949-1950 satu Tahun Kemenangan. Kita juga tidak dapat menyangkalnya dan tidak seorangpun mau menyangkalnya. Akan tetapi dapat segera saya tambahkan di sini, bahwa kemenangan tahun 1949 itu adalah satu kemenangan dari Revolusi phisik semata-mata, dan satu kemenangan yang kita peroleh dengan babak-belur, dhédhél-dhuwél, babak-bundhas”.
Revolusi kita pada waktu itu belum meliputi revolusi mental, dan belum benar-benar merupakan satu revolusi multicomplex, yang meliputi : revolusi phisik, revolusi mental, revolusi sosial-ekonomis, dan revolusi kebudayaan.
Saat ini menurut Jokowi, ada istilah ‘paradoks pelik’, yaitu : Dibidang ‘ekonomi’ semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Dibidang ‘politik’, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang demokratis. Namun, di sisi lain, kita melihat dan merasakan ‘kegalauan masyarakat’ seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial.
Oleh karena itu ‘tiga sasaran’ dalam revolusi mental Jokowi, meliputi : Yang pertama, merubah mindset cara berpikir dan cara pandang era birokrasi priyai sudah selesai, sekarang masuk ke dalam era birokrat yang melayani rakyat. Kedua adalah strukur organisasi harus ramping, efisien, tidak boleh gemuk, dan tidak boleh ada organisasi-organisasi dalam pemerintahan yang menduplikasi fungsi. Ketiga adalah kultur dan budaya kerja yang lebih disiplin, bertanggung jawab, mengedepankan kebersamaan dan gotong royong.
Revolusi mental tentu saja berkaitan dengan tindakan perubahan radikal berkaitan dengan mental represif, mental intoleransi, mental korupsi, mental menang sendiri, mental menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan, mental melecehkan hukum, dan mental oportunis. Menjadi semakin jelas bahwa revolusi mental berkaitan dengan perubahan sikap, perilaku, cara berfikir, tindakan, etos agar tercipta Indonesia Baru yang lebih sejahtera secara ekonomi dengan diiringi keadaban mentalitas setiap warga negaranya.
Revolusi Mental menawarkan Konsep Kebhinekaan, Harmonis, Berdaulat, Mandiri Apabila suatu bangsa mengalami perubahan, hal pertama kali yang menyebabkan adalah ‘pikiran’. Jadi, jika bangsa menginginkan adanya suatu perubahan ke arah yang lebih baik, revolusi mental adalah salah satu alternatif untuk mewujudkannya. Pada dasarnya sifat dasar revolusi mental itu mengubah sifat dan pikiran negatif menjadi positif.
Sejalan dengan pengubahan sifat negatif menjadi positif, juga mengajak masyarakat menyerukan seruan moral dan melakukan pembaruan atau tranformasi mendasar terhadap sikap, perilaku, kebiasaan yang destruktif, merusak, dan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan bangsa. Motivasi dasar dari seruan moral revolusi mental ini adalah sebuah awal gerakan tranformasi budaya bangsa Indonesia dari pemerintahan yang membiarkan bertumbuhnya korupsi, diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan. Transformasi merupakan sebuah pendekatan pembangunan yang berbasis rakyat. Bahwa revolusi mental juga harus menciptakan keadilan.
Landasan gerakan revolusi mental dalam konsep dasarnya adalah proses perubahan yang cepat untuk menjadikan atau membentuk karakter dan kepribadian bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong, kebhinekaan, pancasilais, dengan melalui proses pembelajaran yang cepat dan tepat. Bahwa gerakan revolusi mental perlu melalui empat tahapan proses, yaitu pengenalan, pemaknaan, penerapan, dan harmoni.
Revolusi mental ini memang ditempuh dengan cara informal, bukan melalui institusi-institusi, dan bisa lebih cepat daripada harus melalui program pendidikan asalkan ada orang-orang yang mau bekerja keras menggarap modul ini. Karakter bangsa ditentukan oleh karakter masyarakatnya, karakter masyarakat ditentukan oleh karakter individu anggota, individu melalui proses pembentukannya dan nilai-nilai kolektif bangsa.
Revolusi Mental dalam Kebudayaan
Istilah ‘mental’ adalah nama bagi segala sesuatu menyangkut cara hidup. Di dalam cara hidup ada cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, cara mempercayai dan meyakini, cara berperilaku dan bertindak. Namun kerap muncul anggapan bahwa mental hanyalah urusan batin yang tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan ciri fisik benda-benda dunia. Kekeliruan memahami pengertian mental (bahkan ada yang menyempitkannya ke kesadaran moral), membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal perubahan moral yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti soal-soal struktural ekonomi, politik, dsb.
Padahal kesadaran moral, atau hati nurani yang mengarahkan orang ke keputusan moral yang tepat, hanyalah salah satu buah daya mental yang terdidik dengan baik. Kekeliruan itu juga melahirkan anggapan seakan-akan urusan perubahan mental akan menciutkan masalah-masalah kemiskinan dan korupsi sebagai perkara moral bangsa; Sungguh keliru anggapan bahwa “kalau moral berubah, selesailah masalah!”
Corak praktik serta sistem ekonomi dan politik yang berlangsung tiap hari merupakan ungkapan kebudayaan, sedangkan cara kita berpikir, merasa dan bertindak (‘budaya’) dibentuk secara mendalam oleh sistem dan praktik habitual ekonomi serta politik. Tak ada ekonomi dan politik tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa ekonomi dan politik. Pemisahan itu hanya ada pada aras analitik. Pada politik dan ekonomi selalu terlibat budaya dan pada yang budaya selalu terlibat ekonomi dan politik.
Revolusi mental melibatkan semacam strategi ‘kebudayaan’. Strategi kebudayaan berisi haluan umum yang berperan memberi arah bagaimana kebudayaan akan ditangani, supaya tercapai kemaslahatan hidup berbangsa. Jadi, kebudayaan mesti dipahami bukan sekedar sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagai corak atau pola cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak yang terungkap dalam tindakan, praktik dan kebiasaan sehari-hari.
Agar revolusi mental menjadi siasat integral tranformasi kebudayaan, yang dibutuhkan adalah menaruh arti dan praktis kebudayaan ke dalam proses perubahan ragawi menyangkut praktik dan kebiasaan hidup sehari-hari pada lingkup dan skala sebesar bangsa. Arah itu juga merupakan resep bagi masyarakat warga untuk ikut terlibat secara ragawi dalam memulai dan merawat revolusi mental.
Revolusi mental bisa ‘dimulai dari diri sendiri’, selanjutnya ‘dimulai dari keluarga’ dan bisa dimulai dari yang kecil atau sederhana. “Belajarlah dengan benar, pahami ilmu dan kemudian amalkan, - pulanglah, bangun daerahmu dengan ilmu yang dimiliki, respek sama orang lain dan disiplin” kata Ridho Slank. Akar dari segala permasalahan di Indonesia saat ini salah satunya disebabkan oleh ‘perubahan karakter masyarakat’ sebagai sebuah kesatuan bangsa dan negara. Indonesia yang disebut-sebut sebagai bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan tolong menolong kini sudah mulai tergerus oleh perubahan. Akibatnya dari perubahan karakter bermunculan permasalahan, diantaranya merebaknya kasus korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan.
Revolusi Mental menurut Ajaran Yesus Kristus
Salah satu ajaran dasar dari iman Kristen adalah ‘pembaharuan atau kelahiran kembali’ secara rohani. Tanpa kelahiran baru ini seseorang tidak mungkin berubah menjadi orang baik. Pembaharuan itu adalah sebuah penciptaan kembali sifat seseorang yang dikerjakan oleh Roh Kudus (Yohanes 3:6; Titus 3:5).
Dalam memberantas korupsi, diperlukan keterlibatan Tuhan. Orang berdosa perlu dituntun untuk bertobat, membuka hati untuk dibaharui oleh Roh Kudus. Hanya dengan pembaharuan atau kelahiran kembali, maka orang-orang berdosa dapat mengalami ‘revolusi mental’. Melalui proses ini hidup kekal dari Allah sendiri, benih ilahi, jiwa yang murni disalurkan ke dalam hati orang yang beriman, sehingga dia menjadi ciptaan yang baru, menjadi anak Allah, memiliki sifat dan tabiat ilahi. Pembaharuan ini diperlukan karena semua orang yang telah berdosa, tidak mungkin taat dan tidak dapat berkenan kepada Allah. Tanpa pembaharuan rohani maka seorang berdosa tidak mampu mengubah perilakunya, tidak mampu memenuhi standar moral Tuhan.
Kata Yesus : “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah” (Yohanes 3:1-8). Pembaharuan mewajibkan seseorang bertobat dari dosa-dosanya dan berbalik kepada Allah. “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Matius 3:2), dengan iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Pembaharuan meliputi peralihan dari cara hidup yang berdosa ke dalam ‘hidup baru’, hidup yang takluk kepada Tuhan. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17).
Orang-orang Jawa Kristen di Indonesia melakukan ‘revolusi mental’ lewat kegiatan GKJ Expo 2014 yang diselenggarakan pada akhir tahun lalu di Istora Senayan, Jakarta. Untuk diketahui, sejak orang Jawa Kristen hadir di tanah Jawa berkat ‘misi budaya dan religi’ dari Kyai Sadrach pada tahun 1800-an, praktis tidak banyak orang Jawa Kristen yang memelihara talenta berdagang atau berbisnis. Di kalangan umat Kristen Jawa, terpelihara semacam keyakinan atau iman yang diwariskan secara turun temurun bahwa ‘berdagang adalah dosa’ karena di dalamnya ada uang dan laba. Ini bisa dipahami, sebab di dalam Alkitab ada tertulis bahwa cinta uang adalah akar kejahatan.
Lewat GKJ Expo 2014, Sinode GKJ dan juga ‘provokator’ acara tersebut mengajak umat Kristen asal Jawa untuk ‘out of the box’. Orang-orang Jawa Kristen diajak melakukan ‘revolusi mental’. Konkretnya, diajak untuk berani mengubah mental “priyayi” menjadi mental pendobrak dan pembaharu.
"Berubahlah oleh pembaharuan budimu” (Roma 12:2); Ketua PGI Pdt. Yewangoe mengemukakan perubahan mental berlangsung dari dalam hati, sementara perubahan budi pekerti sama asalnya; “Tidak bisa dipaksakan akan tetapi harus dengan kesadaran sendiri”.
Kepribadian Indonesia secara sosial-budaya adalah bagaimana kita menjadi energi bagi bangsa dan negara ini secara total. Kata kunci terpenting revolusi mental adalah totalitas. Yesus menganalogikan makna totalitas itu dengan elegan, sabda-Nya, “Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil” (Matius 5:41). Itulah totalitas, tanpa batas dan melebihi ekspektasi, mendekati sempurna. Ini berarti revolusi mental dapat dimulai dengan merevolusi hati setiap manusia Indonesia, yakni dengan membangun harga diri, membangkitkan jiwa pemenang, dan mengutamakan totalitas dalam bekerja. Revolusi mental harus dimulai dengan merevolusi hati Anda dan saya.
Tugas gereja untuk memberi hidup bagi bangsa ini, karena gereja-gereja membutuhkan terobosan teologis, dan persoalan teologis menjadi persoalan bangsa ini, dan juga masalah ketidakadilan bangsa ini dapat dicari solusinya. Seruan revolusi mental adalah seruan dari budaya bagi bangsa ini, dan pembangunan yang pro perdamaian dan keadilan adalah sebuah pendekatan baru dan paradigma baru. Revolusi mental ini harus dapat dalam keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, dan mendorong integritas dan keutuhan ciptaan bangsa.
Revolusi Mental mendesak akibat Moral Terdegradasi
Merasakan masih jauhnya wujud cita-cita bangsa Indonesia, sementara kerinduan untuk itu semakin kuat, diperlukan perubahan mentalitas, yaitu cara berpikir, sikap dasar, dan perwujudannya. Sebagian kecil warga terbuai menikmati kenyamanan dan kemapanan, sementara sebagian besar masyarakat hidup sangat miskin dan tak berdaya, tergoda untuk memenuhi kebutuhan sendiri tanpa peduli akan sesama.
Mentalitas individualistis telah menjiwai sebagian besar warga masyarakat. Sikap itu melemahkan ‘sikap bela rasa’ terhadap sesama, khususnya yang menderita. Mentalitas itu tanpa disadari telah menelikung begitu banyak orang. Persaingan tidak sehat berangkat dari ‘sikap tidak peduli akan sesama’, bahkan menginginkan pesaingnya kalah atau bahkan mati. Mentalitas itu mesti diubah secara mendasar kalau kebersamaan bangsa dalam menggapai cita-cita bersama sungguh-sungguh mau dikembangkan.
Segenap warga masyarakat perlu berubah dari sikap individualistis dan egoistis ke altruis (alter = yang lain), yaitu mengarahkan diri keluar, melihat keprihatinan di sekitarnya, mengembangkan sikap bela rasa, dan bertindak nyata sekalipun sederhana dan dalam skala kecil. Sikap dasar ‘berbela rasa’ itu bukan hanya soal sosial, melainkan moral. Membiarkan sesama menderita pada dasarnya adalah sikap tidak memberikan hak sesama hidup layak. Padahal, semua orang bermartabat sama di hadapan Sang Pencipta. Maka semua orang yang selama ini diam, tertutup, dan merasa aman serta menikmati ‘kemuliaan’ mesti meninggalkan rasa mapan dan nyaman untuk blusukan demi melihat ‘kenyataan’, mengembangkan sikap bela rasa, dan mewujudkan tindakan nyata.
Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin dan selayaknya setiap revolusi diperlukan pengorbanan oleh masyarakat Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Revolusi Mental dianggap sebuah hal yang mendesak mengingat tata laku rakyat Indonesia sedang mengalami situasi yang tidak sehat dimana nilai-nilai moralitas sedang terdegradasi, budaya malu sedang terkikis, terutama di kalangan elit politik dan kalangan aparatur negara. Perbuatan tidak terpuji (misal: korupsi) sebenarnya dapat dicegah, dimulai dari keluarga dengan mengajarkan hal-hal yang baik tentang kejujuran dan tauladan dari orangtua dan lingkungan, Diperlukannya kerja sama bahu-membahu untuk mencegah terjadinya praktik-praktik korupsi antara pemerintah dan masyarakat, khususnya dalam penyelenggaraan negara agar dapat menutup ruang dan celah mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemantauan.
Pesan-pesan penutup untuk kita semua, baca, renungkan, dan lakukanlah amanat Firman Tuhan di dalam Alkitab. Surat Paulus kepada Titus 3 : 1-14. “Dan biarlah orang-orang kita juga belajar melakukan pekerjaan yang baik untuk memenuhi keperluan hidup yang pokok, supaya hidup mereka jangan tidak berbuah” (Titus 3:14). Dan, “Berjaga-jagalah! Berdirilah dengan teguh dalam iman! Bersikaplah sebagai laki-laki! Dan tetap kuat! Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih!” (1 Korintus 16:13-14). Agus Hardjanto. (dirangkai dari berbagai sumber)
Revolusi kita pada waktu itu belum meliputi revolusi mental, dan belum benar-benar merupakan satu revolusi multicomplex, yang meliputi : revolusi phisik, revolusi mental, revolusi sosial-ekonomis, dan revolusi kebudayaan.
Saat ini menurut Jokowi, ada istilah ‘paradoks pelik’, yaitu : Dibidang ‘ekonomi’ semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Dibidang ‘politik’, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang demokratis. Namun, di sisi lain, kita melihat dan merasakan ‘kegalauan masyarakat’ seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial.
Oleh karena itu ‘tiga sasaran’ dalam revolusi mental Jokowi, meliputi : Yang pertama, merubah mindset cara berpikir dan cara pandang era birokrasi priyai sudah selesai, sekarang masuk ke dalam era birokrat yang melayani rakyat. Kedua adalah strukur organisasi harus ramping, efisien, tidak boleh gemuk, dan tidak boleh ada organisasi-organisasi dalam pemerintahan yang menduplikasi fungsi. Ketiga adalah kultur dan budaya kerja yang lebih disiplin, bertanggung jawab, mengedepankan kebersamaan dan gotong royong.
Revolusi mental tentu saja berkaitan dengan tindakan perubahan radikal berkaitan dengan mental represif, mental intoleransi, mental korupsi, mental menang sendiri, mental menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan, mental melecehkan hukum, dan mental oportunis. Menjadi semakin jelas bahwa revolusi mental berkaitan dengan perubahan sikap, perilaku, cara berfikir, tindakan, etos agar tercipta Indonesia Baru yang lebih sejahtera secara ekonomi dengan diiringi keadaban mentalitas setiap warga negaranya.
Revolusi Mental menawarkan Konsep Kebhinekaan, Harmonis, Berdaulat, Mandiri Apabila suatu bangsa mengalami perubahan, hal pertama kali yang menyebabkan adalah ‘pikiran’. Jadi, jika bangsa menginginkan adanya suatu perubahan ke arah yang lebih baik, revolusi mental adalah salah satu alternatif untuk mewujudkannya. Pada dasarnya sifat dasar revolusi mental itu mengubah sifat dan pikiran negatif menjadi positif.
Sejalan dengan pengubahan sifat negatif menjadi positif, juga mengajak masyarakat menyerukan seruan moral dan melakukan pembaruan atau tranformasi mendasar terhadap sikap, perilaku, kebiasaan yang destruktif, merusak, dan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan bangsa. Motivasi dasar dari seruan moral revolusi mental ini adalah sebuah awal gerakan tranformasi budaya bangsa Indonesia dari pemerintahan yang membiarkan bertumbuhnya korupsi, diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan. Transformasi merupakan sebuah pendekatan pembangunan yang berbasis rakyat. Bahwa revolusi mental juga harus menciptakan keadilan.
Landasan gerakan revolusi mental dalam konsep dasarnya adalah proses perubahan yang cepat untuk menjadikan atau membentuk karakter dan kepribadian bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong, kebhinekaan, pancasilais, dengan melalui proses pembelajaran yang cepat dan tepat. Bahwa gerakan revolusi mental perlu melalui empat tahapan proses, yaitu pengenalan, pemaknaan, penerapan, dan harmoni.
Revolusi mental ini memang ditempuh dengan cara informal, bukan melalui institusi-institusi, dan bisa lebih cepat daripada harus melalui program pendidikan asalkan ada orang-orang yang mau bekerja keras menggarap modul ini. Karakter bangsa ditentukan oleh karakter masyarakatnya, karakter masyarakat ditentukan oleh karakter individu anggota, individu melalui proses pembentukannya dan nilai-nilai kolektif bangsa.
Revolusi Mental dalam Kebudayaan
Istilah ‘mental’ adalah nama bagi segala sesuatu menyangkut cara hidup. Di dalam cara hidup ada cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, cara mempercayai dan meyakini, cara berperilaku dan bertindak. Namun kerap muncul anggapan bahwa mental hanyalah urusan batin yang tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan ciri fisik benda-benda dunia. Kekeliruan memahami pengertian mental (bahkan ada yang menyempitkannya ke kesadaran moral), membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal perubahan moral yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti soal-soal struktural ekonomi, politik, dsb.
Padahal kesadaran moral, atau hati nurani yang mengarahkan orang ke keputusan moral yang tepat, hanyalah salah satu buah daya mental yang terdidik dengan baik. Kekeliruan itu juga melahirkan anggapan seakan-akan urusan perubahan mental akan menciutkan masalah-masalah kemiskinan dan korupsi sebagai perkara moral bangsa; Sungguh keliru anggapan bahwa “kalau moral berubah, selesailah masalah!”
Corak praktik serta sistem ekonomi dan politik yang berlangsung tiap hari merupakan ungkapan kebudayaan, sedangkan cara kita berpikir, merasa dan bertindak (‘budaya’) dibentuk secara mendalam oleh sistem dan praktik habitual ekonomi serta politik. Tak ada ekonomi dan politik tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa ekonomi dan politik. Pemisahan itu hanya ada pada aras analitik. Pada politik dan ekonomi selalu terlibat budaya dan pada yang budaya selalu terlibat ekonomi dan politik.
Revolusi mental melibatkan semacam strategi ‘kebudayaan’. Strategi kebudayaan berisi haluan umum yang berperan memberi arah bagaimana kebudayaan akan ditangani, supaya tercapai kemaslahatan hidup berbangsa. Jadi, kebudayaan mesti dipahami bukan sekedar sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagai corak atau pola cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak yang terungkap dalam tindakan, praktik dan kebiasaan sehari-hari.
Agar revolusi mental menjadi siasat integral tranformasi kebudayaan, yang dibutuhkan adalah menaruh arti dan praktis kebudayaan ke dalam proses perubahan ragawi menyangkut praktik dan kebiasaan hidup sehari-hari pada lingkup dan skala sebesar bangsa. Arah itu juga merupakan resep bagi masyarakat warga untuk ikut terlibat secara ragawi dalam memulai dan merawat revolusi mental.
Revolusi mental bisa ‘dimulai dari diri sendiri’, selanjutnya ‘dimulai dari keluarga’ dan bisa dimulai dari yang kecil atau sederhana. “Belajarlah dengan benar, pahami ilmu dan kemudian amalkan, - pulanglah, bangun daerahmu dengan ilmu yang dimiliki, respek sama orang lain dan disiplin” kata Ridho Slank. Akar dari segala permasalahan di Indonesia saat ini salah satunya disebabkan oleh ‘perubahan karakter masyarakat’ sebagai sebuah kesatuan bangsa dan negara. Indonesia yang disebut-sebut sebagai bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan tolong menolong kini sudah mulai tergerus oleh perubahan. Akibatnya dari perubahan karakter bermunculan permasalahan, diantaranya merebaknya kasus korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan.
Revolusi Mental menurut Ajaran Yesus Kristus
Salah satu ajaran dasar dari iman Kristen adalah ‘pembaharuan atau kelahiran kembali’ secara rohani. Tanpa kelahiran baru ini seseorang tidak mungkin berubah menjadi orang baik. Pembaharuan itu adalah sebuah penciptaan kembali sifat seseorang yang dikerjakan oleh Roh Kudus (Yohanes 3:6; Titus 3:5).
Dalam memberantas korupsi, diperlukan keterlibatan Tuhan. Orang berdosa perlu dituntun untuk bertobat, membuka hati untuk dibaharui oleh Roh Kudus. Hanya dengan pembaharuan atau kelahiran kembali, maka orang-orang berdosa dapat mengalami ‘revolusi mental’. Melalui proses ini hidup kekal dari Allah sendiri, benih ilahi, jiwa yang murni disalurkan ke dalam hati orang yang beriman, sehingga dia menjadi ciptaan yang baru, menjadi anak Allah, memiliki sifat dan tabiat ilahi. Pembaharuan ini diperlukan karena semua orang yang telah berdosa, tidak mungkin taat dan tidak dapat berkenan kepada Allah. Tanpa pembaharuan rohani maka seorang berdosa tidak mampu mengubah perilakunya, tidak mampu memenuhi standar moral Tuhan.
Kata Yesus : “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah” (Yohanes 3:1-8). Pembaharuan mewajibkan seseorang bertobat dari dosa-dosanya dan berbalik kepada Allah. “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Matius 3:2), dengan iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Pembaharuan meliputi peralihan dari cara hidup yang berdosa ke dalam ‘hidup baru’, hidup yang takluk kepada Tuhan. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17).
Orang-orang Jawa Kristen di Indonesia melakukan ‘revolusi mental’ lewat kegiatan GKJ Expo 2014 yang diselenggarakan pada akhir tahun lalu di Istora Senayan, Jakarta. Untuk diketahui, sejak orang Jawa Kristen hadir di tanah Jawa berkat ‘misi budaya dan religi’ dari Kyai Sadrach pada tahun 1800-an, praktis tidak banyak orang Jawa Kristen yang memelihara talenta berdagang atau berbisnis. Di kalangan umat Kristen Jawa, terpelihara semacam keyakinan atau iman yang diwariskan secara turun temurun bahwa ‘berdagang adalah dosa’ karena di dalamnya ada uang dan laba. Ini bisa dipahami, sebab di dalam Alkitab ada tertulis bahwa cinta uang adalah akar kejahatan.
Lewat GKJ Expo 2014, Sinode GKJ dan juga ‘provokator’ acara tersebut mengajak umat Kristen asal Jawa untuk ‘out of the box’. Orang-orang Jawa Kristen diajak melakukan ‘revolusi mental’. Konkretnya, diajak untuk berani mengubah mental “priyayi” menjadi mental pendobrak dan pembaharu.
"Berubahlah oleh pembaharuan budimu” (Roma 12:2); Ketua PGI Pdt. Yewangoe mengemukakan perubahan mental berlangsung dari dalam hati, sementara perubahan budi pekerti sama asalnya; “Tidak bisa dipaksakan akan tetapi harus dengan kesadaran sendiri”.
Kepribadian Indonesia secara sosial-budaya adalah bagaimana kita menjadi energi bagi bangsa dan negara ini secara total. Kata kunci terpenting revolusi mental adalah totalitas. Yesus menganalogikan makna totalitas itu dengan elegan, sabda-Nya, “Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil” (Matius 5:41). Itulah totalitas, tanpa batas dan melebihi ekspektasi, mendekati sempurna. Ini berarti revolusi mental dapat dimulai dengan merevolusi hati setiap manusia Indonesia, yakni dengan membangun harga diri, membangkitkan jiwa pemenang, dan mengutamakan totalitas dalam bekerja. Revolusi mental harus dimulai dengan merevolusi hati Anda dan saya.
Tugas gereja untuk memberi hidup bagi bangsa ini, karena gereja-gereja membutuhkan terobosan teologis, dan persoalan teologis menjadi persoalan bangsa ini, dan juga masalah ketidakadilan bangsa ini dapat dicari solusinya. Seruan revolusi mental adalah seruan dari budaya bagi bangsa ini, dan pembangunan yang pro perdamaian dan keadilan adalah sebuah pendekatan baru dan paradigma baru. Revolusi mental ini harus dapat dalam keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, dan mendorong integritas dan keutuhan ciptaan bangsa.
Revolusi Mental mendesak akibat Moral Terdegradasi
Merasakan masih jauhnya wujud cita-cita bangsa Indonesia, sementara kerinduan untuk itu semakin kuat, diperlukan perubahan mentalitas, yaitu cara berpikir, sikap dasar, dan perwujudannya. Sebagian kecil warga terbuai menikmati kenyamanan dan kemapanan, sementara sebagian besar masyarakat hidup sangat miskin dan tak berdaya, tergoda untuk memenuhi kebutuhan sendiri tanpa peduli akan sesama.
Mentalitas individualistis telah menjiwai sebagian besar warga masyarakat. Sikap itu melemahkan ‘sikap bela rasa’ terhadap sesama, khususnya yang menderita. Mentalitas itu tanpa disadari telah menelikung begitu banyak orang. Persaingan tidak sehat berangkat dari ‘sikap tidak peduli akan sesama’, bahkan menginginkan pesaingnya kalah atau bahkan mati. Mentalitas itu mesti diubah secara mendasar kalau kebersamaan bangsa dalam menggapai cita-cita bersama sungguh-sungguh mau dikembangkan.
Segenap warga masyarakat perlu berubah dari sikap individualistis dan egoistis ke altruis (alter = yang lain), yaitu mengarahkan diri keluar, melihat keprihatinan di sekitarnya, mengembangkan sikap bela rasa, dan bertindak nyata sekalipun sederhana dan dalam skala kecil. Sikap dasar ‘berbela rasa’ itu bukan hanya soal sosial, melainkan moral. Membiarkan sesama menderita pada dasarnya adalah sikap tidak memberikan hak sesama hidup layak. Padahal, semua orang bermartabat sama di hadapan Sang Pencipta. Maka semua orang yang selama ini diam, tertutup, dan merasa aman serta menikmati ‘kemuliaan’ mesti meninggalkan rasa mapan dan nyaman untuk blusukan demi melihat ‘kenyataan’, mengembangkan sikap bela rasa, dan mewujudkan tindakan nyata.
Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin dan selayaknya setiap revolusi diperlukan pengorbanan oleh masyarakat Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Revolusi Mental dianggap sebuah hal yang mendesak mengingat tata laku rakyat Indonesia sedang mengalami situasi yang tidak sehat dimana nilai-nilai moralitas sedang terdegradasi, budaya malu sedang terkikis, terutama di kalangan elit politik dan kalangan aparatur negara. Perbuatan tidak terpuji (misal: korupsi) sebenarnya dapat dicegah, dimulai dari keluarga dengan mengajarkan hal-hal yang baik tentang kejujuran dan tauladan dari orangtua dan lingkungan, Diperlukannya kerja sama bahu-membahu untuk mencegah terjadinya praktik-praktik korupsi antara pemerintah dan masyarakat, khususnya dalam penyelenggaraan negara agar dapat menutup ruang dan celah mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemantauan.
Pesan-pesan penutup untuk kita semua, baca, renungkan, dan lakukanlah amanat Firman Tuhan di dalam Alkitab. Surat Paulus kepada Titus 3 : 1-14. “Dan biarlah orang-orang kita juga belajar melakukan pekerjaan yang baik untuk memenuhi keperluan hidup yang pokok, supaya hidup mereka jangan tidak berbuah” (Titus 3:14). Dan, “Berjaga-jagalah! Berdirilah dengan teguh dalam iman! Bersikaplah sebagai laki-laki! Dan tetap kuat! Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih!” (1 Korintus 16:13-14). Agus Hardjanto. (dirangkai dari berbagai sumber)
Revolusi Mental
Dua kata itu menjadi salah satu tema kampanye Jokowi – JK dalam kampanye pemilihan presiden tahun lalu (2014). Revolusi berarti perubahan yang dilakukan secara mendasar, dan mental berarti sesuatu yang ada dalam diri manusia, yang menjadi dasar dari seluruh tingkah lakunya. Karena itu revolusi mental adalah perubahan secara mendasar (yang dilakukan dengan sadar) pada hal-hal yang mempengaruhi perilaku anak bangsa secara menyeluruh terutama para pemimpin bangsa, kaum birokrat, politisi, penegak hukum dan bahkan masyarakat secara keseluruhan.
Waktu itu banyak orang terkesima dan senang mendengar tema tersebut. Mengikuti rekam jejak Jokowi dari kedudukannya sebagai walikota Surakarta (Sala), lalu menjadi Gubernur DKI Jakarta, kayaknya tema itu akan dapat dilaksanakan. Pemprov DKI yang menjadi referensi banyak orang memang telah melakukan perubahan mendasar. Perda-perda – terutama keamanan dan ketertiban - yang sebelumnya banyak yang macet dan tidak dilaksanakan, ditegakkan oleh pemprov. Pedagang kaki lima dan parkir dibenahi, tanah pemda yang beralih fungsi dikembalikan, waduk sebagai resapan air dikembalikan, bahkan secara internal birokrasi di pemerintahan “direvolusi” oleh Gubernur. Mental korup di kalangan pejabat pemprov dibongkar. Pejabat yang mencoba bermain-main dengan jabatannya digeser dan bahkan dibuat ketakutan karena harus berhadapan dengan hukum. Bahkan jabatan dilelang, untuk mendapatkan pejabat yang berkompeten dan mumpuni. Maka Susan pun yang beragama kristen menjadi kelurahan Lenteng Agung yang mayoritas penduduknya Betawi Asli dan bergama Islam (kini sudah dipindah ke Menteng). Demikian pula kepala sekolah, dilelang dan siapa yang kompeten terpilih. Dulu hanya orang-orang yang beragama tertentu yang bisa menjadi pejabat, kepala sekolah atau lurah. Kalau seseorang akan menjadi pejabat ditanya lebih dulu “apa agamamu”, kini pertanyaannya, “apa kamu mampu?”
Apakah gebrakan yang dilakukan pemprov DKI merupakan revolusi mental? Atau hanya penataan ulang struktur birokrasi? Sebab kalau revolusi mental, ia tak hanya menyentuh birokrat tetapi juga harus berimbas ke masyarakat, juga politisi dan unsur masyarakat lainnya. Memang jaman dulu orang kristen mengalami kesulitan untuk bisa menjabat sebagai kepala sekolah, apalagi lurah di sebuah wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Dengan gebrakan yang dilakukan Gubernur DKI semuanya berubah. Tidak hanya tatanan birokrasi, tetapi juga mentalitas masyarakat, terutama politisi diubah. Mentalitasnya diubah untuk dapat menerima dan membiasakan diri dengan perbedaan. Memang kaum politisi dan kaum fundamentalis yang merasa tidak rela menerima kenyataan itu. Ada sebuah mindset di benak mereka, yang didasarkan pada dikotomi mayoritas – minoritas, bahwa yang banyak itu kuat dan harus berkuasa, memimpin yang sedikit.
Tetapi apakah revolusi mental itu dapat berjalan seiring dengan sebuah kemenangan seperti yang terjadi di DKI? Atau begini pertanyaannya, apakah ketika memenangkan sebuah pemilihan umum, tema kampanye secara otomatis pula dilaksanakan? Dulu ada yang ketika kampanye berkata begini: “katakan tidak pada korupsi”, setelah memegang jabatan tetap saja korupsi! Kalau keadaan di masyarakat tetap tak berubah, kalau orang yang korupsi tetap diberi tempat untuk memimpin, kalau orang yang merasa menang dan merasa kuat hanya berpikir tentang bagi-bagi kekuasaan, kalau yang tertindas tetap tertindas, kalau orang semakin berani melakukan kekerasan, kalau para oportunis tetap memainkan peranan, kalau dendam masih mewarnai pelaksanaan roda pemerintahan, kalau KKN masih merajalela, kalau penunjukan pejabat masih didasarkan pada balas jasa, kalau............... dan seterusnya, apakah revolusi mental itu sudah dijalankan?
Bagi orang kristen – apabila benar-benar mau melakukan – revolusi mental itu sangat mudah dan sederhana. Kalimat yang diucapkan oleh Tuhan Yesus, “Kamu telah mendengar firman, kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi aku berkata kepadamu: kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5: 43-44). Kalimat itu memiliki daya ubah yang begitu besar, yang apabila dilakukan akan mengubah tatanan masyarakat bahkan tatanan dunia! Tidak ada pemimpin dunia pun yang berani mengatakan kalimat seperti itu. Bagi orang Yahudi di jaman itu, yang namanya sesama manusia itu dibatasi hanya pada para penyembah YHWH, sedangkan yang tidak menyembah YHWH adalah musuh. Nah, Tuhan Yesus menyuruh mereka mengasihi orang yang selama ratusan tahun dianggap sebagai musuh. Mana mungkin? Lalu orang yang menganiaya kok malah didoakan? Aneh bukan? Tetapi itulah yang dikatakan oleh Tuhan Yesus sebagaimana ditulis dalam Injil. Kata Tuhan Yesus lagi,”karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, yang menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar”. (ayat 45).
Yang dikatakan Tuhan Yesus itu adalah dasar untuk melakukan revolusi mental! Barangkali kalau Tuhan Yesus berkata, “jangan membenci musuhmu”, banyak orang bisa melakukan. Berdiam diri, tidak bertegursapa, bisa dilakukan siapa saja. Tetapi mengasihi musuh? Alaaamak, susah ‘kali! Macammana melakukannya?
Yah, susah! Tetapi susah tidak berarti tidak bisa dilakukan, bukan? Merevolusi mental bukan harus berskala besar, apalagi berpretensi untuk melakukannya dalam skala nasional. Revolusi mental itu bisa dilakukan (dan harus dilakukan) pertama-tama pada diri sendiri. Manakala setiap orang melakukannya secara pribadi, maka akan seperti bola salju yang semakin menggelinding menjadi besar dan mempengaruhi tatanan sosial. (45-nosk). Padmono SK.
Waktu itu banyak orang terkesima dan senang mendengar tema tersebut. Mengikuti rekam jejak Jokowi dari kedudukannya sebagai walikota Surakarta (Sala), lalu menjadi Gubernur DKI Jakarta, kayaknya tema itu akan dapat dilaksanakan. Pemprov DKI yang menjadi referensi banyak orang memang telah melakukan perubahan mendasar. Perda-perda – terutama keamanan dan ketertiban - yang sebelumnya banyak yang macet dan tidak dilaksanakan, ditegakkan oleh pemprov. Pedagang kaki lima dan parkir dibenahi, tanah pemda yang beralih fungsi dikembalikan, waduk sebagai resapan air dikembalikan, bahkan secara internal birokrasi di pemerintahan “direvolusi” oleh Gubernur. Mental korup di kalangan pejabat pemprov dibongkar. Pejabat yang mencoba bermain-main dengan jabatannya digeser dan bahkan dibuat ketakutan karena harus berhadapan dengan hukum. Bahkan jabatan dilelang, untuk mendapatkan pejabat yang berkompeten dan mumpuni. Maka Susan pun yang beragama kristen menjadi kelurahan Lenteng Agung yang mayoritas penduduknya Betawi Asli dan bergama Islam (kini sudah dipindah ke Menteng). Demikian pula kepala sekolah, dilelang dan siapa yang kompeten terpilih. Dulu hanya orang-orang yang beragama tertentu yang bisa menjadi pejabat, kepala sekolah atau lurah. Kalau seseorang akan menjadi pejabat ditanya lebih dulu “apa agamamu”, kini pertanyaannya, “apa kamu mampu?”
Apakah gebrakan yang dilakukan pemprov DKI merupakan revolusi mental? Atau hanya penataan ulang struktur birokrasi? Sebab kalau revolusi mental, ia tak hanya menyentuh birokrat tetapi juga harus berimbas ke masyarakat, juga politisi dan unsur masyarakat lainnya. Memang jaman dulu orang kristen mengalami kesulitan untuk bisa menjabat sebagai kepala sekolah, apalagi lurah di sebuah wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Dengan gebrakan yang dilakukan Gubernur DKI semuanya berubah. Tidak hanya tatanan birokrasi, tetapi juga mentalitas masyarakat, terutama politisi diubah. Mentalitasnya diubah untuk dapat menerima dan membiasakan diri dengan perbedaan. Memang kaum politisi dan kaum fundamentalis yang merasa tidak rela menerima kenyataan itu. Ada sebuah mindset di benak mereka, yang didasarkan pada dikotomi mayoritas – minoritas, bahwa yang banyak itu kuat dan harus berkuasa, memimpin yang sedikit.
Tetapi apakah revolusi mental itu dapat berjalan seiring dengan sebuah kemenangan seperti yang terjadi di DKI? Atau begini pertanyaannya, apakah ketika memenangkan sebuah pemilihan umum, tema kampanye secara otomatis pula dilaksanakan? Dulu ada yang ketika kampanye berkata begini: “katakan tidak pada korupsi”, setelah memegang jabatan tetap saja korupsi! Kalau keadaan di masyarakat tetap tak berubah, kalau orang yang korupsi tetap diberi tempat untuk memimpin, kalau orang yang merasa menang dan merasa kuat hanya berpikir tentang bagi-bagi kekuasaan, kalau yang tertindas tetap tertindas, kalau orang semakin berani melakukan kekerasan, kalau para oportunis tetap memainkan peranan, kalau dendam masih mewarnai pelaksanaan roda pemerintahan, kalau KKN masih merajalela, kalau penunjukan pejabat masih didasarkan pada balas jasa, kalau............... dan seterusnya, apakah revolusi mental itu sudah dijalankan?
Bagi orang kristen – apabila benar-benar mau melakukan – revolusi mental itu sangat mudah dan sederhana. Kalimat yang diucapkan oleh Tuhan Yesus, “Kamu telah mendengar firman, kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi aku berkata kepadamu: kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5: 43-44). Kalimat itu memiliki daya ubah yang begitu besar, yang apabila dilakukan akan mengubah tatanan masyarakat bahkan tatanan dunia! Tidak ada pemimpin dunia pun yang berani mengatakan kalimat seperti itu. Bagi orang Yahudi di jaman itu, yang namanya sesama manusia itu dibatasi hanya pada para penyembah YHWH, sedangkan yang tidak menyembah YHWH adalah musuh. Nah, Tuhan Yesus menyuruh mereka mengasihi orang yang selama ratusan tahun dianggap sebagai musuh. Mana mungkin? Lalu orang yang menganiaya kok malah didoakan? Aneh bukan? Tetapi itulah yang dikatakan oleh Tuhan Yesus sebagaimana ditulis dalam Injil. Kata Tuhan Yesus lagi,”karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, yang menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar”. (ayat 45).
Yang dikatakan Tuhan Yesus itu adalah dasar untuk melakukan revolusi mental! Barangkali kalau Tuhan Yesus berkata, “jangan membenci musuhmu”, banyak orang bisa melakukan. Berdiam diri, tidak bertegursapa, bisa dilakukan siapa saja. Tetapi mengasihi musuh? Alaaamak, susah ‘kali! Macammana melakukannya?
Yah, susah! Tetapi susah tidak berarti tidak bisa dilakukan, bukan? Merevolusi mental bukan harus berskala besar, apalagi berpretensi untuk melakukannya dalam skala nasional. Revolusi mental itu bisa dilakukan (dan harus dilakukan) pertama-tama pada diri sendiri. Manakala setiap orang melakukannya secara pribadi, maka akan seperti bola salju yang semakin menggelinding menjadi besar dan mempengaruhi tatanan sosial. (45-nosk). Padmono SK.
Revolusi Mental: Korupsi
Revolusi
Mental menjadi gebrakan baru pada era Presiden Joko Widodo. Selama ini korupsi tidak diperlakukan sebagai penyakit masyarakat yang harus dibasmi. Korupsi telah
menjadi seperti binatang liar yang memangsa orang jujur dalam suatu sistem
korup. Demoralisasi di kalangan abdi negeri
terjadi ketika mereka juga mau menjadi abdi harta. Dibutuhkan keterlibatan
semua komponen bangsa untuk menghadapinya. Dalam membangun masa depan yang
lebih baik, maka sebagaai kejahatan besar kasus korupsi harus ditangani dengan suasana
kedaruratan.
Prof. Koentjaraningrat (1987) memberikan pengertian: Revolusi Mental mengarah ke transformasi besar yang menyangkut corak dan cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak. Revolusi mental sebenarnya telah dikenal lama.Akhir-akhir ini di Indonesia, menjadi gebrakan baru pada era Presiden Joko Widodo. Menjadi program kerja serius dari pemerintahannya. Banyak sektor kehidupan yang perlu dirubah dengan mendasar, namun artikel ini sengaja hanya menitik beratkan pada Revolusi Mental Korupsi, yang telah sama kita ketahui bahwa korupsi dikategorikan sebagai salah satu kejahatan besar di Negara kita maupun internasional.
Kondisi yang memaksa
Berikut ini adalah kondisi-kondisi di Negara kita yang memang memerlukan perubahan cepat dan mendasar:
~ Korupsi tidak diperlakukan sebagai penyakit masyarakat yang harus dibasmi. Bau busuknya ditutup-tutupi dengan pencitraan. Korupsi pun luput dari kutukan agama. Indonesia belum pernah benar-benar bertobat dari korupsi yang pernah membangkrutkannya. Praktik korupsi dibiarkan , sejauh terkendali dan kepentingan elite politik tidak terganggu.
Negara seharusnya memiliki sumber daya yang kuat untuk menghasilkan layanan publik yang baik. Pemetaan dan pengawasan seluruh potensi negeri seharusnya di tangan pemerintah. Namun, pemerintah seperti tanpa daya, keropos karena pembusukan dari dalam, bukan karena konspirasi dari luar. Koruptor politik dianggap berjasa bagi partai. Korupsi tidak dilihat sebagai pengkhianatan bernegara. Kalaupun konspirasi korupsi terbongkar, pelaku merasa tidak bersalah. Cukup dengan khilaf atau kesalahan adminsitratif. Hukuman untuk koruptor pun semakin rendah. Mereka diperlakukan terhormat, memperoleh banyak kemudahan di penjara.
~ Kementerian menjadi semakin-otonom. Pengawasan melekat tidak jalan. Tidak pernah kita mendapati atasan yang menangkap tangan atau memergoki korupsi bawahan, praktik yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
~ Pejabat dan pengusaha saling melayani dalam suatu persekutuan jahat yang mengorbankan kepentingan bangsa. Birokrasi dari bawah sampai atas sudah memiliki jatah untuk pundi masing-masing. Sesama koruptor dilarang saling mendahului.
~ Efek negatif korupsi dibuat semakin samar. Seolah-olah tidak ada hubungan antara korupsi di bidang Lalu-lintas dengan banyaknya korban kecelakaan, korupsi di bidang keolahragaan dengan kemerosotan prestasi olah raga bangsa., korupsi di bidang peternakan dengan rendahnya asupan protein hewani rakyat kecil dan mahalnya daging sapi.
~ Fungsi pengawasan legislatif tidak efektif karena yang mengawasi juga menjadi bagian dari yang diawasi. Saling kritik pun hanya sandiwara politik karena masing-masing ‘tahu sama tahu’. Apabila kader tersandung kasus korupsi, partai cuci tangan dan melokalisasi kasusnya sebagai masalah pribadi.
Elit politik gagal memanfaatkan momentum positif makro-ekonomi nasional dengan memperjuangkan ketahanan energi dan pangan demi kesejahteraan rakyat. Kesempatan emas Indonesia untuk menjadi Negara maju akan berlalu jika mentalitas sebagian besar penguasa kita masih memburu rente.
~ Korupsi telah menjadi seperti binatang liar yang memangsa orang jujur dalam suatu sistem korup. Pelakunya tidak hanya pegawai kecil yang terhimpit kebutuhan, tetapi juga mereka yang serakah. Korupsi tak peduli bahwa bangsa ini masih tersandera kemiskinan. Ia menggerogoti kemampuan Negara dalam melindungi dan menyejahterakan rakyat.
Tiga sasaran Revolusi Mental Presiden Jokowi
Yang disampaikan pada saat kunjungan kerja ke Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara & Revitalisasi Birokrasi:
1. Merubah mindset cara berpikir dan cara pandang. Era birokrasi priyayi sudah selesai, masuk ke era birokrat yang melayani rakyat. Aparatur sipil Negara hadir setiap rakyat membutuhkan.
2. Struktur organisasi harus ramping , efisien, tidak gemuk, dan tidak boleh ada organisasi dalam pemerintahan yang menduplikasi fungsi.
3. Budaya kerja yang lebih disiplin, bertanggungjawab, mengedepankan kebersamaan dan gotong royong.
Kita semua berharap agar ketiga sasaran tersebut segera terealisir, karena sudah terlalu lama kita sebagai warga Negara mendapatkan pelayanan publik yang mahal dan tidak memuaskan.
Demoralisasi
Faktor terpenting korupsi adalah moralitas dan intelektualitas pemimpin masyarakat. Di Negara berkembang, ikatan tradisional masih kuat. Jadi, kita perlu dengan sengaja memunculkan keteladanan tokoh kharismatis dari yang masih hidup maupun wafat . Mereka memang tidak mempengaruhi perubahan dari atas, tetapi jelas ini merupakan vitamin rohani yang memperkuat daya tahan tubuh bangsa dari serangan penyakit moral dan korupsi.
Kita juga perlu dengan sengaja mendudukkan orang-orang yang tidak mengejar harta dan kuasa di posisi-posisi birokrasi yang vital. Sayang sekali, penguasa di negeri berkembang biasanya tidak menyukai sosok idealis, apalagi yang berani mengecam tatanan yang korup.
Ditengah gairah beragama masyarakat kita yang tinggi, tidak boleh dibiarkan agama dan korupsi menempuh jalan sendiri-sendiri. Siraman rohani hanya mengarahkan umat kepada relasi dengan Tuhan, tidak mengutuk korupsi seberat dosa seksual. Keajiban kepada Tuhan lebih ditekankan daripada kepada negeri.
Salah satu godaan untuk korupsi adalah gaya hidup yang tidak sesuai gaji. Seorang wakil lurah di Jakarta diketahui (tahun 2010) memiliki hobi main golf, yang sewa lapangannya saja menguras gaji sebulan. Tidak sedikit pejabat di Negara berkembang memiliki kebiasaan main golf untuk memperluas relasi dengan kalangan atas. Jika pejabat memenangi taruhan dalam permainan, itu bukan tanpa pamrih. Praktik seperti itu lolos dari jerat gratifikasi.
Demoralisasi di kalangan abdi negeri terjadi ketika mereka juga mau menjadi abdi harta. Kuasa bukan jalan untuk melayani rakyat, tetapi untuk memperkaya diri. Orang tidak dapat menjadi abdi Tuhan sekaligus abdi harta, sebab manusia tidak dapat menjadi abdi yang baiknya sama untuk dua majikan sekaligus. Pejabat korup sebenarnya kehilangan legitimasi moral sebagai abdi bangsa.
Musuh bersama
Korupsi, kemiskinan, rawan pangan, tingginya angka pengangguran, keterbelakangan sebagian besar rakyat, narkoba, merupakan musuh bersama yang mengancam eksistensi bangsa. Oleh karenanya dibutuhkan keterlibatan semua komponen bangsa untuk menghadapinya. Indonesia memerlukan pemimpin bangsa yang bersih dan demokratis seperti Hatta. Mandat rakyat bukan sebuah cek kosong yang bisa diisi menurut kemauan sang pemimpin. Persoalan besar lain adalah pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan. Hasil pembangunan belum dinikmati sebagian besar rakyat yang tertinggal dalam kemiskinan. Pembangunan cenderung memperbesar kesenjangan sosial. Persoalan bangsa harus diletakkan dalam bingkai keadilan sosial.
Pendidikan dini sangat perlu
Revolusi Mental memang tidak semudah membalik telapak tangan. Mendiang Prof. Koentjoroningrat (1987) merekomendasikan untuk mengubah (revolusi) mentalitas manusia Indonesia:
~ Seluruh anak Indonesia usia dini dijadikan sasaran intervensi – sosialisasi nilai-nilai budaya positif (takut kepada Tuhan, konsisten, tidak ingkar janji, tidak korup dsb.).
~ Sosialisasi, membudayakan nilai-nilai budaya positif sebagai cara hidup.
Untuk itu pendidikan anak mulai dini perlu dilakukan, dengan sasaran dan fokus pada hasil pendidikan yang ingin dicapai:
Sasaran Fokus pendidikan
~ Bebas korupsi Kejujuran
~ Kebinekaan Pengakuan dan hormat pada keragaman budaya, agama, suku/etnis.
~ Kepemimpinan Tanggungjawab.
(DR. Karlina Rohima Supelli , www. Sesawit net/2014).
Membangun masa depan
Masa depan tidak disongsong, melainkan harus dibangun. Masa depan tidak datang sendiri sebagai sesuatu yang sudah jadi dan juga bukan hasil proses hukum alam. Manusia harus mentransformasi masa depan. Alih-alih mengantisipasi bencana, manusia harus berubah dengan tidak menjadi faktor bencana.
Masa depan memang sebuah proyek. Bukan takdir, melainkan sebuah kemungkinan. Persoalannya, seberapa kukuh bangunan masa depan? Kita kagum dengan bangunan tua yang berhasil melintasi jaman. Tetapi kita juga miris mendengar laporan banyaknya sekolah negeri di tanah air yang baru selesai dibangun ambruk, karena dibangun dengan dana yang digerogoti. Jalan sejarah tidak linier, tetapi garis patah-patah. Patahannya bisa dalam. Namun, variabel tetapnya adalah hukum tabur-tuai. Menabur korupsi, menuai keruntuhan. Yang runtuh awalnya bangunan fisik, tetapi akhirnya peradaban. Sayang masa depan tidak selalu dapat diantisipasi. Kendati sulit diantisipasi, manusia tiada henti merekayasa masa depan yang lebih baik. Merekayasa ancaman menjadi peluang. Menolak bala dengan ritual. Petaka bangsa ditolak dengan kebijakan publik yang berorientasi masa depan. Dalam membangun masa depan yang lebih baik, maka sebagaai kejahatan besar kasus korupsi harus ditangani dengan suasana kedaruratan.
Penutup
Korupsi merupakan kajahatan besar, yang sudah menggerogoti kemampuan bangsa Indonesia. Karenanya perlu diperangi dengan keseriusan yang tinggi, dan harus ditempatkan sebagai keadaan darurat. Mengapa keadaan darurat, karena korupsi sudah merambah kesemua sector kehidupan (Legislatif, Eksekutif, Yudikatif). Harapan kita bersama bahwa Revolusi Mental segera mendatangkan kehidupan lebih baik bagi masyarakat. Munari. Dari beberapa sumber. Depok, 22 Februari 2015.
Prof. Koentjaraningrat (1987) memberikan pengertian: Revolusi Mental mengarah ke transformasi besar yang menyangkut corak dan cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak. Revolusi mental sebenarnya telah dikenal lama.Akhir-akhir ini di Indonesia, menjadi gebrakan baru pada era Presiden Joko Widodo. Menjadi program kerja serius dari pemerintahannya. Banyak sektor kehidupan yang perlu dirubah dengan mendasar, namun artikel ini sengaja hanya menitik beratkan pada Revolusi Mental Korupsi, yang telah sama kita ketahui bahwa korupsi dikategorikan sebagai salah satu kejahatan besar di Negara kita maupun internasional.
Kondisi yang memaksa
Berikut ini adalah kondisi-kondisi di Negara kita yang memang memerlukan perubahan cepat dan mendasar:
~ Korupsi tidak diperlakukan sebagai penyakit masyarakat yang harus dibasmi. Bau busuknya ditutup-tutupi dengan pencitraan. Korupsi pun luput dari kutukan agama. Indonesia belum pernah benar-benar bertobat dari korupsi yang pernah membangkrutkannya. Praktik korupsi dibiarkan , sejauh terkendali dan kepentingan elite politik tidak terganggu.
Negara seharusnya memiliki sumber daya yang kuat untuk menghasilkan layanan publik yang baik. Pemetaan dan pengawasan seluruh potensi negeri seharusnya di tangan pemerintah. Namun, pemerintah seperti tanpa daya, keropos karena pembusukan dari dalam, bukan karena konspirasi dari luar. Koruptor politik dianggap berjasa bagi partai. Korupsi tidak dilihat sebagai pengkhianatan bernegara. Kalaupun konspirasi korupsi terbongkar, pelaku merasa tidak bersalah. Cukup dengan khilaf atau kesalahan adminsitratif. Hukuman untuk koruptor pun semakin rendah. Mereka diperlakukan terhormat, memperoleh banyak kemudahan di penjara.
~ Kementerian menjadi semakin-otonom. Pengawasan melekat tidak jalan. Tidak pernah kita mendapati atasan yang menangkap tangan atau memergoki korupsi bawahan, praktik yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
~ Pejabat dan pengusaha saling melayani dalam suatu persekutuan jahat yang mengorbankan kepentingan bangsa. Birokrasi dari bawah sampai atas sudah memiliki jatah untuk pundi masing-masing. Sesama koruptor dilarang saling mendahului.
~ Efek negatif korupsi dibuat semakin samar. Seolah-olah tidak ada hubungan antara korupsi di bidang Lalu-lintas dengan banyaknya korban kecelakaan, korupsi di bidang keolahragaan dengan kemerosotan prestasi olah raga bangsa., korupsi di bidang peternakan dengan rendahnya asupan protein hewani rakyat kecil dan mahalnya daging sapi.
~ Fungsi pengawasan legislatif tidak efektif karena yang mengawasi juga menjadi bagian dari yang diawasi. Saling kritik pun hanya sandiwara politik karena masing-masing ‘tahu sama tahu’. Apabila kader tersandung kasus korupsi, partai cuci tangan dan melokalisasi kasusnya sebagai masalah pribadi.
Elit politik gagal memanfaatkan momentum positif makro-ekonomi nasional dengan memperjuangkan ketahanan energi dan pangan demi kesejahteraan rakyat. Kesempatan emas Indonesia untuk menjadi Negara maju akan berlalu jika mentalitas sebagian besar penguasa kita masih memburu rente.
~ Korupsi telah menjadi seperti binatang liar yang memangsa orang jujur dalam suatu sistem korup. Pelakunya tidak hanya pegawai kecil yang terhimpit kebutuhan, tetapi juga mereka yang serakah. Korupsi tak peduli bahwa bangsa ini masih tersandera kemiskinan. Ia menggerogoti kemampuan Negara dalam melindungi dan menyejahterakan rakyat.
Tiga sasaran Revolusi Mental Presiden Jokowi
Yang disampaikan pada saat kunjungan kerja ke Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara & Revitalisasi Birokrasi:
1. Merubah mindset cara berpikir dan cara pandang. Era birokrasi priyayi sudah selesai, masuk ke era birokrat yang melayani rakyat. Aparatur sipil Negara hadir setiap rakyat membutuhkan.
2. Struktur organisasi harus ramping , efisien, tidak gemuk, dan tidak boleh ada organisasi dalam pemerintahan yang menduplikasi fungsi.
3. Budaya kerja yang lebih disiplin, bertanggungjawab, mengedepankan kebersamaan dan gotong royong.
Kita semua berharap agar ketiga sasaran tersebut segera terealisir, karena sudah terlalu lama kita sebagai warga Negara mendapatkan pelayanan publik yang mahal dan tidak memuaskan.
Demoralisasi
Faktor terpenting korupsi adalah moralitas dan intelektualitas pemimpin masyarakat. Di Negara berkembang, ikatan tradisional masih kuat. Jadi, kita perlu dengan sengaja memunculkan keteladanan tokoh kharismatis dari yang masih hidup maupun wafat . Mereka memang tidak mempengaruhi perubahan dari atas, tetapi jelas ini merupakan vitamin rohani yang memperkuat daya tahan tubuh bangsa dari serangan penyakit moral dan korupsi.
Kita juga perlu dengan sengaja mendudukkan orang-orang yang tidak mengejar harta dan kuasa di posisi-posisi birokrasi yang vital. Sayang sekali, penguasa di negeri berkembang biasanya tidak menyukai sosok idealis, apalagi yang berani mengecam tatanan yang korup.
Ditengah gairah beragama masyarakat kita yang tinggi, tidak boleh dibiarkan agama dan korupsi menempuh jalan sendiri-sendiri. Siraman rohani hanya mengarahkan umat kepada relasi dengan Tuhan, tidak mengutuk korupsi seberat dosa seksual. Keajiban kepada Tuhan lebih ditekankan daripada kepada negeri.
Salah satu godaan untuk korupsi adalah gaya hidup yang tidak sesuai gaji. Seorang wakil lurah di Jakarta diketahui (tahun 2010) memiliki hobi main golf, yang sewa lapangannya saja menguras gaji sebulan. Tidak sedikit pejabat di Negara berkembang memiliki kebiasaan main golf untuk memperluas relasi dengan kalangan atas. Jika pejabat memenangi taruhan dalam permainan, itu bukan tanpa pamrih. Praktik seperti itu lolos dari jerat gratifikasi.
Demoralisasi di kalangan abdi negeri terjadi ketika mereka juga mau menjadi abdi harta. Kuasa bukan jalan untuk melayani rakyat, tetapi untuk memperkaya diri. Orang tidak dapat menjadi abdi Tuhan sekaligus abdi harta, sebab manusia tidak dapat menjadi abdi yang baiknya sama untuk dua majikan sekaligus. Pejabat korup sebenarnya kehilangan legitimasi moral sebagai abdi bangsa.
Musuh bersama
Korupsi, kemiskinan, rawan pangan, tingginya angka pengangguran, keterbelakangan sebagian besar rakyat, narkoba, merupakan musuh bersama yang mengancam eksistensi bangsa. Oleh karenanya dibutuhkan keterlibatan semua komponen bangsa untuk menghadapinya. Indonesia memerlukan pemimpin bangsa yang bersih dan demokratis seperti Hatta. Mandat rakyat bukan sebuah cek kosong yang bisa diisi menurut kemauan sang pemimpin. Persoalan besar lain adalah pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan. Hasil pembangunan belum dinikmati sebagian besar rakyat yang tertinggal dalam kemiskinan. Pembangunan cenderung memperbesar kesenjangan sosial. Persoalan bangsa harus diletakkan dalam bingkai keadilan sosial.
Pendidikan dini sangat perlu
Revolusi Mental memang tidak semudah membalik telapak tangan. Mendiang Prof. Koentjoroningrat (1987) merekomendasikan untuk mengubah (revolusi) mentalitas manusia Indonesia:
~ Seluruh anak Indonesia usia dini dijadikan sasaran intervensi – sosialisasi nilai-nilai budaya positif (takut kepada Tuhan, konsisten, tidak ingkar janji, tidak korup dsb.).
~ Sosialisasi, membudayakan nilai-nilai budaya positif sebagai cara hidup.
Untuk itu pendidikan anak mulai dini perlu dilakukan, dengan sasaran dan fokus pada hasil pendidikan yang ingin dicapai:
Sasaran Fokus pendidikan
~ Bebas korupsi Kejujuran
~ Kebinekaan Pengakuan dan hormat pada keragaman budaya, agama, suku/etnis.
~ Kepemimpinan Tanggungjawab.
(DR. Karlina Rohima Supelli , www. Sesawit net/2014).
Membangun masa depan
Masa depan tidak disongsong, melainkan harus dibangun. Masa depan tidak datang sendiri sebagai sesuatu yang sudah jadi dan juga bukan hasil proses hukum alam. Manusia harus mentransformasi masa depan. Alih-alih mengantisipasi bencana, manusia harus berubah dengan tidak menjadi faktor bencana.
Masa depan memang sebuah proyek. Bukan takdir, melainkan sebuah kemungkinan. Persoalannya, seberapa kukuh bangunan masa depan? Kita kagum dengan bangunan tua yang berhasil melintasi jaman. Tetapi kita juga miris mendengar laporan banyaknya sekolah negeri di tanah air yang baru selesai dibangun ambruk, karena dibangun dengan dana yang digerogoti. Jalan sejarah tidak linier, tetapi garis patah-patah. Patahannya bisa dalam. Namun, variabel tetapnya adalah hukum tabur-tuai. Menabur korupsi, menuai keruntuhan. Yang runtuh awalnya bangunan fisik, tetapi akhirnya peradaban. Sayang masa depan tidak selalu dapat diantisipasi. Kendati sulit diantisipasi, manusia tiada henti merekayasa masa depan yang lebih baik. Merekayasa ancaman menjadi peluang. Menolak bala dengan ritual. Petaka bangsa ditolak dengan kebijakan publik yang berorientasi masa depan. Dalam membangun masa depan yang lebih baik, maka sebagaai kejahatan besar kasus korupsi harus ditangani dengan suasana kedaruratan.
Penutup
Korupsi merupakan kajahatan besar, yang sudah menggerogoti kemampuan bangsa Indonesia. Karenanya perlu diperangi dengan keseriusan yang tinggi, dan harus ditempatkan sebagai keadaan darurat. Mengapa keadaan darurat, karena korupsi sudah merambah kesemua sector kehidupan (Legislatif, Eksekutif, Yudikatif). Harapan kita bersama bahwa Revolusi Mental segera mendatangkan kehidupan lebih baik bagi masyarakat. Munari. Dari beberapa sumber. Depok, 22 Februari 2015.
Bangsa Indonesia Merindukan "Revolusi Mental"
Siapa yang tidak kenal jargon politik yang diusung oleh Capres JokoWidodo pada masa kampanye Pemilu Presiden 2014 yang lalu yaitu: "Revolusi Mental” Mengapa Jokowi mengusung jargon ini? Sebab ia menangkap kelelahan rakyat Indonesia yang disuguhi tontonan setiap hari, dari pagi sampai malam, adegan korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja yang buruk, birokrasi yang bobrok, disiplin yang rendah, dst., dst. Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair (Maz.42:2), demikianlah rakyat Indonesia merindukan Revolusi Mental.
Jokowi terinspirasi nasihat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus ?
Jokowi dan kita semua tahu bahwa karakter bangsa Indonesia yang asli, yang orisinil itu adalah : santun, berbudi pekerti, ramah dan hobinya bergotong-royong. Tanpa kita sadari karakter yang orisinil ini pelan-pelan berubah dan kalau tidak ada yang menghentikannya akan merusak mental bangsa. Lihat saja tragedi tabrak mati di waktu pagi oleh mahasiswa yang pulang cuti dari luar negeri, sampai kegaduhan KPK versus Polri. Merupakan wujud nyata kerusakan mental yang kontra produktif bagi bangsa dan negara. Jokowi tidak cuma prihatin tetapi ia juga sangat gemes dan menghimbau agar bangsa Indonesia kembali mengenali karakter orisinilnya dengan mengalami Revolusi Mental. Apakah Jokowi menbaca Alkitab, atau orang-orangnya di ring satu menbacanya dan membisikkanya kepada dia ? Tidak ada yang tahu, itu masih menjadi misteri. Tetapi yang terpenting adalah ada kemiripan, ada kecocokkan dengan nasihat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus yang pada saat itu juga mengalami kerusakan mental. Nasihat Rasul Paulus kepada mereka adalah supaya mereka saling mengasihi dan kembali kepada karakter mereka yang asli sebagai umat Tuhan yaitu : sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidak- adilan, menutupi segala sesuatu dan mengharapkan segala sesuatu. (I Kor. 13).
Umat Kristen harus mengalami Revolusi Mental
Coba saja kalau Tuhan Yesus tidak menghentikan kerusakan mental Saulus dalam perjalanannya ke Damsyik, maka ia akan tetap menjadi Saulus sang penganiaya orang percaya yang berdarah dingin. Tetapi Tuhan Yesus sangat mengasihi Saulus dan mengubahnya melalui Revolusi Mental di Damsyik menjadi Paulus seorang penginjil yang sangat tekun, berani, setia dan produktif. (Kis. 9: 3-19). Umat Kristen merindukan mengalami Revolusi Mental dalam kehidupannya, untuk diubah oleh Tuhan Yesus dari Manusia Lama sebagai budak dosa menjadi Manusia Baru dengan karakter yang orisinil seperti : jangan berdusta, jangan mencuri, jangan berkata kotor, jangan memfitnah dan jangan mengumbar kemarahan, tetapi hendaknya berlaku ramah, penuh kasih mesra dan saling mengampuni. (Efs. 4: 17-32)
Yesus pelaku Revolusi Mental yang sejati
Sebagai pelaku Revolusi Mental yang sejati, Ia telah menjungkir balikkan peraturan protokoler seorang raja, seperti : dari surga blusukkan ke dunia dan lahir di kandang domba, karena kasih-Nya kepada umat manusia (Yoh. 3: 16). Sebagai penguasa, raja segala raja, Ia bukan minta dilayani tetapi justru Ia melayani umat manusia dan rela berkorban bagi mereka (Mat. 20: 28). Ia merindukan umat yang telah ditebus-Nya menjadi manusia Baru yang menghasilkan sembilan Buah Roh yaitu : Kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikkan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (Gal. 5 : 22-25). Mari kita serahkan diri kita untuk dibentuk oleh Tuhan Yesus melalui Revolusi Mental menjadi Manusia Baru. Eliser S. Hadmodjo. Mandar XIX/19, 26 Februari 2015.
Jokowi terinspirasi nasihat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus ?
Jokowi dan kita semua tahu bahwa karakter bangsa Indonesia yang asli, yang orisinil itu adalah : santun, berbudi pekerti, ramah dan hobinya bergotong-royong. Tanpa kita sadari karakter yang orisinil ini pelan-pelan berubah dan kalau tidak ada yang menghentikannya akan merusak mental bangsa. Lihat saja tragedi tabrak mati di waktu pagi oleh mahasiswa yang pulang cuti dari luar negeri, sampai kegaduhan KPK versus Polri. Merupakan wujud nyata kerusakan mental yang kontra produktif bagi bangsa dan negara. Jokowi tidak cuma prihatin tetapi ia juga sangat gemes dan menghimbau agar bangsa Indonesia kembali mengenali karakter orisinilnya dengan mengalami Revolusi Mental. Apakah Jokowi menbaca Alkitab, atau orang-orangnya di ring satu menbacanya dan membisikkanya kepada dia ? Tidak ada yang tahu, itu masih menjadi misteri. Tetapi yang terpenting adalah ada kemiripan, ada kecocokkan dengan nasihat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus yang pada saat itu juga mengalami kerusakan mental. Nasihat Rasul Paulus kepada mereka adalah supaya mereka saling mengasihi dan kembali kepada karakter mereka yang asli sebagai umat Tuhan yaitu : sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidak- adilan, menutupi segala sesuatu dan mengharapkan segala sesuatu. (I Kor. 13).
Umat Kristen harus mengalami Revolusi Mental
Coba saja kalau Tuhan Yesus tidak menghentikan kerusakan mental Saulus dalam perjalanannya ke Damsyik, maka ia akan tetap menjadi Saulus sang penganiaya orang percaya yang berdarah dingin. Tetapi Tuhan Yesus sangat mengasihi Saulus dan mengubahnya melalui Revolusi Mental di Damsyik menjadi Paulus seorang penginjil yang sangat tekun, berani, setia dan produktif. (Kis. 9: 3-19). Umat Kristen merindukan mengalami Revolusi Mental dalam kehidupannya, untuk diubah oleh Tuhan Yesus dari Manusia Lama sebagai budak dosa menjadi Manusia Baru dengan karakter yang orisinil seperti : jangan berdusta, jangan mencuri, jangan berkata kotor, jangan memfitnah dan jangan mengumbar kemarahan, tetapi hendaknya berlaku ramah, penuh kasih mesra dan saling mengampuni. (Efs. 4: 17-32)
Yesus pelaku Revolusi Mental yang sejati
Sebagai pelaku Revolusi Mental yang sejati, Ia telah menjungkir balikkan peraturan protokoler seorang raja, seperti : dari surga blusukkan ke dunia dan lahir di kandang domba, karena kasih-Nya kepada umat manusia (Yoh. 3: 16). Sebagai penguasa, raja segala raja, Ia bukan minta dilayani tetapi justru Ia melayani umat manusia dan rela berkorban bagi mereka (Mat. 20: 28). Ia merindukan umat yang telah ditebus-Nya menjadi manusia Baru yang menghasilkan sembilan Buah Roh yaitu : Kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikkan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (Gal. 5 : 22-25). Mari kita serahkan diri kita untuk dibentuk oleh Tuhan Yesus melalui Revolusi Mental menjadi Manusia Baru. Eliser S. Hadmodjo. Mandar XIX/19, 26 Februari 2015.
Sim "Mental" dan Prof. Grandin
Pendahuluan
Bila anda pernah mendengar kata Simmental berarti anda paham dengan dunia persapian, karena Simmental adalah jenis sapi potong unggulan yang bobotnya bisa mencapai lebih dari 1ton. Sedangkan bila anda pernah mendengar Prof Temple Grandin, tentu anda tahu bahwa, Prof. Grandin adalah seorang wanita penderita autis yang mencapai puncak karir sebagai professor di bidang teknologi penanganan ternak, khususnya sapi sebelum masuk di rumah jagal dan sistim transportasinya di lokasi peternakan atau ranch.
Melalui proses yang cukup lama, Prof Grandin menciptakan alur menggiring sapi sedemikian rupa sehingga sapi tidak stress dan tetap nyaman sebelum dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Tidak ada hubungan antara sapi Simmental, Prof Grandin dengan tema Gembala kali ini yaitu Revolusi Mental, namun penulis melihat bahwa Revolusi Mental yang ramai dibicarakan saat ini sia-sia saja seperti kata kitab Pengkhotbah yang mengatakan segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin karena di dunia ini tidak ada yang baru. Pengkhotbah mengupas secara lengkap tentang perilaku manusia yang tak lekang oleh jaman, bahkan menyamakan manusia dengan binatang yang pada akhirnya menuju titik yang sama yaitu kematian.
Kementrian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) merancang pembuatan iklan dan sosialisasi revolusi mental yang akan mengambil dana anggaran sebesar 140 milyar rupiah. Lebih lanjut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Andrinof Chaniago mengatakan bahwa revolusi mental itu untuk mengubah perilaku, jadi kampanye iklannya untuk mengubah perilaku. Anggaran 140 milyar ini akan dialokasikan untuk pembuatan iklan, film, dan dialog publik, yang mampu memberikan ruang para tokoh agama agar lebih banyak membicarakan perubahan perilaku yang mengarah ke positif. Kelak program ini akan berjalan lintas sektor di bawah Kementrian Agama, Kementrian Sosial, dan Kementrian Pendidikan, yang akan dipimpin oleh Puan Maharani (Sumber: CNN Indonesia, Jumat 20/02/2015).
Manusia Indonesia
Almarhum Mochtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia” menceritakan sifat-sifat yang melekat pada manusia Indonesia, dan disebutkan dalam 6 buah sifat yaitu:
1. Manusia Indonesia itu, munafik
2. Manusia Indonesia itu enggan bertangung jawab atas perbuatannya
3. Manusia Indonesia itu sikap dan perilakunya feodal
4. Manusia Indonesia itu masih percaya pada takhayul
5. Manusia Indonesia itu artistik
6. Manusia Indonesia itu lemah dalam watak dan karakter.
Selain 6 sifat-sifat di atas ada ciri-ciri lainnya seperti: ingin cepat kaya, boros, kurang sabar, cepat dengki dan bisa berlaku kejam, tidak suka bekerja keras bahkan cenderung malas akibat alam kita yang murah hati. Segala penjabaran Mochtar Lubis tentang manusia Indonesia adalah stereotip tentang keadaan manusia Indonesia yang tergeneralisir. Namun stereotip itu sendiri tidaklah benar sepenuhnya dan juga tidak seluruhnya salah. Kalau dibaca secara apa adanya ciri-ciri manusia Indonesia yang ditulis oleh Mochtar Lubis ini terkesan menjelek-jelekan bangsa sendiri. Untuk mendalami makna yang tersirat dalam buku “Manusia Indonesia” diperlukan sikap mental yang dewasa dan tidak bersikap skeptis, apatis dan benci terhadap bangsa sendiri. Diperlukan jiwa besar agar bisa menerima gambaran tentang manusia Indonesia untuk dijadikan cermin bagi orang Indonesia terutama para pemimpinnya.
Kontroversi pencipta gagasan Revolusi Mental
Tulisan Capres PDIP Jokowi berjudul Revolusi Mental yang dimuat di halaman opini Kompas (Hal 6), Sabtu tanggal 10 Mei, 2014, ternyata berujung polemik, bukan pada materi tulisannya, namun justru pada sisi orisinalitasnya. Ternyata pada hari yang sama tulisan tentang Revolusi Mental juga dimuat di Harian Sindo tapi penulisnya adalah Romo Benny Susetyo. Pertanyaannya adalah siapa menjiplak siapa, dan siapa pula penggagas awal revolusi mental ini. Setelah dikonfirmasi, Romo Benny menjelaskan bahwa substansi tulisannya berbeda dengan tulisan Jokowi. Menurut Romo Benny, tulisannya cenderung dari sisi pendidikan, sedangkan tulisan Jokowi dari sisi politik. Diakuinya pula bahwa tulisannya di Harian Sindo merupakan ide gagasan dari Romo Mangun.
Kalau anda membaca novel berjudul “Burung-burung Camar” karya Romo Mangun, terlihat bahwa Romo Mangun menulis dengan bahasa yang penuh sindiran. Dalam sindirannya ia tidak secara harfiah menyindir penguasa orde baru yang otoriter, karena karya sastra merupakan medium yang aman untuk menyampaikan kritik sosial. Dalam membicarakan manusia pada umumnya selalu ada potensi baik dan jahat, tanpa melihat dari golongan mana ia berasal, dari ras dan agama apa ia berasal. Dalam tulisannya Romo Mangun juga menyinggung tentang revolusi sosial yang gagal. Disebutkan bahwa revolusi nasional yang membebaskan kita dari penjajahan telah berhasil, namun revolusi sosial tidak berjalan. Contohnya struktur kemasyarakatan yang feodalistik masih dilestarikan. Bagaimana menjalankan revolusi mental jika kita gagal menjalankan revolusi sosial, karena revolusi mental sangat tergantung pada keberhasilan revolusi sosial. Romo Mangun yakin bahwa dengan pendidikan dasar yang baik, masyarakat bisa lepas dari feodalisme, mental kuli, dan mental pengemis. Dengan pendidikan dasar yang baik pula kita bisa menumbuhkan kebiasaan berpikir kritis, bukan magis atau takhayul.
Fakta di balik revolusi mental
Gagasan revolusi mental masih mencuatkan banyak pertanyaan lanjutan antara lain:
1. Sudahkah kita mempunyai konsep yang jelas tentang penghapusan kelas-kelas sosial di masyarakat yang menimbulkan penindasan kaum elit terhadap wong cilik yang harus rela memberikan tanah warisannya bagi pembangunan rumah mewah atau mall untuk konsumsi orang kaya. Sementara mereka yang sudah hidup di pinggiran semakin terpinggirkan.
2. Adakah nilai tambah bagi pengusaha kecil dan menengah agar bisa besaing secara sehat dalam dunia usaha ditengah-tengah monopoli pengusaha nasional yang dikuasai oleh segelintir konglomerat.
3. Apakah upaya pemerintah agar terbebas dari dominasi asing yang menguasai asset nasional dan menguras kekayaan alam Indonesia dalam kontrak kerja sama yang tidak seimbang.
4. Apakah upaya pemerintah dalam upaya menghilangkan komersialisasi pendidikan dan kesehatan agar semua masyarakat mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan dan kesehatan.
5. Sudahkah kita mampu menyiapkan sumber daya manusia guna menunjang program-program pemerintah untuk kesejahteraan rakyat.
Masih banyak lagi hal-hal yang menjadi pertanyaan, namun fakta membuktikan tidak gampang untuk mengubah sikap mental manusia Indonesia yang sudah terlanjur korup dan lebih mementingkan dirinya sendiri. Kita bisa melihat tontonan yang ditampilkan oleh elit politik yang saling menjatuhkan demi kekuasaan. Juga kita bisa melihat di media yang setiap hari menayangkan sengketa, konflik, dan kriminal di tengah masyarakat tanpa memperhatikan etika dan moral. Kalau dari definisi “revolusi” artinya perubahan yang cepat, mungkin diperlukan seorang “mentalist” untuk mengegolkan program revolusi mental Jokowi agar bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Dasar sikap mental yang baik menurut Alkitab
Sikap mental yang baik menurut Alkitab adalah sikap rendah hati. Rendah hati bukan berarti rendah diri. Rendah hati membuat manusia memperoleh kasih karunia Allah, karena Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati. (Yakobus 4:6). Rendah hati hanya bisa diperoleh pada pendidikan dasar yang berawal dari pendidikan di rumah dan berlanjut di pendidikan dasar di sekolah. Suatu kesalahan besar dari dunia pendidikan kita yaitu menghapuskan pelajaran “Budi Pekerti” di sekolah dasar. Penulis ingat pelajaran Budi Pekerti mengajarkan dasar-dasar etika dan moral dalam bermasyarakat, di mana kita diajarkan harus menghormati orang tua, bertutur-kata yang sopan, mendahulukan orang lain, tidak sombong, dan selalu bersikap baik terhadap siapapun tanpa memandang latar belakang seseorang. Inti dari semua pengajaran ini adalah menjadi orang yang rendah hati, dan ini diajarkan pada saat anak-anak mulai menginjak usia sekolah. Orang yang rendah hati adalah pemurah, sabar, cinta damai, mudah memaafkan, mampu melihat kelemahannya sendiri dan berani mengakuinya, tidak ingin tampil menonjol tetapi selalu menolong orang lain. Orang rendah hati juga selalu berterimakasih atas berkat Tuhan, tidak pernah bersungut-sungut dan biasanya hidup bahagia. Seorang pemimpin yang baik selalu memperlakukan orang lain dengan penuh rasa hormat. Tingkat kerendahan hati seorang pemimpin bisa dilihat dengan cepat dari caranya memperlakukan orang lain.
Penutup
Revolusi Mental tidak bisa dilakukan secara instan. Kerusakan mental tidak bisa diatasi dengan sistim pengawasan yang ketat, hukuman yang berat, menaikkan upah, ceramah dan kampanye tentang moral dan perilaku, dialog publik yang melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Bila pemerintah ngotot menjalankan program revolusi mental yang menghabiskan dana 140 milyar, ini hanya pekerjaan sia-sia dan cuma program yang berorientasi proyek. Program revolusi mental bukan proyek fisik yang bisa dilihat hasilnya secara nyata, melainkan proyek jangka panjang dan berkelanjutan untuk menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas.
Romo Mangun sudah benar bahwa pendidikan dasar yang baik akan menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas mental yang baik pula. Pada dasarnya revolusi mental adalah pekerjaan yang sederhana, yang sulit adalah bagaimana caranya membuat pekerjaan itu menjadi sederhana. Pada akhirnya, sungguh tidak adil bila kita manganalogkan revolusi mental dengan Professor Grandin yang membuat sapi Simmental bisa merasa nyaman dan tidak stres sebelum dipotong. Tetapi bila pemerintah tidak menangani persoalan revolusi mental ini sesederhana mungkin dan penuh kehati-hatian, bukan tidak mungkin manusia Indonesia bernasib sama dengan sapi Simmental yang merasa nyaman dan tidak stres tapi menuju kematian.
“Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai” (Roma 12:16) Catatan: Dari berbagai sumber. Alfred Bawole, Jeddah-Saudi Arabia, 24 Februari 2015.
Bila anda pernah mendengar kata Simmental berarti anda paham dengan dunia persapian, karena Simmental adalah jenis sapi potong unggulan yang bobotnya bisa mencapai lebih dari 1ton. Sedangkan bila anda pernah mendengar Prof Temple Grandin, tentu anda tahu bahwa, Prof. Grandin adalah seorang wanita penderita autis yang mencapai puncak karir sebagai professor di bidang teknologi penanganan ternak, khususnya sapi sebelum masuk di rumah jagal dan sistim transportasinya di lokasi peternakan atau ranch.
Melalui proses yang cukup lama, Prof Grandin menciptakan alur menggiring sapi sedemikian rupa sehingga sapi tidak stress dan tetap nyaman sebelum dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Tidak ada hubungan antara sapi Simmental, Prof Grandin dengan tema Gembala kali ini yaitu Revolusi Mental, namun penulis melihat bahwa Revolusi Mental yang ramai dibicarakan saat ini sia-sia saja seperti kata kitab Pengkhotbah yang mengatakan segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin karena di dunia ini tidak ada yang baru. Pengkhotbah mengupas secara lengkap tentang perilaku manusia yang tak lekang oleh jaman, bahkan menyamakan manusia dengan binatang yang pada akhirnya menuju titik yang sama yaitu kematian.
Kementrian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) merancang pembuatan iklan dan sosialisasi revolusi mental yang akan mengambil dana anggaran sebesar 140 milyar rupiah. Lebih lanjut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Andrinof Chaniago mengatakan bahwa revolusi mental itu untuk mengubah perilaku, jadi kampanye iklannya untuk mengubah perilaku. Anggaran 140 milyar ini akan dialokasikan untuk pembuatan iklan, film, dan dialog publik, yang mampu memberikan ruang para tokoh agama agar lebih banyak membicarakan perubahan perilaku yang mengarah ke positif. Kelak program ini akan berjalan lintas sektor di bawah Kementrian Agama, Kementrian Sosial, dan Kementrian Pendidikan, yang akan dipimpin oleh Puan Maharani (Sumber: CNN Indonesia, Jumat 20/02/2015).
Manusia Indonesia
Almarhum Mochtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia” menceritakan sifat-sifat yang melekat pada manusia Indonesia, dan disebutkan dalam 6 buah sifat yaitu:
1. Manusia Indonesia itu, munafik
2. Manusia Indonesia itu enggan bertangung jawab atas perbuatannya
3. Manusia Indonesia itu sikap dan perilakunya feodal
4. Manusia Indonesia itu masih percaya pada takhayul
5. Manusia Indonesia itu artistik
6. Manusia Indonesia itu lemah dalam watak dan karakter.
Selain 6 sifat-sifat di atas ada ciri-ciri lainnya seperti: ingin cepat kaya, boros, kurang sabar, cepat dengki dan bisa berlaku kejam, tidak suka bekerja keras bahkan cenderung malas akibat alam kita yang murah hati. Segala penjabaran Mochtar Lubis tentang manusia Indonesia adalah stereotip tentang keadaan manusia Indonesia yang tergeneralisir. Namun stereotip itu sendiri tidaklah benar sepenuhnya dan juga tidak seluruhnya salah. Kalau dibaca secara apa adanya ciri-ciri manusia Indonesia yang ditulis oleh Mochtar Lubis ini terkesan menjelek-jelekan bangsa sendiri. Untuk mendalami makna yang tersirat dalam buku “Manusia Indonesia” diperlukan sikap mental yang dewasa dan tidak bersikap skeptis, apatis dan benci terhadap bangsa sendiri. Diperlukan jiwa besar agar bisa menerima gambaran tentang manusia Indonesia untuk dijadikan cermin bagi orang Indonesia terutama para pemimpinnya.
Kontroversi pencipta gagasan Revolusi Mental
Tulisan Capres PDIP Jokowi berjudul Revolusi Mental yang dimuat di halaman opini Kompas (Hal 6), Sabtu tanggal 10 Mei, 2014, ternyata berujung polemik, bukan pada materi tulisannya, namun justru pada sisi orisinalitasnya. Ternyata pada hari yang sama tulisan tentang Revolusi Mental juga dimuat di Harian Sindo tapi penulisnya adalah Romo Benny Susetyo. Pertanyaannya adalah siapa menjiplak siapa, dan siapa pula penggagas awal revolusi mental ini. Setelah dikonfirmasi, Romo Benny menjelaskan bahwa substansi tulisannya berbeda dengan tulisan Jokowi. Menurut Romo Benny, tulisannya cenderung dari sisi pendidikan, sedangkan tulisan Jokowi dari sisi politik. Diakuinya pula bahwa tulisannya di Harian Sindo merupakan ide gagasan dari Romo Mangun.
Kalau anda membaca novel berjudul “Burung-burung Camar” karya Romo Mangun, terlihat bahwa Romo Mangun menulis dengan bahasa yang penuh sindiran. Dalam sindirannya ia tidak secara harfiah menyindir penguasa orde baru yang otoriter, karena karya sastra merupakan medium yang aman untuk menyampaikan kritik sosial. Dalam membicarakan manusia pada umumnya selalu ada potensi baik dan jahat, tanpa melihat dari golongan mana ia berasal, dari ras dan agama apa ia berasal. Dalam tulisannya Romo Mangun juga menyinggung tentang revolusi sosial yang gagal. Disebutkan bahwa revolusi nasional yang membebaskan kita dari penjajahan telah berhasil, namun revolusi sosial tidak berjalan. Contohnya struktur kemasyarakatan yang feodalistik masih dilestarikan. Bagaimana menjalankan revolusi mental jika kita gagal menjalankan revolusi sosial, karena revolusi mental sangat tergantung pada keberhasilan revolusi sosial. Romo Mangun yakin bahwa dengan pendidikan dasar yang baik, masyarakat bisa lepas dari feodalisme, mental kuli, dan mental pengemis. Dengan pendidikan dasar yang baik pula kita bisa menumbuhkan kebiasaan berpikir kritis, bukan magis atau takhayul.
Fakta di balik revolusi mental
Gagasan revolusi mental masih mencuatkan banyak pertanyaan lanjutan antara lain:
1. Sudahkah kita mempunyai konsep yang jelas tentang penghapusan kelas-kelas sosial di masyarakat yang menimbulkan penindasan kaum elit terhadap wong cilik yang harus rela memberikan tanah warisannya bagi pembangunan rumah mewah atau mall untuk konsumsi orang kaya. Sementara mereka yang sudah hidup di pinggiran semakin terpinggirkan.
2. Adakah nilai tambah bagi pengusaha kecil dan menengah agar bisa besaing secara sehat dalam dunia usaha ditengah-tengah monopoli pengusaha nasional yang dikuasai oleh segelintir konglomerat.
3. Apakah upaya pemerintah agar terbebas dari dominasi asing yang menguasai asset nasional dan menguras kekayaan alam Indonesia dalam kontrak kerja sama yang tidak seimbang.
4. Apakah upaya pemerintah dalam upaya menghilangkan komersialisasi pendidikan dan kesehatan agar semua masyarakat mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan dan kesehatan.
5. Sudahkah kita mampu menyiapkan sumber daya manusia guna menunjang program-program pemerintah untuk kesejahteraan rakyat.
Masih banyak lagi hal-hal yang menjadi pertanyaan, namun fakta membuktikan tidak gampang untuk mengubah sikap mental manusia Indonesia yang sudah terlanjur korup dan lebih mementingkan dirinya sendiri. Kita bisa melihat tontonan yang ditampilkan oleh elit politik yang saling menjatuhkan demi kekuasaan. Juga kita bisa melihat di media yang setiap hari menayangkan sengketa, konflik, dan kriminal di tengah masyarakat tanpa memperhatikan etika dan moral. Kalau dari definisi “revolusi” artinya perubahan yang cepat, mungkin diperlukan seorang “mentalist” untuk mengegolkan program revolusi mental Jokowi agar bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Dasar sikap mental yang baik menurut Alkitab
Sikap mental yang baik menurut Alkitab adalah sikap rendah hati. Rendah hati bukan berarti rendah diri. Rendah hati membuat manusia memperoleh kasih karunia Allah, karena Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati. (Yakobus 4:6). Rendah hati hanya bisa diperoleh pada pendidikan dasar yang berawal dari pendidikan di rumah dan berlanjut di pendidikan dasar di sekolah. Suatu kesalahan besar dari dunia pendidikan kita yaitu menghapuskan pelajaran “Budi Pekerti” di sekolah dasar. Penulis ingat pelajaran Budi Pekerti mengajarkan dasar-dasar etika dan moral dalam bermasyarakat, di mana kita diajarkan harus menghormati orang tua, bertutur-kata yang sopan, mendahulukan orang lain, tidak sombong, dan selalu bersikap baik terhadap siapapun tanpa memandang latar belakang seseorang. Inti dari semua pengajaran ini adalah menjadi orang yang rendah hati, dan ini diajarkan pada saat anak-anak mulai menginjak usia sekolah. Orang yang rendah hati adalah pemurah, sabar, cinta damai, mudah memaafkan, mampu melihat kelemahannya sendiri dan berani mengakuinya, tidak ingin tampil menonjol tetapi selalu menolong orang lain. Orang rendah hati juga selalu berterimakasih atas berkat Tuhan, tidak pernah bersungut-sungut dan biasanya hidup bahagia. Seorang pemimpin yang baik selalu memperlakukan orang lain dengan penuh rasa hormat. Tingkat kerendahan hati seorang pemimpin bisa dilihat dengan cepat dari caranya memperlakukan orang lain.
Penutup
Revolusi Mental tidak bisa dilakukan secara instan. Kerusakan mental tidak bisa diatasi dengan sistim pengawasan yang ketat, hukuman yang berat, menaikkan upah, ceramah dan kampanye tentang moral dan perilaku, dialog publik yang melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Bila pemerintah ngotot menjalankan program revolusi mental yang menghabiskan dana 140 milyar, ini hanya pekerjaan sia-sia dan cuma program yang berorientasi proyek. Program revolusi mental bukan proyek fisik yang bisa dilihat hasilnya secara nyata, melainkan proyek jangka panjang dan berkelanjutan untuk menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas.
Romo Mangun sudah benar bahwa pendidikan dasar yang baik akan menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas mental yang baik pula. Pada dasarnya revolusi mental adalah pekerjaan yang sederhana, yang sulit adalah bagaimana caranya membuat pekerjaan itu menjadi sederhana. Pada akhirnya, sungguh tidak adil bila kita manganalogkan revolusi mental dengan Professor Grandin yang membuat sapi Simmental bisa merasa nyaman dan tidak stres sebelum dipotong. Tetapi bila pemerintah tidak menangani persoalan revolusi mental ini sesederhana mungkin dan penuh kehati-hatian, bukan tidak mungkin manusia Indonesia bernasib sama dengan sapi Simmental yang merasa nyaman dan tidak stres tapi menuju kematian.
“Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai” (Roma 12:16) Catatan: Dari berbagai sumber. Alfred Bawole, Jeddah-Saudi Arabia, 24 Februari 2015.
Mental Blok
“Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.” (Luk 9 : 62).
Informasi negatif dan keadaan yang sangat berat bisa membebani alam/ piliran bawah sadar dan kalau sering muncul sehingga menjadi penghalang dalam pengembangan hidup kita, maka hal tersebut dapat dikatagorikan suatu mental blok, dan harus dibebaskan atau dilepaskan dari memori pikiran kita. Beberapa terapi ilmiah telah dilakukan, dan Tuhan Yesus datang ke dunia untuk membebaskan manusia dari beban kehiduoan masa lalu, dan menatap serta melangkah bersamaNya penuh berkat.
Atas dasar latar belakang tersebut di atas maka Mental Blok dibahas dalam tulisan ini, dengan harapan agar kita sebagai orang beriman dapat mengarungi hidup berkualitas atas kasih karuniaNya. Perlu diawali dengan pembahasan alam/ pikiran sadar dan alam/ piliran bawah sadar, mental blok membebani kehidupan, terapi ilmiah mengatasi mental blok, Tuhan Yesus pembebas mental blok, serta tentang revo;usi mental. Kritik dan saran yang membangun sangat dinantikan, demi kelengkapan materi pembahasan.
ALAM/ PIKIRAN SADAR
Kita ini merupakan kumpulan informasi, secara sadar kita memilkii kebebasan dan kemampuan untuk memilih dan mengubah informasi yang membombadir kehidupan kita setiap hari, bahkan kita sering berlaku sebagai penumpang pasif atas informasi yang terus membanjiri kehidupan ini, sehingga kita menjadi timbunan informasi. Sebenarnya kita harus sadar bahwa kita ini adalah tuan dari semua informasi. Kita harus bisa memilah informasi yang bermanfaat secara positif bagi kehidupan pribadi kita.
Pikiran sadar adalah tujuan atau pusat pemikiran. Pikiran sadar tidak memiliki memori, dan hanya bisa memegang satu pemikiran dalam satu waktu. Pikiran sadar memiliki empat fungsi penting. Pertama pikiran itu mengenali informasi yang masuk. Informasi ini dkiterima melalui kelima indra : penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan sentuhan atau perasaan.Pikiran sadar terus menerus memantau dan menggolongkan apa yang terjadi di sekitar kita.Kedua pikiran sadar adalah pembanding informasi saat ini dan terdahulu yang tersimpan dakam memori. Ketiga pikiran sadar adalah analisis dan diikuti oleh yang keempat menentukan. Pikiran sadar berfungsi ganda yaitu menerima atau menolak/ memfilter informasi.
Pikiran sadar kita berfungsi layaknya kapten kapal selam yang tengah melihat permukaan laut melalui periskop.Hanya kapten kapal yang melihatnya, Hanya persepsi sang kapten kapal mengenai apa yang terjadi di atas permukaan laut yang tersedia bagi para kru kapal selam. Apa pun yang dilihat, dirasakanserta yang diputuskan oleh sang kapten kapal segera diteruskan ke seluruh awak kapal selam, sehingga seluruh kru segera bertindak untuk melaksanakan instrulsinya. Sering kali kita merasakan keterbatasan dalam apa yang kita lakukan karena kita begitu bertekat umtuk memegamg kendali , sering kali kita yakin bahwa cara untuk memperoleh hasil yang lebih baik atau berbeda adal;ah dengan mencoba lebih keras, namun itu bukan jawabannya. Cara untuk benar-benar memperbaiki kehidupan adalah dengan lebih banyak menggunakan pikiran utama , yakni kekuatan pikiran bawah sadar, dengan cara memahami dan mengaktifkannya. Untuk melakukannya kita harus mengetahui apa fungsinya dan bagaimana kerjanya.
PIKIRAN BAWAH SADAR
Pikiran bawah sadar kita seperti bank memori raksasa, Kapasitasnya nyaris tak terbatas. Secara permanen pikiran bawah sadar menyimpan segala hal yang telah terjadi dengan kita. Menjelang usia 21 tahun, kita secara permanen menyimpan lebih dari seratus kali lipat isi keseluruhan Encyclopaedia Britannica, Fungsi pikiran bawah sadar adalah menyimpan dan mengeluarkan kembali data. Tugasnya adalah memastikan kita merespons persis sebagimana kita diprogramkan. Piliran bawah sadar mencocokkan segala yang kita ucapkan dan lakukan dengan pola yang sejalan dengan konsep diri kita, yang merupakan program utama kita. Pikiran bawah sadar kita subyektif, tidak berpikir dan menalar secara mandiri, dalam arti hanya memenuhi perintah yang diterimanya dari pkliran sadar.
Pikiran bawah sadar dapat diibaratkan sebagai kebun atau tanah subur tempat bertunas dan tumbuhnya benih, sedang pikiran sadar sebagai tukang kebun yang menyemai benih. Pikiran sadar memerintah dan pikiran bawah sadar mematuhinya. Pikiran bawah sadar memiliki impuls homeostatis, yang menjaga tubuh kita tetap pada suhu 36 derajat Celcius, yang menjaga kita tetap bernapas, dan menjaga jantung kita tetap berdenyut dalam laju tertentu. Lewat sistem saraf otonom menjaga keseimbangan ratusan senyawa kimia dalam miliaran sel sehingga semua organ fisik kita berfungsi secara selaras sepanjang waktu. Pikiran bawah sadar juga mempraktekkan dalam ranah mental, dengan cara menjaga kita tetap berpikir dan bertindak secara sejalan dengan apa yang kita lakukan dan katakan di masa lalu. Pikiran bawah sadar juga berfungsi seperti radar agar dalam keseimbangan dan sesuai dengan jalur berdasarkan data serta instruksi yang sebelumnya yang diprogamkan kepadanya.
MENTAL BLOK
Informasi negatif dan keadaan yang sangat berat menekan pikiran bawah sadar yang berlangsung sangat dalam akan terekam hebat dan susah dihapuskan, sewaktu-waktu akan muncul sehingga mengganggu mental penderitanya. Sebagai contoh seorang anak yang sedang bertumbuh dan pernah diberi tahu tidak pernah menjadi hebat dan mengecewakan orang tua, dan mustahil mencapai standar tinggi, kalau cinta kasih tidak diperolehnya maka akan menimbulkan emosi negatif padanya. Jika anak tersebut tidak menerima kuantitas dan kualitas cinta kasih maka akan mengalami defisit emosi bahkan menjadi mental blok.
Sebagai contoh lain adalah hebatnya suatu peperangan sehingga mengancam jiwa seorang serdadu untuk menyelamatkan diri dengan bersembunyi dalam suatu gua agar selamat, begitu hebatnya ketakutannya, walaupun perang sudah berakhir dia tetap bersembunyi dan tidak mau keluar dari guanya. Banyak contoh lain yang dialaminya sehingga timbul mental blok, namun banyak terapi untuk mengatasinya diantaranya dengan Penemuan Piliran Bawah Sadar.
Terapi penemuan pikiran bawah sadar
Langkah raksasa pertama di bidang transformasi pribadi dibuat pleh Doktor Emile Coue di Jenewa tahun 1895. Klinik miliknya rata-rata mencapai tingkat penyembuhan lima kali lebih cepat dibanding klinik lain di Eropa. Tekniknya sangat sederhana dengan mengajari setiap pasien mengucapkan :”Setiap hari dalam segala hal, saya merasa lebih baik.” Sederhana bunyinya, ucapan itu bekerja secara ajaib mempercepat kesembuhan beragam penyakit berat dan ringan terutama penyakit mental blok. Metode itu dikembangkan oleh Dr Shulz seorang psikolog dan tengah mencari cara untuk membantu orang yang mengalami depresi, neurosis, kecemasan, serta semua kondisi mental yang menggangu kebahagiaan mereka. Dia menemukan bahwa semakin santai seseorang ketika berbicara dengan dirinya sendiri dan mengucaplan :”Setiap hari dalam segala hal, saya merasa lebih baik.” Semakin cepat kesehatannya pulih.
Mental blok dan dosa
Mental blok adalah tekanan pada pikiran bawah sadar karena informasi negatif dan atau keadaan yang berat dan tidak menyenangkan bisa berupa dosa (pelanggaran terhadap Firman Tuhan), tetapi juga bisa bukan dosa terlebih kalau si penderita adalah korban dari tindak kejahatan atau penipuan, sehingga terapi penyembuhannya melalui psikolog, psikiater, ahli transformasi pribadi, para rohaniawan, bahkan iman atas penyelamatan Tuhan Yesus dapat membebaskan manusia dari keadaan mental blok. Bagi orang atheis tidak mengenal dosa karena hanya berdasar pada logika kebenaran mereka sendiri tidak percaya adanya Tuhan, mental blok dapat diderita semua orang secara universal.
TUHAN YESUS PEMBEBAS MENTAL BLOK
Yakub takut bertemu dengan Esau (Kej 32), hal ini terjadi karena Yakub pernah menipu tentang hak kesulungan Esau (Yakub berdosa), sehingga Yakub mengalami mental blok, sedang peristiwa tersebut telah berlangsung sangat lama, namun kesalahan itu telah membelenggu Yakub dan dia berdoa untuk dilepaskan Tuhan agar Esau tidak membunuhnya. Yudas mengembalikan uang tiga puluh perak kepada imam-imam karena Yudas telah menyerahkan Yesus yang tidak bersalah (Yudas berdosa), Yudas mengalami mental blok kemudian menggantung diri. (Mat 27 : 5).
Mental blok yang merupakan beban dari jiwa manusia mampu disembuhkan/ dibebaskan oleh Tuhan Yesus karena Yesus adalah Tabib Agung untuk segala penyakit kita baik fisik, jiwa maupun roh kita, sehingga kita mencapai damai sejahtera yang artinya tubuh, jiwa dan roh kita terpelihara secara sempurna oleh kasih karuniaNya, sempurna dalam arti kita hidup dikuduskan oleh kuasa darahNya yang tertumpah sekali dan penuh kuasa selamanya. Bahkan dosa kita telah ditebusNya, hal itu sebagai bukti nyata bahwa Allah melimpahkan kasih setiaNya, sebelum kita menyatakan kasih dan setia kepadaNya.
Yesus menyembuhkan segala penyakit
Kekuatan yang luar biasa dari iman/keyakinan yang mutlak sesungguhnya dapat mempengaruhi fungsi dasar dari kehidupan manusia. Seorang yang lumpuh sejak lahir sekonyong-konyong dapat berjalan atau seorang anak yang menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan kemudian bangkit dan tersenyum setelah mendengar sepatah kata dari Yesus. Kepercayaan mutlak akan kuasa Tuhan melalui sabda Yesus direkam langsung di batang otak, sehingga menghasilkan keajaiban yang luar biasa hasil kuasa Allah melalui batang otak penjaga kehidupan manusia. Namun tidak semua penyakit yang diderita manusia pasti terkabulkan untuk sembuh dengan cara keajaiban yang luar biasa, karena melalui segala keadaan kita termasuk penyakit, Tuhan mempunyai rencana yang lebih indah bagi kehidupan kita, justru hal itu adalah hidup kita memikul salibNya.
REVOLUSI MENTAL
Revolusi mental yang sedang dicanangkan pemerintah adalah revolusi pola pikir dari negatif berbalik ke arah positif dan harus menjadi tindakan nyata yang dapat dirasakan pada segala aspek kehidupan lahir dan batin. Karena pada saat ini keadaan kita dalam kondisi yang sangat kurang menguntungkan, terlihat egoisme pribadi, gplpngan, dan tindak pidana beraneka ragam sehingga sangat menyengsarakan rakyat. Maka pembenahan perlu perubahan besar yang dinamakan revolusi mental tidak hanya berupa slogan, tetapi harus dimulai dari diri kita pribadi, keluarga, komunitas dan profesi kita, bahkan gereja kita pun harus ambil bagian pada aspek tidak hanya rohani saja tetapi termasuk aspek fisik riil, dan gereja jangan menjadi sangkar emas, dimana aktivitas eksklusif tidak membumi. Visi dan misi gereja senantiasa Alkitabiah, tetapi komisi-komisi, bebadan, panitia, tim-tim yang dibentuk, bahkan kantor pelayann gereja harus menterjemahkan visi dan misi yang riil, terukur. transparan dan akuntabel Gereja tidak boleh berpolitik praktis tetapi gereja boleh berpolitik maka harus mempersiapkan anggotanya terutama pemuda dan warga berusia produktif untuk berperan serta dalam pengelolaan negara tercinta ini, bahkan gereja harus menjadi pelopor agen pembaruan di segala bidang aspek kehidupan.
Mental blok mewabah di kehidupan masyrakat kita.
Informasi negatif dan tekanan mental mewabah di segala aspek kehidupan, kebenaran dan keadilan bisa dikaburkan, pendidikan kurang terarah pengelolaannya terlihat kurikulum yang senantiasa berubah, buku pegangan pembelajaran yang semakin banyak, sedang materi dasar yang dibutuhkan kurang pencapaiannya. Di bidang pangan harga kebutuhan pokok melambung tanpa kendali, keamanan dan ketertiban masyarakat cukup mengkwatirkan, etika, sopan santun dan budipekerti semakin diabaikan, lapangan pekerjaan kurang diciptakan sehingga banyak tenaga kerja dengan ketrampilan rendah bekerja ke luar negeri dan menimbulkan banyak masalah, pemerintah disibukkan pada persoalan yang tidak produktif sehingga kesejahteraan rakyat terasa diabaikan, mental blok telah mewabah di kehidupan masyarakat kita.
Peluang harus segera dimanfaatkan
Negara kita sangat besar, dengan kekayaan alam yang berlimpah, penduduk kita sangat besar merupakan sumber daya manusia yang potensial, kebudayaan kita sangat beraneka ragam, kita tidak boleh pesimis dan lengah, kita harus mampu memanfaatkan potensi yang sangat bagus itu, dengan mempersiapkan dan mendorong demi kesejahteraan kita bersama, terutama pribadi dan keluarga kita, komunitas dimana kita ditempatkan, lengkapilah dan doakan serta secara terus menerus kita berperan aktif demi pencapaian bangsa dan negara yang damai dan sejahtera, dengan revolusi mental tepat sasaran dan mohon berkat Tuhan dilimpahkan ke masyarkat dunia pada umumnya terutama bangsa kita. Kita harus siap membajak/ bekerja dan tidak boleh menoleh ke belakang, jadi kita harus terlepas dari mental blok (ayat emas tesebut di awal tulisan). Tuhan senantiasa setia memelihara ciptaanNya dan melimpahkan kasih karuniaNya kepada seluruh umatNya. Amin. JS/PI.
Informasi negatif dan keadaan yang sangat berat bisa membebani alam/ piliran bawah sadar dan kalau sering muncul sehingga menjadi penghalang dalam pengembangan hidup kita, maka hal tersebut dapat dikatagorikan suatu mental blok, dan harus dibebaskan atau dilepaskan dari memori pikiran kita. Beberapa terapi ilmiah telah dilakukan, dan Tuhan Yesus datang ke dunia untuk membebaskan manusia dari beban kehiduoan masa lalu, dan menatap serta melangkah bersamaNya penuh berkat.
Atas dasar latar belakang tersebut di atas maka Mental Blok dibahas dalam tulisan ini, dengan harapan agar kita sebagai orang beriman dapat mengarungi hidup berkualitas atas kasih karuniaNya. Perlu diawali dengan pembahasan alam/ pikiran sadar dan alam/ piliran bawah sadar, mental blok membebani kehidupan, terapi ilmiah mengatasi mental blok, Tuhan Yesus pembebas mental blok, serta tentang revo;usi mental. Kritik dan saran yang membangun sangat dinantikan, demi kelengkapan materi pembahasan.
ALAM/ PIKIRAN SADAR
Kita ini merupakan kumpulan informasi, secara sadar kita memilkii kebebasan dan kemampuan untuk memilih dan mengubah informasi yang membombadir kehidupan kita setiap hari, bahkan kita sering berlaku sebagai penumpang pasif atas informasi yang terus membanjiri kehidupan ini, sehingga kita menjadi timbunan informasi. Sebenarnya kita harus sadar bahwa kita ini adalah tuan dari semua informasi. Kita harus bisa memilah informasi yang bermanfaat secara positif bagi kehidupan pribadi kita.
Pikiran sadar adalah tujuan atau pusat pemikiran. Pikiran sadar tidak memiliki memori, dan hanya bisa memegang satu pemikiran dalam satu waktu. Pikiran sadar memiliki empat fungsi penting. Pertama pikiran itu mengenali informasi yang masuk. Informasi ini dkiterima melalui kelima indra : penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan sentuhan atau perasaan.Pikiran sadar terus menerus memantau dan menggolongkan apa yang terjadi di sekitar kita.Kedua pikiran sadar adalah pembanding informasi saat ini dan terdahulu yang tersimpan dakam memori. Ketiga pikiran sadar adalah analisis dan diikuti oleh yang keempat menentukan. Pikiran sadar berfungsi ganda yaitu menerima atau menolak/ memfilter informasi.
Pikiran sadar kita berfungsi layaknya kapten kapal selam yang tengah melihat permukaan laut melalui periskop.Hanya kapten kapal yang melihatnya, Hanya persepsi sang kapten kapal mengenai apa yang terjadi di atas permukaan laut yang tersedia bagi para kru kapal selam. Apa pun yang dilihat, dirasakanserta yang diputuskan oleh sang kapten kapal segera diteruskan ke seluruh awak kapal selam, sehingga seluruh kru segera bertindak untuk melaksanakan instrulsinya. Sering kali kita merasakan keterbatasan dalam apa yang kita lakukan karena kita begitu bertekat umtuk memegamg kendali , sering kali kita yakin bahwa cara untuk memperoleh hasil yang lebih baik atau berbeda adal;ah dengan mencoba lebih keras, namun itu bukan jawabannya. Cara untuk benar-benar memperbaiki kehidupan adalah dengan lebih banyak menggunakan pikiran utama , yakni kekuatan pikiran bawah sadar, dengan cara memahami dan mengaktifkannya. Untuk melakukannya kita harus mengetahui apa fungsinya dan bagaimana kerjanya.
PIKIRAN BAWAH SADAR
Pikiran bawah sadar kita seperti bank memori raksasa, Kapasitasnya nyaris tak terbatas. Secara permanen pikiran bawah sadar menyimpan segala hal yang telah terjadi dengan kita. Menjelang usia 21 tahun, kita secara permanen menyimpan lebih dari seratus kali lipat isi keseluruhan Encyclopaedia Britannica, Fungsi pikiran bawah sadar adalah menyimpan dan mengeluarkan kembali data. Tugasnya adalah memastikan kita merespons persis sebagimana kita diprogramkan. Piliran bawah sadar mencocokkan segala yang kita ucapkan dan lakukan dengan pola yang sejalan dengan konsep diri kita, yang merupakan program utama kita. Pikiran bawah sadar kita subyektif, tidak berpikir dan menalar secara mandiri, dalam arti hanya memenuhi perintah yang diterimanya dari pkliran sadar.
Pikiran bawah sadar dapat diibaratkan sebagai kebun atau tanah subur tempat bertunas dan tumbuhnya benih, sedang pikiran sadar sebagai tukang kebun yang menyemai benih. Pikiran sadar memerintah dan pikiran bawah sadar mematuhinya. Pikiran bawah sadar memiliki impuls homeostatis, yang menjaga tubuh kita tetap pada suhu 36 derajat Celcius, yang menjaga kita tetap bernapas, dan menjaga jantung kita tetap berdenyut dalam laju tertentu. Lewat sistem saraf otonom menjaga keseimbangan ratusan senyawa kimia dalam miliaran sel sehingga semua organ fisik kita berfungsi secara selaras sepanjang waktu. Pikiran bawah sadar juga mempraktekkan dalam ranah mental, dengan cara menjaga kita tetap berpikir dan bertindak secara sejalan dengan apa yang kita lakukan dan katakan di masa lalu. Pikiran bawah sadar juga berfungsi seperti radar agar dalam keseimbangan dan sesuai dengan jalur berdasarkan data serta instruksi yang sebelumnya yang diprogamkan kepadanya.
MENTAL BLOK
Informasi negatif dan keadaan yang sangat berat menekan pikiran bawah sadar yang berlangsung sangat dalam akan terekam hebat dan susah dihapuskan, sewaktu-waktu akan muncul sehingga mengganggu mental penderitanya. Sebagai contoh seorang anak yang sedang bertumbuh dan pernah diberi tahu tidak pernah menjadi hebat dan mengecewakan orang tua, dan mustahil mencapai standar tinggi, kalau cinta kasih tidak diperolehnya maka akan menimbulkan emosi negatif padanya. Jika anak tersebut tidak menerima kuantitas dan kualitas cinta kasih maka akan mengalami defisit emosi bahkan menjadi mental blok.
Sebagai contoh lain adalah hebatnya suatu peperangan sehingga mengancam jiwa seorang serdadu untuk menyelamatkan diri dengan bersembunyi dalam suatu gua agar selamat, begitu hebatnya ketakutannya, walaupun perang sudah berakhir dia tetap bersembunyi dan tidak mau keluar dari guanya. Banyak contoh lain yang dialaminya sehingga timbul mental blok, namun banyak terapi untuk mengatasinya diantaranya dengan Penemuan Piliran Bawah Sadar.
Terapi penemuan pikiran bawah sadar
Langkah raksasa pertama di bidang transformasi pribadi dibuat pleh Doktor Emile Coue di Jenewa tahun 1895. Klinik miliknya rata-rata mencapai tingkat penyembuhan lima kali lebih cepat dibanding klinik lain di Eropa. Tekniknya sangat sederhana dengan mengajari setiap pasien mengucapkan :”Setiap hari dalam segala hal, saya merasa lebih baik.” Sederhana bunyinya, ucapan itu bekerja secara ajaib mempercepat kesembuhan beragam penyakit berat dan ringan terutama penyakit mental blok. Metode itu dikembangkan oleh Dr Shulz seorang psikolog dan tengah mencari cara untuk membantu orang yang mengalami depresi, neurosis, kecemasan, serta semua kondisi mental yang menggangu kebahagiaan mereka. Dia menemukan bahwa semakin santai seseorang ketika berbicara dengan dirinya sendiri dan mengucaplan :”Setiap hari dalam segala hal, saya merasa lebih baik.” Semakin cepat kesehatannya pulih.
Mental blok dan dosa
Mental blok adalah tekanan pada pikiran bawah sadar karena informasi negatif dan atau keadaan yang berat dan tidak menyenangkan bisa berupa dosa (pelanggaran terhadap Firman Tuhan), tetapi juga bisa bukan dosa terlebih kalau si penderita adalah korban dari tindak kejahatan atau penipuan, sehingga terapi penyembuhannya melalui psikolog, psikiater, ahli transformasi pribadi, para rohaniawan, bahkan iman atas penyelamatan Tuhan Yesus dapat membebaskan manusia dari keadaan mental blok. Bagi orang atheis tidak mengenal dosa karena hanya berdasar pada logika kebenaran mereka sendiri tidak percaya adanya Tuhan, mental blok dapat diderita semua orang secara universal.
TUHAN YESUS PEMBEBAS MENTAL BLOK
Yakub takut bertemu dengan Esau (Kej 32), hal ini terjadi karena Yakub pernah menipu tentang hak kesulungan Esau (Yakub berdosa), sehingga Yakub mengalami mental blok, sedang peristiwa tersebut telah berlangsung sangat lama, namun kesalahan itu telah membelenggu Yakub dan dia berdoa untuk dilepaskan Tuhan agar Esau tidak membunuhnya. Yudas mengembalikan uang tiga puluh perak kepada imam-imam karena Yudas telah menyerahkan Yesus yang tidak bersalah (Yudas berdosa), Yudas mengalami mental blok kemudian menggantung diri. (Mat 27 : 5).
Mental blok yang merupakan beban dari jiwa manusia mampu disembuhkan/ dibebaskan oleh Tuhan Yesus karena Yesus adalah Tabib Agung untuk segala penyakit kita baik fisik, jiwa maupun roh kita, sehingga kita mencapai damai sejahtera yang artinya tubuh, jiwa dan roh kita terpelihara secara sempurna oleh kasih karuniaNya, sempurna dalam arti kita hidup dikuduskan oleh kuasa darahNya yang tertumpah sekali dan penuh kuasa selamanya. Bahkan dosa kita telah ditebusNya, hal itu sebagai bukti nyata bahwa Allah melimpahkan kasih setiaNya, sebelum kita menyatakan kasih dan setia kepadaNya.
Yesus menyembuhkan segala penyakit
Kekuatan yang luar biasa dari iman/keyakinan yang mutlak sesungguhnya dapat mempengaruhi fungsi dasar dari kehidupan manusia. Seorang yang lumpuh sejak lahir sekonyong-konyong dapat berjalan atau seorang anak yang menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan kemudian bangkit dan tersenyum setelah mendengar sepatah kata dari Yesus. Kepercayaan mutlak akan kuasa Tuhan melalui sabda Yesus direkam langsung di batang otak, sehingga menghasilkan keajaiban yang luar biasa hasil kuasa Allah melalui batang otak penjaga kehidupan manusia. Namun tidak semua penyakit yang diderita manusia pasti terkabulkan untuk sembuh dengan cara keajaiban yang luar biasa, karena melalui segala keadaan kita termasuk penyakit, Tuhan mempunyai rencana yang lebih indah bagi kehidupan kita, justru hal itu adalah hidup kita memikul salibNya.
REVOLUSI MENTAL
Revolusi mental yang sedang dicanangkan pemerintah adalah revolusi pola pikir dari negatif berbalik ke arah positif dan harus menjadi tindakan nyata yang dapat dirasakan pada segala aspek kehidupan lahir dan batin. Karena pada saat ini keadaan kita dalam kondisi yang sangat kurang menguntungkan, terlihat egoisme pribadi, gplpngan, dan tindak pidana beraneka ragam sehingga sangat menyengsarakan rakyat. Maka pembenahan perlu perubahan besar yang dinamakan revolusi mental tidak hanya berupa slogan, tetapi harus dimulai dari diri kita pribadi, keluarga, komunitas dan profesi kita, bahkan gereja kita pun harus ambil bagian pada aspek tidak hanya rohani saja tetapi termasuk aspek fisik riil, dan gereja jangan menjadi sangkar emas, dimana aktivitas eksklusif tidak membumi. Visi dan misi gereja senantiasa Alkitabiah, tetapi komisi-komisi, bebadan, panitia, tim-tim yang dibentuk, bahkan kantor pelayann gereja harus menterjemahkan visi dan misi yang riil, terukur. transparan dan akuntabel Gereja tidak boleh berpolitik praktis tetapi gereja boleh berpolitik maka harus mempersiapkan anggotanya terutama pemuda dan warga berusia produktif untuk berperan serta dalam pengelolaan negara tercinta ini, bahkan gereja harus menjadi pelopor agen pembaruan di segala bidang aspek kehidupan.
Mental blok mewabah di kehidupan masyrakat kita.
Informasi negatif dan tekanan mental mewabah di segala aspek kehidupan, kebenaran dan keadilan bisa dikaburkan, pendidikan kurang terarah pengelolaannya terlihat kurikulum yang senantiasa berubah, buku pegangan pembelajaran yang semakin banyak, sedang materi dasar yang dibutuhkan kurang pencapaiannya. Di bidang pangan harga kebutuhan pokok melambung tanpa kendali, keamanan dan ketertiban masyarakat cukup mengkwatirkan, etika, sopan santun dan budipekerti semakin diabaikan, lapangan pekerjaan kurang diciptakan sehingga banyak tenaga kerja dengan ketrampilan rendah bekerja ke luar negeri dan menimbulkan banyak masalah, pemerintah disibukkan pada persoalan yang tidak produktif sehingga kesejahteraan rakyat terasa diabaikan, mental blok telah mewabah di kehidupan masyarakat kita.
Peluang harus segera dimanfaatkan
Negara kita sangat besar, dengan kekayaan alam yang berlimpah, penduduk kita sangat besar merupakan sumber daya manusia yang potensial, kebudayaan kita sangat beraneka ragam, kita tidak boleh pesimis dan lengah, kita harus mampu memanfaatkan potensi yang sangat bagus itu, dengan mempersiapkan dan mendorong demi kesejahteraan kita bersama, terutama pribadi dan keluarga kita, komunitas dimana kita ditempatkan, lengkapilah dan doakan serta secara terus menerus kita berperan aktif demi pencapaian bangsa dan negara yang damai dan sejahtera, dengan revolusi mental tepat sasaran dan mohon berkat Tuhan dilimpahkan ke masyarkat dunia pada umumnya terutama bangsa kita. Kita harus siap membajak/ bekerja dan tidak boleh menoleh ke belakang, jadi kita harus terlepas dari mental blok (ayat emas tesebut di awal tulisan). Tuhan senantiasa setia memelihara ciptaanNya dan melimpahkan kasih karuniaNya kepada seluruh umatNya. Amin. JS/PI.
Empedeka
Minggu, 22 Februari’15 pukul 05.00 Gereja Kristen Jawa Nehemia kelihatan sudah mulai ramai dan terjadi kesibukan tidak seperti biasanya. Ternyata pagi itu merupakan Minggu Pra Paskah I. Menjelang pukul 06.00 sudah terdengar suara gamelan yang ditabuh para anggota majelis yang tergabung dalam Karawitan Pradata Laras yang pagi itu bertugas mengiringi Kebaktian I. Diawali dengan pemilihan calon majelis periode Maret’15-18 kemudian majelis membacakan warta jemaat, disusul Karawitan Pradata Laras mengumandangkan Gendhing Ketawang Amba Pinta untuk mengiringi prosesi Pendeta dan Majelis serta Panitia memasuki ruang ibadah.
Minggu Pra Paskah I ini bersamaan dengan Pembukaan Masa Penghayatan Dasar Kekristenan (MPDK). Sebelum ibadah dimulai, Dkn. Hedy Suprapto mewakili Majelis secara simbolis menyerahkan buku MPDK kepada Benyamin Suatan sebagai Ketua Panitia, kemudian memukul Gong 3 kali sebagai tanda dibukanya MPDK dan Pra Paskah I.
Didampingi Pnt. Suharto sebagai Pengantar, Pdt. Sugeng Mulyanto, SPAK, MA dari GKJ Jatingaleh-Semarang yang keduanya memakai beskap dan blangkon lengkap dengan kerisnya meniup satu batang lilin kemudian menuju mimbar memimpin Kebaktian.
Berdasarkan Kitab Kejadian 9: 8-17 dengan tema Keluarlah dari bahtera itu, engkau bersama-sama dengan isterimu dan anak-anakmu dan . . . (16) Pdt. Sugeng berkotbah diseling humor-humor segar sehingga meski pagi itu ruangan cukup dingin tidak ada jemaat yang mengantuk.
Dia mengidentikkan dirinya sebagai Pendeta yang artinya Pendek, suka cerita. Yang cukup menarik ketika Pdt. Sugeng bertanya kepada Pak Andreas yang bertugas menabuh gamelan apakah betul bahwa Yesus itu penebus dosa, dijawab : “Ya.” Spontan saja Pdt. Sugeng berkata:
“Kalau begitu mulai sekarang Pak Andreas harus bertobat, karena Yesus itu tidak menebus dosa. Buat apa dosa kok ditebus.”
Sejenak jemaat dibuat tertegun atas pernyataan Pdt. Sugeng, tetapi kemudian diteruskan:
“Yang ditebus itu kita, manusia.” Baru kemudian jemaat tersadar dan tertawa, karena yang ditebus itu memang manusia dari dosanya. Selama ini memang diyakini bahwa Yesus Penebus dosa, tentu dosanya manusia. Jadi cuma dibolak-balik saja biar seru.
Pagi itu kebaktian dimeriahkan oleh PS Nehemia dan PS Duta Salam yang dua minggu sebelumnya mengisi pujian di GKJ Jatingaleh, tempat Pdt. Sugeng menggembalakan jemaatnya. Penyampaian Persembahan melalui kantong diiringi gendhing Caos Pisungsung oleh Karawitan Pradata Laras pimpinan Pnt. Suradji.
Kebaktian ke dua pukul 08.00 dipimpin lagi oleh Pdt. Sugeng Mulyanto, diawali prosesi Pendeta, Majelis dan Panitia diiringi gendhing Ketawang Amba Pinta oleh Karawitan Nehemia Krida Utama Pemuda/Remaja pimpinan Panji. Setelah Dkn. Andreas Hutomo selaku Ketua Majelis menyerahkan secara simbolis Buku MPDK kepada Ketua Panitia dan memukul gong maka kebaktian ke dua dimulai setelah sebelumnya Pdt. Sugeng Mulyanto diantar Pnt. Yarien Subarto meniup sebatang lilin. Pada kebaktian ke dua ini kotbahnya tak berbeda jauh dengan kebaktian pertama yang diselingi humor-humor segar. Pengisi pada kebaktian ke dua ini adalah PS. Gama Swara dan solist Maya Mardji.
Kebaktian ke tiga pukul 10.00 dalam Bahasa Jawa dipimpin oleh Gata Sartaya,STh mantan Majelis GKJ Nehemia dengan pengantar Pnt. Suharto. Seperti kebaktian sebelumnya, kali ini kembali ada prosesi Pendeta, Majelis dan Panitia diiringi kembali oleh Karawitan Pradata Laras. Kali ini Pnt. Suadi Pratikno selaku wakil Majelis menyerahkan secara simbolis Buku MPDK kepada Ketua Panitia.
Dalam kotbahnya Gata Sartaya, STh menyampaikan antara lain tentang kapal Nabi Nuh yang memuat ratusan bahkan ribuan pasang binatang untuk menyelamatkan diri dari bencana banjir yang menenggelamkan daratan. Jemaat tentu bisa membayangkan betapa besar kapal Nabi Nuh itu karena bisa menampung begitu banyak muatan. Pengisi pujian kali ini adalah PS Nafiri dan solist DB Nugroho.
Kebaktian terakhir atau kebaktian ke empat pada pukul 17.00 dipimpin oleh Pdt. Agus Hendratmo, MTh. Kali ini prosesi Pendeta, Majelis dan Panitia diiringi oleh Karawitan Widyalaras pimpinan Ibu Titus. Kembali Ketua Majelis Dkn. Andreas Hutomo menyerahkan secara simbolis Buku MPDK kepada Benyamin Suatan selaku Ketua Panitia. Pengisi Pujian pada kebaktian sore ini adalah PS Gloria dan solist Andreas DJ.
Seluruh rangkaian acara tersusun rapi dari pagi hingga sore hari oleh Panitia Paskah yang kali ini dilaksanakan oleh jemaat wilayah Radio Dalam. Dan baru kali ini seluruh kebaktian diiringi Karawitan/gamelan. Selamat memasuki masa pra Paskah dan selamat ber-empedeka. Rio.
Minggu Pra Paskah I ini bersamaan dengan Pembukaan Masa Penghayatan Dasar Kekristenan (MPDK). Sebelum ibadah dimulai, Dkn. Hedy Suprapto mewakili Majelis secara simbolis menyerahkan buku MPDK kepada Benyamin Suatan sebagai Ketua Panitia, kemudian memukul Gong 3 kali sebagai tanda dibukanya MPDK dan Pra Paskah I.
Didampingi Pnt. Suharto sebagai Pengantar, Pdt. Sugeng Mulyanto, SPAK, MA dari GKJ Jatingaleh-Semarang yang keduanya memakai beskap dan blangkon lengkap dengan kerisnya meniup satu batang lilin kemudian menuju mimbar memimpin Kebaktian.
Berdasarkan Kitab Kejadian 9: 8-17 dengan tema Keluarlah dari bahtera itu, engkau bersama-sama dengan isterimu dan anak-anakmu dan . . . (16) Pdt. Sugeng berkotbah diseling humor-humor segar sehingga meski pagi itu ruangan cukup dingin tidak ada jemaat yang mengantuk.
Dia mengidentikkan dirinya sebagai Pendeta yang artinya Pendek, suka cerita. Yang cukup menarik ketika Pdt. Sugeng bertanya kepada Pak Andreas yang bertugas menabuh gamelan apakah betul bahwa Yesus itu penebus dosa, dijawab : “Ya.” Spontan saja Pdt. Sugeng berkata:
“Kalau begitu mulai sekarang Pak Andreas harus bertobat, karena Yesus itu tidak menebus dosa. Buat apa dosa kok ditebus.”
Sejenak jemaat dibuat tertegun atas pernyataan Pdt. Sugeng, tetapi kemudian diteruskan:
“Yang ditebus itu kita, manusia.” Baru kemudian jemaat tersadar dan tertawa, karena yang ditebus itu memang manusia dari dosanya. Selama ini memang diyakini bahwa Yesus Penebus dosa, tentu dosanya manusia. Jadi cuma dibolak-balik saja biar seru.
Pagi itu kebaktian dimeriahkan oleh PS Nehemia dan PS Duta Salam yang dua minggu sebelumnya mengisi pujian di GKJ Jatingaleh, tempat Pdt. Sugeng menggembalakan jemaatnya. Penyampaian Persembahan melalui kantong diiringi gendhing Caos Pisungsung oleh Karawitan Pradata Laras pimpinan Pnt. Suradji.
Kebaktian ke dua pukul 08.00 dipimpin lagi oleh Pdt. Sugeng Mulyanto, diawali prosesi Pendeta, Majelis dan Panitia diiringi gendhing Ketawang Amba Pinta oleh Karawitan Nehemia Krida Utama Pemuda/Remaja pimpinan Panji. Setelah Dkn. Andreas Hutomo selaku Ketua Majelis menyerahkan secara simbolis Buku MPDK kepada Ketua Panitia dan memukul gong maka kebaktian ke dua dimulai setelah sebelumnya Pdt. Sugeng Mulyanto diantar Pnt. Yarien Subarto meniup sebatang lilin. Pada kebaktian ke dua ini kotbahnya tak berbeda jauh dengan kebaktian pertama yang diselingi humor-humor segar. Pengisi pada kebaktian ke dua ini adalah PS. Gama Swara dan solist Maya Mardji.
Kebaktian ke tiga pukul 10.00 dalam Bahasa Jawa dipimpin oleh Gata Sartaya,STh mantan Majelis GKJ Nehemia dengan pengantar Pnt. Suharto. Seperti kebaktian sebelumnya, kali ini kembali ada prosesi Pendeta, Majelis dan Panitia diiringi kembali oleh Karawitan Pradata Laras. Kali ini Pnt. Suadi Pratikno selaku wakil Majelis menyerahkan secara simbolis Buku MPDK kepada Ketua Panitia.
Dalam kotbahnya Gata Sartaya, STh menyampaikan antara lain tentang kapal Nabi Nuh yang memuat ratusan bahkan ribuan pasang binatang untuk menyelamatkan diri dari bencana banjir yang menenggelamkan daratan. Jemaat tentu bisa membayangkan betapa besar kapal Nabi Nuh itu karena bisa menampung begitu banyak muatan. Pengisi pujian kali ini adalah PS Nafiri dan solist DB Nugroho.
Kebaktian terakhir atau kebaktian ke empat pada pukul 17.00 dipimpin oleh Pdt. Agus Hendratmo, MTh. Kali ini prosesi Pendeta, Majelis dan Panitia diiringi oleh Karawitan Widyalaras pimpinan Ibu Titus. Kembali Ketua Majelis Dkn. Andreas Hutomo menyerahkan secara simbolis Buku MPDK kepada Benyamin Suatan selaku Ketua Panitia. Pengisi Pujian pada kebaktian sore ini adalah PS Gloria dan solist Andreas DJ.
Seluruh rangkaian acara tersusun rapi dari pagi hingga sore hari oleh Panitia Paskah yang kali ini dilaksanakan oleh jemaat wilayah Radio Dalam. Dan baru kali ini seluruh kebaktian diiringi Karawitan/gamelan. Selamat memasuki masa pra Paskah dan selamat ber-empedeka. Rio.
Cintaku di Tangan Mama
Judul di atas bukan sinetron terbaru di televisi, melainkan tema yang diangkat oleh pemuda remaja dalam GPS (God’s Word, Praying and Sharing) Sabtu (14/2) yang bertepatan dengan hari kasih sayang. GPS merupakan sebuah persekutuan yang di dalamnya terdapat penguatan melalui firman Tuhan, doa, dan penguatan dari sesama. Persekutuan ini ditujukan untuk membekali para pemuda remaja di dalam melakukan setiap pelayanan mereka, baik dalam lingkungan pekerjaan, sekolah, gereja, atau aktifitas lainnya.
Dalam GPS Februari ini, Pdt. Bayu Dalope dari GKP Bandung diundang untuk berbagi dengan teman-teman pemuda remaja GKJ Nehemia mengenai cinta yang harus dihadapkan pada restu orang tua. Pemuda remaja GKJ Nehemia diajak untuk memahami makna sebuah cinta. Jika dunia berkata, cinta adalah menemukan orang yang tepat, tapi Tuhan berkata lain, cinta adalah menjadi orang yang tepat.
Dunia mengajarkan bahwa cinta adalah tentang aku, tapi Tuhan mengajarkan bahwa cinta adalah tentang pasanganku. Dalam Tuhan, “Aku mencintaimu walaupun…”. Bukan, “ Aku mencintaimu karena…”. Tuhan berkata bahwa cinta sejati bersedia menunggu, cinta itu melihat tapi tetap menerima, dan yang terpenting adalah berlututlah dan berdoalah kepada Tuhan jika tidak berhasil.
Tak lengkap rasanya bila merayakan Valentine tanpa bertukar coklat. Begitupun di GPS edisi kali ini, KPR bertukar coklat dengan cara menemukan pasangan dari potongan kartu yang sudah dibagi dua di mana potongan kartu tersebut sudah disiapkan di awal acara. Jadi setiap orang harus menemukan pasangan dari setiap potongan kartunya. Setelah menemukan barulah saling bertukar coklat.
Perayaan Valentine tahun ini semakin semarak karena KPR tidak merayakan hari kasih sayang ini sendiri, teman-teman pemuda remaja dari GKP Bandung yang berjumlah sekitar 17 orang juga turut hadir untuk saling berbagi kasih sayang di GKJ Nehemia. Fany/Nindya.
Dalam GPS Februari ini, Pdt. Bayu Dalope dari GKP Bandung diundang untuk berbagi dengan teman-teman pemuda remaja GKJ Nehemia mengenai cinta yang harus dihadapkan pada restu orang tua. Pemuda remaja GKJ Nehemia diajak untuk memahami makna sebuah cinta. Jika dunia berkata, cinta adalah menemukan orang yang tepat, tapi Tuhan berkata lain, cinta adalah menjadi orang yang tepat.
Dunia mengajarkan bahwa cinta adalah tentang aku, tapi Tuhan mengajarkan bahwa cinta adalah tentang pasanganku. Dalam Tuhan, “Aku mencintaimu walaupun…”. Bukan, “ Aku mencintaimu karena…”. Tuhan berkata bahwa cinta sejati bersedia menunggu, cinta itu melihat tapi tetap menerima, dan yang terpenting adalah berlututlah dan berdoalah kepada Tuhan jika tidak berhasil.
Tak lengkap rasanya bila merayakan Valentine tanpa bertukar coklat. Begitupun di GPS edisi kali ini, KPR bertukar coklat dengan cara menemukan pasangan dari potongan kartu yang sudah dibagi dua di mana potongan kartu tersebut sudah disiapkan di awal acara. Jadi setiap orang harus menemukan pasangan dari setiap potongan kartunya. Setelah menemukan barulah saling bertukar coklat.
Perayaan Valentine tahun ini semakin semarak karena KPR tidak merayakan hari kasih sayang ini sendiri, teman-teman pemuda remaja dari GKP Bandung yang berjumlah sekitar 17 orang juga turut hadir untuk saling berbagi kasih sayang di GKJ Nehemia. Fany/Nindya.
Runtuhnya Pilar Budi Pekerti
Pilar Budi Pekerti yang begitu kokoh tegak berdiri sejak peradaban nenek moyang kita sebagai ajaran yang luhur dan dijunjung tinggi, sedikit demi sedikit mulai keropos sejak dihilangkannya pelajaran Budi Pekerti di sekolah Dasar pada rezim Orde Baru.
Dulu waktu saya masih duduk di bangku Sekolah Rakyat, walau nilai yang lain dapat angka 8 ke atas kalau nilai Budi Pekerti merah alias angka 5, sudah bisa dipastikan tidak akan naik kelas. Begitu pentingnya pelajaran Budi Pekerti pada waktu itu sehingga setiap murid berusaha untuk berkelakuan sebaik mungkin sehingga nilai di rapor nya tidak merah. Tetapi sejak pelajaran itu dihapus maka anak-anak mulai tidak mengenal lagi apa yang disebut tata krama dan unggah-ungguh. Padahal di Alkitab tertulis: “Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu.” (Mat.15: 4a)
Rasa hormat terhadap orang yang lebih tua dalam perilaku sehari-hari mulai menghilang sedikit-demi sedikit dan mencapai puncaknya ketika para Pemimpin Negara ini telah kehilangan pamor karena terjebak dalam dunia yang penuh rekayasa dan ketidak adilan yang bersumber pada kekuasaan. “Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah?” (I Kor.6: 9)
Belakangan ini bangsa Indonesia disibukkan oleh berbagai kepentingan yang lebih bersifat keduniawian sehingga melupakan kearifan dan pembentukan pekerti bangsa. Semua ini diakibatkan oleh pola kehidupan materialistik yang menghinggapi sebagian besar masyarakat sehingga berakibat pada terkikisnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Budaya kekerasan terjadi dimana-mana dari tawuran anak sekolah, perkelahian penduduk antar desa, pertikaian antar aparat bersenjata sampai perseteruan para pimpinan penegak hukum. Demikian juga dengan kesewenang-wenangan dan ketidak adilan yang dilakukan penguasa terhadap rakyat jelata. Yang memprihatinkan lagi adalah para pemimpin bangsa ini saling berlomba untuk menumpuk kekayaan dengan jalan menggerogoti uang rakyat alias korupsi. “Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat.” (Mzm.14: 3a)
Melihat situasi dan kondisi yang kita alami saat ini, teringat akan Serat Kalatidha karya agung Pujangga besar Keraton Surakarta Hadiningrat yaitu Raden Ngabehi Ranggawarsita yang berupa tembang Sinom yang di dalamnya terdapat ungkapan jaman edan, jaman yang penuh keanehan tingkah laku manusia yang menyimpang dari tatanan kehidupan seperti berikut:
amenangi jaman edan (mengalami jaman gila)
ewuh aya ing pambudi (serba salah dalam bertindak)
melu edan nora tahan (ikut gila tidak tahan)
yen tan melu anglakoni (kalau tidak ikut melakukan)
boya keduman melik (tidak akan kebagian apa-apa)
kaliren wekasanipun (akhirnya kelaparan)
dilalah kersa Allah (tetapi karena kehendak Tuhan)
begja-begjane kang lali (seberuntungnya orang yang lupa)
luwih begja kang eling lawan waspada (lebih beruntung orang yang tetap menjaga kesadaran dan kewaspadaan)
Budaya bangsa yang kita uri-uri, budaya yang adiluhung dan edi peni sebagai nilai-nilai kearifan lokal bahkan budaya yang santun, saling menghormati dan religius seakan-akan terkikis oleh gaya hidup yang instan dan modern. Sehingga mereka lupa akan adanya budaya yang adiluhung itu apalagi melestarikannya.
Masyarakat menjadi mudah terhasut, mudah marah, beringas dan kasar tanpa bisa mengendalikan diri. Kekecewaan akibat niatnya tidak kesampaian diwujudkannya dengan emosi dan kemarahan yang tak terkendali sehingga berakibat fatal.
Fenomena ini menunjukkan merosotnya nilai budi pekerti sebagai bangsa yang sabar, ramah- tamah, santun serta berbudi luhur. Sebagai suatu bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi dan kondisi yang demikian itu jelas sangat merugikan bagi masa depan bangsa terutama generasi muda kita. Kita berharap bahwa generasi mendatang menjadi bangsa yang
- cerdas dan bijaksana (mursid)
- trampil dan cendekia (sugih kagunan lan pangawikan)
- berbudi pekerti luhur (luhuring budi)
- berperadaban mulia (kamulyaning gesang)
Oleh karena itu dibutuhkan paradigma pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada kearifan budaya dan budi pekerti luhur, dan itu diperlukan revolusi mental.
Konsep kepemimpinan masa lalu yang bertumpu pada wenang wisesa ing sanagari atau berkuasa di seluruh negeri, senada dengan ungkapan Louis XIV dari Perancis l’etat c’est moi yang artinya Negara adalah saya. Kekuasaan yang gung binathara, bahu dhendha nyakrawati atau sebesar kekuasaan dewa pengendali hukum dan penguasa dunia.
Mestinya konsep kepemimpinan seperti itu saat ini sudah tidak berlaku lagi.
Namun yang kita tahu dan alami sekarang ini kian banyak saja pemimpin atau calon pemimpin yang masih mengikuti konsep di atas yang menyalahi tata kehidupan dan menjadikan korup, menyalah gunakan kekuasaan, berkolusi dengan pengusaha untuk memperkaya diri sendiri. Disatu pihak ada Jenderal yang punya duit seolah tanpa nomor seri, sementara di lain pihak ada Brigadir yang tidur di bekas kandang sapi. Terjadi kesenjangan yang sangat jauh dan tidak manusiawi. Lalu di mana rasa keadilan dan nurani?
Saat ini paling sulit mencari sosok pemimpin yang benar-benar tulus, bersih tanpa cela. Memang mereka bukan Malaikat, tetapi paling tidak bekerja dengan tulus, bersih hati nuraninya dan punya niat untuk berbakti pada negeri. Konon rupanya korupsi sudah merupakan produk kebudayaan yang begitu kuat menggerogoti sistem kekuasaan dan kepemimpinan. Kokohnya pilar korupsi itu karena dukungan dan dorongan oleh siapapun yang mempunyai kepentingan, sehingga bisa menimbulkan istilah korupsi berjamaah.
Coma simak seorang seniman yang setengah putus asa mengahadapi situasi dan kondisi negeri ini hingga berani mempelesetkan tembang Sinom Serat Kalatidha jaman edan menjadi:
amenangi jaman maling, (mengalami jaman maling)
ayo padha dadi maling (mari menjadi maling)
yen tan melu maling, (kalau tidak ikut maling)
bakale dimalingi (nantinya akan di malingi)
mula padha elinga (oleh karena itu ingatlah)
maling ra maling tetepa maling (maling tidak maling tetap maling)
sak begja-begjane kang ora maling (seberuntungnya orang yang tidak maling)
luwih begja kang maling kanthi waspada (lebih beruntung yang maling dengan waspada)
Komunitas maling tidak muncul begitu saja, karena akar budayanya memang memberikan peluang untuk itu. Cuma bedanya kalau maling jaman dulu itu maling karena kepepet butuh, atau kekurangan pangan maupun sandang. Jadi mereka menjadi maling itu karena terpaksa, kecuali yang memang profesinya maling. Tetapi saat ini orang maling itu bukan karena kekurangan, justru karena serakah. Menurut Abraham Samad ada seorang pejabat Negara yang gajinya 200 juta, ditambah tunjangan sebagai komisaris sebuah badan usaha 70 juta, serta tunjangan lain sehingga total 300 juta rupiah setiap bulan, artinya sehari digaji 10 juta rupiah. Lha, kok masih korupsi alias maling? Berarti pejabat Negara itu memang manusia yang serakah.
Menurut penuturan Jakob Sumardjo, maling di Jawa itu dulu memiliki banyak jenis seperti:
- maling aguna (maling yang sakti)
- maling arep (meminjam tetapi tidak mengembalikan)
- maling dhendheng (selingkuh dengan isteri orang lain)
- maling kondhe (membawa lari isteri orang lain)
- maling caluwed (bertindak sebagai penadah)
- maling genthiri (mencuri dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin)
- maling raja peni (mencuri milik Negara/Raja)
- maling timpuh (pemborong yang nyolong material)
- maling lamat (berjalan dalam gelap tanpa penerangan)
- maling tunggal labet (ikut menempati rumah maling)
- maling sekutu (berkomplot dengan maling)
- maling sadu (menyamar sebagai orang suci tetapi menipu orang lain)
- maling samun (menemukan barang milik orang lain tapi tidak dilaporkan)
Perubahan jaman melahirkan perubahan pola kepemimpinan pula, meski kepemimpinan itu tidak bisa bersih kembali. Dan mengubah kepemimpinan adalah sebuah keniscayaan.
Ingatlah sesanti ala Taman Siswa yang didengungkan jaman orde baru dulu :
- ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi contoh)
- ing madya mangun karsa (di tengah memberi inspirasi)
- tut wuri handayani (di belakang memberi dukungan)
Apakah bisa dilaksanakan? Waktu didengungkan pada jaman orde baru itupun ternyata cuma lip service saja dan tidak juga dapat dilaksanakan. Para pemimpin tutwuri alias ikut-ikutan saja karena pemimpin tertinggi juga tidak melaksanakan ajaran itu. Aneh, tapi nyata. Situasi Negara makin carut marut sehingga sekali lagi seorang seniman karena jengkelnya mempelesetkan sesanti itu menjadi:
- ing ngarsa sok kuwasa (didepan sok kuasa)
- ing madya numpuk bandha (di tengah menumpuk harta)
- tut wuri hanggrogoti (dari belakang ikut menggerogoti)
Padahal semestinya pemimpin yang ideal itu adalah: Pemimpin yang sepi ing pamrih rame ing gawe, mangayu-ayu hayuning bhawana (Tanpa pamrih untuk dirinya sendiri, bekerja keras untuk menyempurnakan dunia). Masyarakat anti korupsi semakin menyadari bahwa korupsi pada saat ini sudah mbalung sungsum dan membudaya. Untuk memberantasnya harus dilakukan revolusi mental, dimulai dari diri sendiri, apakah diri kita ini sudah bersih sama sekali dari niat korupsi walau cuma setitik. Kalu niat itu sudah hilang dan diri kita bebas dari niat tersebut maka memberantas korupsi merupakan keniscayaan sehingga pilar Budi Pekerti yang sudah runtuh itu secara perlahan tapi pasti, bisa ditegakkan kembali. Semoga! Oka Respati *dari berbagai sumber. Rawasemut, awal februari’15.
Dulu waktu saya masih duduk di bangku Sekolah Rakyat, walau nilai yang lain dapat angka 8 ke atas kalau nilai Budi Pekerti merah alias angka 5, sudah bisa dipastikan tidak akan naik kelas. Begitu pentingnya pelajaran Budi Pekerti pada waktu itu sehingga setiap murid berusaha untuk berkelakuan sebaik mungkin sehingga nilai di rapor nya tidak merah. Tetapi sejak pelajaran itu dihapus maka anak-anak mulai tidak mengenal lagi apa yang disebut tata krama dan unggah-ungguh. Padahal di Alkitab tertulis: “Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu.” (Mat.15: 4a)
Rasa hormat terhadap orang yang lebih tua dalam perilaku sehari-hari mulai menghilang sedikit-demi sedikit dan mencapai puncaknya ketika para Pemimpin Negara ini telah kehilangan pamor karena terjebak dalam dunia yang penuh rekayasa dan ketidak adilan yang bersumber pada kekuasaan. “Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah?” (I Kor.6: 9)
Belakangan ini bangsa Indonesia disibukkan oleh berbagai kepentingan yang lebih bersifat keduniawian sehingga melupakan kearifan dan pembentukan pekerti bangsa. Semua ini diakibatkan oleh pola kehidupan materialistik yang menghinggapi sebagian besar masyarakat sehingga berakibat pada terkikisnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Budaya kekerasan terjadi dimana-mana dari tawuran anak sekolah, perkelahian penduduk antar desa, pertikaian antar aparat bersenjata sampai perseteruan para pimpinan penegak hukum. Demikian juga dengan kesewenang-wenangan dan ketidak adilan yang dilakukan penguasa terhadap rakyat jelata. Yang memprihatinkan lagi adalah para pemimpin bangsa ini saling berlomba untuk menumpuk kekayaan dengan jalan menggerogoti uang rakyat alias korupsi. “Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat.” (Mzm.14: 3a)
Melihat situasi dan kondisi yang kita alami saat ini, teringat akan Serat Kalatidha karya agung Pujangga besar Keraton Surakarta Hadiningrat yaitu Raden Ngabehi Ranggawarsita yang berupa tembang Sinom yang di dalamnya terdapat ungkapan jaman edan, jaman yang penuh keanehan tingkah laku manusia yang menyimpang dari tatanan kehidupan seperti berikut:
amenangi jaman edan (mengalami jaman gila)
ewuh aya ing pambudi (serba salah dalam bertindak)
melu edan nora tahan (ikut gila tidak tahan)
yen tan melu anglakoni (kalau tidak ikut melakukan)
boya keduman melik (tidak akan kebagian apa-apa)
kaliren wekasanipun (akhirnya kelaparan)
dilalah kersa Allah (tetapi karena kehendak Tuhan)
begja-begjane kang lali (seberuntungnya orang yang lupa)
luwih begja kang eling lawan waspada (lebih beruntung orang yang tetap menjaga kesadaran dan kewaspadaan)
Budaya bangsa yang kita uri-uri, budaya yang adiluhung dan edi peni sebagai nilai-nilai kearifan lokal bahkan budaya yang santun, saling menghormati dan religius seakan-akan terkikis oleh gaya hidup yang instan dan modern. Sehingga mereka lupa akan adanya budaya yang adiluhung itu apalagi melestarikannya.
Masyarakat menjadi mudah terhasut, mudah marah, beringas dan kasar tanpa bisa mengendalikan diri. Kekecewaan akibat niatnya tidak kesampaian diwujudkannya dengan emosi dan kemarahan yang tak terkendali sehingga berakibat fatal.
Fenomena ini menunjukkan merosotnya nilai budi pekerti sebagai bangsa yang sabar, ramah- tamah, santun serta berbudi luhur. Sebagai suatu bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi dan kondisi yang demikian itu jelas sangat merugikan bagi masa depan bangsa terutama generasi muda kita. Kita berharap bahwa generasi mendatang menjadi bangsa yang
- cerdas dan bijaksana (mursid)
- trampil dan cendekia (sugih kagunan lan pangawikan)
- berbudi pekerti luhur (luhuring budi)
- berperadaban mulia (kamulyaning gesang)
Oleh karena itu dibutuhkan paradigma pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada kearifan budaya dan budi pekerti luhur, dan itu diperlukan revolusi mental.
Konsep kepemimpinan masa lalu yang bertumpu pada wenang wisesa ing sanagari atau berkuasa di seluruh negeri, senada dengan ungkapan Louis XIV dari Perancis l’etat c’est moi yang artinya Negara adalah saya. Kekuasaan yang gung binathara, bahu dhendha nyakrawati atau sebesar kekuasaan dewa pengendali hukum dan penguasa dunia.
Mestinya konsep kepemimpinan seperti itu saat ini sudah tidak berlaku lagi.
Namun yang kita tahu dan alami sekarang ini kian banyak saja pemimpin atau calon pemimpin yang masih mengikuti konsep di atas yang menyalahi tata kehidupan dan menjadikan korup, menyalah gunakan kekuasaan, berkolusi dengan pengusaha untuk memperkaya diri sendiri. Disatu pihak ada Jenderal yang punya duit seolah tanpa nomor seri, sementara di lain pihak ada Brigadir yang tidur di bekas kandang sapi. Terjadi kesenjangan yang sangat jauh dan tidak manusiawi. Lalu di mana rasa keadilan dan nurani?
Saat ini paling sulit mencari sosok pemimpin yang benar-benar tulus, bersih tanpa cela. Memang mereka bukan Malaikat, tetapi paling tidak bekerja dengan tulus, bersih hati nuraninya dan punya niat untuk berbakti pada negeri. Konon rupanya korupsi sudah merupakan produk kebudayaan yang begitu kuat menggerogoti sistem kekuasaan dan kepemimpinan. Kokohnya pilar korupsi itu karena dukungan dan dorongan oleh siapapun yang mempunyai kepentingan, sehingga bisa menimbulkan istilah korupsi berjamaah.
Coma simak seorang seniman yang setengah putus asa mengahadapi situasi dan kondisi negeri ini hingga berani mempelesetkan tembang Sinom Serat Kalatidha jaman edan menjadi:
amenangi jaman maling, (mengalami jaman maling)
ayo padha dadi maling (mari menjadi maling)
yen tan melu maling, (kalau tidak ikut maling)
bakale dimalingi (nantinya akan di malingi)
mula padha elinga (oleh karena itu ingatlah)
maling ra maling tetepa maling (maling tidak maling tetap maling)
sak begja-begjane kang ora maling (seberuntungnya orang yang tidak maling)
luwih begja kang maling kanthi waspada (lebih beruntung yang maling dengan waspada)
Komunitas maling tidak muncul begitu saja, karena akar budayanya memang memberikan peluang untuk itu. Cuma bedanya kalau maling jaman dulu itu maling karena kepepet butuh, atau kekurangan pangan maupun sandang. Jadi mereka menjadi maling itu karena terpaksa, kecuali yang memang profesinya maling. Tetapi saat ini orang maling itu bukan karena kekurangan, justru karena serakah. Menurut Abraham Samad ada seorang pejabat Negara yang gajinya 200 juta, ditambah tunjangan sebagai komisaris sebuah badan usaha 70 juta, serta tunjangan lain sehingga total 300 juta rupiah setiap bulan, artinya sehari digaji 10 juta rupiah. Lha, kok masih korupsi alias maling? Berarti pejabat Negara itu memang manusia yang serakah.
Menurut penuturan Jakob Sumardjo, maling di Jawa itu dulu memiliki banyak jenis seperti:
- maling aguna (maling yang sakti)
- maling arep (meminjam tetapi tidak mengembalikan)
- maling dhendheng (selingkuh dengan isteri orang lain)
- maling kondhe (membawa lari isteri orang lain)
- maling caluwed (bertindak sebagai penadah)
- maling genthiri (mencuri dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin)
- maling raja peni (mencuri milik Negara/Raja)
- maling timpuh (pemborong yang nyolong material)
- maling lamat (berjalan dalam gelap tanpa penerangan)
- maling tunggal labet (ikut menempati rumah maling)
- maling sekutu (berkomplot dengan maling)
- maling sadu (menyamar sebagai orang suci tetapi menipu orang lain)
- maling samun (menemukan barang milik orang lain tapi tidak dilaporkan)
Perubahan jaman melahirkan perubahan pola kepemimpinan pula, meski kepemimpinan itu tidak bisa bersih kembali. Dan mengubah kepemimpinan adalah sebuah keniscayaan.
Ingatlah sesanti ala Taman Siswa yang didengungkan jaman orde baru dulu :
- ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi contoh)
- ing madya mangun karsa (di tengah memberi inspirasi)
- tut wuri handayani (di belakang memberi dukungan)
Apakah bisa dilaksanakan? Waktu didengungkan pada jaman orde baru itupun ternyata cuma lip service saja dan tidak juga dapat dilaksanakan. Para pemimpin tutwuri alias ikut-ikutan saja karena pemimpin tertinggi juga tidak melaksanakan ajaran itu. Aneh, tapi nyata. Situasi Negara makin carut marut sehingga sekali lagi seorang seniman karena jengkelnya mempelesetkan sesanti itu menjadi:
- ing ngarsa sok kuwasa (didepan sok kuasa)
- ing madya numpuk bandha (di tengah menumpuk harta)
- tut wuri hanggrogoti (dari belakang ikut menggerogoti)
Padahal semestinya pemimpin yang ideal itu adalah: Pemimpin yang sepi ing pamrih rame ing gawe, mangayu-ayu hayuning bhawana (Tanpa pamrih untuk dirinya sendiri, bekerja keras untuk menyempurnakan dunia). Masyarakat anti korupsi semakin menyadari bahwa korupsi pada saat ini sudah mbalung sungsum dan membudaya. Untuk memberantasnya harus dilakukan revolusi mental, dimulai dari diri sendiri, apakah diri kita ini sudah bersih sama sekali dari niat korupsi walau cuma setitik. Kalu niat itu sudah hilang dan diri kita bebas dari niat tersebut maka memberantas korupsi merupakan keniscayaan sehingga pilar Budi Pekerti yang sudah runtuh itu secara perlahan tapi pasti, bisa ditegakkan kembali. Semoga! Oka Respati *dari berbagai sumber. Rawasemut, awal februari’15.
Persembahan Persepuluhan
Pengertian
Persembahan persepuluhan atau perpuluhan adalah ungkapan syukur dari warga gereja kepada Tuhan atas anugerah keselamatan dan pemeliharaan yang telah diterimanya. Dalam Perjanjian Lama persembahan sering juga disebut korban. Cara yang dipakai waktu itu adalah memberikan persembahan dengan jalan dibakar, oleh sebab itu disebut juga korban bakaran. Disamping itu juga ada korban sembelihan dan korban wewangian. Memberikan persembahan dengan cara dibakar ini melambangkan penyerahan diri secara total. Dengan melihat hal itu maka persembahan menempati bagian yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Israel. Memang kemudian hari ada perubahan mengenai persembahan ini di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, namun prinsipnya tetap sama sepanjang masa.
Persepuluhan dalam Perjanjian Lama
Pada kisah pemanggilan Abraham, ia juga mendirikan mezbah bagi Tuhan dan memberikan persembahan dengan sukarela tanpa paksaan dari Tuhan. Hal ini sebagai ungkapan rasa syukur karena telah dipanggil dan ucapan terima kasih atas penyertaan Tuhan sehingga ia bisa mengalahkan musuhnya.
Penyerahan persepuluhan yang diperoleh Abraham sebagai rampasan perang kepada Melkisedek raja dan imam di Salem lebih bersifat sebagai tanda penghormatan. Melkisedek membawa roti dan anggur sebagai santapan sakramental dalam merayakan pengucapan syukur kepada Tuhan karena telah menganugerahkan kemenangan kapada Abraham atas musuh-musuhnya. Di sini Abraham memberikan penghormatan kepada Imam Allah yang telah memihak kepada Abraham dan memberikan kemenangan kepadanya. (Kejadian 14: 17-20)
Ketika Yakub akan memulai pengembaraannya ke Mesopotamia, setelah menerima janji penyertaan Tuhan dalam mimpi pada malam sebelumnya ia bernazar:
“Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan aku roti untuk dimakan, dan pakaian untuk dipakai, sehingga aku selamat kembali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku. Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu.” (Kejadian 28: 20-22)
Pemberian Persepuluhan sebagai persembahan syukur ini kemudian dalam sejarah Israel diatur dan ditentukan dalam tatanan persembahan persepuluhan. Buah sulung dari panen dan hasil ternak diantarkan ke tempat kudus, dan dimakan bersama dalam pesta rakyat yang diikuti oleh keluarga dan para hamba, dipimpin oleh imam dari keturunan suku Lewi. Hal serupa mengingatkan pada adat di kampung saya di Jawa dulu, bulir-bulir padi hasil panen pertama yang disebut penganten padi itu dipersembahkan kepada Dewi Sri, Dewanya padi. Kemudian diteruskan makan bersama sega golong dan urap di pematang sawah tempat padi dipanen, dipimpin oleh seorang tua-tua kampung.
Setiap tiga tahun sekali persepuluhan dihimpun di wilayah masing-masing, serta dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan suku Lewi, untuk orang-orang asing yang datang berkunjung, untuk anak yatim-piatu dan para janda. Ini merupakan awal dari pemanfaatan persepuluhan secara baru bagi tujuan-tujuan pertolongan dan belas kasihan. Di kemudian hari pemanfaatan persembahan seperti ini sangat mempengaruhi perkembangan pelayanan oleh gereja sebagai program diakonia.
Kalau sebelumnya persembahan persepuluhan itu diberikan dengan sukarela dan spontan, tetapi ketika jaman Taurat maka persembahan persepuluhan kepada Tuhan itu lalu menjadi ketetapan dan kewajiban yang harus ditaati oleh bangsa Israel. (Imamat 27: 30). Rejeki yang didapat oleh bangsa Israel itu adalah berkat dan anugerah dari Tuhan. Kemudian sepersepuluh bagian itu dikembalikan kepada Tuhan sebagai wujud terimakasih, karena penyertaan Tuhan. (Maleakhi 3: 8, 10)
Sebenarnya persembahan persepuluhan yang diberikan atau dipersembahkan itu dikhususkan untuk suku Lewi yang menjadi imam-imam bangsa Israel. Suku Lewi yang mengurusi hidup keagamaan tersebut merupakan jabatan penuh, sehingga mereka mendapat kesempatan untuk bekerja. Oleh karena itu mereka harus diurusi oleh orang-orang Israel. Inilah yang disebut persepuluhan pertama.
Persembahan persepuluhan diperlukan untuk ibadah yang diberikan pada waktu hari raya. Yang dipersembahkan adalah sepersepuluh dari seluruh hasil benih yang tumbuh di ladang tahun demi tahun. Tujuannya supaya bangsa Israel takut akan Tuhan. Persepuluhan ini dimakan oleh si pemberi dengan keluarganya serta tidak melupakan suku Lewi. (Ul. 14: 22-27) Inilah yang disebut persepuluhan kedua.
Sedangkan persembahan berikutnya adalah yang dipersembahkan pada akhir tahun ketiga, sehingga suku Lewi yang tidak memiliki harta pusaka, orang asing, anak yatim piatu dan janda dapat diundang untuk ikut makan bersama. (Ul. 14: 28-29). Inilah yang disebut persepuluhan ketiga.
Sesungguhnya asal mula persembahan persepuluhan maupun hasil pertama dari ladang merupakan dorongan untuk mengekspresikan keyakinan bahwa segala harta yang dimiliki manusia, pada akhirnya merupakan kepunyaan Allah.
Persepuluhan dalam Perjanjian Baru
Kedatangan Tuhan Yesus adalah untuk menggenapi Hukum Taurat. Oleh sebab itu ketika orang-orang Farisi bersama orang Herodian datang kepadanya dan mengajukan pertanyaan tentang diperbolehkan atau tidak membayar pajak kepada Kaisar, jawab Yesus kepadanya. “ . . . Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat. 22: 21)
Di sini Tuhan Yesus menyatakan kepedulian akan peraturan pemerintah serta kewajiban manusia untuk memberi persembahan persepuluhan kepada Allah. Pada jaman Rasul Paulus, ia memberi pengajaran kepada jemaat di Korintus hal motivasi memberikan persembahan yang berkenan dihadapan Tuhan.
“Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu.” (II Korintus 8: 12)
Rasul Paulus dalam surat-suratnya tidak menyebut secara khusus mengenai persepuluhan. Paulus memang menyebut tentang pelayanan kasih yang dilakukan jemaat di Makedonia dan Yunani untuk menolong jemaat di Yerusalem. Hal ini menimbulkan tanda tanya dan rasa ingin tahu, bagaimana Paulus yang mantan orang Farisi yang sangat mengenal Taurat tidak mengulas secara khusus mengenai persembahan persepuluhan dan mengkaitkannya dengan Injil yang ia beritakan, dalam surat-suratnya yang demikian banyak.
Dapat kita baca di Perjanjian Baru bahwa disitu tidak menyajikan pengulasan yang lengkap dan menyeluruh mengenai persembahan persepuluhan. Namun demikian kita dapat mengatakan bahwa persembahan persepuluhan adalah bagian integral dari Perjanjian Baru.
Setelah Tuhan Yesus wafat, dalam kehidupan Gereja dan orang Kristen, persembahan korban itu sudah tidak ada lagi karena korban sudah digenapi oleh pengorbanan Yesus di kayu salib. Ketika Tuhan Yesus sudah mengorbankan diri-Nya, persembahan yang diberikan oleh orang percaya menjadi konsekuensi logis dari orang-orang yang sudah diselamatkan oleh darah Tuhan Yesus. Motivasi untuk memberikan persembahan bukanlah untuk mendapatkan surga, karena Kristus sudah memperolehnya bagi kita.
Tetapi karena Tuhan memerintahkan kita untuk memberikan persembahan dengan sukarela tanpa paksaan. “Hendaklah masing-masing memberi dengan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (II Korintus 9: 7-8)
Persembahan akan berkenan di hadapan Tuhan apabila disertai niat yang benar dan sesuai dengan berkat Tuhan. Yang akan dilihat oleh Tuhan adalah niat kita dalam memberikan persembahan. Persembahan yang diberikan harus seimbang dengan berkat yang telah Tuhan limpahkan dalam kehidupan sehari-hari dan dilakukan dengan sukarela tanpa paksaan.
Persembahan persepuluhan masa kini
Belakangan ini ada dorongan yang kuat di kalangan umat Kristen agar ada pemahaman ulang mengenai persepuluhan agar dikembangkan atas dasar dialektika antara Taurat dan Injil. Tetapi dalam pemahaman antara keduanya, pada akhirnya Taurat senantiasa diatasi oleh Injil. “Jadi bagaimana sekarang, apakah Ia yang menganugerahkan Roh kepada kamu dengan berlimpah-limpah dan yang melakukan mujizat di antara kamu, berbuat demikian karena kamu melakukan hukum Taurat atau karena kamu percaya kepada pemberitaan Injil?” (Galatia 3: 5)
Gereja tidak mengenal sistem atau aturan tentang persembahan, karena gereja tidak memandang persepuluhan sebagai sebuah ukuran wajib. Perjanjian Baru menegaskan bahwa kehidupan seutuhnya yang dilakukan dengan ungkapan syukur sebagai persembahan yang layak, sehingga persembahan persepuluhan pun tak dipersoalkan lagi.
Kesadaran warga jemaat akan persembahan memang menjadi kekuatan dalam kehidupan gereja yang mandiri. Adalah sebuah tanggung jawab dari gereja untuk mengingatkan warganya dalam mempersembahkan dengan cara-cara yang benar. Namun demikian adalah merupakan panggilan juga bagi para pemimpinnya untuk memberi teladan dan menunjukkan tanggung jawab dalam mengelola persembahan yang benar.
Kalau warga gereja ingin memberikan persembahan, biarlah karena mereka memang mempunyai kesadaran dan rindu untuk melakukannya dan bukan karena kewajiban semata. Biarlah mereka memberikan persembahan, bukan untuk memancing berkat tetapi karena bersyukur atas berkat yang diterimanya. “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” (II Kor. 9: 6)
Banyak orang yang salah menafsirkan ayat di atas, bahwa dengan memberikan persembahan yang banyak maka akan mendapatkan rejeki yang banyak pula. Itu namanya bukan persembahan dengan suka rela tetapi persembahan sebagai pancingan dengan harapan.
Persembahan di gereja kita
Persembahan dari warga jemaat tidak diatur secara khusus, namun dalam Tata Laksana GKJ Pasal 20 tentang Kekayaan Gereja tertulis. Kekayaan Gereja diperoleh dari persembahan warga gereja sebagai salah satu kewajibannya yang berupa uang dan barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak.
Persembahan berupa uang terdiri dari persembahan Mingguan, Bulanan/persepuluhan, Pembangunan dan Persembahan Istimewa yang meliputi Baptis, Pernikahan, Hari Raya Kristen, Undhuh-undhuh, Ucapan syukur berkaitan dengan peristiwa khusus dll.
Persembahan barang berupa barang tidak bergerak dan barang bergerak. Disamping itu juga ada sumbangan-sumbangan yang tidak mengikat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Alkitabiah serta usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Alkitabiah.
Siapakah warga jemaat yang mempunyai kewajiban untuk memberikan persembahan? Setiap warga gereja yang telah dewasa, yaitu mereka yang telah menerima sakramen baptis dewasa atau angkat sidhi. Dalam pertelaan Sinode GKJ menjelaskan bahwa kepada setiap orang yang dibaptis dewasa/sidhi, pendeta menyampaikan sebagai berikut: “Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, saya menerima saudara sebagai anggota dewasa, mempersilakan saudara untuk berperanserta dan bertanggungjawab dalam kehidupan jemaat.” Bertanggung jawab dalam kehidupan jemaat, termasuk didalamnya bertanggung jawab dalam memberikan persembahan.
Dalam laporannya pada Rapat Jemaat yang lalu Ketua Majelis menjelaskan bahwa masih ada sekitar 40% warga jemaat yang belum memberikan Persembahan Bulanan/persepuluhan. Dari jumlah warga dewasa sebesar 1.800 orang baru sekitar 1080 orang saja yang memberikan persembahan bulanan secara rutin. Lalu yang 720 orang lainnya mengapa dan kemana? Andaikata seluruh jemaat dewasa bisa memberikan persembahan bulanan seluruhnya maka majelis tidak akan kesulitan mencapai target anggaran sehingga Komisi, Bebadan dsb. bisa mendapatkan anggaran sesuai programnya. Oleh karena itu Ketua Majelis menghimbau dan mengharap mereka yang belum mengerti atau lupa bisa memberikan persembahannya.
Hal ini terjadi karena sebagian warga jemaat kemungkinan belum memahami tentang pentingnya persembahan bulanan.
Di samping itu juga karena sebagian jemaat tidak aktif lagi bergereja di Gereja kita tetapi memilih aktif di gereja lain. Tetapi ketika diminta untuk pindah dengan surat atestasi keluar mereka keberatan dengan berbagai alasan yang kurang bisa dimengerti. Kalau dicoret begitu saja sebagai anggota rasanya kok kebangeten, tetapi kalau dibiarkan saja rasanya kok mereka itu ya kebangeten juga. Padahal sebagai warga gereja mereka merasa masih mempunyai hak mendapat pelayanan baik jasmani maupun rohani, sementara kewajibannya sebagai warga gereja yang antara lain mendukung dana melalui persembahan tidak dilaksanakan. Ini namanya kan golek menange dhewe.
Hal ini sangat merepotkan majelis dalam pelayanan, seperti beberapa kasus yang terjadi, mereka akan datang ke gereja hanya kalau mempunyai kepentingan saja seperti mau menikahkan anaknya atau kematian anggota keluarganya dsb. Bahkan pernah terjadi seorang warga jemaat yang sudah belasan tahun tidak pernah ke gereja, tiba-tiba ketika meninggal minta dilayani oleh gereja. Majelis setempat tidak mengenal orang itu tetapi keluarganya menyebutkan bahwa almarhum masih tercatat sebagai anggota gereja kita lengkap dengan nomor induknya. Mau tidak mau, suka tidak suka, Majelis harus melayani dengan sukacita. Tuhan memberkati. *dari berbagai sumber. Gunungsindur, Februari’15.
Persembahan persepuluhan atau perpuluhan adalah ungkapan syukur dari warga gereja kepada Tuhan atas anugerah keselamatan dan pemeliharaan yang telah diterimanya. Dalam Perjanjian Lama persembahan sering juga disebut korban. Cara yang dipakai waktu itu adalah memberikan persembahan dengan jalan dibakar, oleh sebab itu disebut juga korban bakaran. Disamping itu juga ada korban sembelihan dan korban wewangian. Memberikan persembahan dengan cara dibakar ini melambangkan penyerahan diri secara total. Dengan melihat hal itu maka persembahan menempati bagian yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Israel. Memang kemudian hari ada perubahan mengenai persembahan ini di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, namun prinsipnya tetap sama sepanjang masa.
Persepuluhan dalam Perjanjian Lama
Pada kisah pemanggilan Abraham, ia juga mendirikan mezbah bagi Tuhan dan memberikan persembahan dengan sukarela tanpa paksaan dari Tuhan. Hal ini sebagai ungkapan rasa syukur karena telah dipanggil dan ucapan terima kasih atas penyertaan Tuhan sehingga ia bisa mengalahkan musuhnya.
Penyerahan persepuluhan yang diperoleh Abraham sebagai rampasan perang kepada Melkisedek raja dan imam di Salem lebih bersifat sebagai tanda penghormatan. Melkisedek membawa roti dan anggur sebagai santapan sakramental dalam merayakan pengucapan syukur kepada Tuhan karena telah menganugerahkan kemenangan kapada Abraham atas musuh-musuhnya. Di sini Abraham memberikan penghormatan kepada Imam Allah yang telah memihak kepada Abraham dan memberikan kemenangan kepadanya. (Kejadian 14: 17-20)
Ketika Yakub akan memulai pengembaraannya ke Mesopotamia, setelah menerima janji penyertaan Tuhan dalam mimpi pada malam sebelumnya ia bernazar:
“Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan aku roti untuk dimakan, dan pakaian untuk dipakai, sehingga aku selamat kembali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku. Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu.” (Kejadian 28: 20-22)
Pemberian Persepuluhan sebagai persembahan syukur ini kemudian dalam sejarah Israel diatur dan ditentukan dalam tatanan persembahan persepuluhan. Buah sulung dari panen dan hasil ternak diantarkan ke tempat kudus, dan dimakan bersama dalam pesta rakyat yang diikuti oleh keluarga dan para hamba, dipimpin oleh imam dari keturunan suku Lewi. Hal serupa mengingatkan pada adat di kampung saya di Jawa dulu, bulir-bulir padi hasil panen pertama yang disebut penganten padi itu dipersembahkan kepada Dewi Sri, Dewanya padi. Kemudian diteruskan makan bersama sega golong dan urap di pematang sawah tempat padi dipanen, dipimpin oleh seorang tua-tua kampung.
Setiap tiga tahun sekali persepuluhan dihimpun di wilayah masing-masing, serta dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan suku Lewi, untuk orang-orang asing yang datang berkunjung, untuk anak yatim-piatu dan para janda. Ini merupakan awal dari pemanfaatan persepuluhan secara baru bagi tujuan-tujuan pertolongan dan belas kasihan. Di kemudian hari pemanfaatan persembahan seperti ini sangat mempengaruhi perkembangan pelayanan oleh gereja sebagai program diakonia.
Kalau sebelumnya persembahan persepuluhan itu diberikan dengan sukarela dan spontan, tetapi ketika jaman Taurat maka persembahan persepuluhan kepada Tuhan itu lalu menjadi ketetapan dan kewajiban yang harus ditaati oleh bangsa Israel. (Imamat 27: 30). Rejeki yang didapat oleh bangsa Israel itu adalah berkat dan anugerah dari Tuhan. Kemudian sepersepuluh bagian itu dikembalikan kepada Tuhan sebagai wujud terimakasih, karena penyertaan Tuhan. (Maleakhi 3: 8, 10)
Sebenarnya persembahan persepuluhan yang diberikan atau dipersembahkan itu dikhususkan untuk suku Lewi yang menjadi imam-imam bangsa Israel. Suku Lewi yang mengurusi hidup keagamaan tersebut merupakan jabatan penuh, sehingga mereka mendapat kesempatan untuk bekerja. Oleh karena itu mereka harus diurusi oleh orang-orang Israel. Inilah yang disebut persepuluhan pertama.
Persembahan persepuluhan diperlukan untuk ibadah yang diberikan pada waktu hari raya. Yang dipersembahkan adalah sepersepuluh dari seluruh hasil benih yang tumbuh di ladang tahun demi tahun. Tujuannya supaya bangsa Israel takut akan Tuhan. Persepuluhan ini dimakan oleh si pemberi dengan keluarganya serta tidak melupakan suku Lewi. (Ul. 14: 22-27) Inilah yang disebut persepuluhan kedua.
Sedangkan persembahan berikutnya adalah yang dipersembahkan pada akhir tahun ketiga, sehingga suku Lewi yang tidak memiliki harta pusaka, orang asing, anak yatim piatu dan janda dapat diundang untuk ikut makan bersama. (Ul. 14: 28-29). Inilah yang disebut persepuluhan ketiga.
Sesungguhnya asal mula persembahan persepuluhan maupun hasil pertama dari ladang merupakan dorongan untuk mengekspresikan keyakinan bahwa segala harta yang dimiliki manusia, pada akhirnya merupakan kepunyaan Allah.
Persepuluhan dalam Perjanjian Baru
Kedatangan Tuhan Yesus adalah untuk menggenapi Hukum Taurat. Oleh sebab itu ketika orang-orang Farisi bersama orang Herodian datang kepadanya dan mengajukan pertanyaan tentang diperbolehkan atau tidak membayar pajak kepada Kaisar, jawab Yesus kepadanya. “ . . . Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat. 22: 21)
Di sini Tuhan Yesus menyatakan kepedulian akan peraturan pemerintah serta kewajiban manusia untuk memberi persembahan persepuluhan kepada Allah. Pada jaman Rasul Paulus, ia memberi pengajaran kepada jemaat di Korintus hal motivasi memberikan persembahan yang berkenan dihadapan Tuhan.
“Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu.” (II Korintus 8: 12)
Rasul Paulus dalam surat-suratnya tidak menyebut secara khusus mengenai persepuluhan. Paulus memang menyebut tentang pelayanan kasih yang dilakukan jemaat di Makedonia dan Yunani untuk menolong jemaat di Yerusalem. Hal ini menimbulkan tanda tanya dan rasa ingin tahu, bagaimana Paulus yang mantan orang Farisi yang sangat mengenal Taurat tidak mengulas secara khusus mengenai persembahan persepuluhan dan mengkaitkannya dengan Injil yang ia beritakan, dalam surat-suratnya yang demikian banyak.
Dapat kita baca di Perjanjian Baru bahwa disitu tidak menyajikan pengulasan yang lengkap dan menyeluruh mengenai persembahan persepuluhan. Namun demikian kita dapat mengatakan bahwa persembahan persepuluhan adalah bagian integral dari Perjanjian Baru.
Setelah Tuhan Yesus wafat, dalam kehidupan Gereja dan orang Kristen, persembahan korban itu sudah tidak ada lagi karena korban sudah digenapi oleh pengorbanan Yesus di kayu salib. Ketika Tuhan Yesus sudah mengorbankan diri-Nya, persembahan yang diberikan oleh orang percaya menjadi konsekuensi logis dari orang-orang yang sudah diselamatkan oleh darah Tuhan Yesus. Motivasi untuk memberikan persembahan bukanlah untuk mendapatkan surga, karena Kristus sudah memperolehnya bagi kita.
Tetapi karena Tuhan memerintahkan kita untuk memberikan persembahan dengan sukarela tanpa paksaan. “Hendaklah masing-masing memberi dengan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (II Korintus 9: 7-8)
Persembahan akan berkenan di hadapan Tuhan apabila disertai niat yang benar dan sesuai dengan berkat Tuhan. Yang akan dilihat oleh Tuhan adalah niat kita dalam memberikan persembahan. Persembahan yang diberikan harus seimbang dengan berkat yang telah Tuhan limpahkan dalam kehidupan sehari-hari dan dilakukan dengan sukarela tanpa paksaan.
Persembahan persepuluhan masa kini
Belakangan ini ada dorongan yang kuat di kalangan umat Kristen agar ada pemahaman ulang mengenai persepuluhan agar dikembangkan atas dasar dialektika antara Taurat dan Injil. Tetapi dalam pemahaman antara keduanya, pada akhirnya Taurat senantiasa diatasi oleh Injil. “Jadi bagaimana sekarang, apakah Ia yang menganugerahkan Roh kepada kamu dengan berlimpah-limpah dan yang melakukan mujizat di antara kamu, berbuat demikian karena kamu melakukan hukum Taurat atau karena kamu percaya kepada pemberitaan Injil?” (Galatia 3: 5)
Gereja tidak mengenal sistem atau aturan tentang persembahan, karena gereja tidak memandang persepuluhan sebagai sebuah ukuran wajib. Perjanjian Baru menegaskan bahwa kehidupan seutuhnya yang dilakukan dengan ungkapan syukur sebagai persembahan yang layak, sehingga persembahan persepuluhan pun tak dipersoalkan lagi.
Kesadaran warga jemaat akan persembahan memang menjadi kekuatan dalam kehidupan gereja yang mandiri. Adalah sebuah tanggung jawab dari gereja untuk mengingatkan warganya dalam mempersembahkan dengan cara-cara yang benar. Namun demikian adalah merupakan panggilan juga bagi para pemimpinnya untuk memberi teladan dan menunjukkan tanggung jawab dalam mengelola persembahan yang benar.
Kalau warga gereja ingin memberikan persembahan, biarlah karena mereka memang mempunyai kesadaran dan rindu untuk melakukannya dan bukan karena kewajiban semata. Biarlah mereka memberikan persembahan, bukan untuk memancing berkat tetapi karena bersyukur atas berkat yang diterimanya. “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” (II Kor. 9: 6)
Banyak orang yang salah menafsirkan ayat di atas, bahwa dengan memberikan persembahan yang banyak maka akan mendapatkan rejeki yang banyak pula. Itu namanya bukan persembahan dengan suka rela tetapi persembahan sebagai pancingan dengan harapan.
Persembahan di gereja kita
Persembahan dari warga jemaat tidak diatur secara khusus, namun dalam Tata Laksana GKJ Pasal 20 tentang Kekayaan Gereja tertulis. Kekayaan Gereja diperoleh dari persembahan warga gereja sebagai salah satu kewajibannya yang berupa uang dan barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak.
Persembahan berupa uang terdiri dari persembahan Mingguan, Bulanan/persepuluhan, Pembangunan dan Persembahan Istimewa yang meliputi Baptis, Pernikahan, Hari Raya Kristen, Undhuh-undhuh, Ucapan syukur berkaitan dengan peristiwa khusus dll.
Persembahan barang berupa barang tidak bergerak dan barang bergerak. Disamping itu juga ada sumbangan-sumbangan yang tidak mengikat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Alkitabiah serta usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Alkitabiah.
Siapakah warga jemaat yang mempunyai kewajiban untuk memberikan persembahan? Setiap warga gereja yang telah dewasa, yaitu mereka yang telah menerima sakramen baptis dewasa atau angkat sidhi. Dalam pertelaan Sinode GKJ menjelaskan bahwa kepada setiap orang yang dibaptis dewasa/sidhi, pendeta menyampaikan sebagai berikut: “Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, saya menerima saudara sebagai anggota dewasa, mempersilakan saudara untuk berperanserta dan bertanggungjawab dalam kehidupan jemaat.” Bertanggung jawab dalam kehidupan jemaat, termasuk didalamnya bertanggung jawab dalam memberikan persembahan.
Dalam laporannya pada Rapat Jemaat yang lalu Ketua Majelis menjelaskan bahwa masih ada sekitar 40% warga jemaat yang belum memberikan Persembahan Bulanan/persepuluhan. Dari jumlah warga dewasa sebesar 1.800 orang baru sekitar 1080 orang saja yang memberikan persembahan bulanan secara rutin. Lalu yang 720 orang lainnya mengapa dan kemana? Andaikata seluruh jemaat dewasa bisa memberikan persembahan bulanan seluruhnya maka majelis tidak akan kesulitan mencapai target anggaran sehingga Komisi, Bebadan dsb. bisa mendapatkan anggaran sesuai programnya. Oleh karena itu Ketua Majelis menghimbau dan mengharap mereka yang belum mengerti atau lupa bisa memberikan persembahannya.
Hal ini terjadi karena sebagian warga jemaat kemungkinan belum memahami tentang pentingnya persembahan bulanan.
Di samping itu juga karena sebagian jemaat tidak aktif lagi bergereja di Gereja kita tetapi memilih aktif di gereja lain. Tetapi ketika diminta untuk pindah dengan surat atestasi keluar mereka keberatan dengan berbagai alasan yang kurang bisa dimengerti. Kalau dicoret begitu saja sebagai anggota rasanya kok kebangeten, tetapi kalau dibiarkan saja rasanya kok mereka itu ya kebangeten juga. Padahal sebagai warga gereja mereka merasa masih mempunyai hak mendapat pelayanan baik jasmani maupun rohani, sementara kewajibannya sebagai warga gereja yang antara lain mendukung dana melalui persembahan tidak dilaksanakan. Ini namanya kan golek menange dhewe.
Hal ini sangat merepotkan majelis dalam pelayanan, seperti beberapa kasus yang terjadi, mereka akan datang ke gereja hanya kalau mempunyai kepentingan saja seperti mau menikahkan anaknya atau kematian anggota keluarganya dsb. Bahkan pernah terjadi seorang warga jemaat yang sudah belasan tahun tidak pernah ke gereja, tiba-tiba ketika meninggal minta dilayani oleh gereja. Majelis setempat tidak mengenal orang itu tetapi keluarganya menyebutkan bahwa almarhum masih tercatat sebagai anggota gereja kita lengkap dengan nomor induknya. Mau tidak mau, suka tidak suka, Majelis harus melayani dengan sukacita. Tuhan memberkati. *dari berbagai sumber. Gunungsindur, Februari’15.
Harapan Saat Tua
Melihat seorang anak yang sering mengerjakan soal Fisika menjadi mahir dalam menyelesaikan banyak soal Fisika, namun kadang bisa memperoleh hasil yang salah karena keliru menempatkan rumusnya atau lupa memeriksa ulang hasil pekerjaannya. Bukankah kita juga kadang seperti anak tersebut di dalam hidup kekristenan kita, banyak hal baik yang diketahui dari firman Allah yang dibaca dari Alkitab tertapi justru melakukan sebaliknya, ingat apa yang Efesus ungkapkan “Karna itu perhatikan dengan seksama bagaimana kamu hidup jangan seperti orang bebal tetapi seperti orang arif” (Efesus 5 : 15).
Kehidupan yang kita jalani ini tidaklah penting yang paling penting sikap kita dalam menghadapi hidup ini terutama di saat-saat badai kehidupan itu muncul, kadang kita merasa mustahil tapi kita mendapat jawaban di Lukas 18 : 27 “Kata Yesus apa yang tidak mungkin bagi manusia mungkin bagi Allah”.
Kadang terasa hidup ini melelahkan tapi ingat Allah memberi kelegaan “Marilah kepadaku semua yang letih lesu dan berbeban berat Aku akan memberi kelegaan kepadamu” Mat 11: 28-30, kadang kita merasa kuatir dan cemas, ingat Allah memelihara kita “Serahkan segala kekuatiranmu kepadaNya sebab ia yang memelihara kamu” 1 Pet 5 : 27, kadang merasa sendirian di dunia ini, Allah berjanji menemani “Sebab itu dengan yakin kita dapat berkata Tuhan adalah penolongku, Aku tidak akan takut apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku” Ibrani 13 : 6.
Bila kita merasakan pergumulan yang amat berat dan tak sanggup memikulnya maka tundukkan kepala berdoa dan berserah kepada Tuhan dan mohon petunjuk bagaimana jalan keluarnya dengan benar-benar berserah kepada Allah, maka Allah akan memberi jawabannya.
Perhatikan anak-anak yang dengan bangga menikmati noda telapak tangan dengan jemarinya yang ditinggalkan di pintu lift, sebaliknya petugas kebersihan jengkel harus membersihkan noda tersebut, kadang ada orang yang bangga telah dapat memuaskan perasaannya dengan meninggalkan noda di hati orang lain, ingat Allah pemilik diri manusia tidak berkenan akan apa yang dilakukan orang tersebut dan memang sifat manusia lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah (2 Tim 3 : 4) malah ada yang mengumpulkan Guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya (2 Tim 4 : 3).
Bagaimana mewujudkan pengharapan kita untuk dapat hidup yang berkenan pada Allah, marilah belajar seperti anak yang mahir mengerjakan soal fisika karena rajin berlatih yakni dengan lebih rajin berdoa lebih mempelajari firman Allah dengan membaca Alkitab sehingga dapat mengerti menjalani kehidupan ini dengan sikap yang benar seturut kehendaknya. Djani PAS.
Kehidupan yang kita jalani ini tidaklah penting yang paling penting sikap kita dalam menghadapi hidup ini terutama di saat-saat badai kehidupan itu muncul, kadang kita merasa mustahil tapi kita mendapat jawaban di Lukas 18 : 27 “Kata Yesus apa yang tidak mungkin bagi manusia mungkin bagi Allah”.
Kadang terasa hidup ini melelahkan tapi ingat Allah memberi kelegaan “Marilah kepadaku semua yang letih lesu dan berbeban berat Aku akan memberi kelegaan kepadamu” Mat 11: 28-30, kadang kita merasa kuatir dan cemas, ingat Allah memelihara kita “Serahkan segala kekuatiranmu kepadaNya sebab ia yang memelihara kamu” 1 Pet 5 : 27, kadang merasa sendirian di dunia ini, Allah berjanji menemani “Sebab itu dengan yakin kita dapat berkata Tuhan adalah penolongku, Aku tidak akan takut apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku” Ibrani 13 : 6.
Bila kita merasakan pergumulan yang amat berat dan tak sanggup memikulnya maka tundukkan kepala berdoa dan berserah kepada Tuhan dan mohon petunjuk bagaimana jalan keluarnya dengan benar-benar berserah kepada Allah, maka Allah akan memberi jawabannya.
Perhatikan anak-anak yang dengan bangga menikmati noda telapak tangan dengan jemarinya yang ditinggalkan di pintu lift, sebaliknya petugas kebersihan jengkel harus membersihkan noda tersebut, kadang ada orang yang bangga telah dapat memuaskan perasaannya dengan meninggalkan noda di hati orang lain, ingat Allah pemilik diri manusia tidak berkenan akan apa yang dilakukan orang tersebut dan memang sifat manusia lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah (2 Tim 3 : 4) malah ada yang mengumpulkan Guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya (2 Tim 4 : 3).
Bagaimana mewujudkan pengharapan kita untuk dapat hidup yang berkenan pada Allah, marilah belajar seperti anak yang mahir mengerjakan soal fisika karena rajin berlatih yakni dengan lebih rajin berdoa lebih mempelajari firman Allah dengan membaca Alkitab sehingga dapat mengerti menjalani kehidupan ini dengan sikap yang benar seturut kehendaknya. Djani PAS.
Service Memuaskan
Melihat judul di atas bikin orang bertanya-tanya. Pertama
bahasanya campuran antara Inggris dan Indonesia lalu maknanya mengandung
pertanyaan. Apanya yang di servis dan servis bagaimana yang memuaskan. Tapi itu
tidak usah dibahas, nanti malah bingung sendiri.
Pagi itu warna merah bertebaran memenuhi gedung gereja Nehemia manakala Komisi Wanita mengadakan ibadah syukur awal tahun. Rupanya yang berbaju merah itu para peserta lomba vokal grup dan panitia sendiri, sementara jemaat yang lain berbaju aneka warna dan corak. Sebelum ibadah dimulai, di GSG bawah ada lomba aneka masakan/makanan berbahan dasar mie kuning antar wilayah. Ada bermacam kue dari mie, ada mie cakalang dan ada juga mie goreng maupun mie kuah.
Pada pukul sembilan kebaktian syukur dimulai, dipimpin oleh Pdt. Samuel B Haryanto, STh, MMin yang mengisahkan tentang arti sebuah nama. Pada kebaktian kali ini hadir PS Komisi Wanita dari GKJ Ebenhaezer yang mempersembahkan sebuah lagu Jawa Padha Elinga diiringi Orkes Keroncong GKJ Nehemia.
Setelah kebaktian selesai maka lomba Vokal Grup yang diikuti 10 peserta dari 11 wilayah dimulai dengan para Juri Pak Didiet dari GKJ Pamulang, Ibu Djoko Sulistyo dari GKJ Ebenhaezer dan Pak Padmono SK, STh dari Lembaga Kajian Budaya Jawa Sinode GKJ.
Pada awalnya rencana lomba vokal grup wanita ini diberitahukan agak mendadak kepada tim Keroncong Nehemia sehingga pemilihan lagu pun agak terlambat. Ketika Panitia minta lagu rohani yang bisa diiringi kroncong maka pak Andreas memberikan 8 buah lagu dari puluhan lagu yang ada. Dari 8 lagu ini tadinya satu lagu wajib dan satu lagu pilihan yang harus dibawakan oleh para peserta. Tetapi melihat waktunya yang cukup mendesak akhirnya Panitia memilih tiga lagu yaitu Nama Yesus termulia (PKJ 184), Sering kutanya pada Diriku (PKJ 201) dan KepadaMu kuserahkan (Cipt.Prasetyo). Para peserta bebas memilih salah satu dari lagu tersebut, artinya hanya menyanyikan satu lagu dan tidak ada lagu wajib.
Tadinya banyak yang merasa keberatan untuk ikut lomba tersebut karena bayangannya kalau nyanyi lagu keroncong itu sulit. Tetapi setelah dijelaskan oleh pak Andreas bahwa menyanyi solo dengan vokal grup berbeda. Menyanyi dengan vokal grup tidak perlu memakai cengkok keroncong tetapi menyanyi apa adanya saja. Akhirnya sebagian besar ikut mendaftar dengan catatan minimal satu grup terdiri dari lima orang. Masih ada juga yang menawar kalau tiga orang boleh tidak? Akhirnya untuk lebih semaraknya acara, Panitia menyetujui minimal tiga orang dan terdaftarlah 10 grup peserta. Untuk waktu yang akan datang mungkin lebih baik diwartakan jauh hari agar mereka bisa mempersiapkan dengan lebih baik. Apalagi yang ingin tampil dengan seragam baru.
Banyak yang memilih lagu Nama Yesus termulia karena mungkin lebih gampang dinyanyikan. Tetapi sebagian memilih lagu Sering kutanya pada diriku karena ada variasinya, sementara hanya satu grup yang memilih lagu KepadaMu kuserahkan. Lagu yang terakhir ini agak sulit karena iramanya keroncong asli. Tetapi semua peserta bisa tampil dengan baik, tidak ada yang slendro. Akhirnya tampil sebagai pemenang adalah vokal grup dari wilayah Kebayoran baru disusul Pondok Indah dan terakhir wilayah Pondok Cabe.
Dalam sambutannya pak Andreas selaku Ketua Majelis mengharapkan di tahun mendatang diadakan festival dan bukan lomba, vokal grup atau Paduan Suara Wanita antar Gereja di GKJ Klasis Bagian Barat yang diiringi dengan orkes Keroncong. GKJ Nehemia bersedia menjadi Panitia Penyelenggara. Hal ini disambut positif oleh Ketua Klasis Bapak Pdt. Samuel B Haryanto. Pak Padmono selaku pengurus Lemkabuja-Sinode malah mengharapkan agar festival PS Wanita nanti diperluas menjadi GKJ Klasis Bagian Barat dan Timur. Sementara juara masak berbahan dasar mie kuning dimenangkan oleh wilayah Pangkalan Jati disusul wilayah Tebet dan terakhir wilayah Radio Dalam. Masakan sebagai pemenang pertama hasil lomba akhirnya dilelang dan dimenangkan oleh Pak Susilo Ruslan dari wilayah Bintaro. Acara ditutup dengan perjamuan kasih dengan makan bersama mie hasil lomba. Bravo Komisi Wanita.
Pagi itu warna merah bertebaran memenuhi gedung gereja Nehemia manakala Komisi Wanita mengadakan ibadah syukur awal tahun. Rupanya yang berbaju merah itu para peserta lomba vokal grup dan panitia sendiri, sementara jemaat yang lain berbaju aneka warna dan corak. Sebelum ibadah dimulai, di GSG bawah ada lomba aneka masakan/makanan berbahan dasar mie kuning antar wilayah. Ada bermacam kue dari mie, ada mie cakalang dan ada juga mie goreng maupun mie kuah.
Pada pukul sembilan kebaktian syukur dimulai, dipimpin oleh Pdt. Samuel B Haryanto, STh, MMin yang mengisahkan tentang arti sebuah nama. Pada kebaktian kali ini hadir PS Komisi Wanita dari GKJ Ebenhaezer yang mempersembahkan sebuah lagu Jawa Padha Elinga diiringi Orkes Keroncong GKJ Nehemia.
Setelah kebaktian selesai maka lomba Vokal Grup yang diikuti 10 peserta dari 11 wilayah dimulai dengan para Juri Pak Didiet dari GKJ Pamulang, Ibu Djoko Sulistyo dari GKJ Ebenhaezer dan Pak Padmono SK, STh dari Lembaga Kajian Budaya Jawa Sinode GKJ.
Pada awalnya rencana lomba vokal grup wanita ini diberitahukan agak mendadak kepada tim Keroncong Nehemia sehingga pemilihan lagu pun agak terlambat. Ketika Panitia minta lagu rohani yang bisa diiringi kroncong maka pak Andreas memberikan 8 buah lagu dari puluhan lagu yang ada. Dari 8 lagu ini tadinya satu lagu wajib dan satu lagu pilihan yang harus dibawakan oleh para peserta. Tetapi melihat waktunya yang cukup mendesak akhirnya Panitia memilih tiga lagu yaitu Nama Yesus termulia (PKJ 184), Sering kutanya pada Diriku (PKJ 201) dan KepadaMu kuserahkan (Cipt.Prasetyo). Para peserta bebas memilih salah satu dari lagu tersebut, artinya hanya menyanyikan satu lagu dan tidak ada lagu wajib.
Tadinya banyak yang merasa keberatan untuk ikut lomba tersebut karena bayangannya kalau nyanyi lagu keroncong itu sulit. Tetapi setelah dijelaskan oleh pak Andreas bahwa menyanyi solo dengan vokal grup berbeda. Menyanyi dengan vokal grup tidak perlu memakai cengkok keroncong tetapi menyanyi apa adanya saja. Akhirnya sebagian besar ikut mendaftar dengan catatan minimal satu grup terdiri dari lima orang. Masih ada juga yang menawar kalau tiga orang boleh tidak? Akhirnya untuk lebih semaraknya acara, Panitia menyetujui minimal tiga orang dan terdaftarlah 10 grup peserta. Untuk waktu yang akan datang mungkin lebih baik diwartakan jauh hari agar mereka bisa mempersiapkan dengan lebih baik. Apalagi yang ingin tampil dengan seragam baru.
Banyak yang memilih lagu Nama Yesus termulia karena mungkin lebih gampang dinyanyikan. Tetapi sebagian memilih lagu Sering kutanya pada diriku karena ada variasinya, sementara hanya satu grup yang memilih lagu KepadaMu kuserahkan. Lagu yang terakhir ini agak sulit karena iramanya keroncong asli. Tetapi semua peserta bisa tampil dengan baik, tidak ada yang slendro. Akhirnya tampil sebagai pemenang adalah vokal grup dari wilayah Kebayoran baru disusul Pondok Indah dan terakhir wilayah Pondok Cabe.
Dalam sambutannya pak Andreas selaku Ketua Majelis mengharapkan di tahun mendatang diadakan festival dan bukan lomba, vokal grup atau Paduan Suara Wanita antar Gereja di GKJ Klasis Bagian Barat yang diiringi dengan orkes Keroncong. GKJ Nehemia bersedia menjadi Panitia Penyelenggara. Hal ini disambut positif oleh Ketua Klasis Bapak Pdt. Samuel B Haryanto. Pak Padmono selaku pengurus Lemkabuja-Sinode malah mengharapkan agar festival PS Wanita nanti diperluas menjadi GKJ Klasis Bagian Barat dan Timur. Sementara juara masak berbahan dasar mie kuning dimenangkan oleh wilayah Pangkalan Jati disusul wilayah Tebet dan terakhir wilayah Radio Dalam. Masakan sebagai pemenang pertama hasil lomba akhirnya dilelang dan dimenangkan oleh Pak Susilo Ruslan dari wilayah Bintaro. Acara ditutup dengan perjamuan kasih dengan makan bersama mie hasil lomba. Bravo Komisi Wanita.
Nguri-nguri Paribasan (lanjutan)
Ana ing udyana kang
kapungkur wis kaaturake anane Paribasan saka saindenging wilayah ing Indonesia.
Kabudayan lan sastra kang didarbeki bangsa kita iki pancen akeh banget, maneka
warna lan banget mumpangati kanggone urip bebrayan padinan. Sateruse bakal dak aturake Paribasan basa Jawa lan pangertene.
Dalam terbitan yang lalu telah disampaikan adanya Peribahasa dari seluruh daerah di Indonesia. Kekayaan budaya dan sastra yang dimiliki bangsa kita ini memang bukan main banyaknya, beragam dan sangat berguna bagi tata kehidupan sehari-hari. Selanjutnya akan kami sampaikan Peribahasa dalam Bahasa Jawa berikut artinya.
Aja dumeh
Tegese: aja kumalungkung, mamerake lan migunakake apa kang didarbeki kanggo nguja hawa nepsu, apadene ngina, ngremehake lan nyepelekake liyan. Kayata, aja dumeh pinter lan dadi pemimpin, banjur ora gelem srawung karo sapadha-padha. Aja dumeh sugih banjur nggunakakake kesugihane kanggo nguwasani panguripane wong-wong sing kacingkrangan. Kena apa patrap mau dianggep kurang prayoga? Awit sing jeneng bandha donya iku ora lestari, yen Gusti Kang Maha Kuwasa ngersakake, ilang apa tambah ora kurang dalane.
Artinya: jangan sok, berlagak atau mentang-mentang, suka memamerkan dan menggunakan apa yang dimiliki untuk mengumbar hawa nafsu, meremehkan atau menghina orang lain. Misalnya, jangan mentang-mentang pintar dan menjadi pemimpin lantas tidak mau lagi bergaul dengan sesama. Jangan mentang-mentang kaya lalu menggunakan kekayaannya itu untuk menguasai kehidupan orang yang kekurangan. Kenapa perilaku yang demikian itu tidak baik? Karena harta kekayaan itu tidak abadi, apabila Tuhan menghendaki, hilang atau tambah pasti ada saja jalannya.
Aja waton ngomong, nanging ngomonga nganggo waton
Tegese: yen ngomong aja mung waton muni, nanging prayogane nggunakake landhesan kang gumathok, cetha, bener lan pener. Pepeling tumrap wong Jawa sing wose aja seneng glenyengan, ngrasani liyan, utawa nyatur wewadi sing ora pantes dingerteni wong akeh. Kejaba saka iku, ngomong kudu nggunakake tata karma sing becik. Apa kang dikandhakake kudu cetha lan kepriye carane kudu nganggo subasita, amrih ora nuwuhake panyakrabawa sing kleru tumrap sing diajak rembugan.
Artinya: kalau bicara jangan asal bicara, tetapi sebaiknya menggunakan landasan yang pasti, jelas, benar dan pas. Peringatan bagi orang Jawa yang pada intinya jangan suka slengekan, membicarakan orang lain, atau membicarakan rahasia yang tidak pantas diketahui orang banyak. Disamping itu, berbicara harus menggunakan tata krama yang baik. Apa yang dibicarakan harus jelas dan bagaimana caranya, harus menggunakan sopan santun agar tidak menimbulkan sangkaan terhadap orang yang diajak bicara.
Alon-alon waton kelakon
Tegese: Kabeh samubarang tumindak iku kanthi alon aja kesusu. Akeh sing ngarani amarga paribasan iki dianggep wong Jawa ora bisa maju jalaran sarwa tumindak alon-alon. Nglakoni samubarang prasasat nguler kambang, ora cag-ceg apa perlune, banjur age-age mlayu mburu kang dadi ancas tujuane sakawit. Panganggep kaya ngono mau ora bener, sebab alon-alon waton kelakon mujudake pepeling aja grusa-grusu, aja waton maju. Kabeh tumindak kudu dipetung, dikuwayani temenan murih gampang lan gangsar lakune. Apa kang bakal katindakake tansah merlokake kaprayitnan, empan papan, olah rasa kanthi etungan kang cetha. Apa gunane katekan sedyane nanging uripe kebak ing rubeda? Ngoyak gegayuhan ora ana alane, nanging aja lali, kudu tansah njaga keslametan sakabehe.
Artinya: Biar lambat asal selamat. Sesuatu tindakan harus dilakukan dengan cermat dan tidak terburu-buru. Banyak orang mengatakan kerena peribahasa ini maka orang Jawa dianggap tidak bisa maju karena serba lambat dan santai. Melakukan sesuatu seperti ulat yang berjalan, tidak segera dilaksanakan dan segera memburu apa yang menjadi tujuan semula. Anggapan seperti itu tidak benar, sebab biar lambat asal selamat merupakan peringatan jangan bertindak terburu-buru, tetapi yang penting tercapai tujuannya. Semua tindakan harus diperhitungkan masak-masak, dilaksanakan dengan benar agar menjadi mudah dan lancar. Apa gunanya tercapai tujuannya tetapi hidupnya tidak tenterm? Memburu cita-cita itu baik, tetapi jangan lupa harus selalu menjaga keselamatan secara keseluruhan.
Ana dina ana upa, ora obah ora mamah
Tegese: aja mung seneng njagakake liyan, angger gelem nyambut gawe apa wae kanthi tumemen saben dinane, mesti bakal antuk pangan utawa rejeki. Mula golek pangupajiwa iku piyandele ya mung tekad. Gaweyan agal alus ditandangi, sing baku antuk berkah. Rejeki iku wis diatur dening Gusti kang Mahamurah, tegese samubarang wis dicepakake ing saben dinane. Mung kari kudu disranani obahing awak sing maknane wong iku yen kepengin oleh rejeki ya kudu nyambut gawe.
Artinya: Ada hari ada nasi, tidak bergerak tidak mengunyah. Jangan hanya suka mengandalkan orang lain, asal orang mau bekerja apa saja dengan tekun tiap harinya, sudah pasti akan mendapatkan makanan atau rejeki. Pekerjaan kasar maupun halus harus dikerjakan, yang penting mendapat berkat. Rejeki itu sudah diatur oleh Tuhan Yang Mahamurah, artinya rejeki itu sudah disiapkan setiap harinya. Hanya tinggal kita harus mau bergerak, artinya kalau ingin mendapatkan rejeki ya harus bekerja.
Anak polah bapa kepradah
Tegese: saparipolahe anak, wong tuwa uga melu tanggungjawab. Anak duwe perkara, wong tuwa melu nyangga. Saking gedhene katresnane wong tuwa marang anak, nganti apa sapanjaluke dituruti, embuh carane kepriye sing penting keturutan panjaluke. Paribasan iki kerep kanggo nyindhir wong tuwa sing seneng nguja marang anak. Apa penjaluke anak embuh apik, embuh ala, gawe repot apa ora iya bakal dileksanani. Kamangka bapake mau ya ngerti yen kekarepane anak mau ora bener. Kepriyea wae jejer wong tuwa iku gelem ora gelem melu tanggungjawab ngentheng-ngenthengi bot repote anak.
Artinya: Anak berulah bapaknya juga ikut bertanggung jawab. Anak tersangkut perkara, orang tua ikut merasakan. Begitu besar kasih sayang orang tua kepada anaknya sehingga apapun yang diminta oleh anaknya akan dikabulkannya, bagaimanapun caranya. Peribahasa ini sesungguhnya sebagi sindiran terhadap orang tua yang selalu memanjakan anaknya. Apapun permintaan anaknya, apakah itu baik atau buruk, bikin repot atau tidak akan dipenuhi. Padahal orang tuanya tahu betul bahwa keinginan anaknya itu tidak benar. Bagaimanapun juga sebagai orang tua mau tidak mau ikut bertanggungjawab dan meringankan beban kerepotan anaknya.
Becik ketitik ala ketara
Tegese: sapa wae kang duwe patrap becik bakal ketitik, dimangerteni lan diregani dening liyan, dene yen patrap ala bakal ketara utawa konangan. Yen dijlentrehake, unen-unen iki ngemu pitutur kang wose aja wedi nindakake kabecikan. Ora ketang ana sing ora seneng banjur kabecikan mau didhelik-dhelikake utawa ditutupi rapet, mengkone mesthi konangan. Semono uga sewalike, tumindak ala kang didhelikake kanthi primpen, yen teka titi wancine bakal kadenangan.
Artinya: siapa saja yang berperilaku baik akan terbukti dan diketahui serta dihargai oleh orang lain, sedangkan yang berperilaku buruk akhirnya akan ketahuan juga. Kalau diuraikan, peribahasa ini memuat pengajaran yang intinya jangan takut melakukan kebaikan, meski ada saja yang tidak suka kemudian mencoba untuk menutup-nutupi kebaikan itu. Toh kebaikan itu nantinya akan diketahui orang juga, sementara perbuatan jahat yang ditutup-tutupi bahkan disimpan rapat-rapat kalau sudah tiba waktunya akan ketahuan juga.
Bobot, bibit, bebet
Tegese: Biasane wong yen arep golek mantu mesti didelok dhisik saka bobot, bibit lan bebete. Bobot ngemu bab bandha donya. Calon mantune iku apa anake wong sugih, sedhengan apa malah mlarat pisan. Mesthine jejere wong tuwa mesthi milih mantu sing anake wong sugih supaya anake uripe kepenak. Bibit ngemu bab keturunan. Calon mantune iku apa turune trahing kusuma rembesing madu apa trahing pidak pedarakan. Amarga yen duwe mantu trahing kusuma mesthine banjur drajate melu mundhak. Bebet ngemu bab jarit utawa busana. Calon mantune iku apa anake wong becik-becik apa turune wong durjana. Yen calon mantune iku turune wong durjana mesthi wae kalepetan ala lan banjur ngasorake drajate.
Artinya: Biasanya orang kalau mau mencari calon menantu dilihat dulu dari berat, bibit dan kain atau busana. Bobot melambangkan harta kekayaan. Apakah calon menantunya itu anaknya orang kaya, biasa saja atau bahkan miskin. Yang pasti sebagai orang tua tentu akan memilih menantu yang orang tuanya kaya, agar kehidupan anaknya terjamin. Bibit melambangkan keturunan. Apakah calon menantunya itu masih keturunan bangsawan atau keturunan rakyat jelata. Karena kalau mempunyai menantu keturunan bangsawan akan ikut mengangkat derajatnya. Bebet melambangkan kain atau busana. Apakah calon menantunya itu anaknya orang baik-baik atau keturunan orang jahat. Karena kalau keturunan orang jahat tentu saja akan terbawa-bawa dan menurunkan derajatnya. *dari berbagai sumber. berlanjut . . .
Dalam terbitan yang lalu telah disampaikan adanya Peribahasa dari seluruh daerah di Indonesia. Kekayaan budaya dan sastra yang dimiliki bangsa kita ini memang bukan main banyaknya, beragam dan sangat berguna bagi tata kehidupan sehari-hari. Selanjutnya akan kami sampaikan Peribahasa dalam Bahasa Jawa berikut artinya.
Aja dumeh
Tegese: aja kumalungkung, mamerake lan migunakake apa kang didarbeki kanggo nguja hawa nepsu, apadene ngina, ngremehake lan nyepelekake liyan. Kayata, aja dumeh pinter lan dadi pemimpin, banjur ora gelem srawung karo sapadha-padha. Aja dumeh sugih banjur nggunakakake kesugihane kanggo nguwasani panguripane wong-wong sing kacingkrangan. Kena apa patrap mau dianggep kurang prayoga? Awit sing jeneng bandha donya iku ora lestari, yen Gusti Kang Maha Kuwasa ngersakake, ilang apa tambah ora kurang dalane.
Artinya: jangan sok, berlagak atau mentang-mentang, suka memamerkan dan menggunakan apa yang dimiliki untuk mengumbar hawa nafsu, meremehkan atau menghina orang lain. Misalnya, jangan mentang-mentang pintar dan menjadi pemimpin lantas tidak mau lagi bergaul dengan sesama. Jangan mentang-mentang kaya lalu menggunakan kekayaannya itu untuk menguasai kehidupan orang yang kekurangan. Kenapa perilaku yang demikian itu tidak baik? Karena harta kekayaan itu tidak abadi, apabila Tuhan menghendaki, hilang atau tambah pasti ada saja jalannya.
Aja waton ngomong, nanging ngomonga nganggo waton
Tegese: yen ngomong aja mung waton muni, nanging prayogane nggunakake landhesan kang gumathok, cetha, bener lan pener. Pepeling tumrap wong Jawa sing wose aja seneng glenyengan, ngrasani liyan, utawa nyatur wewadi sing ora pantes dingerteni wong akeh. Kejaba saka iku, ngomong kudu nggunakake tata karma sing becik. Apa kang dikandhakake kudu cetha lan kepriye carane kudu nganggo subasita, amrih ora nuwuhake panyakrabawa sing kleru tumrap sing diajak rembugan.
Artinya: kalau bicara jangan asal bicara, tetapi sebaiknya menggunakan landasan yang pasti, jelas, benar dan pas. Peringatan bagi orang Jawa yang pada intinya jangan suka slengekan, membicarakan orang lain, atau membicarakan rahasia yang tidak pantas diketahui orang banyak. Disamping itu, berbicara harus menggunakan tata krama yang baik. Apa yang dibicarakan harus jelas dan bagaimana caranya, harus menggunakan sopan santun agar tidak menimbulkan sangkaan terhadap orang yang diajak bicara.
Alon-alon waton kelakon
Tegese: Kabeh samubarang tumindak iku kanthi alon aja kesusu. Akeh sing ngarani amarga paribasan iki dianggep wong Jawa ora bisa maju jalaran sarwa tumindak alon-alon. Nglakoni samubarang prasasat nguler kambang, ora cag-ceg apa perlune, banjur age-age mlayu mburu kang dadi ancas tujuane sakawit. Panganggep kaya ngono mau ora bener, sebab alon-alon waton kelakon mujudake pepeling aja grusa-grusu, aja waton maju. Kabeh tumindak kudu dipetung, dikuwayani temenan murih gampang lan gangsar lakune. Apa kang bakal katindakake tansah merlokake kaprayitnan, empan papan, olah rasa kanthi etungan kang cetha. Apa gunane katekan sedyane nanging uripe kebak ing rubeda? Ngoyak gegayuhan ora ana alane, nanging aja lali, kudu tansah njaga keslametan sakabehe.
Artinya: Biar lambat asal selamat. Sesuatu tindakan harus dilakukan dengan cermat dan tidak terburu-buru. Banyak orang mengatakan kerena peribahasa ini maka orang Jawa dianggap tidak bisa maju karena serba lambat dan santai. Melakukan sesuatu seperti ulat yang berjalan, tidak segera dilaksanakan dan segera memburu apa yang menjadi tujuan semula. Anggapan seperti itu tidak benar, sebab biar lambat asal selamat merupakan peringatan jangan bertindak terburu-buru, tetapi yang penting tercapai tujuannya. Semua tindakan harus diperhitungkan masak-masak, dilaksanakan dengan benar agar menjadi mudah dan lancar. Apa gunanya tercapai tujuannya tetapi hidupnya tidak tenterm? Memburu cita-cita itu baik, tetapi jangan lupa harus selalu menjaga keselamatan secara keseluruhan.
Ana dina ana upa, ora obah ora mamah
Tegese: aja mung seneng njagakake liyan, angger gelem nyambut gawe apa wae kanthi tumemen saben dinane, mesti bakal antuk pangan utawa rejeki. Mula golek pangupajiwa iku piyandele ya mung tekad. Gaweyan agal alus ditandangi, sing baku antuk berkah. Rejeki iku wis diatur dening Gusti kang Mahamurah, tegese samubarang wis dicepakake ing saben dinane. Mung kari kudu disranani obahing awak sing maknane wong iku yen kepengin oleh rejeki ya kudu nyambut gawe.
Artinya: Ada hari ada nasi, tidak bergerak tidak mengunyah. Jangan hanya suka mengandalkan orang lain, asal orang mau bekerja apa saja dengan tekun tiap harinya, sudah pasti akan mendapatkan makanan atau rejeki. Pekerjaan kasar maupun halus harus dikerjakan, yang penting mendapat berkat. Rejeki itu sudah diatur oleh Tuhan Yang Mahamurah, artinya rejeki itu sudah disiapkan setiap harinya. Hanya tinggal kita harus mau bergerak, artinya kalau ingin mendapatkan rejeki ya harus bekerja.
Anak polah bapa kepradah
Tegese: saparipolahe anak, wong tuwa uga melu tanggungjawab. Anak duwe perkara, wong tuwa melu nyangga. Saking gedhene katresnane wong tuwa marang anak, nganti apa sapanjaluke dituruti, embuh carane kepriye sing penting keturutan panjaluke. Paribasan iki kerep kanggo nyindhir wong tuwa sing seneng nguja marang anak. Apa penjaluke anak embuh apik, embuh ala, gawe repot apa ora iya bakal dileksanani. Kamangka bapake mau ya ngerti yen kekarepane anak mau ora bener. Kepriyea wae jejer wong tuwa iku gelem ora gelem melu tanggungjawab ngentheng-ngenthengi bot repote anak.
Artinya: Anak berulah bapaknya juga ikut bertanggung jawab. Anak tersangkut perkara, orang tua ikut merasakan. Begitu besar kasih sayang orang tua kepada anaknya sehingga apapun yang diminta oleh anaknya akan dikabulkannya, bagaimanapun caranya. Peribahasa ini sesungguhnya sebagi sindiran terhadap orang tua yang selalu memanjakan anaknya. Apapun permintaan anaknya, apakah itu baik atau buruk, bikin repot atau tidak akan dipenuhi. Padahal orang tuanya tahu betul bahwa keinginan anaknya itu tidak benar. Bagaimanapun juga sebagai orang tua mau tidak mau ikut bertanggungjawab dan meringankan beban kerepotan anaknya.
Becik ketitik ala ketara
Tegese: sapa wae kang duwe patrap becik bakal ketitik, dimangerteni lan diregani dening liyan, dene yen patrap ala bakal ketara utawa konangan. Yen dijlentrehake, unen-unen iki ngemu pitutur kang wose aja wedi nindakake kabecikan. Ora ketang ana sing ora seneng banjur kabecikan mau didhelik-dhelikake utawa ditutupi rapet, mengkone mesthi konangan. Semono uga sewalike, tumindak ala kang didhelikake kanthi primpen, yen teka titi wancine bakal kadenangan.
Artinya: siapa saja yang berperilaku baik akan terbukti dan diketahui serta dihargai oleh orang lain, sedangkan yang berperilaku buruk akhirnya akan ketahuan juga. Kalau diuraikan, peribahasa ini memuat pengajaran yang intinya jangan takut melakukan kebaikan, meski ada saja yang tidak suka kemudian mencoba untuk menutup-nutupi kebaikan itu. Toh kebaikan itu nantinya akan diketahui orang juga, sementara perbuatan jahat yang ditutup-tutupi bahkan disimpan rapat-rapat kalau sudah tiba waktunya akan ketahuan juga.
Bobot, bibit, bebet
Tegese: Biasane wong yen arep golek mantu mesti didelok dhisik saka bobot, bibit lan bebete. Bobot ngemu bab bandha donya. Calon mantune iku apa anake wong sugih, sedhengan apa malah mlarat pisan. Mesthine jejere wong tuwa mesthi milih mantu sing anake wong sugih supaya anake uripe kepenak. Bibit ngemu bab keturunan. Calon mantune iku apa turune trahing kusuma rembesing madu apa trahing pidak pedarakan. Amarga yen duwe mantu trahing kusuma mesthine banjur drajate melu mundhak. Bebet ngemu bab jarit utawa busana. Calon mantune iku apa anake wong becik-becik apa turune wong durjana. Yen calon mantune iku turune wong durjana mesthi wae kalepetan ala lan banjur ngasorake drajate.
Artinya: Biasanya orang kalau mau mencari calon menantu dilihat dulu dari berat, bibit dan kain atau busana. Bobot melambangkan harta kekayaan. Apakah calon menantunya itu anaknya orang kaya, biasa saja atau bahkan miskin. Yang pasti sebagai orang tua tentu akan memilih menantu yang orang tuanya kaya, agar kehidupan anaknya terjamin. Bibit melambangkan keturunan. Apakah calon menantunya itu masih keturunan bangsawan atau keturunan rakyat jelata. Karena kalau mempunyai menantu keturunan bangsawan akan ikut mengangkat derajatnya. Bebet melambangkan kain atau busana. Apakah calon menantunya itu anaknya orang baik-baik atau keturunan orang jahat. Karena kalau keturunan orang jahat tentu saja akan terbawa-bawa dan menurunkan derajatnya. *dari berbagai sumber. berlanjut . . .
Surat untuk Ibu
Ibunda yang terkasih, Ketika surat ini ananda tulis, keadaan ananda selalu dalam lindungan Tuhan yang Mahakasih. Saat ini Susi sedang terbaring lemah di rumah sakit karena . . .
Kalimat awal dari surat yang ditulisnya itu diteliti apakah sudah benar adanya, karena takut tidak berkenan di hati ibundanya. Ditahannya dulu kalimat itu sampai di situ. Dani masih ragu-ragu untuk meneruskan isi suratnya. Yang dia rasakan saat ini adalah kehidupan rumah tangganya bersama Susi yang terhempas dalam badai pasir sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Dani anak seorang janda miskin namun banyak disukai teman-teman di sekolahnya. Anaknya pendiam cenderung pemalu meski mempunyai wajah yang ganteng dan termasuk anak yang paling pandai di kelas itu. Susi yang cantik anak juragan tahu yang berada satu kelas dibawahnya menjadi teman dekatnya. Namun Dani menyadari bahwa dia sebagai anak orang yang tidak mampu, menahan diri untuk tidak bertindak melebihi sebagai sekedar teman biasa. Berbeda dengan Susi yang menyukai Dani bukan karena status sosialnya tapi karena mulai ada bibit cinta dihatinya.
Selepas sekolah Dani menapaki karirnya sebagai penjaga gudang penggilingan padi milik Pak Yulius seorang pengusaha dan pedagang hasil bumi di kampungnya. Sebagai penjaga gudang banyak waktu kosong yang dimanfaatkan Dani untuk belajar berbagai ilmu melalui buku-buku yang dipinjam dari juragannya itu. Karena memang mempunyai talenta yang bagus maka dengan cepat Dani menjadi anak yang pintar dan karirnya mulai menanjak menjadi Kepala gudang kemudian dipercaya oleh pak Yulius sebagai Manager perusahaan itu.
Merasa hidupnya sudah mulai mapan maka ia melamar Susi untuk menjadi isterinya. Masa awal sebagai pasangan rumah tangga yang baru sungguh dinikmati penuh kebahagaiaan. Susi sosok yang pandai bergaul dan mempunyai banyak teman dari berbagai kalangan.
“Mas, aku pengin kuliah boleh ya, habis di rumah nggak ada kerjaan.” celetuk Susi suatu sore. Permintaan itu disetujui karena Dani menyadari setelah hampir empat tahun berumah tangga belum juga dikaruniai buah hati. Ketika Susi selesai kuliah dan mendapat gelar Sarjana Ekonomi maka segera saja dia mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Pekerjaan itu diterima dengan sukacita meski jaraknya hampir 30 km dari rumahnya.
Setelah berumah tangga sekitar sepuluh tahun akhirnya keluarga Dani diberikan anugerah sepasang anak perempuan dan laki-laki, Tina dan Toni. Bertambah pulalah kebahagiaan mereka berdua, karena dengan kehadiran dua anaknya itu ternyata rejeki mereka bertambah lancar. Sekarang mereka sudah bisa membangun rumah sendiri sehingga makin lengkaplah kebahagiaan mereka berdua. Dani yang anak satu-satunya berusaha membujuk ibunya agar mau tinggal bersama dia daripada tinggal di rumah yang lama, tetapi selalu ditolaknya. Ibundanya beralasan bahwa rumah yang ditinggalinya selama ini tidak mungkin ditinggalkan begitu saja apalagi di jual karena rumah itu dibangun dengan kasih bersama bapaknya Dani.
Seperti pepatah berputarnya roda pedati, kadang berada di atas kadang berada di bawah. Demikian pula nasib kehidupan manusia itu. Ketika resesi melanda dunia, perusahaan pak Yulius gulung tikar karena hampir semua pihak yang berhutang kepadanya tidak lagi bisa membayarnya. Dani pun harus berhenti bekerja, sementara mencari pekerjaan susahnya bukan main, karena banyak juga perusahaan lain yang bangkrut. Dani sementara harus rela di rumah saja sambil antar jemput anaknya ke sekolah.
Berbeda dengan nasib Dani, nasib Susi justru kebalikannya. Perusahaan tempat dia bekerja meraih sukses ketika lawan usahanya bergelimpangan. Kini Susi telah diangkat sebagai Manajer Pemasaran dengan berbagai tambahan fasilitas. Disamping gajinya naik dia juga mendapat mobil berikut sopirnya.
Dari sinilah badai pasir itu mulai melanda kehidupan rumah tangga Dani.
“Mas, cobalah cari pekerjaan apa saja daripada di rumah terus, tidak enak dilihat tetangga.
Masa isterinya tiap pagi berangkat kerja, hampir malam baru pulang, sementara suaminya
di rumah saja mengasuh anak.”
Tersentak Dani ketika mendengar suara isterinya itu, tak disangkanya Susi bisa berkata begitu. Tetapi dasar Dani orangnya pendiam, tak disahutinya sama sekali kata-kata itu. Hal ini menjadikan Susi semakin jengkel karena dianggapnya Dani sekarang menjadi pemalas karena merasa hidupnya sudah tercukupi dengan penghasilan isterinya. Padahal Dani sudah berusaha mencari pekerjaan apa saja asal tidak menyimpang, namun hasilnya tetap nihil juga.
“Mas, sekarang kamu urusi rumah dan anak-anak, biar aku saja yang cari duit.”mendengar itu ada rasa nyeri di ulu hati Dani, tetapi ditahannya saja takut kalau jadi ribut.
Lambat tapi pasti, rumah tangga itu menjadi tergoncang. Susi lebih sering pulang malam karena berbagai alasan, pekerjaan kantor makin menumpuk, atau rapat misalnya. Bahkan pernah beberapa hari tidak pulang karena ada rapat di kantor Cabang di lain kota. Hal itu disadari betul oleh Dani bahwa sekarang isterinya menjadi orang yang cukup penting di kantor. Sementara itu dia harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dari masak, mengantar anak sekolah, menyapu dan mengepel bahkan mencuci baju. Semua itu dijalaninya dengan penuh kesabaran dan kesadaran agar rumah tangganya selalu berjalan baik, paling tidak dilihat dari luar. Tapi yang lebih menyedihkan lagi sekarang Susi memilih tidur dendiri, bukan lagi pisah ranjang tetapi pindah ke kamar sendiri dengan alasan ada pekerjaan kantor yang harus dikerjakan dikamarnya dan tidak mau terganggu orang lain. Kembali lagi Dani menyadari hal itu dan kini Dani lebih sering tertidur di sofa depan tivi.
Kalau Susi mau berangkat ke kantor cuma bilang
“Mas, aku berangkat.” tidak ada kecerahan di wajahnya bahkan tiada senyum dibibirnya.
“Ya, baik-baik di jalan.” jawab Dani sambil mencoba tersenyum.
Nyaris tidak ada komunikasi lagi selama ini baik Susi dengan Dani maupun anak-anaknya. Sepulang dari kantor langsung masuk kamar dan jarang sekali makan di rumah.
Yang membuat tidak enak buat Dani, ketika beberapa jemaat bertanya ketika kebaktian Minggu dia hanya ditemani Tina dan Toni sementara Susi tidak pernah ikut. Dani terpaksa membuat alasan sekenanya, yang penting pertanyaan tidak berlanjut.
Wajah Dani yang ganteng mulai kehilangan auranya, badannya kurus rambutnya kusut matanya merah. Dia lebih sering duduk menyendiri ketika menjemput anaknya di sekolah, padahal bapak-bapak yang lain saling ngobrol begitu juga ibu-ibu yang sama-sama menjemput anak maupun cucunya.
Dipandanginya kembali surat itu. Dia masih ragu-ragu untuk meneruskan, apakah ibundanya yang semakin tua itu bisa menerima atau tidak. Sudah setahun lebih kondisi rumah tangganya tidak harmonis lagi. Seolah-olah Susi hidup di dunianya sendiri sementara Dani hidup dengan anak-anaknya. Setelah menjemput anak-anaknya pulang dari sekolah segera Dani menuju Rumah Sakit untuk menengok isterinya. Kemarin dia dikejutkan telepon dari kantor bahwa Susi terjatuh seusai rapat dengan Direksi kemudian dilarikan ke rumah sakit dan masuk rung ICU. Yang lebih mengejutkan lagi menurut diagnose dokter, Susi terkena serangan virus di otaknya. Dengan ketekunan dan kesabaran yang luar biasa Dani menungguinya siang dan malam, berdoa tiada henti sehingga tubuhnya semakin kurus saja. Tina dan Toni terpaksa berangkat ke sekolah bersama teman-teman yang lain sejak ibunya masuk rumah sakit.
Memasuki Minggu pra Paskah pertama Susi mulai pulih kesadarannya sehingga meski masih lemah dia mencoba untuk bicara.
“Mas, bagaimana kabar anak-anak. Aku sudah kangen sekali.”
“Anak-anak baik-baik saja Sus, mereka pintar di kelas dan selalu mendapat peringkat meski bukan terbaik.”
“Maafkan aku, mas. Selama ini aku sudah berbuat salah.”
“Sudah, jangan banyak bicara dulu, kamu masih lemah. Tidak ada orang yang tidak membuat kesalahan. Tuhan telah mengampuni kesalahan kita semua.”
Minggu pra Paskah kedua sesudah kebaktian, Dani bersama anak-anaknya menengok Susi. Begitu melihat anak-anaknya, Susi menangis hampir tanpa suara tetapi dadanya kelihatan turun naik menahan sesak. Anak-anak segera mencium pipi ibunya yang basah oleh air mata.
“Ibu cepat sembuh ya, nanti Paskah kita bisa bersama-sama ke gereja.” bisik Tina anaknya. Tetapi tiada jawaban dari Susi kecuali air matanya yang semakin deras.
Tiba-tiba wajah Susi kelihatan cerah dan minta Dani beserta anak-anaknya mendekat.
“Maafkan Susi mas, anak-anak, selama ini ibu telah menelantarkan kalian. Maukah kalian
memaafkan ibu?” bicaranya jelas dan lancar namun diiringi derai air mata.
“Sudahlah Sus, anak-anak sudah memaklumi kok. Mereka cuma ingin ibunya cepat sembuh dan dapat memuji Tuhan bersama-sama.”
“Tapi dosaku terlalu berat, mas. Apakah Tuhan masih mau mengampuni aku?”
“Pasti Sus, Tuhan pasti akan mengamunimu karena kepasrahanmu.”
Diraihnya tangan Dani dan direngkuhnya kepala Tina dan Toni dengan penuh kasih dan penyesalan. Tiba-tiba kepalanya terkulai dengan senyum di bibirnya, diiringi isak tangis Dani dan jerit anak-anaknya sambil memanggil-manggil namanya. Tuhan telah memanggil kembali ke pangkuan-Nya. Surat itu tidak jadi ditulisnya karena basah oleh air mata . . . Perantauan, akhir februari’15
Kalimat awal dari surat yang ditulisnya itu diteliti apakah sudah benar adanya, karena takut tidak berkenan di hati ibundanya. Ditahannya dulu kalimat itu sampai di situ. Dani masih ragu-ragu untuk meneruskan isi suratnya. Yang dia rasakan saat ini adalah kehidupan rumah tangganya bersama Susi yang terhempas dalam badai pasir sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Dani anak seorang janda miskin namun banyak disukai teman-teman di sekolahnya. Anaknya pendiam cenderung pemalu meski mempunyai wajah yang ganteng dan termasuk anak yang paling pandai di kelas itu. Susi yang cantik anak juragan tahu yang berada satu kelas dibawahnya menjadi teman dekatnya. Namun Dani menyadari bahwa dia sebagai anak orang yang tidak mampu, menahan diri untuk tidak bertindak melebihi sebagai sekedar teman biasa. Berbeda dengan Susi yang menyukai Dani bukan karena status sosialnya tapi karena mulai ada bibit cinta dihatinya.
Selepas sekolah Dani menapaki karirnya sebagai penjaga gudang penggilingan padi milik Pak Yulius seorang pengusaha dan pedagang hasil bumi di kampungnya. Sebagai penjaga gudang banyak waktu kosong yang dimanfaatkan Dani untuk belajar berbagai ilmu melalui buku-buku yang dipinjam dari juragannya itu. Karena memang mempunyai talenta yang bagus maka dengan cepat Dani menjadi anak yang pintar dan karirnya mulai menanjak menjadi Kepala gudang kemudian dipercaya oleh pak Yulius sebagai Manager perusahaan itu.
Merasa hidupnya sudah mulai mapan maka ia melamar Susi untuk menjadi isterinya. Masa awal sebagai pasangan rumah tangga yang baru sungguh dinikmati penuh kebahagaiaan. Susi sosok yang pandai bergaul dan mempunyai banyak teman dari berbagai kalangan.
“Mas, aku pengin kuliah boleh ya, habis di rumah nggak ada kerjaan.” celetuk Susi suatu sore. Permintaan itu disetujui karena Dani menyadari setelah hampir empat tahun berumah tangga belum juga dikaruniai buah hati. Ketika Susi selesai kuliah dan mendapat gelar Sarjana Ekonomi maka segera saja dia mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Pekerjaan itu diterima dengan sukacita meski jaraknya hampir 30 km dari rumahnya.
Setelah berumah tangga sekitar sepuluh tahun akhirnya keluarga Dani diberikan anugerah sepasang anak perempuan dan laki-laki, Tina dan Toni. Bertambah pulalah kebahagiaan mereka berdua, karena dengan kehadiran dua anaknya itu ternyata rejeki mereka bertambah lancar. Sekarang mereka sudah bisa membangun rumah sendiri sehingga makin lengkaplah kebahagiaan mereka berdua. Dani yang anak satu-satunya berusaha membujuk ibunya agar mau tinggal bersama dia daripada tinggal di rumah yang lama, tetapi selalu ditolaknya. Ibundanya beralasan bahwa rumah yang ditinggalinya selama ini tidak mungkin ditinggalkan begitu saja apalagi di jual karena rumah itu dibangun dengan kasih bersama bapaknya Dani.
Seperti pepatah berputarnya roda pedati, kadang berada di atas kadang berada di bawah. Demikian pula nasib kehidupan manusia itu. Ketika resesi melanda dunia, perusahaan pak Yulius gulung tikar karena hampir semua pihak yang berhutang kepadanya tidak lagi bisa membayarnya. Dani pun harus berhenti bekerja, sementara mencari pekerjaan susahnya bukan main, karena banyak juga perusahaan lain yang bangkrut. Dani sementara harus rela di rumah saja sambil antar jemput anaknya ke sekolah.
Berbeda dengan nasib Dani, nasib Susi justru kebalikannya. Perusahaan tempat dia bekerja meraih sukses ketika lawan usahanya bergelimpangan. Kini Susi telah diangkat sebagai Manajer Pemasaran dengan berbagai tambahan fasilitas. Disamping gajinya naik dia juga mendapat mobil berikut sopirnya.
Dari sinilah badai pasir itu mulai melanda kehidupan rumah tangga Dani.
“Mas, cobalah cari pekerjaan apa saja daripada di rumah terus, tidak enak dilihat tetangga.
Masa isterinya tiap pagi berangkat kerja, hampir malam baru pulang, sementara suaminya
di rumah saja mengasuh anak.”
Tersentak Dani ketika mendengar suara isterinya itu, tak disangkanya Susi bisa berkata begitu. Tetapi dasar Dani orangnya pendiam, tak disahutinya sama sekali kata-kata itu. Hal ini menjadikan Susi semakin jengkel karena dianggapnya Dani sekarang menjadi pemalas karena merasa hidupnya sudah tercukupi dengan penghasilan isterinya. Padahal Dani sudah berusaha mencari pekerjaan apa saja asal tidak menyimpang, namun hasilnya tetap nihil juga.
“Mas, sekarang kamu urusi rumah dan anak-anak, biar aku saja yang cari duit.”mendengar itu ada rasa nyeri di ulu hati Dani, tetapi ditahannya saja takut kalau jadi ribut.
Lambat tapi pasti, rumah tangga itu menjadi tergoncang. Susi lebih sering pulang malam karena berbagai alasan, pekerjaan kantor makin menumpuk, atau rapat misalnya. Bahkan pernah beberapa hari tidak pulang karena ada rapat di kantor Cabang di lain kota. Hal itu disadari betul oleh Dani bahwa sekarang isterinya menjadi orang yang cukup penting di kantor. Sementara itu dia harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dari masak, mengantar anak sekolah, menyapu dan mengepel bahkan mencuci baju. Semua itu dijalaninya dengan penuh kesabaran dan kesadaran agar rumah tangganya selalu berjalan baik, paling tidak dilihat dari luar. Tapi yang lebih menyedihkan lagi sekarang Susi memilih tidur dendiri, bukan lagi pisah ranjang tetapi pindah ke kamar sendiri dengan alasan ada pekerjaan kantor yang harus dikerjakan dikamarnya dan tidak mau terganggu orang lain. Kembali lagi Dani menyadari hal itu dan kini Dani lebih sering tertidur di sofa depan tivi.
Kalau Susi mau berangkat ke kantor cuma bilang
“Mas, aku berangkat.” tidak ada kecerahan di wajahnya bahkan tiada senyum dibibirnya.
“Ya, baik-baik di jalan.” jawab Dani sambil mencoba tersenyum.
Nyaris tidak ada komunikasi lagi selama ini baik Susi dengan Dani maupun anak-anaknya. Sepulang dari kantor langsung masuk kamar dan jarang sekali makan di rumah.
Yang membuat tidak enak buat Dani, ketika beberapa jemaat bertanya ketika kebaktian Minggu dia hanya ditemani Tina dan Toni sementara Susi tidak pernah ikut. Dani terpaksa membuat alasan sekenanya, yang penting pertanyaan tidak berlanjut.
Wajah Dani yang ganteng mulai kehilangan auranya, badannya kurus rambutnya kusut matanya merah. Dia lebih sering duduk menyendiri ketika menjemput anaknya di sekolah, padahal bapak-bapak yang lain saling ngobrol begitu juga ibu-ibu yang sama-sama menjemput anak maupun cucunya.
Dipandanginya kembali surat itu. Dia masih ragu-ragu untuk meneruskan, apakah ibundanya yang semakin tua itu bisa menerima atau tidak. Sudah setahun lebih kondisi rumah tangganya tidak harmonis lagi. Seolah-olah Susi hidup di dunianya sendiri sementara Dani hidup dengan anak-anaknya. Setelah menjemput anak-anaknya pulang dari sekolah segera Dani menuju Rumah Sakit untuk menengok isterinya. Kemarin dia dikejutkan telepon dari kantor bahwa Susi terjatuh seusai rapat dengan Direksi kemudian dilarikan ke rumah sakit dan masuk rung ICU. Yang lebih mengejutkan lagi menurut diagnose dokter, Susi terkena serangan virus di otaknya. Dengan ketekunan dan kesabaran yang luar biasa Dani menungguinya siang dan malam, berdoa tiada henti sehingga tubuhnya semakin kurus saja. Tina dan Toni terpaksa berangkat ke sekolah bersama teman-teman yang lain sejak ibunya masuk rumah sakit.
Memasuki Minggu pra Paskah pertama Susi mulai pulih kesadarannya sehingga meski masih lemah dia mencoba untuk bicara.
“Mas, bagaimana kabar anak-anak. Aku sudah kangen sekali.”
“Anak-anak baik-baik saja Sus, mereka pintar di kelas dan selalu mendapat peringkat meski bukan terbaik.”
“Maafkan aku, mas. Selama ini aku sudah berbuat salah.”
“Sudah, jangan banyak bicara dulu, kamu masih lemah. Tidak ada orang yang tidak membuat kesalahan. Tuhan telah mengampuni kesalahan kita semua.”
Minggu pra Paskah kedua sesudah kebaktian, Dani bersama anak-anaknya menengok Susi. Begitu melihat anak-anaknya, Susi menangis hampir tanpa suara tetapi dadanya kelihatan turun naik menahan sesak. Anak-anak segera mencium pipi ibunya yang basah oleh air mata.
“Ibu cepat sembuh ya, nanti Paskah kita bisa bersama-sama ke gereja.” bisik Tina anaknya. Tetapi tiada jawaban dari Susi kecuali air matanya yang semakin deras.
Tiba-tiba wajah Susi kelihatan cerah dan minta Dani beserta anak-anaknya mendekat.
“Maafkan Susi mas, anak-anak, selama ini ibu telah menelantarkan kalian. Maukah kalian
memaafkan ibu?” bicaranya jelas dan lancar namun diiringi derai air mata.
“Sudahlah Sus, anak-anak sudah memaklumi kok. Mereka cuma ingin ibunya cepat sembuh dan dapat memuji Tuhan bersama-sama.”
“Tapi dosaku terlalu berat, mas. Apakah Tuhan masih mau mengampuni aku?”
“Pasti Sus, Tuhan pasti akan mengamunimu karena kepasrahanmu.”
Diraihnya tangan Dani dan direngkuhnya kepala Tina dan Toni dengan penuh kasih dan penyesalan. Tiba-tiba kepalanya terkulai dengan senyum di bibirnya, diiringi isak tangis Dani dan jerit anak-anaknya sambil memanggil-manggil namanya. Tuhan telah memanggil kembali ke pangkuan-Nya. Surat itu tidak jadi ditulisnya karena basah oleh air mata . . . Perantauan, akhir februari’15
Cerpen: Campur Aduk
Kejadian ini sebenarnya sudah cukup lama, namun kalau teringat peristiwa itu kadang saya suka senyum-senyum sendiri, tapi kalau pas nggak ada orang. Sekitar tahun 70-an saya punya grup Keroncong yang terdiri dari para sepuh, maksudnya cuma saya yang paling muda di antara mereka. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan sengaja nama grup keroncong tersebut tidak kami tulis di sini.
Seperti biasanya, grup keroncong yang baru dibentuk itu anggotanya ada yang buaya keroncong, artinya sudah pinter main dan ada yang baru belajar. Pelatihnya seorang pensiunan tentara mantan anggota Korps Musik, sifatnya keras dan tegas. Disamping sebagai pelatih, beliau juga sebagai pemain biola, meski gesekannya agak kasar. Jujur, saya memang belajar mbiola dari beliau, tapi tidak maju-maju karena saya sama sekali tidak ngerti not balok. Sejak mulai sekolah sampai selesai saya memang tidak pernah menerima pelajaran musik, kecuali diajari nembang waktu di SR. Jadi sudah jelas, jangankan not balok wong not usuk saja saya nggak ngerti, he2.
Di antara anggota keroncong itu ada beberapa penyanyi yang rata-rata sudah estewe alias setengah tuwa dan lagi-lagi ada yang sudah pinter dan ada juga yang baru belajar. Konon kata sang buaya, nyanyi keroncong itu susah-susah sulit, jadi kalau pengin bisa ya harus serius dan rajin berlatih. Dari yang baru belajar itu ada seorang ibu yang meski sudah estewe tapi maaf, rada genit dan cerewet, sehingga teman-teman memanggilnya mbah Gembyeng. Tapi dengan panggilan itu dia tidak merasa tersinggung dan juga tidak pernah marah. Dengan berbagai alasan tiap latihan selalu saja datangnya telat, tapi maunya nyanyi duluan dan pulang lebih cepat dan . . . mbungkus.
Suaranya masih bagus dan cengkok nya benar karena memang dia bekas penyanyi keroncong. Waktu itu memang ada ketentuan, setiap penyanyi secara bergiliran wajib membawa makanan kecil bukan gorengan untuk latihan, sementara bagi pemusik dibebaskan dari kewajiban itu. Pemusik biasanya hanya bisa menikmati makanan kecil pada waktu break saja, sedangkan para penyanyi bebas kapan saja kecuali pas gilirannya menyanyi.
Suatu saat ada orang sugih di kampung itu yang mengundang grup keroncong ini untuk latihan di rumahnya dalam rangka ulang tahun. Maklum, karena orangnya sugih maka makanan cukup berlimpah dan berjenis serta tentu saja pasti enak rasanya. Saya lihat mbah Gembyeng makan dengan lahapnya, pindah sana pindah sini, sementara teman-teman baik pemusik maupun penyanyi senyum-senyum saja melihatnya. Ketika tiba giliran dia membawakan sebuah lagu, nafasnya tersengal-sengal akibat kekenyangan.
Ketika acara selesai dan semua berpamitan tiba-tiba mbah Gembyeng berbisik pada saya. “Mas, aku pengin bawain makanan buat suamiku di rumah. Habis rasanya gurih banget, sih. Tapi gimana caranya, ya. Kalau bilang terus terang kan malu.” Saya tahu betul bahwa dia masih pengin makan lagi nanti di rumah, maka saya jawab “Gampang, bilang saja buat anjingmu di rumah.”
Memang di atas meja masih terlihat banyak makanan yang tersisa, maka dengan sedikit malu-malu diapun segera minta pada nyonya rumah, kalau ada sisa makanan buat anjingnya di rumah. Nyonya rumah pun segera memerintahkan pembantunya untuk menyiapkannya. Tapi apa yang terjadi? Sisa-sisa makanan yang di piring termasuk beberapa tulang dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam tas kresek dan diserahkan kepada mbah Gembyeng untuk dibawa pulang.
Seperti biasanya, grup keroncong yang baru dibentuk itu anggotanya ada yang buaya keroncong, artinya sudah pinter main dan ada yang baru belajar. Pelatihnya seorang pensiunan tentara mantan anggota Korps Musik, sifatnya keras dan tegas. Disamping sebagai pelatih, beliau juga sebagai pemain biola, meski gesekannya agak kasar. Jujur, saya memang belajar mbiola dari beliau, tapi tidak maju-maju karena saya sama sekali tidak ngerti not balok. Sejak mulai sekolah sampai selesai saya memang tidak pernah menerima pelajaran musik, kecuali diajari nembang waktu di SR. Jadi sudah jelas, jangankan not balok wong not usuk saja saya nggak ngerti, he2.
Di antara anggota keroncong itu ada beberapa penyanyi yang rata-rata sudah estewe alias setengah tuwa dan lagi-lagi ada yang sudah pinter dan ada juga yang baru belajar. Konon kata sang buaya, nyanyi keroncong itu susah-susah sulit, jadi kalau pengin bisa ya harus serius dan rajin berlatih. Dari yang baru belajar itu ada seorang ibu yang meski sudah estewe tapi maaf, rada genit dan cerewet, sehingga teman-teman memanggilnya mbah Gembyeng. Tapi dengan panggilan itu dia tidak merasa tersinggung dan juga tidak pernah marah. Dengan berbagai alasan tiap latihan selalu saja datangnya telat, tapi maunya nyanyi duluan dan pulang lebih cepat dan . . . mbungkus.
Suaranya masih bagus dan cengkok nya benar karena memang dia bekas penyanyi keroncong. Waktu itu memang ada ketentuan, setiap penyanyi secara bergiliran wajib membawa makanan kecil bukan gorengan untuk latihan, sementara bagi pemusik dibebaskan dari kewajiban itu. Pemusik biasanya hanya bisa menikmati makanan kecil pada waktu break saja, sedangkan para penyanyi bebas kapan saja kecuali pas gilirannya menyanyi.
Suatu saat ada orang sugih di kampung itu yang mengundang grup keroncong ini untuk latihan di rumahnya dalam rangka ulang tahun. Maklum, karena orangnya sugih maka makanan cukup berlimpah dan berjenis serta tentu saja pasti enak rasanya. Saya lihat mbah Gembyeng makan dengan lahapnya, pindah sana pindah sini, sementara teman-teman baik pemusik maupun penyanyi senyum-senyum saja melihatnya. Ketika tiba giliran dia membawakan sebuah lagu, nafasnya tersengal-sengal akibat kekenyangan.
Ketika acara selesai dan semua berpamitan tiba-tiba mbah Gembyeng berbisik pada saya. “Mas, aku pengin bawain makanan buat suamiku di rumah. Habis rasanya gurih banget, sih. Tapi gimana caranya, ya. Kalau bilang terus terang kan malu.” Saya tahu betul bahwa dia masih pengin makan lagi nanti di rumah, maka saya jawab “Gampang, bilang saja buat anjingmu di rumah.”
Memang di atas meja masih terlihat banyak makanan yang tersisa, maka dengan sedikit malu-malu diapun segera minta pada nyonya rumah, kalau ada sisa makanan buat anjingnya di rumah. Nyonya rumah pun segera memerintahkan pembantunya untuk menyiapkannya. Tapi apa yang terjadi? Sisa-sisa makanan yang di piring termasuk beberapa tulang dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam tas kresek dan diserahkan kepada mbah Gembyeng untuk dibawa pulang.