Perjumpaan Kekristenan dengan Budaya Jawa dan Budaya Nasional di GKJ Nehemia
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “buddhayah”, yang merupakan bentuk jamak dari “buddhi” (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit. Budaya berupa: hasil karya, cipta, karsa dan rasa manusia yang berguna untuk masyarakat; titik Kulminasi merupakan puncak tertinggi atau tingkatan tertinggi dalam suatu budaya. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Seorang filsuf pada jaman Yunani kuno, Plato berpendapat bahwa manusia itu bagian dari alam semesta dan kebudayaan itu menjadikan pembelajaran bagi kehidupan manusia. Kebudayaan adalah kelengkapan hidup manusia yang selalu berusaha mengerti siapa jati dirinya, hidup bersama dalam paguyuban-paguyuban dan menyatu dengan alam semesta. Kebudayaan itu bukan sekedar seni, bahasa, busana, atau bahkan unggah-ungguh, namun lebih pada sikap, rasa dan pengalaman batin bersama dengan Sang Pencipta (Romo ARY.Suwondo Magelang). Eling lan waspada, eling berarti ingat pada tujuan hidup kita adalah kepada Sang Pencipta semesta ini dan selalu waspada terhadap perubahan peradaban yang terjadi sebagai bagian dari alam semesta ini.
Kehidupan masyarakat modern dewasa ini seringkali mengartikan kebudayaan sebatas ilmu, bagaimana manusia bisa hidup enak tanpa bersusah payah, tanpa proses, segalanya bisa ditempuh secara instan. Perubahan sosial dan budaya ini telah dirasakan sebagai krisis kebudayaan selama ini. Krisis ini lalu membuat banyak kelompok merindukan semacam identitas kebudayaan yang mampu mengisi kekosongan batin dan hidup mereka dengan simbol-simbol budaya yang dapat memberi makna.
Budaya GKJ Nehemia dan Budaya Nasional
Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan atau sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya yang ada di lingkungan GKJ Nehemia. Mengingat GKJ Nehemia telah membuka diri menjadi gereja yang universal. Tetapi mau tidak mau, “budaya Jawa” sebagai akar tumbuhnya gereja ini tetap dipertahankan dan menjadi motor penggeraknya.
Kebudayaan termasuk salah satu pembentuk karakteristik gereja yang dapat menaikkan citra jemaatnya ke seluruh penjuru, walaupun GKJ Nehemia terdiri dari berbagai ras, suku, budaya, bahasa, namun dapat disatukan oleh semangat kebersamaan.
Kebudayaan sebagai sebagai pembentuk identitas nasional bangsa indonesia yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain. Oleh karena itu GKJ Nehemia merupakan identitas suatu kelompok orang yang memiliki ciri dan melahirkan tindakan secara kolektif, yang disebut jemaat atau “pasamuwan” GKJ Nehemia, sebagai bagian dari bangsa ini mempunyai kewajiban untuk ikut berpatisipasi melestarikan budaya Indonesia. Peribadatan dan kegiatan GKJ Nehemia, selain penggunaan bahasa indonesia dan jawa, menyertakan seni musik dan pentas, tradisionil jawa : karawitan, kentrung, kroncong, ketoprak, wayang, punakawan, dan non jawa : angklung, kulintang, gondang, serta budaya internasional : Koor, Vocal Group, Drama, ensemble, band, dll.
Peranan penting dari Majelis dan jemaat serta komisi-komisi dan bebadan yang ada, untuk melestari-kembangkan serta menjaga kebudayaan yang ada di lingkungan GKJ Nehemia. karena keberagaman budaya adalah kekayaan budaya bangsa Indonesia. Dan keanekaragaman jemaat dengan sosial budayanya itu sendiri merupakan sebuah potensi kekayaan yang harus dioptimalkan sehingga terasa manfaatnya. Oleh karena itu, potensi tersebut perlu diwujudkan menjadi kekuatan riil sehingga mampu menjawab berbagai tantangan kekinian yang ditunjukkan dengan melemahnya ketahanan budaya yang berimplikasi pada menurunnya kebanggaan nasional.
Maka perlu adanya upaya untuk menjaga dan melestarikan budaya Indonesia agar terhindar dari pengambilan budaya oleh negara lain, dan agar kedepannya anak muda bisa mengerti tentang budaya bangsa sendiri. Di era globalisasi ini memungkinkan budaya lain masuk dengan mudah, sehingga rawan terjadinya asimilasi budaya. Oleh karena itu budaya Indonesia harus diperkokoh, salah satunya melalui menumbuh-kembangkan budaya nasional di GKJ Nehemia.
Budaya Jawa Akar Budaya GKJ Nehemia
Sikap “akomodatif” adalah sikap yang tidak mempertentangkan kekristenan dengan kebudayaan Jawa. Dalam sikap ini, nilai-nilai yang ada di dalam kebudayaan Jawa dipandang sebagai nilai-nilai yang dikejar oleh kekristenan. Sikap akomodatif ini dikembangkan oleh Coolen di Ngoro-Jawa Timur, Kyai Sadrach di Purwareja-Jawa Tengah, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung di Pati-Jepara, Anthing di Jawa Barat. Ketiga orang ini menghadirkan kekristenan sebagai sebentuk ngelmu. Melalui ngelmu yang diberikan Tuhan ini, manusia dikenalkan kepada Yesus sang Penebus.
Kerukunan antar jemaat di GKJ Nehemia yang berbeda ini terjadi karena budaya jawa, yakni : ramah-tamah, tepo seliro, andhap ashor, masih berjalan dengan baik di lingkungan gereja ini. Suku Jawa adalah suku yang memiliki kuantitas terbesar, tidak dapat dipungkiri semua orang Jawa sadar atau tidak, mendapat pengaruh dari nilai-nilai yang turun temurun dan mempengaruhi cara berpikir, bertindak dan kepercayaan leluwur Jawa. Salah satu sumber nilai-nilai etis moral-religi yang diajarkan oleh leluwur Jawa.
Secara umum orang Jawa menganggap bahwa dengan menjadi Kristen mereka tidak dapat lagi memegang tradisi Jawa yang berhubungan dengan leluwur, memberi sesaji, ziarah makam orang tua. Mereka beranggapan apabila mereka tidak melakukan hal tersebut membawa mereka menjadi anak yang durhaka, dan kuwalat. Hal inilah yang membuat Orang Jawa Kristen menjadi bingung dan dilema, terlebih lagi pada zaman globalisasi kebingungan mereka bertambah. Budaya global yang membawa banyak ajaran global mempengaruhi pikiran dan tindakan orang Jawa. Materilisme, individulisme telah membuat orang Jawa dan kejawaannya makin tak terlihat. Orang Jawa Kristen tetap melaksanakan tradisi dan budaya leluhur yang selaras dengan pengajaran Alkitab, yang menjadi terang dalam tradisi Jawa, sehingga orang Jawa dapat memahami hal-hal mana yang dilakukan dan ditinggalkan.
Sebagai contoh, ciri-ciri khas dan karakter unik dari jemaat Sadrach terkait dengan budaya dan adat, meliputi tiga bidang yaitu: 1. organisasi, kepemimpinan dan keanggotaan; 2. kebaktian, khotbah dan upacara keagamaan; 3. kehidupan rohani dan jiwa yang mandiri dan merdeka. Sadrach adalah guru ngelmu dan kiai yang sengaja tidak menaruh perhatian besar pada aspek kelembagaan jemaat, tetapi lebih menekankan spiritualitas. Namun Sadrach bersikeras bahwa petobat Jawa tetap merupakan orang Jawa, ia membela dan mendukung pelestarian adat yang berfungsi memperkaya kehidupan spiritual jemaat (Sutarman S. Partonadi).
Sikap Gereja Terhadap Kebudayaan.
Tugas Gereja adalah menerangi semua orang yang sudah berada dibawah ilusi kebudayan, supaya mereka dibawa kepada pengetahuan akan kebenaran. Oleh sebab itu Injil harus diaktualisasikan dalam kebudayaan supaya kebudayaan lebih dapat menyejahterakan manusia (pemikiran Augustinis ini dilanjutkan oleh Johanes Calvin pada awal abad ke 16). Injil menekankan anugerah Allah sebagai jaminan kehidupan (Matius 5:25-34); tentang kasih dan keadilan yang menentang hukum balas-membalas (Matius 5:38-48).
Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing saling berpenetrasi, maka unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada dalam perobahan. Demikianlah Injil selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan membawa nilai Injil secara khusus dengan sistem religi, sistem pengetahuan, kesenian dan mata pencaharian.Tetapi bagaimanapun Injil yang diberitakan itu tetap berhadapan dengan kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-suku. Dalam pertemuan injil dan kebudayaan tersebut, secara khusus adalah dengan unsur-unsur kebudayaan yang pasti terdapat dalam semua kebudayaan yang dinamai unsur kebudayaan universal.
Oleh sebab itu gereja tidak dapat tidak harus menentukan sikap terhadap kebudayaan yang dihadapinya, maka :
- Gereja harus dapat “memisahkan iman dan kebudayaan”. Orang beriman (Kristen) berada dalam dua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam anugerah Allah dalam Kristus
- Gereja harus mempunyai sikap yang tepat sebagai “pengubah kebudayaan”. Dalam gagasan ini, kesetiaan orang kepada Kristus menentukan orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam karya kebudayaan (HR.Niebuhr).
- Gereja juga “tidak menyerah kepada kebudayaan” karena mereka memahami kebudayaan mempunyai kelemahan-kelemahan. Kebudayaan yang dipaksakan gereja selalu berbentuk sintesa antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia dan ada kecenderungan memandang kebudayaan yang masih berdosa ini dianggap suci sebab berada di bawah gereja.
- Gereja berada “diatas kebudayaan”. Kebudayaan menciptakan aturan suatu kehidupan sosial yang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh semua yang berakal sehat sebab bersifat hukum alam (Thomas Aquinas). Tapi hukum Ilahi yang yang dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui hukum alam.
Sesungguhnya kehidupan manusia tidak bisa lepas dari “budaya dan tradisi”. Justru dalam budaya dan tradisi itulah manusia mengembangkan kemanusiaan dan komunitasnya. Budaya dan tradisi menjadi sarana bagi manusia untuk memaknai alam, sesama dan Tuhan-nya. Bahkan iman itu sendiri tidak bisa dipisahkan dari budaya dan tradisi, juga iman Kristen. Iman Kristen dipengaruhi budaya dan tradisi yang ada di sekitarnya tetapi sekaligus juga menciptakan budaya dan tradisi baru.
Iman dan budaya memang berbeda namun juga begitu menyatu dan saling tak terpisahkan, saling menghidupi. Jadi kita tidak boleh anti budaya namun harus kritis terhadap budaya, akan tetapi juga perlu berhati-hati, jangan mencampur-adukkan iman Kristen dengan kepercayaan-kepercayaan lain. Ingatlah Rasul Paulus memberikan peringatan : “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” (Kolose 2:8). (disarikan dari berbagai sumber). Bekasi, awal Agustus 2015. Agus Harjanta.
Seorang filsuf pada jaman Yunani kuno, Plato berpendapat bahwa manusia itu bagian dari alam semesta dan kebudayaan itu menjadikan pembelajaran bagi kehidupan manusia. Kebudayaan adalah kelengkapan hidup manusia yang selalu berusaha mengerti siapa jati dirinya, hidup bersama dalam paguyuban-paguyuban dan menyatu dengan alam semesta. Kebudayaan itu bukan sekedar seni, bahasa, busana, atau bahkan unggah-ungguh, namun lebih pada sikap, rasa dan pengalaman batin bersama dengan Sang Pencipta (Romo ARY.Suwondo Magelang). Eling lan waspada, eling berarti ingat pada tujuan hidup kita adalah kepada Sang Pencipta semesta ini dan selalu waspada terhadap perubahan peradaban yang terjadi sebagai bagian dari alam semesta ini.
Kehidupan masyarakat modern dewasa ini seringkali mengartikan kebudayaan sebatas ilmu, bagaimana manusia bisa hidup enak tanpa bersusah payah, tanpa proses, segalanya bisa ditempuh secara instan. Perubahan sosial dan budaya ini telah dirasakan sebagai krisis kebudayaan selama ini. Krisis ini lalu membuat banyak kelompok merindukan semacam identitas kebudayaan yang mampu mengisi kekosongan batin dan hidup mereka dengan simbol-simbol budaya yang dapat memberi makna.
Budaya GKJ Nehemia dan Budaya Nasional
Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan atau sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya yang ada di lingkungan GKJ Nehemia. Mengingat GKJ Nehemia telah membuka diri menjadi gereja yang universal. Tetapi mau tidak mau, “budaya Jawa” sebagai akar tumbuhnya gereja ini tetap dipertahankan dan menjadi motor penggeraknya.
Kebudayaan termasuk salah satu pembentuk karakteristik gereja yang dapat menaikkan citra jemaatnya ke seluruh penjuru, walaupun GKJ Nehemia terdiri dari berbagai ras, suku, budaya, bahasa, namun dapat disatukan oleh semangat kebersamaan.
Kebudayaan sebagai sebagai pembentuk identitas nasional bangsa indonesia yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain. Oleh karena itu GKJ Nehemia merupakan identitas suatu kelompok orang yang memiliki ciri dan melahirkan tindakan secara kolektif, yang disebut jemaat atau “pasamuwan” GKJ Nehemia, sebagai bagian dari bangsa ini mempunyai kewajiban untuk ikut berpatisipasi melestarikan budaya Indonesia. Peribadatan dan kegiatan GKJ Nehemia, selain penggunaan bahasa indonesia dan jawa, menyertakan seni musik dan pentas, tradisionil jawa : karawitan, kentrung, kroncong, ketoprak, wayang, punakawan, dan non jawa : angklung, kulintang, gondang, serta budaya internasional : Koor, Vocal Group, Drama, ensemble, band, dll.
Peranan penting dari Majelis dan jemaat serta komisi-komisi dan bebadan yang ada, untuk melestari-kembangkan serta menjaga kebudayaan yang ada di lingkungan GKJ Nehemia. karena keberagaman budaya adalah kekayaan budaya bangsa Indonesia. Dan keanekaragaman jemaat dengan sosial budayanya itu sendiri merupakan sebuah potensi kekayaan yang harus dioptimalkan sehingga terasa manfaatnya. Oleh karena itu, potensi tersebut perlu diwujudkan menjadi kekuatan riil sehingga mampu menjawab berbagai tantangan kekinian yang ditunjukkan dengan melemahnya ketahanan budaya yang berimplikasi pada menurunnya kebanggaan nasional.
Maka perlu adanya upaya untuk menjaga dan melestarikan budaya Indonesia agar terhindar dari pengambilan budaya oleh negara lain, dan agar kedepannya anak muda bisa mengerti tentang budaya bangsa sendiri. Di era globalisasi ini memungkinkan budaya lain masuk dengan mudah, sehingga rawan terjadinya asimilasi budaya. Oleh karena itu budaya Indonesia harus diperkokoh, salah satunya melalui menumbuh-kembangkan budaya nasional di GKJ Nehemia.
Budaya Jawa Akar Budaya GKJ Nehemia
Sikap “akomodatif” adalah sikap yang tidak mempertentangkan kekristenan dengan kebudayaan Jawa. Dalam sikap ini, nilai-nilai yang ada di dalam kebudayaan Jawa dipandang sebagai nilai-nilai yang dikejar oleh kekristenan. Sikap akomodatif ini dikembangkan oleh Coolen di Ngoro-Jawa Timur, Kyai Sadrach di Purwareja-Jawa Tengah, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung di Pati-Jepara, Anthing di Jawa Barat. Ketiga orang ini menghadirkan kekristenan sebagai sebentuk ngelmu. Melalui ngelmu yang diberikan Tuhan ini, manusia dikenalkan kepada Yesus sang Penebus.
Kerukunan antar jemaat di GKJ Nehemia yang berbeda ini terjadi karena budaya jawa, yakni : ramah-tamah, tepo seliro, andhap ashor, masih berjalan dengan baik di lingkungan gereja ini. Suku Jawa adalah suku yang memiliki kuantitas terbesar, tidak dapat dipungkiri semua orang Jawa sadar atau tidak, mendapat pengaruh dari nilai-nilai yang turun temurun dan mempengaruhi cara berpikir, bertindak dan kepercayaan leluwur Jawa. Salah satu sumber nilai-nilai etis moral-religi yang diajarkan oleh leluwur Jawa.
Secara umum orang Jawa menganggap bahwa dengan menjadi Kristen mereka tidak dapat lagi memegang tradisi Jawa yang berhubungan dengan leluwur, memberi sesaji, ziarah makam orang tua. Mereka beranggapan apabila mereka tidak melakukan hal tersebut membawa mereka menjadi anak yang durhaka, dan kuwalat. Hal inilah yang membuat Orang Jawa Kristen menjadi bingung dan dilema, terlebih lagi pada zaman globalisasi kebingungan mereka bertambah. Budaya global yang membawa banyak ajaran global mempengaruhi pikiran dan tindakan orang Jawa. Materilisme, individulisme telah membuat orang Jawa dan kejawaannya makin tak terlihat. Orang Jawa Kristen tetap melaksanakan tradisi dan budaya leluhur yang selaras dengan pengajaran Alkitab, yang menjadi terang dalam tradisi Jawa, sehingga orang Jawa dapat memahami hal-hal mana yang dilakukan dan ditinggalkan.
Sebagai contoh, ciri-ciri khas dan karakter unik dari jemaat Sadrach terkait dengan budaya dan adat, meliputi tiga bidang yaitu: 1. organisasi, kepemimpinan dan keanggotaan; 2. kebaktian, khotbah dan upacara keagamaan; 3. kehidupan rohani dan jiwa yang mandiri dan merdeka. Sadrach adalah guru ngelmu dan kiai yang sengaja tidak menaruh perhatian besar pada aspek kelembagaan jemaat, tetapi lebih menekankan spiritualitas. Namun Sadrach bersikeras bahwa petobat Jawa tetap merupakan orang Jawa, ia membela dan mendukung pelestarian adat yang berfungsi memperkaya kehidupan spiritual jemaat (Sutarman S. Partonadi).
Sikap Gereja Terhadap Kebudayaan.
Tugas Gereja adalah menerangi semua orang yang sudah berada dibawah ilusi kebudayan, supaya mereka dibawa kepada pengetahuan akan kebenaran. Oleh sebab itu Injil harus diaktualisasikan dalam kebudayaan supaya kebudayaan lebih dapat menyejahterakan manusia (pemikiran Augustinis ini dilanjutkan oleh Johanes Calvin pada awal abad ke 16). Injil menekankan anugerah Allah sebagai jaminan kehidupan (Matius 5:25-34); tentang kasih dan keadilan yang menentang hukum balas-membalas (Matius 5:38-48).
Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing saling berpenetrasi, maka unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada dalam perobahan. Demikianlah Injil selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan membawa nilai Injil secara khusus dengan sistem religi, sistem pengetahuan, kesenian dan mata pencaharian.Tetapi bagaimanapun Injil yang diberitakan itu tetap berhadapan dengan kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-suku. Dalam pertemuan injil dan kebudayaan tersebut, secara khusus adalah dengan unsur-unsur kebudayaan yang pasti terdapat dalam semua kebudayaan yang dinamai unsur kebudayaan universal.
Oleh sebab itu gereja tidak dapat tidak harus menentukan sikap terhadap kebudayaan yang dihadapinya, maka :
- Gereja harus dapat “memisahkan iman dan kebudayaan”. Orang beriman (Kristen) berada dalam dua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam anugerah Allah dalam Kristus
- Gereja harus mempunyai sikap yang tepat sebagai “pengubah kebudayaan”. Dalam gagasan ini, kesetiaan orang kepada Kristus menentukan orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam karya kebudayaan (HR.Niebuhr).
- Gereja juga “tidak menyerah kepada kebudayaan” karena mereka memahami kebudayaan mempunyai kelemahan-kelemahan. Kebudayaan yang dipaksakan gereja selalu berbentuk sintesa antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia dan ada kecenderungan memandang kebudayaan yang masih berdosa ini dianggap suci sebab berada di bawah gereja.
- Gereja berada “diatas kebudayaan”. Kebudayaan menciptakan aturan suatu kehidupan sosial yang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh semua yang berakal sehat sebab bersifat hukum alam (Thomas Aquinas). Tapi hukum Ilahi yang yang dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui hukum alam.
Sesungguhnya kehidupan manusia tidak bisa lepas dari “budaya dan tradisi”. Justru dalam budaya dan tradisi itulah manusia mengembangkan kemanusiaan dan komunitasnya. Budaya dan tradisi menjadi sarana bagi manusia untuk memaknai alam, sesama dan Tuhan-nya. Bahkan iman itu sendiri tidak bisa dipisahkan dari budaya dan tradisi, juga iman Kristen. Iman Kristen dipengaruhi budaya dan tradisi yang ada di sekitarnya tetapi sekaligus juga menciptakan budaya dan tradisi baru.
Iman dan budaya memang berbeda namun juga begitu menyatu dan saling tak terpisahkan, saling menghidupi. Jadi kita tidak boleh anti budaya namun harus kritis terhadap budaya, akan tetapi juga perlu berhati-hati, jangan mencampur-adukkan iman Kristen dengan kepercayaan-kepercayaan lain. Ingatlah Rasul Paulus memberikan peringatan : “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” (Kolose 2:8). (disarikan dari berbagai sumber). Bekasi, awal Agustus 2015. Agus Harjanta.
Budaya yang Mendorong Kemajuan
Kebudayaan dapat diartikan sebagai usaha manusia mengolah lingkungan alam dan sosial. Sifat adaptasi menjunjung tinggi nilai-nilai keharmonisan dalam lingkungan, menghindari ketegangan, selalu menemukan pemecahan masalah dengan damai. Organisasi harus mempunyai budaya yang membangun, dan yang menguatkan. Bagian-bagian budaya organisasi yang tidak lagi sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi, dan menjadi hambatan bagi terlaksananya ‘misi’ organisasi maka perlu ditinjau.
Kebudayaann berasal dari akar kata Sansekerta buddhayah yang berarti budi atau akal. Kebudayaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan akal, atau kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa. Karena manusia adalah bagian dari alam, maka kebudayaan dapat diartikan sebagai usaha manusia mengolah lingkungan alam dan sosial, atau usaha manusia mengolah lingkungannya.
Gereja sebagai organisasi
Organisasi ialah sarana untuk mencapai tujuan. Ia merupakan wadah atau tempat, yang di dalamnya berisi orang-orang (warga) yang berinteraksi untuk mencapai tujuannya. Orang-orang itu diikat oleh nilai, norma, dan tujuan organisasi. Nilai organisasi ialah sesuatu yang dihormati, dijunjung tinggi, dan diperjuangkan. Norma organisasi ialah seperangkat aturan berperilaku untuk mencapai tujuan. Tujuan organisasi ialah mempertahankan, mengembangkan, dan melangsungkan hidupnya.
Kemampuan adaptasi
Manusia hidup mempunyai saling hubungan dengan alam dan sesamanya, maka manusia dapat dikatakan bagian dari alam dan bagian dari masyarakat. Individu manusia yang ingin hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik dalam satu lingkungan organisasi (gereja, masyarakat, negara, dsb.) harus mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan sifat yang positif. Mampu melakukan adaptasi adalah ungkapan yang cocok untuk menciptakan kondisi kondusif dan sifat yang positif. Kemampuan adaptasi harus diciptakan dari diri individu manusia tersebut. Sifat adaptasi adalah sifat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keharmonisan dalam lingkungan, menghindari ketegangan, selalu menemukan pemecahan masalah dengan damai .
Sifat adaptasi yang tampak dalam GKJ antara lain:
- Adanya tatakrama / tingkatan-tingkatan dalam berbahasa.
- Sifat menghormati dalam berperilaku antara yang muda terhadap yang lebih muda.
- Mudah bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan.
- Model kesenian yang menggambarkan kehalusan budi.
- Model musik Jawa yang mengedepankan harmoni dan kehalusan budi.
Tentunya cici-ciri budaya yang positif tersebut sangat perlu untuk dipertahankan, agar melalui budaya tsb. membawa pengaruh positif bagi pertumbuhan iman warga jemaat.
Imperialisme budaya
Pada semua masyarakat terdapat budaya lokal sebagai pedoman berpikir dan berperilaku, yang diwariskan oleh generasi pendahulu dan disesuaikan dengan perubahan lingkungan oleh generasi berikutnya. Disamping itu, budaya lokal dapat menyesuaikan diri dengan budaya luar manakala budaya luar tersebut tidak memaksa dan tidak merusak budaya lokal. Jika budaya luar (asing) merusak budaya lokal, maka terjadi penjajahan budaya atau imperialisme budaya. Ini yang perlu kita waspadai.
Imperialisme adalah bentuk penjajahan baru melalui kegiatan kegiatan penanaman modal, transformasi ilmu dan teknologi, pemanfaatan tenaga asing, melalui bantuan asing, dan melalui kebudayaan. Imperialisme budaya adalah penjajahan dalan bentuk transformasi cara berpikir dan cara berperilaku suatu bangsa atas bangsa lain.
Imperialisme budaya merupakan salah satu upaya para kapitalis untuk membuat bangsa kita menjadi bangsa yang konsumtif. Tipe bangsa yang demikian akan menguntungkan kapitalis karena hasil produksi mereka akan mudah laku di Indonesia. Indonesia menjadi sasaran karena jumlah penduduknya yang besar. Melalui budaya mereka mengharapkan Indonesia tetap menjadi pasar yang potensial bagi mereka. Dan mempengaruhi suatu bangsa melalui budayanya adalah cara yang mudah dan murah.
Bentuk konkret imperialisme budaya antara lain:
1. Transformasi ilmu dan teknologi yang berorientasi pasar melalui para pengusaha nasional dan perguruan tinggi.
2. Transformasi seni melalui media elektronik (radio, televise, internet), media cetak, dsb. Media-media ini mempunyai pengaruh langsung dalam pengubahan pikiran dan perilaku social.
3. Transformasi gaya hidup melalui pemenuhan berbagai kebutuhan hidup sehingga masyarakat terbawa ke konsumerisme.
4. Transformasi konsep pandangan hidup melalui para legislator dan dunia pendidikan, sehingga dapat mengubah pandangan hidup bangsa menuju kondisi yang menguntungkan kapitalis.
5. Transformasi norma sosial melalui para yudikatif dan para pemimpin informal sehingga dapat mengubah hukum positif dan berbagai pranata sosial yang berorientasi menguntungkan pihak asing.
Oleh karena itu, dalam konteks budaya ini, kita harus membuka kesadaran dan keberanian baru untuk menjadi bebas dari tekanan melalui jalan autokritik, mendekatkan diri pada kehidupan berdasar sosial-budaya lokal, dan memadukan pikiran dengan kenyataan obyektif. Kita harus membangun dengan bertumpu pada kekuatan sendiri.
Budaya organisasi
Gereja sebagai organisasi perlu mempunyai budaya. Budaya inilah yang membedakan organisasi yang satu dengan yang lain. Budaya inilah yang dapat membuat organisasi berkembang atau tidak. Perlu disadari bahwa budaya organisasi dapat berupa kekuatan, akan tetapi dapat pula menjadi kelemahan.
Dia merupakan kekuatan kalau mempermudah dan memperlancar proses komunikasi, mendorong berlangsungnya proses pengambilan keputusan yang efektif, memperlancar jalannya pengawasan , dan menumbuh suburkan semangat kerjasama dan memperbesar komitmen anggota-anggotanya kepada organisasi.
Budaya organisasi sebagai seperangkat nilai, norma, persepsi dan pola perilaku yang diciptakan dan dikembangkan dalam organisasi untuk mengatasi masalah-masalah, baik masalah mengenai adaptasi secara eksternal, maupun masalah integrasi secara internal.
Budaya organisasi merupakan pola pikir dan pola perilaku semua orang dalam organisasi, pengurus maupun anggota organisasi. Dengan demikian budaya organisasi sebagai alat, cara atau informasi relevan untuk memecahkan masalah eksternal dan masalah internal.
Budaya organisasi dapat memberi dampak positif terhadap keefektifan organisasi, karena:
a. Dapat melahirkan keunggulan organisasi yang satu dibanding yang lain.
b. Dapat memperbaiki struktur organisasi. Struktur formal merupakan pola perilaku dan pola pertanggungjawaban orang-orang dalam organisasi.
c. Dapat memotivasi para anggota organisasi untuk berkarya keras demi mencapai tujuan organisasi.
Karena itu organisasi harus mempunyai budaya yang membangun, dan yang menguatkan.
Agar memberikan efek yang positif dan cepat, maka budaya organisasi harus ditransformasikan kepada seluruh anggota melalui:
a. Program pendidikan dan pelatihan.
b. Melalui cerita heroik, ritual, dan semboyan-semboyan yang diucapkan oleh para anggota.
Ciri-ciri organisasi yang memiliki budaya yang kuat adalah :
1. Semua pengurusnya memberikan kontribusi nilai dan metode kerja yang konsisten.
2. Pengurus baru maupun anggota baru mengikutinya tanpa memberikan alternativ pemikiran karena pemikiran yang ada dianggap sudah cukup memadai, atau mereka tidak mampu mengubah budaya yang sudah ada.
3. Cara mengatasi masalah yang ada ditiru oleh organisasi yang lain.
4. Semua level pengurus melaksanakan visi dan misi organisasi.
5. Organisasi mempunyai tujuan yang jelas.
6. Semua pengurus dan anggota mempunyai motivasi yang tinggi, loyal.
7. Mempunyai struktur dan sistem kontrol yang luwes.
8. Semua orang di dalam organisasi memiliki kesadaran yang tinggi tentang kelangsungan hidup organisasi.
Dengan memperhatikan uraian diatas, GKJ yang semula sebagai gereja suku yang sasaran pelayanannya adalah orang-orang Jawa, dalam perkembangannya kemudian sudah menjadi gereja yang heterogen anggotanya, khususnya di kota -kota besar, menjadikan GKJ mempunyai tugas yang lebih kompleks dalam merepresentasikan budaya organisasinya, agar dengan kondisi multi suku tersebut tetap mempunyai budaya yang mampu menguatkan dan mengembangkan organisasi. Yang mampu membuat seluruh warga jemaat dengan berbagai talenta menjadi laskar-laskar Kristus yang konsekuen, militan, dan arif.
Budaya organisasi yang menguatkan diharapkan mampu menghasilkan :
a. Kader-kader yang tangguh dan bersemangat tinggi dalam pelayanan melalui penempatan dalam jabatan gerejawi, maupun dalam kepengurusan komisi dan kelompok kerja.
b. Penyadaran warga gereja terhadap tugas dan tanggungjawab sosialnya dalam masyarakat sehingga mendorong mereka untuk melibatkan secara aktif dalam pengembangan masyarakat dengan berbekal penguasaan ilmu dan teknologi.
c. Pengembangan rasa kebersamaan atau oikumenis di antara gereja-gereja atau kelompok-kelompok Kristen, sehingga dapat menciptakan suasana hidup dan kerjasama yang baik sebagai keluarga besar Allah.
d. Penyadaran tentang jati diri umat Kristen yang pada dasarnya telah memiliki ’hidup baru di dalam Kristus’ yang harus dinampakkan dalam gaya hidup Kristiani yang dapat menjadi panutan.
e. Pengembangan kehidupan yang dialogis dengan sesama umat beragama, sehingga rasa sebangsa dan setanah air serta kesadaran terhadap tanggungjawab bersama dalam pembangunan bangsa dapat dihayati.
Dalam pengamatan selama ini, secara umum GKJ Nehemia telah memiliki budaya yang mampu menumbuh kembangkan organisasi dengan memadai. Namun andaikata berdasarkan penilaian bersama terdapat bagian-bagian budaya organisasi yang tidak lagi sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi, dan ternyata menjadi hambatan bagi terlaksananya ‘misi’ organisasi maka perlu ditinjau, bila perlu diganti, meskipun penggantian ini tidak mudah dan memerlukan waktu yang tidak pendek. Dari beberapa sumber. Depok, 17 Juni 2015. Munari.
Kebudayaann berasal dari akar kata Sansekerta buddhayah yang berarti budi atau akal. Kebudayaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan akal, atau kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa. Karena manusia adalah bagian dari alam, maka kebudayaan dapat diartikan sebagai usaha manusia mengolah lingkungan alam dan sosial, atau usaha manusia mengolah lingkungannya.
Gereja sebagai organisasi
Organisasi ialah sarana untuk mencapai tujuan. Ia merupakan wadah atau tempat, yang di dalamnya berisi orang-orang (warga) yang berinteraksi untuk mencapai tujuannya. Orang-orang itu diikat oleh nilai, norma, dan tujuan organisasi. Nilai organisasi ialah sesuatu yang dihormati, dijunjung tinggi, dan diperjuangkan. Norma organisasi ialah seperangkat aturan berperilaku untuk mencapai tujuan. Tujuan organisasi ialah mempertahankan, mengembangkan, dan melangsungkan hidupnya.
Kemampuan adaptasi
Manusia hidup mempunyai saling hubungan dengan alam dan sesamanya, maka manusia dapat dikatakan bagian dari alam dan bagian dari masyarakat. Individu manusia yang ingin hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik dalam satu lingkungan organisasi (gereja, masyarakat, negara, dsb.) harus mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan sifat yang positif. Mampu melakukan adaptasi adalah ungkapan yang cocok untuk menciptakan kondisi kondusif dan sifat yang positif. Kemampuan adaptasi harus diciptakan dari diri individu manusia tersebut. Sifat adaptasi adalah sifat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keharmonisan dalam lingkungan, menghindari ketegangan, selalu menemukan pemecahan masalah dengan damai .
Sifat adaptasi yang tampak dalam GKJ antara lain:
- Adanya tatakrama / tingkatan-tingkatan dalam berbahasa.
- Sifat menghormati dalam berperilaku antara yang muda terhadap yang lebih muda.
- Mudah bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan.
- Model kesenian yang menggambarkan kehalusan budi.
- Model musik Jawa yang mengedepankan harmoni dan kehalusan budi.
Tentunya cici-ciri budaya yang positif tersebut sangat perlu untuk dipertahankan, agar melalui budaya tsb. membawa pengaruh positif bagi pertumbuhan iman warga jemaat.
Imperialisme budaya
Pada semua masyarakat terdapat budaya lokal sebagai pedoman berpikir dan berperilaku, yang diwariskan oleh generasi pendahulu dan disesuaikan dengan perubahan lingkungan oleh generasi berikutnya. Disamping itu, budaya lokal dapat menyesuaikan diri dengan budaya luar manakala budaya luar tersebut tidak memaksa dan tidak merusak budaya lokal. Jika budaya luar (asing) merusak budaya lokal, maka terjadi penjajahan budaya atau imperialisme budaya. Ini yang perlu kita waspadai.
Imperialisme adalah bentuk penjajahan baru melalui kegiatan kegiatan penanaman modal, transformasi ilmu dan teknologi, pemanfaatan tenaga asing, melalui bantuan asing, dan melalui kebudayaan. Imperialisme budaya adalah penjajahan dalan bentuk transformasi cara berpikir dan cara berperilaku suatu bangsa atas bangsa lain.
Imperialisme budaya merupakan salah satu upaya para kapitalis untuk membuat bangsa kita menjadi bangsa yang konsumtif. Tipe bangsa yang demikian akan menguntungkan kapitalis karena hasil produksi mereka akan mudah laku di Indonesia. Indonesia menjadi sasaran karena jumlah penduduknya yang besar. Melalui budaya mereka mengharapkan Indonesia tetap menjadi pasar yang potensial bagi mereka. Dan mempengaruhi suatu bangsa melalui budayanya adalah cara yang mudah dan murah.
Bentuk konkret imperialisme budaya antara lain:
1. Transformasi ilmu dan teknologi yang berorientasi pasar melalui para pengusaha nasional dan perguruan tinggi.
2. Transformasi seni melalui media elektronik (radio, televise, internet), media cetak, dsb. Media-media ini mempunyai pengaruh langsung dalam pengubahan pikiran dan perilaku social.
3. Transformasi gaya hidup melalui pemenuhan berbagai kebutuhan hidup sehingga masyarakat terbawa ke konsumerisme.
4. Transformasi konsep pandangan hidup melalui para legislator dan dunia pendidikan, sehingga dapat mengubah pandangan hidup bangsa menuju kondisi yang menguntungkan kapitalis.
5. Transformasi norma sosial melalui para yudikatif dan para pemimpin informal sehingga dapat mengubah hukum positif dan berbagai pranata sosial yang berorientasi menguntungkan pihak asing.
Oleh karena itu, dalam konteks budaya ini, kita harus membuka kesadaran dan keberanian baru untuk menjadi bebas dari tekanan melalui jalan autokritik, mendekatkan diri pada kehidupan berdasar sosial-budaya lokal, dan memadukan pikiran dengan kenyataan obyektif. Kita harus membangun dengan bertumpu pada kekuatan sendiri.
Budaya organisasi
Gereja sebagai organisasi perlu mempunyai budaya. Budaya inilah yang membedakan organisasi yang satu dengan yang lain. Budaya inilah yang dapat membuat organisasi berkembang atau tidak. Perlu disadari bahwa budaya organisasi dapat berupa kekuatan, akan tetapi dapat pula menjadi kelemahan.
Dia merupakan kekuatan kalau mempermudah dan memperlancar proses komunikasi, mendorong berlangsungnya proses pengambilan keputusan yang efektif, memperlancar jalannya pengawasan , dan menumbuh suburkan semangat kerjasama dan memperbesar komitmen anggota-anggotanya kepada organisasi.
Budaya organisasi sebagai seperangkat nilai, norma, persepsi dan pola perilaku yang diciptakan dan dikembangkan dalam organisasi untuk mengatasi masalah-masalah, baik masalah mengenai adaptasi secara eksternal, maupun masalah integrasi secara internal.
Budaya organisasi merupakan pola pikir dan pola perilaku semua orang dalam organisasi, pengurus maupun anggota organisasi. Dengan demikian budaya organisasi sebagai alat, cara atau informasi relevan untuk memecahkan masalah eksternal dan masalah internal.
Budaya organisasi dapat memberi dampak positif terhadap keefektifan organisasi, karena:
a. Dapat melahirkan keunggulan organisasi yang satu dibanding yang lain.
b. Dapat memperbaiki struktur organisasi. Struktur formal merupakan pola perilaku dan pola pertanggungjawaban orang-orang dalam organisasi.
c. Dapat memotivasi para anggota organisasi untuk berkarya keras demi mencapai tujuan organisasi.
Karena itu organisasi harus mempunyai budaya yang membangun, dan yang menguatkan.
Agar memberikan efek yang positif dan cepat, maka budaya organisasi harus ditransformasikan kepada seluruh anggota melalui:
a. Program pendidikan dan pelatihan.
b. Melalui cerita heroik, ritual, dan semboyan-semboyan yang diucapkan oleh para anggota.
Ciri-ciri organisasi yang memiliki budaya yang kuat adalah :
1. Semua pengurusnya memberikan kontribusi nilai dan metode kerja yang konsisten.
2. Pengurus baru maupun anggota baru mengikutinya tanpa memberikan alternativ pemikiran karena pemikiran yang ada dianggap sudah cukup memadai, atau mereka tidak mampu mengubah budaya yang sudah ada.
3. Cara mengatasi masalah yang ada ditiru oleh organisasi yang lain.
4. Semua level pengurus melaksanakan visi dan misi organisasi.
5. Organisasi mempunyai tujuan yang jelas.
6. Semua pengurus dan anggota mempunyai motivasi yang tinggi, loyal.
7. Mempunyai struktur dan sistem kontrol yang luwes.
8. Semua orang di dalam organisasi memiliki kesadaran yang tinggi tentang kelangsungan hidup organisasi.
Dengan memperhatikan uraian diatas, GKJ yang semula sebagai gereja suku yang sasaran pelayanannya adalah orang-orang Jawa, dalam perkembangannya kemudian sudah menjadi gereja yang heterogen anggotanya, khususnya di kota -kota besar, menjadikan GKJ mempunyai tugas yang lebih kompleks dalam merepresentasikan budaya organisasinya, agar dengan kondisi multi suku tersebut tetap mempunyai budaya yang mampu menguatkan dan mengembangkan organisasi. Yang mampu membuat seluruh warga jemaat dengan berbagai talenta menjadi laskar-laskar Kristus yang konsekuen, militan, dan arif.
Budaya organisasi yang menguatkan diharapkan mampu menghasilkan :
a. Kader-kader yang tangguh dan bersemangat tinggi dalam pelayanan melalui penempatan dalam jabatan gerejawi, maupun dalam kepengurusan komisi dan kelompok kerja.
b. Penyadaran warga gereja terhadap tugas dan tanggungjawab sosialnya dalam masyarakat sehingga mendorong mereka untuk melibatkan secara aktif dalam pengembangan masyarakat dengan berbekal penguasaan ilmu dan teknologi.
c. Pengembangan rasa kebersamaan atau oikumenis di antara gereja-gereja atau kelompok-kelompok Kristen, sehingga dapat menciptakan suasana hidup dan kerjasama yang baik sebagai keluarga besar Allah.
d. Penyadaran tentang jati diri umat Kristen yang pada dasarnya telah memiliki ’hidup baru di dalam Kristus’ yang harus dinampakkan dalam gaya hidup Kristiani yang dapat menjadi panutan.
e. Pengembangan kehidupan yang dialogis dengan sesama umat beragama, sehingga rasa sebangsa dan setanah air serta kesadaran terhadap tanggungjawab bersama dalam pembangunan bangsa dapat dihayati.
Dalam pengamatan selama ini, secara umum GKJ Nehemia telah memiliki budaya yang mampu menumbuh kembangkan organisasi dengan memadai. Namun andaikata berdasarkan penilaian bersama terdapat bagian-bagian budaya organisasi yang tidak lagi sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi, dan ternyata menjadi hambatan bagi terlaksananya ‘misi’ organisasi maka perlu ditinjau, bila perlu diganti, meskipun penggantian ini tidak mudah dan memerlukan waktu yang tidak pendek. Dari beberapa sumber. Depok, 17 Juni 2015. Munari.
Lintas Budaya
Tiap orang hidup dengan kelompok tertentu yang masing-masing menerapkan aturan dan perilaku sesuai dengan budaya mereka. Pada zaman dahulu, orang tidak banyak berkunjung ke daerah lain karena pada waktu itu tidak mudah orang berpergian seperti sekarang, demikian juga alat komunikasi sangat minim sekali, sehingga banyak suku terasing yang belum terpengaruh budaya daerah lain. Pada saat kini dengan adanya kemajuan transportasi, alat komunikasi serba canggih dengan era digital dan era globalisasi maka lintas budaya sangat cepat saling mempengaruhi sehingga dunia ini semakin terasa kecil.
Tetapi bagi daerah-daerah yang mampu mempertahankan dan mengembangkan budaya asli daerahnya sendiri memiliki daya tarik unggulan sehingga banyak orang berminat berwisata untuk melihat dan menikmati serta mempelajari budaya asli yang belum dikenalnya. Bahkan para peneliti secara tekun untuk mempelajari budaya suku-suku terasing dan budaya daerah yang belum terpengaruh kemajuan teknologi sebagai sumber kekayaan budaya manusia sepanjang masa. Lintas budaya bisa berdampak positif tetapi bisa juga negatif kalau timbul benturan budaya yang saling berlawanan.
Atas dasar latar belakang tersebut di atas maka Lintas Budaya dibahas pada tulisan ini dengan tujuan agar kita mampu mengembangkan budaya kita dan bisa memahami budaya daerah lain serta mampu mencari solusi kalau terjadi benturan budaya dengan berpegang kepada kehendakNya. Perlu diawali dengan pembahasan arti dari pada budaya / kebudayaan, beberapa suku terasing di Indonesia, budaya daerah yang masih mempertahankan keasliannya, pengaruh budaya asing, benturan budaya yang mungkin terjadi, beberapa budaya daerah yang tidak sesuai iman kita. Kritik dan saran yang membangun sangat dinantikan guna kelengkapan materi pembahasan.
ARTI BUDAYA / KEBUDAYAAN
Budaya
Banyak sekali definisi tentang budaya, salah satunya yang dikemukakan oleh Linton :”Budaya adalah keseluruha dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.”
Budaya terbentuk dari banyak unsur adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, karya seni, kuliner, beberapa tradisi termasuk obat-obatan tradisional,sistem perekonomian, pertanian, cara hidup dalam menyampaikan gagasan, perasaan, penciptaan dan keinginannya.
Kebudayaan
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai dan norma sosial, ilmu pengetahuan, struktur-struktur sosial, kepercayaan, serta pernyataan intelektual, dan arstitik yang menjadi cirri khas masyarakat.
C. Kluckholm mengemukakan tujuh unsur kebudayaan secara universal yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, teknologi dan peralatan, kesenian, mata pencarian hidup, kepercayaan, kekerabatan dan organisasi kemasyarakatan.
SUKU TERASING DI INDONESIA
Banyak suku terasing di Indonesia yang masih berpegang pada budaya aslinya di antaranya :
Suku Korowai di Papua
Suku Korowai adalah suku yang baru ditemukan keberadaannya sekitar 30 tahun yang lalu di pedalaman Papua, dan berpopulasi sekitar 3000 orang. Suku terasing ini hidup di rumah yang dibangun di atas pohon yang disebut Rumah Tinggi. Beberapa rumah mereka bahkan bisa mencapai letinggian 50 meter di atas permukaan tanah. Suku Korowai adalah salah satu suku di Papua yang tidak menggunakan koteka. Sampai tahun 1970 mereka tidak mengetahui keberadaan setiap orang selain kelompok mereka sendiri.
Suku Polahi di Gorontalo
Di pedalaman hutan Boliyohato, Gorontalo hidup beberapa kelompok masyarakat nomaden yang lebih dikenal dengan sebutan Suku Polahi, yang jauh tertinggal daripadfa suku-suku yang dianggap primitive lainnya di Indonesia. Rata-rata suku primitive yang lain setidaknya sudah mulai hidup menetap dan mulai terbuka dengan kehidupan luar. Suku Polahi ini memiliki pola hidup berpindah pindah (Nomaden) dari satu hutan ke hutan yang lain. Mereka juga belum mengenal pakaian, agama bahkan juga tidak mengenal hari.
Suku Sakai, Kabupaten Siak, Pekanbaru
Suku Sakai adalah komunitas asli pedalaman yang hidup di daratan Riau, Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain. Orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri Pagaruyung yang melakukan imigrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah timur negerinya karena menghindari kepadatan penduduk.
SUKU YANG MENGISOLASI DARI DUNIA LUAR
Orang Baduy / Orang Kanekes
Orang Baduy (sebutan peneliti Belanda) karena mereka tinggal di sekitar gunung dan sungai Baduy, tetapi mereka lebih senang disebut orang Kanekes dan sebagai sub-etnis Sunda di wilayah Lebak, Banten, populasinya antara 5000 sampai 8000 jiwa. Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka, sehingga mayoritas orang Kanekes tidak bisa membaca dan menulis. Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes adalah : tidak diperkenankan menggunkan kendaraan sebagai sarana transportasi, tidak diperkenankan memakai alas kaki, pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah ketua adat), larangan menggunakan alat elektronik (teknologi), dan menggunakan kain berwarna hitam/putih. Tetapi ada kelompok kedua yang disebut penamping atau Kanekes luar yang telah melanggar adat masyarakat Kanekes dalam. Kanekes luar sudah mengenal teknologi/peralatan elektronik, rumah sudah menggunkan alat-alat bantu, menggunakan pakaian adat, menggunakan peralatan rumah tangga modern seperti kasur, piring ,gelas, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes dalam, bahkan ada yang sudah berpindah agama.
BUDAYA BALI YANG MENARIK WISATAWAN
Bali memiliki budaya dan tradisi beragam menjadi asset wisata Bali yang wajib kita lestarikan dan tidak terpengaruh lintas budaya modern saat ini. Bali ternasuk pulau terindah di dunia, di samping pemandangan yang sangat indah, laut terhampar luas dengan gelombang yang nyaman untuk berselancar, sinar matahari yang sangat didambakan oleh para turis untuk mencoklatkan dan menyehatkan kulitnya dan merupakan daya tarik sangat populer bagi hotel-hotel agar turis kulit putih berkantong tebal dengan leluasa berjemur di pekarangan hotel dengan iringan lagu-lagu yang sesuai dengan irama favoritenya sepanjang hari dengan menu makanan / kuliner untuk memanjakan tamu-tamunya. Bagi turis berkantong tipis berjemur di pantai yang cukup mendapat kecaman dari beberapa komunitas yang beranggapan bertentangan dengan budaya bangsa kita, sehingga masyarakat Bali pernah mengancam akan memisahkan diri dari NKRI bila undang-undang pornografi diberlakukan di Bali.
Pulau Bali dikelilingi laut dan samudera luas yang indah, tetapi bila kita mengebor sumur dipinggir pantai airnya tawar. Sungguh kita tidak akan kehabisan kata-kata intuk memuji keindahan alam pulau Bali, sebaiknya kita benar-benar menyaksikan dan menikmati sendiri pesona Bali. Yang lebih mempesona lagi adalah budaya Bali merupakan daya tarik yang mengagumkan bagi para turis Nusantara maupun turis Mancanegara, bertahannya kebiasaan-kebiasaan unik dalam budaya Bali karena fungsi desa Pekraman yang masih tetap konsisten menerapkan segala aturan adat, tetap menjaga kepercayaan dan keyakinan beragama masyarakatnya, agar tidak terkikis dengan kemajuan jaman dan tidak terpengaruh budaya luar daerah dan dari budaya asing.
Unsur-unsur budaya Bali adalah musik berbentuk gamelan, rindik, jegog dan genggong, seni tari seperti tari barong, tari kecak, pendet, gambuh, joged dan banyak lagi lainnya, Bali memiliki bahasa dan pakaian adat daerah sendiri dan dari segi religi masyarakat Bali mayoritas beragama Hindu, semua menjadi magnet penarik wisata di Bali. Budaya dan tradisi unik dari Bali dia antaranya : Ngaben adalah upacara Pitra Yadnya, rangkaian upacara prosesi pembakaran mayat yang bertujuan menyucikan roh leluhur orang yang sudah meninggal. Tradisi ini masih diwariskan turun temurun oleh semua masyarakat Hindu Bali. Subak hanya dikenal di Bali, yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunkan para petani Bali dalam bercocok tanam padi, kita dapat menyaksikan di Tegalalang, Jatiluwuh dan beberapa areal sawah di Bali. Ter-teran tradisi unik di kabupaten Karangasem adalah tradisi perang-perangan saling serang dengan lempar-lemparan api menggunakan obor prakpak/bobok daun kelapa kering yang diikat.
Di bukit Jimbaran Bali terdapat patung Garuda Wisnu Kencana karya ciptaan seniman Bali I Nyoman Nuarta, merupakan patung tertinggi di dunia dengan tinggi 140 meter, lebar sayap 66 meter (patung Liberty di AS hanya 93 meter), di dekatnya adalah pantai terindah di dunia pantai Dream Land, dengan menikmati sun set/ matahari terbenam yang menakjubkan, sehabis itu kita bisa menyantab kuliner ikan bakar di pantai Jimbaran yang sangat indah sambil menyaksikan pemandangan bintang-bintang, bulan di angkasa dan dihiasi oleh pesawat terbang yang landing dan take off di Bandara Ngurah Rai, sehingga menjadi kenangan mempesonakan hasil ciptaan Tuhan dan karya manusia.
BUDAYA JAWA
Budaya Jawa menjunjung tingggi kesopanan dan kesederhanaan, dan banyak diminati di luar negeri seperti wayang kulit, keris, batik, kebaya, pakaian adat, gamelan, rumah adat, kuliner, adat istiadat, lagu daerah, seni tari, bahasa, sastra, falsafah hidup,kalender jawa, seni patung/candi dan lain-lainnya. Sastra Jawa Negarakretagama menjadi satu satunya karya satra Indonesia yang diakui UNESCO sebagai memori dunia. Sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa yaitu satra jawa kuna, sastra jawa tengahan, sastra jawa baru dan sastra jawa modern. Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa dan menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dongeng Jawa juga dikenal dan dipentaskan di Filipina, Suriname dan Thailand. Banyak satra Jawa berada di Eropa terutama di Belanda, bahkan Universitas Leiden memiliki mata kuliah sastra Jawa.
LINTAS BUDAYA
Salah satu dampak globalisasi adalah semakin tingginya tingkat intensitas interaksi manusia dari berbagai negara, suku, bangsa dan bahasa. Jika bekerja di lingkungan internasional , meskipun teknologi sudah memungkinkan diadakan rapat secara online dengan segala perangkat teleconference sehingga tidak mengenal batas geografis, tetap saja kita menemui (meskipun secara maya) interaksi dengan budaya dan cara berpikir majemuk. Dapat dilihat hegemoni budaya tertentu seperti Eropa atau Amerika dalam percaturan global. Bahasa Inggris tak bisa disangkal menjadi bahasa utama saat ini, yang dipakai dalam negosiasi internasional, perdagangan lintas negara, literature akademis, dan penghubung bangsa bangsa. Fashion atau mode pakaian juga ditentukan oleh perkembangan budaya Eropa dan Amerika. Fenomena makanan cepat saji seperti Kentucky, McDonald menjamur di mana mana. Dalam dekade terakhir interaksi Tiongkok dalam dinamika budaya global, bahkan masakan Cina lebih dulu menguasai pangsa pasar di negara kita. Lintas budaya bukan berarti menyatukan cara berpikir dan cara pandang, dan kita harus mengutamakan keunggulan keragaman budaya dan keragaman cara berpikir. Interaksi lintas budaya harus menghasilkan pemahaman mutual / saling memahami, demikian juga lintas budaya antar suku di Indonesia.
BENTURAN DALAM LINTAS BUDAYA
Lintas budaya secara global atau secara nasional bahkan internal keluarga bisa saja terjadi benturan karena perbedaan tajam budaya masing-masing pihak, untuk mencari solusi hendaklah kita saling memahami budaya secara menyeluruh dengan menghargai prinsip mengutamakan kehendakNya berdasarkan Alkitab dengan pedoman perintah Allah dari pada berpegang atau tunduk pada adat istiadat / budaya kita sendiri, sehingga nama Tuhan yang kita muliakan. Tuhan Yesus memperingatkan kepada orang Parisi dan ahli Taurat dengan sindiran : “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadat kamu sendiri.” ( Mar 7 : 9). Amin. JS/PI
Tetapi bagi daerah-daerah yang mampu mempertahankan dan mengembangkan budaya asli daerahnya sendiri memiliki daya tarik unggulan sehingga banyak orang berminat berwisata untuk melihat dan menikmati serta mempelajari budaya asli yang belum dikenalnya. Bahkan para peneliti secara tekun untuk mempelajari budaya suku-suku terasing dan budaya daerah yang belum terpengaruh kemajuan teknologi sebagai sumber kekayaan budaya manusia sepanjang masa. Lintas budaya bisa berdampak positif tetapi bisa juga negatif kalau timbul benturan budaya yang saling berlawanan.
Atas dasar latar belakang tersebut di atas maka Lintas Budaya dibahas pada tulisan ini dengan tujuan agar kita mampu mengembangkan budaya kita dan bisa memahami budaya daerah lain serta mampu mencari solusi kalau terjadi benturan budaya dengan berpegang kepada kehendakNya. Perlu diawali dengan pembahasan arti dari pada budaya / kebudayaan, beberapa suku terasing di Indonesia, budaya daerah yang masih mempertahankan keasliannya, pengaruh budaya asing, benturan budaya yang mungkin terjadi, beberapa budaya daerah yang tidak sesuai iman kita. Kritik dan saran yang membangun sangat dinantikan guna kelengkapan materi pembahasan.
ARTI BUDAYA / KEBUDAYAAN
Budaya
Banyak sekali definisi tentang budaya, salah satunya yang dikemukakan oleh Linton :”Budaya adalah keseluruha dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.”
Budaya terbentuk dari banyak unsur adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, karya seni, kuliner, beberapa tradisi termasuk obat-obatan tradisional,sistem perekonomian, pertanian, cara hidup dalam menyampaikan gagasan, perasaan, penciptaan dan keinginannya.
Kebudayaan
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai dan norma sosial, ilmu pengetahuan, struktur-struktur sosial, kepercayaan, serta pernyataan intelektual, dan arstitik yang menjadi cirri khas masyarakat.
C. Kluckholm mengemukakan tujuh unsur kebudayaan secara universal yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, teknologi dan peralatan, kesenian, mata pencarian hidup, kepercayaan, kekerabatan dan organisasi kemasyarakatan.
SUKU TERASING DI INDONESIA
Banyak suku terasing di Indonesia yang masih berpegang pada budaya aslinya di antaranya :
Suku Korowai di Papua
Suku Korowai adalah suku yang baru ditemukan keberadaannya sekitar 30 tahun yang lalu di pedalaman Papua, dan berpopulasi sekitar 3000 orang. Suku terasing ini hidup di rumah yang dibangun di atas pohon yang disebut Rumah Tinggi. Beberapa rumah mereka bahkan bisa mencapai letinggian 50 meter di atas permukaan tanah. Suku Korowai adalah salah satu suku di Papua yang tidak menggunakan koteka. Sampai tahun 1970 mereka tidak mengetahui keberadaan setiap orang selain kelompok mereka sendiri.
Suku Polahi di Gorontalo
Di pedalaman hutan Boliyohato, Gorontalo hidup beberapa kelompok masyarakat nomaden yang lebih dikenal dengan sebutan Suku Polahi, yang jauh tertinggal daripadfa suku-suku yang dianggap primitive lainnya di Indonesia. Rata-rata suku primitive yang lain setidaknya sudah mulai hidup menetap dan mulai terbuka dengan kehidupan luar. Suku Polahi ini memiliki pola hidup berpindah pindah (Nomaden) dari satu hutan ke hutan yang lain. Mereka juga belum mengenal pakaian, agama bahkan juga tidak mengenal hari.
Suku Sakai, Kabupaten Siak, Pekanbaru
Suku Sakai adalah komunitas asli pedalaman yang hidup di daratan Riau, Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain. Orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri Pagaruyung yang melakukan imigrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah timur negerinya karena menghindari kepadatan penduduk.
SUKU YANG MENGISOLASI DARI DUNIA LUAR
Orang Baduy / Orang Kanekes
Orang Baduy (sebutan peneliti Belanda) karena mereka tinggal di sekitar gunung dan sungai Baduy, tetapi mereka lebih senang disebut orang Kanekes dan sebagai sub-etnis Sunda di wilayah Lebak, Banten, populasinya antara 5000 sampai 8000 jiwa. Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka, sehingga mayoritas orang Kanekes tidak bisa membaca dan menulis. Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes adalah : tidak diperkenankan menggunkan kendaraan sebagai sarana transportasi, tidak diperkenankan memakai alas kaki, pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah ketua adat), larangan menggunakan alat elektronik (teknologi), dan menggunakan kain berwarna hitam/putih. Tetapi ada kelompok kedua yang disebut penamping atau Kanekes luar yang telah melanggar adat masyarakat Kanekes dalam. Kanekes luar sudah mengenal teknologi/peralatan elektronik, rumah sudah menggunkan alat-alat bantu, menggunakan pakaian adat, menggunakan peralatan rumah tangga modern seperti kasur, piring ,gelas, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes dalam, bahkan ada yang sudah berpindah agama.
BUDAYA BALI YANG MENARIK WISATAWAN
Bali memiliki budaya dan tradisi beragam menjadi asset wisata Bali yang wajib kita lestarikan dan tidak terpengaruh lintas budaya modern saat ini. Bali ternasuk pulau terindah di dunia, di samping pemandangan yang sangat indah, laut terhampar luas dengan gelombang yang nyaman untuk berselancar, sinar matahari yang sangat didambakan oleh para turis untuk mencoklatkan dan menyehatkan kulitnya dan merupakan daya tarik sangat populer bagi hotel-hotel agar turis kulit putih berkantong tebal dengan leluasa berjemur di pekarangan hotel dengan iringan lagu-lagu yang sesuai dengan irama favoritenya sepanjang hari dengan menu makanan / kuliner untuk memanjakan tamu-tamunya. Bagi turis berkantong tipis berjemur di pantai yang cukup mendapat kecaman dari beberapa komunitas yang beranggapan bertentangan dengan budaya bangsa kita, sehingga masyarakat Bali pernah mengancam akan memisahkan diri dari NKRI bila undang-undang pornografi diberlakukan di Bali.
Pulau Bali dikelilingi laut dan samudera luas yang indah, tetapi bila kita mengebor sumur dipinggir pantai airnya tawar. Sungguh kita tidak akan kehabisan kata-kata intuk memuji keindahan alam pulau Bali, sebaiknya kita benar-benar menyaksikan dan menikmati sendiri pesona Bali. Yang lebih mempesona lagi adalah budaya Bali merupakan daya tarik yang mengagumkan bagi para turis Nusantara maupun turis Mancanegara, bertahannya kebiasaan-kebiasaan unik dalam budaya Bali karena fungsi desa Pekraman yang masih tetap konsisten menerapkan segala aturan adat, tetap menjaga kepercayaan dan keyakinan beragama masyarakatnya, agar tidak terkikis dengan kemajuan jaman dan tidak terpengaruh budaya luar daerah dan dari budaya asing.
Unsur-unsur budaya Bali adalah musik berbentuk gamelan, rindik, jegog dan genggong, seni tari seperti tari barong, tari kecak, pendet, gambuh, joged dan banyak lagi lainnya, Bali memiliki bahasa dan pakaian adat daerah sendiri dan dari segi religi masyarakat Bali mayoritas beragama Hindu, semua menjadi magnet penarik wisata di Bali. Budaya dan tradisi unik dari Bali dia antaranya : Ngaben adalah upacara Pitra Yadnya, rangkaian upacara prosesi pembakaran mayat yang bertujuan menyucikan roh leluhur orang yang sudah meninggal. Tradisi ini masih diwariskan turun temurun oleh semua masyarakat Hindu Bali. Subak hanya dikenal di Bali, yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunkan para petani Bali dalam bercocok tanam padi, kita dapat menyaksikan di Tegalalang, Jatiluwuh dan beberapa areal sawah di Bali. Ter-teran tradisi unik di kabupaten Karangasem adalah tradisi perang-perangan saling serang dengan lempar-lemparan api menggunakan obor prakpak/bobok daun kelapa kering yang diikat.
Di bukit Jimbaran Bali terdapat patung Garuda Wisnu Kencana karya ciptaan seniman Bali I Nyoman Nuarta, merupakan patung tertinggi di dunia dengan tinggi 140 meter, lebar sayap 66 meter (patung Liberty di AS hanya 93 meter), di dekatnya adalah pantai terindah di dunia pantai Dream Land, dengan menikmati sun set/ matahari terbenam yang menakjubkan, sehabis itu kita bisa menyantab kuliner ikan bakar di pantai Jimbaran yang sangat indah sambil menyaksikan pemandangan bintang-bintang, bulan di angkasa dan dihiasi oleh pesawat terbang yang landing dan take off di Bandara Ngurah Rai, sehingga menjadi kenangan mempesonakan hasil ciptaan Tuhan dan karya manusia.
BUDAYA JAWA
Budaya Jawa menjunjung tingggi kesopanan dan kesederhanaan, dan banyak diminati di luar negeri seperti wayang kulit, keris, batik, kebaya, pakaian adat, gamelan, rumah adat, kuliner, adat istiadat, lagu daerah, seni tari, bahasa, sastra, falsafah hidup,kalender jawa, seni patung/candi dan lain-lainnya. Sastra Jawa Negarakretagama menjadi satu satunya karya satra Indonesia yang diakui UNESCO sebagai memori dunia. Sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa yaitu satra jawa kuna, sastra jawa tengahan, sastra jawa baru dan sastra jawa modern. Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa dan menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dongeng Jawa juga dikenal dan dipentaskan di Filipina, Suriname dan Thailand. Banyak satra Jawa berada di Eropa terutama di Belanda, bahkan Universitas Leiden memiliki mata kuliah sastra Jawa.
LINTAS BUDAYA
Salah satu dampak globalisasi adalah semakin tingginya tingkat intensitas interaksi manusia dari berbagai negara, suku, bangsa dan bahasa. Jika bekerja di lingkungan internasional , meskipun teknologi sudah memungkinkan diadakan rapat secara online dengan segala perangkat teleconference sehingga tidak mengenal batas geografis, tetap saja kita menemui (meskipun secara maya) interaksi dengan budaya dan cara berpikir majemuk. Dapat dilihat hegemoni budaya tertentu seperti Eropa atau Amerika dalam percaturan global. Bahasa Inggris tak bisa disangkal menjadi bahasa utama saat ini, yang dipakai dalam negosiasi internasional, perdagangan lintas negara, literature akademis, dan penghubung bangsa bangsa. Fashion atau mode pakaian juga ditentukan oleh perkembangan budaya Eropa dan Amerika. Fenomena makanan cepat saji seperti Kentucky, McDonald menjamur di mana mana. Dalam dekade terakhir interaksi Tiongkok dalam dinamika budaya global, bahkan masakan Cina lebih dulu menguasai pangsa pasar di negara kita. Lintas budaya bukan berarti menyatukan cara berpikir dan cara pandang, dan kita harus mengutamakan keunggulan keragaman budaya dan keragaman cara berpikir. Interaksi lintas budaya harus menghasilkan pemahaman mutual / saling memahami, demikian juga lintas budaya antar suku di Indonesia.
BENTURAN DALAM LINTAS BUDAYA
Lintas budaya secara global atau secara nasional bahkan internal keluarga bisa saja terjadi benturan karena perbedaan tajam budaya masing-masing pihak, untuk mencari solusi hendaklah kita saling memahami budaya secara menyeluruh dengan menghargai prinsip mengutamakan kehendakNya berdasarkan Alkitab dengan pedoman perintah Allah dari pada berpegang atau tunduk pada adat istiadat / budaya kita sendiri, sehingga nama Tuhan yang kita muliakan. Tuhan Yesus memperingatkan kepada orang Parisi dan ahli Taurat dengan sindiran : “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadat kamu sendiri.” ( Mar 7 : 9). Amin. JS/PI
Seni Tradisonal Lokal
Seni tradisional lokal terdapat di setiap daerah dan bisa merupakan ciri khas suatu daerah tertentu. Dengan ciri yang khas itu merupakan ekspresi kehidupan sosial masyarakatnya dan merupakan kekayaan daerah serta menjadi identitasnya. Manakala orang berbicara tentang gamelan, maka perhatian orang akan mengarah pada seni tradisional daerah Yogyakarta dan Surakarta. Kalau kita mendengar kata Lengger dan Calung maka kita akan mengarah pada kesenian tradisional Banyumas.
Kalau ada orang berbicara masalah Ludruk dan Reyog Ponorogo kita dapat memastikan bahwa itu kesenian tradisional Jawa Timur. Demikian juga saat orang membicarakan mengenai angklung maka dapat dipastikan ingatan kita akan melekat pada seni tradisional dari Jawa Barat. Namun belakangan ini kesenian tradisional yang menjadi identitas suatu daerah makin pudar, bahkan mulai banyak ditinggalkan para pendukungnya. Oleh sebab itu, perlu diupayakan untuk nguri-uri dan melestarikan kesenian tradisional agar tidak lenyap ditelan jaman.
Memang seni tradisional lokal ini kadang masih bisa kita jumpai pada acara-acara tertentu seperti ulang tahun paguyuban atau hari besar dsb. Kadang bisa kita jumpai juga pada suatu perhelatan perkawinan, namun lebih banyak yang suka menanggap organ tunggal. Selain lebih praktis, biaya tanggapan jauh lebih murah bila dibandingkan dengan seni trdisional.
Ada juga yang lebih menarik yaitu terjadinya kolaborasi antara seni tradisional lokal dengan seni modern yang mengandalkan pada kecanggihan peralatan elektronika seperti campursari. Dulu kalau orang mau menanggap wayang kulit dirasa biayanya terlalu mahal, maka mereka menanggap pethilan atau fragmen wayang wong seperti Gatutkaca gandrung, Cakil-Bambangan atau Punakawan saja. Untuk mengurangi pudarnya warisan budaya dari nenek moyang kita perlu dilakukan pengelolaan secara menyeluruh. Pengelolaan dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan secara terpadu dengan para budayawan agar kelestarian budaya seni tradisional lokal tersebut tetap terjaga kelestariannya.
Belakangan muncul beda pendapat, apakah seni tradisional lokal tetap akan dipertahankan seperti aslinya atau dimodifikasi sesuai dengan keinginan masyarakat setempat. Namun bila digali dengan cermat, sesungguhnya akan ditemui bahwa di dalam seni tradisional lokal terkandung nilai-nilai kearifan lokal pula yang berfungsi baik sebagai tontonan maupun sebagai tuntunan. Kearifan lokal merupakan segala cara dan strategi dari masyarakat dalam mengatasi berbagai tantangan dalam beradaptasi dengan lingkungannya.
Perkembangan seni tradisional lokal tidak terlepas dari karakter masyarakat setempat, apakah berbagai aliran kesenian dapat diterima dan tumbuh di wilayahnya. Hal ini bisa diatasi bila melibatkan para pengambil kebijakan yang mau memahami keberadaan masyarakat terhadap minat seni tradisional. Dalam memahami fenomena kesenian seorang budayawan akan melihat kesenian sebagai hal yang tidak terpisahkan dari kondisi masyarakatnya. Kesenian sebagai bentuk ekspresi kreatif dan simbolisasi ide tidak lepas dari konteks sosial dan budaya tempat kesenian itu muncul dan tumbuh berkembang. Suatu fenomena kesenian seperti seni tradisional lokal hanya akan diketahui dengan baik jika dilihat dalam konteks yang lebih luas yaitu dalam sosial budayanya.
Seni tradisional yang hidup dan berkembang dalam masyarakat memiliki fungsi yang penting. Fungsi tersebut dapat dilihat pada daya jangkau penyebarannya dan fungsi sosialnya, yaitu sebagai pembangun dan pemelihara solidaritas kelompok.
Seni tradisional yang muncul di kalangan petani, biasanya berhubungan dengan aktifitas mereka ketika bercocok tanam, dimulai dari menanam sampai panen. Kondisi cuaca yang tiap kali berubah karena musim kemarau panjang datang mengakibatkan air sulit didapat akan melahirkan perasaan senasib sepenanggungan dan rasa solidaritas yang tinggi. Dan dari rasa solidaritas itu kemudian muncul kreatifitas yang melahirkan berbagai karya seni sebagai wujud berserah diri kepada Tuhan pencipta alam semesta.
Ritual meminta hujan dilakukan oleh kaum laki-laki dengan menggelar ritual ujungan. Ujungan adalah seni tradisional saat dua laki-laki bertanding adu kekuatan dengan cara saling memukul satu sama lain dengan mengunakan batang rotan atau seikat daun pandan berduri. Ritual ini biasanya digelar di lapangan terbuka dengan iringan musik tradisional seperti gendang, terompet, gong dan lain-lain. Menurut kepercayaan, semakin banyak darah yang menetes dari para pemain ujungan, maka musim hujan akan semakin dekat. Dalam tradisi ujungan, meskipun mereka saling pukul di lapangan sampai berdarah-darah, namun ketika acara selesai mereka tidak boleh marah maupun dendam satu sama lain, karena rasa solidaritas yang tinggi itu.
Ada beberapa pendapat mengenai eksistensi seni tradisional. Yang pertama, adalah pendapat yang ingin merubah seni tradisional dan menggantinya dengan seni modern.
Yang kedua, pendapat yang ingin mempertahankan seni tradisional asli apa adanya.
Yang ketiga, pendapat yang ingin mempertahankan seni tradisional namun sekaligus juga memperbaharuinya sesuai dengan perkembangan jaman.
Pendapat yang ketiga ini yang mendapat dukungan paling banyak, yang penting seni tradisional tidak semakin memudar bahkan mati. Pendapat yang ke tiga ini melihat seni tradisional sebagai benda hidup, sehingga pelestariannya seyogyanya diselaraskan pula dengan perkembangan jaman.
Semakin memudarnya seni tradisional lokal membutuhkan upaya agar seni budaya lokal tidak hilang begitu saja. Upaya yang dilakukan bisa dimulai dari keluarga, sebagi ajang sosialisasi penanaman nilai-nilai pengenalan berbagai seni tradisi budaya lokal. Ketika dalam keluarga anak-anak sudah diperkenalkan dan bersentuhan dengan seni tradisional, maka anak-anak akan terkondisikan untuk mencintai kesenian tradisional.
Di daerah perkotaan upaya nguri-uri dan pengembangan seni tradisional lokal dilakukan oleh para penggiat seni. Penggiat seni ikut menyumbangkan tenaganya dalam upaya pelestarian seni tradisional lokal melalui kegiatan-kegiatan di sanggar atau gereja. Generasi muda memerlukan ruang ekspresi untuk tampil di muka umum, sehingga ajang festival seni memang dibutuhkan.
Para penggiat seni sebenarnya memiliki peran yang amat penting dalam upaya pelestarian seni tradisional lokal. Penggiat seni tradisional lokal memang membutuhkan banyak pengorbanan, karena sesungguhnya bekerja di bidang seni tradisional lokal memang membutuhkan komitmen yang besar dan kuat. Kecintaan akan seni tradisional lokal itu lah yang mendorong mereka bekerja secara total. Mereka berpendapat bahwa perlu upaya terus-menerus untuk menanamkan seni tradisional lokal sejak dini, baik pada tataran keluarga, gereja, maupun masyarakat.
Profesor Banawiratma dari UKDW Yogyakarta dalam Temu Budayawan Sinode GKJ menyampaikan agar Gereja-gereja Kristen Jawa tetap pada rel yang harus dilalui, yaitu menjadi Gereja Kristen Jawa dan sama sekali bukan menjadi Gereja Kristen di Jawa. Menurut beliau sudah saatnya GKJ secara Sinodal serius melakukan penyadaran budaya. Caranya melalui proses 4 D yaitu:
1. Discovery (penemuan) – apa yang terbaik dari yang ada dalam komunitas kita sekarang. Pada bagian ini GKJ disarankan untuk menghargai realitas yang ada perihal budaya Jawa masa kini.
2. Dream (impian) – apa yang mungkin kita harapkan yang lebih baik ke depan, mengimajinasikan wujud dari kesetiaan iman akan panggilan bersama. Pada tahapan ini GKJ diajak untuk memiliki cita-cita perihal budaya dalam komunitas GKJ yang di-idealkan.
3. Design (rancangan) – apa yang seharusnya dibangun, dengan mengkonstruksikan bersama supaya mimpi terwujud. Pada tahapan ini GKJ perlu segera membuat design budaya dengan segala pertimbangan dan kebutuhannya.
4. Destiny (tujuan) – menanggung bersama dalam gerakan aksi secara terbuka, kreatif dengan berproses terus-menerus untuk menjadi gereja yang berakar, bertumbuh dan berbuah dalam Kristus. Pada bagian ini GKJ dengan menggunakan desain budayanya perlu strategi.
Banyak seni tradisional lokal yang bisa diadopsi untuk melengkapi liturgi dalam kebaktian seperti Angklung dari tanah Pasundan, Kenthongan dan Calung dari Banyumas, Karawitan dan Campursari dari Yogyakarta dan Surakarta, Kentrung dari Jawa Timur. Di samping itu juga musik Keroncong yang telah mengakar dalam kebudayaan Jawa. Belakangan muncul ide untuk membuat musik dari bambu, kayu dan sebagainya dengan kultur tradisional lokal.
Dalam menyambut Bulan Budaya di GKJ Nehemia di samping Karawitan dan Keroncong, akan tampil Kenthongan, Campusari, Band Kesot, kelompok Punakawan, Penthul-Tembem, Bancak-Doyok, Dora-Sembada, Limbuk-Cangik dan tari Gambyong. Oleh karena itu mari kita sukseskan Bulan Budaya dalam rangka upaya melestarikan Seni Tradisional Lokal bersama GKJ Nehemia. *dari berbagai sumber. Gunungsindur, Juli’15. Ode Pamungkas.
Kalau ada orang berbicara masalah Ludruk dan Reyog Ponorogo kita dapat memastikan bahwa itu kesenian tradisional Jawa Timur. Demikian juga saat orang membicarakan mengenai angklung maka dapat dipastikan ingatan kita akan melekat pada seni tradisional dari Jawa Barat. Namun belakangan ini kesenian tradisional yang menjadi identitas suatu daerah makin pudar, bahkan mulai banyak ditinggalkan para pendukungnya. Oleh sebab itu, perlu diupayakan untuk nguri-uri dan melestarikan kesenian tradisional agar tidak lenyap ditelan jaman.
Memang seni tradisional lokal ini kadang masih bisa kita jumpai pada acara-acara tertentu seperti ulang tahun paguyuban atau hari besar dsb. Kadang bisa kita jumpai juga pada suatu perhelatan perkawinan, namun lebih banyak yang suka menanggap organ tunggal. Selain lebih praktis, biaya tanggapan jauh lebih murah bila dibandingkan dengan seni trdisional.
Ada juga yang lebih menarik yaitu terjadinya kolaborasi antara seni tradisional lokal dengan seni modern yang mengandalkan pada kecanggihan peralatan elektronika seperti campursari. Dulu kalau orang mau menanggap wayang kulit dirasa biayanya terlalu mahal, maka mereka menanggap pethilan atau fragmen wayang wong seperti Gatutkaca gandrung, Cakil-Bambangan atau Punakawan saja. Untuk mengurangi pudarnya warisan budaya dari nenek moyang kita perlu dilakukan pengelolaan secara menyeluruh. Pengelolaan dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan secara terpadu dengan para budayawan agar kelestarian budaya seni tradisional lokal tersebut tetap terjaga kelestariannya.
Belakangan muncul beda pendapat, apakah seni tradisional lokal tetap akan dipertahankan seperti aslinya atau dimodifikasi sesuai dengan keinginan masyarakat setempat. Namun bila digali dengan cermat, sesungguhnya akan ditemui bahwa di dalam seni tradisional lokal terkandung nilai-nilai kearifan lokal pula yang berfungsi baik sebagai tontonan maupun sebagai tuntunan. Kearifan lokal merupakan segala cara dan strategi dari masyarakat dalam mengatasi berbagai tantangan dalam beradaptasi dengan lingkungannya.
Perkembangan seni tradisional lokal tidak terlepas dari karakter masyarakat setempat, apakah berbagai aliran kesenian dapat diterima dan tumbuh di wilayahnya. Hal ini bisa diatasi bila melibatkan para pengambil kebijakan yang mau memahami keberadaan masyarakat terhadap minat seni tradisional. Dalam memahami fenomena kesenian seorang budayawan akan melihat kesenian sebagai hal yang tidak terpisahkan dari kondisi masyarakatnya. Kesenian sebagai bentuk ekspresi kreatif dan simbolisasi ide tidak lepas dari konteks sosial dan budaya tempat kesenian itu muncul dan tumbuh berkembang. Suatu fenomena kesenian seperti seni tradisional lokal hanya akan diketahui dengan baik jika dilihat dalam konteks yang lebih luas yaitu dalam sosial budayanya.
Seni tradisional yang hidup dan berkembang dalam masyarakat memiliki fungsi yang penting. Fungsi tersebut dapat dilihat pada daya jangkau penyebarannya dan fungsi sosialnya, yaitu sebagai pembangun dan pemelihara solidaritas kelompok.
Seni tradisional yang muncul di kalangan petani, biasanya berhubungan dengan aktifitas mereka ketika bercocok tanam, dimulai dari menanam sampai panen. Kondisi cuaca yang tiap kali berubah karena musim kemarau panjang datang mengakibatkan air sulit didapat akan melahirkan perasaan senasib sepenanggungan dan rasa solidaritas yang tinggi. Dan dari rasa solidaritas itu kemudian muncul kreatifitas yang melahirkan berbagai karya seni sebagai wujud berserah diri kepada Tuhan pencipta alam semesta.
Ritual meminta hujan dilakukan oleh kaum laki-laki dengan menggelar ritual ujungan. Ujungan adalah seni tradisional saat dua laki-laki bertanding adu kekuatan dengan cara saling memukul satu sama lain dengan mengunakan batang rotan atau seikat daun pandan berduri. Ritual ini biasanya digelar di lapangan terbuka dengan iringan musik tradisional seperti gendang, terompet, gong dan lain-lain. Menurut kepercayaan, semakin banyak darah yang menetes dari para pemain ujungan, maka musim hujan akan semakin dekat. Dalam tradisi ujungan, meskipun mereka saling pukul di lapangan sampai berdarah-darah, namun ketika acara selesai mereka tidak boleh marah maupun dendam satu sama lain, karena rasa solidaritas yang tinggi itu.
Ada beberapa pendapat mengenai eksistensi seni tradisional. Yang pertama, adalah pendapat yang ingin merubah seni tradisional dan menggantinya dengan seni modern.
Yang kedua, pendapat yang ingin mempertahankan seni tradisional asli apa adanya.
Yang ketiga, pendapat yang ingin mempertahankan seni tradisional namun sekaligus juga memperbaharuinya sesuai dengan perkembangan jaman.
Pendapat yang ketiga ini yang mendapat dukungan paling banyak, yang penting seni tradisional tidak semakin memudar bahkan mati. Pendapat yang ke tiga ini melihat seni tradisional sebagai benda hidup, sehingga pelestariannya seyogyanya diselaraskan pula dengan perkembangan jaman.
Semakin memudarnya seni tradisional lokal membutuhkan upaya agar seni budaya lokal tidak hilang begitu saja. Upaya yang dilakukan bisa dimulai dari keluarga, sebagi ajang sosialisasi penanaman nilai-nilai pengenalan berbagai seni tradisi budaya lokal. Ketika dalam keluarga anak-anak sudah diperkenalkan dan bersentuhan dengan seni tradisional, maka anak-anak akan terkondisikan untuk mencintai kesenian tradisional.
Di daerah perkotaan upaya nguri-uri dan pengembangan seni tradisional lokal dilakukan oleh para penggiat seni. Penggiat seni ikut menyumbangkan tenaganya dalam upaya pelestarian seni tradisional lokal melalui kegiatan-kegiatan di sanggar atau gereja. Generasi muda memerlukan ruang ekspresi untuk tampil di muka umum, sehingga ajang festival seni memang dibutuhkan.
Para penggiat seni sebenarnya memiliki peran yang amat penting dalam upaya pelestarian seni tradisional lokal. Penggiat seni tradisional lokal memang membutuhkan banyak pengorbanan, karena sesungguhnya bekerja di bidang seni tradisional lokal memang membutuhkan komitmen yang besar dan kuat. Kecintaan akan seni tradisional lokal itu lah yang mendorong mereka bekerja secara total. Mereka berpendapat bahwa perlu upaya terus-menerus untuk menanamkan seni tradisional lokal sejak dini, baik pada tataran keluarga, gereja, maupun masyarakat.
Profesor Banawiratma dari UKDW Yogyakarta dalam Temu Budayawan Sinode GKJ menyampaikan agar Gereja-gereja Kristen Jawa tetap pada rel yang harus dilalui, yaitu menjadi Gereja Kristen Jawa dan sama sekali bukan menjadi Gereja Kristen di Jawa. Menurut beliau sudah saatnya GKJ secara Sinodal serius melakukan penyadaran budaya. Caranya melalui proses 4 D yaitu:
1. Discovery (penemuan) – apa yang terbaik dari yang ada dalam komunitas kita sekarang. Pada bagian ini GKJ disarankan untuk menghargai realitas yang ada perihal budaya Jawa masa kini.
2. Dream (impian) – apa yang mungkin kita harapkan yang lebih baik ke depan, mengimajinasikan wujud dari kesetiaan iman akan panggilan bersama. Pada tahapan ini GKJ diajak untuk memiliki cita-cita perihal budaya dalam komunitas GKJ yang di-idealkan.
3. Design (rancangan) – apa yang seharusnya dibangun, dengan mengkonstruksikan bersama supaya mimpi terwujud. Pada tahapan ini GKJ perlu segera membuat design budaya dengan segala pertimbangan dan kebutuhannya.
4. Destiny (tujuan) – menanggung bersama dalam gerakan aksi secara terbuka, kreatif dengan berproses terus-menerus untuk menjadi gereja yang berakar, bertumbuh dan berbuah dalam Kristus. Pada bagian ini GKJ dengan menggunakan desain budayanya perlu strategi.
Banyak seni tradisional lokal yang bisa diadopsi untuk melengkapi liturgi dalam kebaktian seperti Angklung dari tanah Pasundan, Kenthongan dan Calung dari Banyumas, Karawitan dan Campursari dari Yogyakarta dan Surakarta, Kentrung dari Jawa Timur. Di samping itu juga musik Keroncong yang telah mengakar dalam kebudayaan Jawa. Belakangan muncul ide untuk membuat musik dari bambu, kayu dan sebagainya dengan kultur tradisional lokal.
Dalam menyambut Bulan Budaya di GKJ Nehemia di samping Karawitan dan Keroncong, akan tampil Kenthongan, Campusari, Band Kesot, kelompok Punakawan, Penthul-Tembem, Bancak-Doyok, Dora-Sembada, Limbuk-Cangik dan tari Gambyong. Oleh karena itu mari kita sukseskan Bulan Budaya dalam rangka upaya melestarikan Seni Tradisional Lokal bersama GKJ Nehemia. *dari berbagai sumber. Gunungsindur, Juli’15. Ode Pamungkas.
Gereja (GKJ) dan Kebudayaan
Sejak tahun 1984 GKJ sudah bertekad menyusun Ajaran GKJ. Setelah melalui proses yang panjang, dalam Sidang Sinode terbatas tahun 1996 diputuskan Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa.Alasan diputuskannya PPA GKJ itu sangat signifikan. Disebutkan di pengantar buku itu, “Ajaran yang selama ini diberlakukan adalah warisan dari GKN, Gereja yang mengutus penginjil yang mewartakan Injil ke tanah Jawa sehingga lahirlah GKJ. Namun sebagai gereja yang mandiri GKJ menyadari perlunya menyusun Ajaran Gereja sendiri”. Kalimat tersebut mengungkapkan sebuah tekad GKJ untuk melakukan kontekstualisasi Injil (bahasa teologis sebelumnya indigenousasi atau pempribumian). Tekad itu memang secara eksplisit diungkapkan secara runtut: Pertama, sebagai gereja yang mandiri, dewasa GKJ harus menentukan sendiri ajarannya; kedua, sesuai dengan status dan sifat mandiri atau dewasanya, warisan yang diterima itu harus ditanggapi dengan sikap kritis; ketiga, kekritisan itu dilakukan dengan cara mempertanyakan warisan itu berdasar Alkitab. Kalau ternyata warisan itu ada yang tidak sesuai dengan penafsiran yang bertanggungjawab terhadap Alkitab, maka warisan itu perlu diubah dan diganti. Sedang yang sesuai tetap dipertahankan; keempat, GKJ menyadari bahwa tantangan yang dihadapi adalah konkret, sehingga ajaran itu juga harus dapat menjadi pegangan yang relevan dalam menjawab atau menyiasati tantangan konkret itu.
Persinggungan antara gereja dan kebudayaan, serta sikap GKJ terhadap Kebudayaan (Jawa) secara eksplisit tertulis dalam Tata Gereja GKJ Pasal 39, yang berbunyi: “Gereja dapat menerima bentuk-bentuk budaya atau adat istiadat dengan: (1) mengeluarkan makna religius filsafatinya yang bertentangan dengan Injil; (2) memberi makna religius yang baru sesuai dengan Injil”.
Kalau kita berbicara tentang kebudayaan salah satu hal yang harus kita ingat adalah, sifat dan hakikat kebudayaan itu dinamis. Kita dapat merumuskan pengertian kebudayaan yaitu: “seluruh perangkat dan piranti kehidupan serta seperangkat tata nilai yang dihasilkan oleh daya cipta dan budi manusia guna mengembangkan kehidupannya sesuai dengan tuntutan atau tantangan jaman.” Dengan pengertian yang seperti itu, kebudayaan terus berkembang dan di dalamnya terkandung sifat serta hakikatnya, yaitu dinamis. Sifat dan hakikat kebudayaan yang dinamis itu sangat kuat dan itu yang harus memperoleh tekanan.
Lalu bagaumana sikap Gereja terhadap kebudayaan? Setiap manusia hidup dalam komunitasnya yang dalam upayanya mengembangkan kehidupan selalu berusaha menggapai kehidupan yang lebih baik. Dalam upayanya itu kebudayaan manusia pun terus berkembang. Ini sesuai dengan hakikat kebudayaan itu sendiri. Ketika jaman berubah dan tuntutan serta tantangan manusia pun berubah, kebudayaan yang “lama” yaitu yang dihasilkan sebelum terjadi perubahan itu, akan ditinggalkan karena sudah tidak mampu menjawab tantangan jaman lagi. Sebagai contoh, nelayan yang hidup dari mencari ikan di sungai tentu akan mengajarkan kepada anaknya bagaimana menangkap ikan! Tetapi di hulu sungai itu dibangun bendungan dan sungai di daerah sang nelayan tidak lagi mengalir seperti sebelumnya, apakah anak nelayan itu masih bisa mempertahankan “kebudayaan” yang diajarkan ayahnya? Tentu tidak! Sang anak tentu harus menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru, dengan demikian mengembangkan kebudayaan yang lain!
Dalam kasus seperti itu, apakah kebudayaan sang nelayan salah? Tidak! Kebudayaan sang nelayan telah menjawab tantangan jamannya, dan kebudayaan itu berkembang karena tantangan jaman juga berubah! Di situ kita tidak dapat mengatakan salah pada sebuah kebudayaan! Seperti halnya Injil berkembang dalam kebudayaan Yunani dan Yahudi, maka tidak ada yang salah dengan kebudayaan itu, baik itu kebudayaan Yunani atau Yahudi.
Sebagai perangkat dan piranti kehidupan serta tata nilai, kebudayaan selalu relevan dengan jamannya. Apabila ada nilai-nilai baru yang lebih relevan dengan jamannya, maka nilai lama yang ada tidak dapat dikatakan sebagai kebudayaan yang salah! Begitulah, proses inkulturasi terjadi pada semua agama dan kepercayaan yang datang ke sebuah wilayah manusia yang telah mapan dengan kebudayaannya. Betapapun bentuk tata nilai itu, siapapun juga termasuk orang percaya (Gereja) dengan kekristenannya tidak dapat mengatakan bahwa kebudayaan (Jawa), tempat tumbuh dan berkembangnya Injil adalah salah atau cedera hanya karena yang mengembangkan adalah manusia yang menurut ajaran kristen (baca: PPA) memiliki cedera manusiawi!
Banyak contoh di Kitab Suci, hasil budi daya manusia (yang cedera itu) yang dipakai oleh Tuhan. Sistem pemerintahan kerajaan misalnya. Ketika orang Yahudi minta raja, Tuhan pada awalnya memang murka, tetapi toh Tuhan mengijinkan bahkan kemudian memakai bentuk pemerintahan itu sebagai alat dan sarana Allah menyelamatkan manusia. Bahkan Tuhan sendiri yang menahbiskan (mengurapi) rajanya! Sistem pemerintahan yang dipilih oleh bangsa Israel adalah kerajaan. Pilihan itu dimaksudkan untuk menjawab tantangan jaman! Mereka mengakui YHWH sebagai Allah, tetapi mereka menginginkan pemimpin yang nyata, yang dapat mengatur sekaligus membawa kehidupan yang lebih baik. Kendati mereka diingatkan bahwa keberadaan raja yang mereka kehendaki (1 Samuel 10:17-27), tetapi bangsa itu memilih rajanya dengan melakukan undian! Ini sebuah kebudayaan baru bagi bangsa itu! Mereka akan memiliki seorang raja, bukan sekadar seorang pengadil (hakim)!
Kenyataan itu membuktikan bahwa tidak ada kebudayaan yang dapat dikatakan salah atau cedera, walaupun dihasilkan oleh manusia (yang cedera)! Injil Yesus Kristus sampai ke Jawa setelah melalui berbagai proses pembudayaan (inkulturasi). Dari Yahudi ke Yunani dan kemudian berinteraksi dengan kebudayaan Eropa. Dari perjalanan itu kita dapat melihat bahwa proses inkulturasi Injil membuahkan paham protestantisme yang rasional, individualistik, serta materialistik. Kebudayaan-kebudayaan dengan berbagai corak dan karakternya itu tidak dapat dikatakan cedera dan oleh karena itu harus dipulihkan. Karena itu kekristenan sebagai nilai yang berdasarkan Injil tidak nisbi terhadap kebudayaan.
Ketika datang ke Jawa, kekristenan yang bercorak “barat” itu harus berhadapan dengan sebuah sistem tata nilai Jawa yang antara lain mengutamakan harmoni, kental dengan spiritualisme yang kurang menghargakan materi dan seterusnya. Sebenarnya corak spiritualisme seperti yang ada di Jawa itu pernah hidup subur di Yunani dan cukup berpengaruh pada awal kekristenan. Namun corak yang seperti itu justru dikikis habis oleh protestantisme Barat yang cenderung membuang semua symbol dan artefak dari dalam gedung gereja. Dengan sejarah yang cukup panjang itulah kita kini kembali pada roh kebudayaan yang benar, bagaimana menjadi orang Kristen yang nJawani, orang Kristen yang berbudaya (Jawa) dan orang Jawa yang benar-benar Kristen, bukan sekadar ngristeni. Kita ingat doa yang diajarkan Tuhan Yesus,, “datanglah kerajaanMu”,….. “jadilah kehendakMu di bumi seperti di dalam Surga”. Di situ bumi dengan segala isinya (yang kita percayai sebagai ciptaan Tuhan) dan kebudayaannya, tetap diapresiasi dan dihargakan sesuai dengan keberadaannya. (45-Nosk) Padmono SK.
Persinggungan antara gereja dan kebudayaan, serta sikap GKJ terhadap Kebudayaan (Jawa) secara eksplisit tertulis dalam Tata Gereja GKJ Pasal 39, yang berbunyi: “Gereja dapat menerima bentuk-bentuk budaya atau adat istiadat dengan: (1) mengeluarkan makna religius filsafatinya yang bertentangan dengan Injil; (2) memberi makna religius yang baru sesuai dengan Injil”.
Kalau kita berbicara tentang kebudayaan salah satu hal yang harus kita ingat adalah, sifat dan hakikat kebudayaan itu dinamis. Kita dapat merumuskan pengertian kebudayaan yaitu: “seluruh perangkat dan piranti kehidupan serta seperangkat tata nilai yang dihasilkan oleh daya cipta dan budi manusia guna mengembangkan kehidupannya sesuai dengan tuntutan atau tantangan jaman.” Dengan pengertian yang seperti itu, kebudayaan terus berkembang dan di dalamnya terkandung sifat serta hakikatnya, yaitu dinamis. Sifat dan hakikat kebudayaan yang dinamis itu sangat kuat dan itu yang harus memperoleh tekanan.
Lalu bagaumana sikap Gereja terhadap kebudayaan? Setiap manusia hidup dalam komunitasnya yang dalam upayanya mengembangkan kehidupan selalu berusaha menggapai kehidupan yang lebih baik. Dalam upayanya itu kebudayaan manusia pun terus berkembang. Ini sesuai dengan hakikat kebudayaan itu sendiri. Ketika jaman berubah dan tuntutan serta tantangan manusia pun berubah, kebudayaan yang “lama” yaitu yang dihasilkan sebelum terjadi perubahan itu, akan ditinggalkan karena sudah tidak mampu menjawab tantangan jaman lagi. Sebagai contoh, nelayan yang hidup dari mencari ikan di sungai tentu akan mengajarkan kepada anaknya bagaimana menangkap ikan! Tetapi di hulu sungai itu dibangun bendungan dan sungai di daerah sang nelayan tidak lagi mengalir seperti sebelumnya, apakah anak nelayan itu masih bisa mempertahankan “kebudayaan” yang diajarkan ayahnya? Tentu tidak! Sang anak tentu harus menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru, dengan demikian mengembangkan kebudayaan yang lain!
Dalam kasus seperti itu, apakah kebudayaan sang nelayan salah? Tidak! Kebudayaan sang nelayan telah menjawab tantangan jamannya, dan kebudayaan itu berkembang karena tantangan jaman juga berubah! Di situ kita tidak dapat mengatakan salah pada sebuah kebudayaan! Seperti halnya Injil berkembang dalam kebudayaan Yunani dan Yahudi, maka tidak ada yang salah dengan kebudayaan itu, baik itu kebudayaan Yunani atau Yahudi.
Sebagai perangkat dan piranti kehidupan serta tata nilai, kebudayaan selalu relevan dengan jamannya. Apabila ada nilai-nilai baru yang lebih relevan dengan jamannya, maka nilai lama yang ada tidak dapat dikatakan sebagai kebudayaan yang salah! Begitulah, proses inkulturasi terjadi pada semua agama dan kepercayaan yang datang ke sebuah wilayah manusia yang telah mapan dengan kebudayaannya. Betapapun bentuk tata nilai itu, siapapun juga termasuk orang percaya (Gereja) dengan kekristenannya tidak dapat mengatakan bahwa kebudayaan (Jawa), tempat tumbuh dan berkembangnya Injil adalah salah atau cedera hanya karena yang mengembangkan adalah manusia yang menurut ajaran kristen (baca: PPA) memiliki cedera manusiawi!
Banyak contoh di Kitab Suci, hasil budi daya manusia (yang cedera itu) yang dipakai oleh Tuhan. Sistem pemerintahan kerajaan misalnya. Ketika orang Yahudi minta raja, Tuhan pada awalnya memang murka, tetapi toh Tuhan mengijinkan bahkan kemudian memakai bentuk pemerintahan itu sebagai alat dan sarana Allah menyelamatkan manusia. Bahkan Tuhan sendiri yang menahbiskan (mengurapi) rajanya! Sistem pemerintahan yang dipilih oleh bangsa Israel adalah kerajaan. Pilihan itu dimaksudkan untuk menjawab tantangan jaman! Mereka mengakui YHWH sebagai Allah, tetapi mereka menginginkan pemimpin yang nyata, yang dapat mengatur sekaligus membawa kehidupan yang lebih baik. Kendati mereka diingatkan bahwa keberadaan raja yang mereka kehendaki (1 Samuel 10:17-27), tetapi bangsa itu memilih rajanya dengan melakukan undian! Ini sebuah kebudayaan baru bagi bangsa itu! Mereka akan memiliki seorang raja, bukan sekadar seorang pengadil (hakim)!
Kenyataan itu membuktikan bahwa tidak ada kebudayaan yang dapat dikatakan salah atau cedera, walaupun dihasilkan oleh manusia (yang cedera)! Injil Yesus Kristus sampai ke Jawa setelah melalui berbagai proses pembudayaan (inkulturasi). Dari Yahudi ke Yunani dan kemudian berinteraksi dengan kebudayaan Eropa. Dari perjalanan itu kita dapat melihat bahwa proses inkulturasi Injil membuahkan paham protestantisme yang rasional, individualistik, serta materialistik. Kebudayaan-kebudayaan dengan berbagai corak dan karakternya itu tidak dapat dikatakan cedera dan oleh karena itu harus dipulihkan. Karena itu kekristenan sebagai nilai yang berdasarkan Injil tidak nisbi terhadap kebudayaan.
Ketika datang ke Jawa, kekristenan yang bercorak “barat” itu harus berhadapan dengan sebuah sistem tata nilai Jawa yang antara lain mengutamakan harmoni, kental dengan spiritualisme yang kurang menghargakan materi dan seterusnya. Sebenarnya corak spiritualisme seperti yang ada di Jawa itu pernah hidup subur di Yunani dan cukup berpengaruh pada awal kekristenan. Namun corak yang seperti itu justru dikikis habis oleh protestantisme Barat yang cenderung membuang semua symbol dan artefak dari dalam gedung gereja. Dengan sejarah yang cukup panjang itulah kita kini kembali pada roh kebudayaan yang benar, bagaimana menjadi orang Kristen yang nJawani, orang Kristen yang berbudaya (Jawa) dan orang Jawa yang benar-benar Kristen, bukan sekadar ngristeni. Kita ingat doa yang diajarkan Tuhan Yesus,, “datanglah kerajaanMu”,….. “jadilah kehendakMu di bumi seperti di dalam Surga”. Di situ bumi dengan segala isinya (yang kita percayai sebagai ciptaan Tuhan) dan kebudayaannya, tetap diapresiasi dan dihargakan sesuai dengan keberadaannya. (45-Nosk) Padmono SK.
Retreat Karyawan
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu oleh karyawan tiba, tanggal 26 Mei 2015, karyawan GKJ Nehemia mengadakan retreat yang pada tahun ini bertempat di MDC, Gadog, Jawa Barat. Acara retreat yang merupakan agenda tahunan dari karyawan GKJ Nehemia termasuk “agak” spesial karena 2 tahun terakhir yaitu tahun 2013 dan 2014 diadakan di Puncak. Pada acara retreat karyawan tahun ini yang menjadi koordinator adalah bagian sekuriti dengan Bapak Tukiman sebagai ketuanya. Hal ini juga dikarenakan Bapak Tukiman akan purna tugas per 31 Mei 2015 (walaupun akhirnya majelis memutuskan untuk memperpanjang masa tugas beliau). Perencanaan acara retreat karyawan ini sudah digagas sejak sekitar 2 bulan sebelum pelaksanaan, banyak tempat yang dipilih antara lain Puncak, Bandung ataupun Sukabumi, yang pada akhirnya dipilihlah MDC Gadog sebagai tujuan retreat karyawan tahun ini.
Pertengahan Mei, Bapak Gatot, Bapak Tukiman, Bapak Ary dan Bapak Ferry mengadakan survei tempat dan lokasi. Dua bulan perencanaan, termasuk persiapan peserta, konsumsi, penginapan dan lain sebagainya, tibalah tanggal 26 Mei 2015. Tepat pukul 09.00 seluruh peserta retreat karyawan 2015 yang berjumlah 40 orang dalam hal ini karyawan GKJ Nehemia dan keluarganya serta para simpatisan jemaat termasuk Ketua Majelis Bapak Andreas Hutomo dan Pdt. Samuel B.Haryanto diberangkatkan dengan dipimpin doa oleh Bapak Gatot.
Agenda retreat pertama adalah menuju ke Taman Matahari di kawasan Puncak sebelum menuju ke MDC Gadog, di Taman Matahari tersebut rombongan dibebaskan untuk melakukan aktifitas masing-masing dengan diharapkan berkumpul kembali sekitar jam 13.00 untuk makan siang. Banyak sekali yang bisa dilakukan di Taman Matahari, oleh karena itu sesampainya di sana rombongan langsung memisahkan diri masing-masing, ada yang berenang di water park, naik sampan, bersepeda atau hanya duduk-duduk menikmati hari. Saking banyaknya aktifitas yang dilakukan, agak sulit untuk panitia memanggil peserta untuk makan siang dan berkumpul menuju ke Kota Bunga, beberepa peserta terpaksa harus ditelepon satu per satu agar cepat kumpul karena sudah ditunggu oleh peserta lainnya.
Setelah makan siang tepat jam 14.00, rombongan berangkat menuju MDC Gadog untuk menginap dan beristirahat, sesampainya di sana setelah pembagian kamar, banyak peserta yang langsung rebahan di kasur karena sudah capek jalan-jalan di Taman Matahari, akan tetapi beberapa peserta bahkan melanjutkan lagi aktifitas olah raga di sekitar MDC, seperti Bulu Tangkis, Renang dan bahkan bermain bola. Malamnya sebelum makan malam diadakan acara sharing dan renungan yang dipimpin oleh Pendeta Samuel B. Haryanto dengan mengambil tema kebersamaan dalam pelayanan. Setelah makan malam sekitar jam 22.00 sudah tidak ada lagi peserta yang beraktifitas, semua sudah masuk kamar masing-masing untuk melanjutkan aktifitas hari berikutnya.
Hari berikutnya, tanggal 27 Mei 2015 setelah makan pagi diadakan permainan yang dipimpin oleh Ibu Conny Yarin. Dengan 3 permainan yang membuat suasana semakin akrab dan ceria, beliau menjelaskan bagaimana para peserta dapat mengimplementasikan permainan yang diikuti sehingga tujuan hakiki yang diharapkan dapat terwujud yaitu membangun kesatuan antar karyawan, membangun daya dan potensi, mewujudkan pekerja gereja yang berkarakter dan profesional untuk mencapai visi dan misi GKJ Nehemia. Retreat kali ini juga bisa dikatakan menyenangkan karena adanya organ tunggal lengkap dengan pemusiknya jadi sepanjang waktu luang banyak peserta yang menyanyi dengan diiringi organ tunggal tersebut.
Pukul 11.00 peserta mulai bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta dan setelah makan siang seluruh peserta berangkat menuju GKJ Nehemia dengan tidak lupa berhenti untuk membeli oleh-oleh di Toko Tas Tajur, Bogor. Sekitar jam 15.00 sore seluruh peserta retreat tiba di GKJ Nehemia dengan semangat dan tekad yang baru. Suatu pengalaman yang mengesankan bagi seluruh peserta retreat karyawan 2015 ini yang benar-benar membawa suasana baru bagi kehidupan para peserta. Sampai jumpa di retreat karyawan berikutnya. Ad infinitum.
Pertengahan Mei, Bapak Gatot, Bapak Tukiman, Bapak Ary dan Bapak Ferry mengadakan survei tempat dan lokasi. Dua bulan perencanaan, termasuk persiapan peserta, konsumsi, penginapan dan lain sebagainya, tibalah tanggal 26 Mei 2015. Tepat pukul 09.00 seluruh peserta retreat karyawan 2015 yang berjumlah 40 orang dalam hal ini karyawan GKJ Nehemia dan keluarganya serta para simpatisan jemaat termasuk Ketua Majelis Bapak Andreas Hutomo dan Pdt. Samuel B.Haryanto diberangkatkan dengan dipimpin doa oleh Bapak Gatot.
Agenda retreat pertama adalah menuju ke Taman Matahari di kawasan Puncak sebelum menuju ke MDC Gadog, di Taman Matahari tersebut rombongan dibebaskan untuk melakukan aktifitas masing-masing dengan diharapkan berkumpul kembali sekitar jam 13.00 untuk makan siang. Banyak sekali yang bisa dilakukan di Taman Matahari, oleh karena itu sesampainya di sana rombongan langsung memisahkan diri masing-masing, ada yang berenang di water park, naik sampan, bersepeda atau hanya duduk-duduk menikmati hari. Saking banyaknya aktifitas yang dilakukan, agak sulit untuk panitia memanggil peserta untuk makan siang dan berkumpul menuju ke Kota Bunga, beberepa peserta terpaksa harus ditelepon satu per satu agar cepat kumpul karena sudah ditunggu oleh peserta lainnya.
Setelah makan siang tepat jam 14.00, rombongan berangkat menuju MDC Gadog untuk menginap dan beristirahat, sesampainya di sana setelah pembagian kamar, banyak peserta yang langsung rebahan di kasur karena sudah capek jalan-jalan di Taman Matahari, akan tetapi beberapa peserta bahkan melanjutkan lagi aktifitas olah raga di sekitar MDC, seperti Bulu Tangkis, Renang dan bahkan bermain bola. Malamnya sebelum makan malam diadakan acara sharing dan renungan yang dipimpin oleh Pendeta Samuel B. Haryanto dengan mengambil tema kebersamaan dalam pelayanan. Setelah makan malam sekitar jam 22.00 sudah tidak ada lagi peserta yang beraktifitas, semua sudah masuk kamar masing-masing untuk melanjutkan aktifitas hari berikutnya.
Hari berikutnya, tanggal 27 Mei 2015 setelah makan pagi diadakan permainan yang dipimpin oleh Ibu Conny Yarin. Dengan 3 permainan yang membuat suasana semakin akrab dan ceria, beliau menjelaskan bagaimana para peserta dapat mengimplementasikan permainan yang diikuti sehingga tujuan hakiki yang diharapkan dapat terwujud yaitu membangun kesatuan antar karyawan, membangun daya dan potensi, mewujudkan pekerja gereja yang berkarakter dan profesional untuk mencapai visi dan misi GKJ Nehemia. Retreat kali ini juga bisa dikatakan menyenangkan karena adanya organ tunggal lengkap dengan pemusiknya jadi sepanjang waktu luang banyak peserta yang menyanyi dengan diiringi organ tunggal tersebut.
Pukul 11.00 peserta mulai bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta dan setelah makan siang seluruh peserta berangkat menuju GKJ Nehemia dengan tidak lupa berhenti untuk membeli oleh-oleh di Toko Tas Tajur, Bogor. Sekitar jam 15.00 sore seluruh peserta retreat tiba di GKJ Nehemia dengan semangat dan tekad yang baru. Suatu pengalaman yang mengesankan bagi seluruh peserta retreat karyawan 2015 ini yang benar-benar membawa suasana baru bagi kehidupan para peserta. Sampai jumpa di retreat karyawan berikutnya. Ad infinitum.
Juli Tak Pernah Sunyi
Setiap bulan, GKJ Nehemia tidak pernah sepi kegiatan. Berbagai kegiatan yang telah dijadwalkan di tahun-tahun sebelumnya pun selalu bergulir dan terlaksana tepat waktu. Bulan Juni hingga Juli 2015 banyak kegiatan yang dilaksanakan oleh GKJ Nehemia, antara lain : Sakramen Baptis Anak, Dewasa dan Sidi.
Pengakuan Percaya/Sidi dilaksanakan pada hari Minggu, 5 Juli 2015 dalam kebaktian pukul 8.00. Adapun nama-nama yang Sidi antara lain: Dania Chrisantia, Erlangga Semi Soejono, Purwadi Kris Ardiyanto Atmaja, Ridho Ravelino Pardede, Selvia Dwi Anggraini, Rentanas Pane, Aprilia Dwi Andri, Rizky Meynardi, Jose Ario Wibowo, dan Saryawan Agung Nugroho. Satu-satunya nama yang Babtis Dewasa adalah Sdri. Darwanti yang dibaptis bersamaan dengan pelayanan Baptis Anak pada hari Minggu, 12 Juli 2015, dalam kebaktian pukul 8.00. Sedangkan keluarga yang membaptiskan anaknya pada hari Minggu, 12 Juli 2015 adalah sebanyak 20 anak.
Perjamuan Kudus III dilaksanakan pada hari Minggu, 28 Juli 2015 di semua jam kebaktian. Selain kegiatan rutin yang telah berjalan seperti latihan Paduan Suara, latihan Melukis bagi Anak-anak Sekolah Minggu, latihan Karawitan Anak Sekolah Minggu dari kelas IV SD s.d kelas 2 SMP, dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan para peserta dan dikomandani oleh setiap komisi yang kesemuanya dilaksanakan bukan semata-mata mencari popularitas tetapi untuk memuliakan nama Tuhan.
Selain kegiatan tersebut di atas pada hari Minggu, 5 Juli 2015 di halaman GSG diselenggarakan Bazaar dalam rangka Baksos Lebaran yang akan disumbangkan kepada Pasukan Penyapu Jalan, Penjaga Keamanan dan lainnya di lingkungan gereja, yang merayakan lebaran (Kel. Pondok Pinang). Komisi Wanita yang mengadakan Bazaar Baksos Lebaran tersebut menyediakan berbagai makanan dan sayuran serta pernak-pernik maupun permainan mancing oleh Anak-anak Sekolah Minggu. Baksos pun disukseskan Jemaat GKJ Nehemia dengan cara membeli kupon terlebih dahulu kemudian berbelanja sesuai selera dan kebutuhannya masing-masing.
Pengakuan Percaya/Sidi dilaksanakan pada hari Minggu, 5 Juli 2015 dalam kebaktian pukul 8.00. Adapun nama-nama yang Sidi antara lain: Dania Chrisantia, Erlangga Semi Soejono, Purwadi Kris Ardiyanto Atmaja, Ridho Ravelino Pardede, Selvia Dwi Anggraini, Rentanas Pane, Aprilia Dwi Andri, Rizky Meynardi, Jose Ario Wibowo, dan Saryawan Agung Nugroho. Satu-satunya nama yang Babtis Dewasa adalah Sdri. Darwanti yang dibaptis bersamaan dengan pelayanan Baptis Anak pada hari Minggu, 12 Juli 2015, dalam kebaktian pukul 8.00. Sedangkan keluarga yang membaptiskan anaknya pada hari Minggu, 12 Juli 2015 adalah sebanyak 20 anak.
Perjamuan Kudus III dilaksanakan pada hari Minggu, 28 Juli 2015 di semua jam kebaktian. Selain kegiatan rutin yang telah berjalan seperti latihan Paduan Suara, latihan Melukis bagi Anak-anak Sekolah Minggu, latihan Karawitan Anak Sekolah Minggu dari kelas IV SD s.d kelas 2 SMP, dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan para peserta dan dikomandani oleh setiap komisi yang kesemuanya dilaksanakan bukan semata-mata mencari popularitas tetapi untuk memuliakan nama Tuhan.
Selain kegiatan tersebut di atas pada hari Minggu, 5 Juli 2015 di halaman GSG diselenggarakan Bazaar dalam rangka Baksos Lebaran yang akan disumbangkan kepada Pasukan Penyapu Jalan, Penjaga Keamanan dan lainnya di lingkungan gereja, yang merayakan lebaran (Kel. Pondok Pinang). Komisi Wanita yang mengadakan Bazaar Baksos Lebaran tersebut menyediakan berbagai makanan dan sayuran serta pernak-pernik maupun permainan mancing oleh Anak-anak Sekolah Minggu. Baksos pun disukseskan Jemaat GKJ Nehemia dengan cara membeli kupon terlebih dahulu kemudian berbelanja sesuai selera dan kebutuhannya masing-masing.
Punakawan
Belakangan ini dalam beberapa kebaktian khusus di GKJ Nehemia sering tampil tokoh Punakawan yang diperankan oleh para anggota majelis untuk membawakan kotbah alternatif. Namun masih banyak yang bertanya-tanya siapakah sebenarnya Punakawan itu. Ada beberapa definisi tentang Punakawan namun pada intinya arti Punakawan adalah Pamomong atau Pengasuh sebagai teman yang sejati. Punakawan ini bertugas momong para Ksatria keturunan Witaradya, antara lain Pandawa. Punakawan dalam wayang kulit di Jawa terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.
Semar
Semar adalah putra Sang Hyang Tunggal dengan Dewi Wiranti. Konon Semar berasal dari sebuah telor yang bercahaya, dan ketika dipuja oleh Sang Hyang Wenang telor itu pecah. Kulit telor itu menjadi Sang Hyang Antaga (Togog), putih telor menjadi Sang Hyang Ismaya (Semar) dan kuning telor menjadi Sang Hyang Manikmaya (Batara Guru). Sang Hyang Ismaya atau Semar menikah dengan Dewi Kanastri dan berputera sepuluh orang yaitu Sang Hyang Bongkokan, Temboro, Kuwera, Wrehaspati, Siwah, Surya, Candra, Yamadipati, Komajaya dan Darmanastiti.
Alkisah Sang Hyang Antaga, Ismaya dan Manikmaya mengikuti sayembara menelan gunung dengan harapan akan menjadi raja di tiga dunia yaitu Jagad Luhur, Jagat Madya dan Jagad Andhap, apabila bisa menelan gunung kemudian mengeluarkannya kembali. Ketika Sang Hyang Antaga mencoba menelan gunung, mulutnya sampai robek dan matanya melotot (mlolo) namun gunung tak bisa tertelan, jadilah dia Togog.
Giliran Sang Hyang Ismaya yang mencoba menelan gunung. Gunung memang bisa tertelan namung tidak bisa dikeluarkan kembali sehingga perutnya menjadi buncit dan matanya selalu berair (mbrebes) menahan sakit, jadilah dia Semar. Terakhir Sang Hyang Manikmaya berhasil menelan gunung dan mengeluarkannya (bukan gunung yang di perut Semar) kemudian diangkat menjadi raja di Kayangan Suralaya atau Jagad Luhur dan juga menguasai Jagad Madya dan Jagad Andhap, dan bergelar Batara Guru.
Semar oleh Sang Hyang Wenang ditugaskan turun ke bumi untuk menjadi abdi para ksatria keturunan Witaradya termasuk Pandawa. Semar tinggal di Karang Kedhempel atau Klampis Ireng dengan beberapa nama seperti Badranaya, Nayantaka, Janggan Asmarasanta, Wong boga Sampir.
Kemudian mengangkat tiga orang anak yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Punakawan ini selalu ikut ksatria yang membela kebenaran dan menjadi penghiburnya dikala sedih. Pandawa juga mengangkat semar sebagi penasihatnya karena menjadi sarana ketenteraman dan kemuliaan bagi negaranya. Semar berwatak arif, tidak suka marah dan sering bercanda. Tetapi kalau sedang marah tak satupun yang bisa mengendalikannya kecuali Sang Hyang Wenang.
Gareng
Gareng adalah anak Gandarwa sebangsa jin yang diambil anak angkat oleh Semar. Gareng juga mempunyai beberapa nama antara lain Pancalpamor yang mempunyai arti menolak godaan duniawi, Pegatwaja yang menggambarkan bahwa Gareng tidak suka makanan yang enak-enak yang menimbulkan penyakit dan Nala Gareng artinya hati yang kering dari ketamakan dan keserakahan sehingga ia selalu berbuat baik.
Gareng mempunyai ciri fisik mata juling, tidak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan. Tangan ceko atau bengkok, tidak mau mengambil yang bukan haknya. Kaki gejik atau pincang, selalu waspada dalam setiap tindak. Gareng suka bercanda yang satu dua katanya penuh makna, suka menolong orang lain dan setia kepada tuannya. Dalam suatu lakon carangan Gareng pernah menjadi raja bergelar Pandu Bergola. Inti dari lakon tersebut adalah ingin mengingatkan tuannya para Pandawa agar jangan lupa diri dan terlena setelah hidup makmur.
Petruk
Petruk merupakan anak Raja Gandarwa sebangsa jin kemudian diambil menjadi anak angkat ke dua. Petruk tinggal di dusun Pecuk Pecukilan dan mempunyai beberapa nama seperti Kanthong Bolong yang artinya suka berderma, Doblajaya artinya pintar karena diantara saudaranya yang lain dia temasuk yang paling pandai bicara dan pandai memberi saran pada tuannya.
Petruk beristerikan Dewi Undanawati dan beranak Bambang Lengkung Kusuma. Petruk mempunyai sifat momong (mengasuh), momor (tidak mudah sakit hati kalau dikritik), momot (dapat menampung segala keluhan tuannya) dan murakabi (bermanfaat bagi sesama).
Dalam cerita carangan Petruk pernah menjadi raja di Ngrancang Kencana bergelar Prabu Wel Geduwelbeh. Inti dari cerita ini mengingatkan tuannya agar jangan mudah percaya kepada orang lain dan jangan meremehkan wong cilik.
Bagong
Suatu saat Semar sedang kebingungan ketika Gareng dan Petruk minta adik. Kemudian Sang Hyang Tunggal bersabda: “Ketahuilah bahwa apa yang diminta anak-anakmu adalah bayanganmu sendiri.” Seketika itu juga bayangan Semar berubah wujud menjadi manusia dan diberi nama Bagong. Bagong berbadan gemuk pendek mirip Semar tetapi mulut dan matanya lebar.
Bagong memiliki watak suka bercanda, pintar membuat lelucon bahkan kadang leluconnya berkesan menjengkelkan. Bagong suka bertindak lancang tetapi jujur dan juga sakti. Kalau menjalankan tugas suka grusa-grusu atau tergesa-gesa kurang perhitungan. Bagong bersuara besar dan kedengaran agak kendor. Bagong sebagai anak bungsu paling disayang oleh kakak-kakaknya. *sumber pewayangan.
Semar
Semar adalah putra Sang Hyang Tunggal dengan Dewi Wiranti. Konon Semar berasal dari sebuah telor yang bercahaya, dan ketika dipuja oleh Sang Hyang Wenang telor itu pecah. Kulit telor itu menjadi Sang Hyang Antaga (Togog), putih telor menjadi Sang Hyang Ismaya (Semar) dan kuning telor menjadi Sang Hyang Manikmaya (Batara Guru). Sang Hyang Ismaya atau Semar menikah dengan Dewi Kanastri dan berputera sepuluh orang yaitu Sang Hyang Bongkokan, Temboro, Kuwera, Wrehaspati, Siwah, Surya, Candra, Yamadipati, Komajaya dan Darmanastiti.
Alkisah Sang Hyang Antaga, Ismaya dan Manikmaya mengikuti sayembara menelan gunung dengan harapan akan menjadi raja di tiga dunia yaitu Jagad Luhur, Jagat Madya dan Jagad Andhap, apabila bisa menelan gunung kemudian mengeluarkannya kembali. Ketika Sang Hyang Antaga mencoba menelan gunung, mulutnya sampai robek dan matanya melotot (mlolo) namun gunung tak bisa tertelan, jadilah dia Togog.
Giliran Sang Hyang Ismaya yang mencoba menelan gunung. Gunung memang bisa tertelan namung tidak bisa dikeluarkan kembali sehingga perutnya menjadi buncit dan matanya selalu berair (mbrebes) menahan sakit, jadilah dia Semar. Terakhir Sang Hyang Manikmaya berhasil menelan gunung dan mengeluarkannya (bukan gunung yang di perut Semar) kemudian diangkat menjadi raja di Kayangan Suralaya atau Jagad Luhur dan juga menguasai Jagad Madya dan Jagad Andhap, dan bergelar Batara Guru.
Semar oleh Sang Hyang Wenang ditugaskan turun ke bumi untuk menjadi abdi para ksatria keturunan Witaradya termasuk Pandawa. Semar tinggal di Karang Kedhempel atau Klampis Ireng dengan beberapa nama seperti Badranaya, Nayantaka, Janggan Asmarasanta, Wong boga Sampir.
Kemudian mengangkat tiga orang anak yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Punakawan ini selalu ikut ksatria yang membela kebenaran dan menjadi penghiburnya dikala sedih. Pandawa juga mengangkat semar sebagi penasihatnya karena menjadi sarana ketenteraman dan kemuliaan bagi negaranya. Semar berwatak arif, tidak suka marah dan sering bercanda. Tetapi kalau sedang marah tak satupun yang bisa mengendalikannya kecuali Sang Hyang Wenang.
Gareng
Gareng adalah anak Gandarwa sebangsa jin yang diambil anak angkat oleh Semar. Gareng juga mempunyai beberapa nama antara lain Pancalpamor yang mempunyai arti menolak godaan duniawi, Pegatwaja yang menggambarkan bahwa Gareng tidak suka makanan yang enak-enak yang menimbulkan penyakit dan Nala Gareng artinya hati yang kering dari ketamakan dan keserakahan sehingga ia selalu berbuat baik.
Gareng mempunyai ciri fisik mata juling, tidak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan. Tangan ceko atau bengkok, tidak mau mengambil yang bukan haknya. Kaki gejik atau pincang, selalu waspada dalam setiap tindak. Gareng suka bercanda yang satu dua katanya penuh makna, suka menolong orang lain dan setia kepada tuannya. Dalam suatu lakon carangan Gareng pernah menjadi raja bergelar Pandu Bergola. Inti dari lakon tersebut adalah ingin mengingatkan tuannya para Pandawa agar jangan lupa diri dan terlena setelah hidup makmur.
Petruk
Petruk merupakan anak Raja Gandarwa sebangsa jin kemudian diambil menjadi anak angkat ke dua. Petruk tinggal di dusun Pecuk Pecukilan dan mempunyai beberapa nama seperti Kanthong Bolong yang artinya suka berderma, Doblajaya artinya pintar karena diantara saudaranya yang lain dia temasuk yang paling pandai bicara dan pandai memberi saran pada tuannya.
Petruk beristerikan Dewi Undanawati dan beranak Bambang Lengkung Kusuma. Petruk mempunyai sifat momong (mengasuh), momor (tidak mudah sakit hati kalau dikritik), momot (dapat menampung segala keluhan tuannya) dan murakabi (bermanfaat bagi sesama).
Dalam cerita carangan Petruk pernah menjadi raja di Ngrancang Kencana bergelar Prabu Wel Geduwelbeh. Inti dari cerita ini mengingatkan tuannya agar jangan mudah percaya kepada orang lain dan jangan meremehkan wong cilik.
Bagong
Suatu saat Semar sedang kebingungan ketika Gareng dan Petruk minta adik. Kemudian Sang Hyang Tunggal bersabda: “Ketahuilah bahwa apa yang diminta anak-anakmu adalah bayanganmu sendiri.” Seketika itu juga bayangan Semar berubah wujud menjadi manusia dan diberi nama Bagong. Bagong berbadan gemuk pendek mirip Semar tetapi mulut dan matanya lebar.
Bagong memiliki watak suka bercanda, pintar membuat lelucon bahkan kadang leluconnya berkesan menjengkelkan. Bagong suka bertindak lancang tetapi jujur dan juga sakti. Kalau menjalankan tugas suka grusa-grusu atau tergesa-gesa kurang perhitungan. Bagong bersuara besar dan kedengaran agak kendor. Bagong sebagai anak bungsu paling disayang oleh kakak-kakaknya. *sumber pewayangan.
Wayang Sebagai Bayang-bayang Kehidupan
Wayang berasal dari bahasa Jawa yang mengandung arti bayang atau bayangan, atau bayang-bayang.
Bayang-bayang itu akan terlihat jelas dari belakang layar karena terkena sorot lampu dari depan layar, sementara tempat penonton yang duduk di sebaliknya lampunya lebih redup sehingga bayang-bayang itu menjadi lebih jelas.
Bayang-bayang yang bergerak itu kemudian dinamakan wayang.Dalam pertunjukan wayang diperlukan beberapa perlengkapan sebagai sarana untuk memperlihatkan bayang-bayang itu.
Sejak jaman sebelum agama-agama datang di negeri kita ini, pola pikir para leluhur kita dulu sangat sederhana. Mereka selalu diburu rasa keingintahuan mengenai masalah apa saja yang berada di sekelilingnya. Pada saat itu mereka percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal masih tinggal di sekelilingnya, seperti wayang di kotak peristirahatan sementara. Roh itu tinggal di sekitar tempat tinggalnya, bisa di pohon-pohon besar, batu-batu besar atau di hutan dan gunung.
Roh orang yang sudah meninggal itu juga dipandang sebagai pelindung yang dapat memberi pertolongan kepada orang-orang yang ditinggalkan. Mereka berangan-angan untuk bisa mendatangkan roh tersebut meski hanya sebentar. Dalam kesempatan tersebut mereka yang masih hidup dapat menghormati roh leluhurnya dengan puji-pujian dan sesaji. Dengan demikian orang tersebut akan merasa terjamin kehidupannya dengan kemakmuran dan kebahagiaan di kemudian hari.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut mereka kemudian menciptakan wayang yang waktu itu bentuknya masih sangat sederhana. Wayang diciptakan untuk digunakan sebagai upacara religi yang berkaitan dengan kepercayaan. Pertunjukan wayang dilakukan pada waktu malam hari bersamaan dengan mengembaranya roh nenek moyang.
Pandangan tersebut di atas menyimpulkan asal mula adanya pertunjukan wayang. Dengan kata lain pertunjukan itu berpangkal pada diselenggarakannya upacara keagamaan untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan masalah kepercayaan. Pertunjukan wayang itu kemudian dikembangkan terus-menerus secara bertahap dalam kurun waktu yang cukup lama. Sejak kedatangan orang Hindu menyebarkan agama dengan membawa kebudayaannya maka wayang pun mengalami perubahan bentuk dan cerita. Kemudian mereka mengadopsi kebudayaan yang dibawa, antara lain kisah Ramayana dan Mahabharata.
Namun dalam mengadopsi kebudayaan tersebut inti dan fungsinya tetap dipertahankan. Yang semula berupa wayang sederhana dengan bayang-bayang atau wewujudan roh kemudian berubah menjadi bentuk wayang kulit atau wayang purwa seperti sekarang ini. Bahkan dalam pembuatan wayang kulit langsung dibedakan tokoh baik dan tokoh jahat menurut ciri wajah masing-masing.
Wayang yang bertabiat jahat dijejerkan pada barisan sebelah kiri layar, sedangkan yang bertabiat baik di sebelah kanan. Lagu-lagu pujian yang semula bernada monoton berubah menjadi seni suara seperti suluk, sindhen dan gerong. Bunyi-bunyian atau tetabuhan yang terdiri dari beberapa buah saja kemudian berubah menjadi gamelan slendro dan pelog. Sementara tempat pemujaan beralih ke panggung pertunjukan dengan gedebog/batang pisang.
Sebelum pertunjukan wayang dimulai biasanya dilantunkan gendhing-gendhing patalon atau talu yaitu: Gendhing Cucurbawuk, Srikaton, Pareanom, Suksma ilang, Ayak-ayakan, Slepegan dan Sampak. Gendhing-gendhing Patalon merupakan pertanda bahwa pertunjukan wayang akan segera dimulai. Bila gendhing Patalon sudah selesai, barulah dhalang naik ke atas panggung kemudian memukul kotak dengan cempala sebanyak lima kali sebagai tanda bahwa jejer atau adegan pertama dimulai.
Pertunjukan atau pagelaran wayang kulit semalam suntuk yang dibagi dalam beberapa babak menggambarkan bayang-bayang tahapan kehidupan manusia di dunia fana.
Bayang-bayang itu akan terlihat jelas dari belakang layar karena terkena sorot lampu dari depan layar, sementara tempat penonton yang duduk di sebaliknya lampunya lebih redup sehingga bayang-bayang itu menjadi lebih jelas.
Bayang-bayang yang bergerak itu kemudian dinamakan wayang.Dalam pertunjukan wayang diperlukan beberapa perlengkapan sebagai sarana untuk memperlihatkan bayang-bayang itu.
- Kelir atau layar terkembang dari kain putih bersih yang berupa bentangan itu melambangkan dunia yang terbentang luas.
- Blencong
Blencong adalah lampu minyak bersumbu yang dipakai dalam pertunjukan wayang sebagai lampu yang menerangi layar yang melambangkan sinar matahari yang menyinari bumi. Sesuai dengan kemajuan jaman, blencong kemudian digantikan lampu petromax dan lampu pijar yang lebih terang. - Gedebog
Gedebog atau batang pisang yang dipasang panjang membujur tempat menancapkan wayang melambangkan sebagai bumi tempat berpijak. - Kothak
Kothak atau peti kayu yang bertutup tanpa engsel tempat menyimpan wayang melambangkan tempat peristirahatan sementara (alam kubur). - Dhalang
Dhalang adalah orang yang memainkan pertunjukan wayang. Dhalang mempunyai wewenang yang tak terbatas namun tetap terikat pada pakem. Artinya dia berhak mengatur nasib para wayang. Dhalang melambangkan yang Mahakuasa, meski banyak pula yang tidak sependapat.
Sejak jaman sebelum agama-agama datang di negeri kita ini, pola pikir para leluhur kita dulu sangat sederhana. Mereka selalu diburu rasa keingintahuan mengenai masalah apa saja yang berada di sekelilingnya. Pada saat itu mereka percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal masih tinggal di sekelilingnya, seperti wayang di kotak peristirahatan sementara. Roh itu tinggal di sekitar tempat tinggalnya, bisa di pohon-pohon besar, batu-batu besar atau di hutan dan gunung.
Roh orang yang sudah meninggal itu juga dipandang sebagai pelindung yang dapat memberi pertolongan kepada orang-orang yang ditinggalkan. Mereka berangan-angan untuk bisa mendatangkan roh tersebut meski hanya sebentar. Dalam kesempatan tersebut mereka yang masih hidup dapat menghormati roh leluhurnya dengan puji-pujian dan sesaji. Dengan demikian orang tersebut akan merasa terjamin kehidupannya dengan kemakmuran dan kebahagiaan di kemudian hari.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut mereka kemudian menciptakan wayang yang waktu itu bentuknya masih sangat sederhana. Wayang diciptakan untuk digunakan sebagai upacara religi yang berkaitan dengan kepercayaan. Pertunjukan wayang dilakukan pada waktu malam hari bersamaan dengan mengembaranya roh nenek moyang.
Pandangan tersebut di atas menyimpulkan asal mula adanya pertunjukan wayang. Dengan kata lain pertunjukan itu berpangkal pada diselenggarakannya upacara keagamaan untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan masalah kepercayaan. Pertunjukan wayang itu kemudian dikembangkan terus-menerus secara bertahap dalam kurun waktu yang cukup lama. Sejak kedatangan orang Hindu menyebarkan agama dengan membawa kebudayaannya maka wayang pun mengalami perubahan bentuk dan cerita. Kemudian mereka mengadopsi kebudayaan yang dibawa, antara lain kisah Ramayana dan Mahabharata.
Namun dalam mengadopsi kebudayaan tersebut inti dan fungsinya tetap dipertahankan. Yang semula berupa wayang sederhana dengan bayang-bayang atau wewujudan roh kemudian berubah menjadi bentuk wayang kulit atau wayang purwa seperti sekarang ini. Bahkan dalam pembuatan wayang kulit langsung dibedakan tokoh baik dan tokoh jahat menurut ciri wajah masing-masing.
Wayang yang bertabiat jahat dijejerkan pada barisan sebelah kiri layar, sedangkan yang bertabiat baik di sebelah kanan. Lagu-lagu pujian yang semula bernada monoton berubah menjadi seni suara seperti suluk, sindhen dan gerong. Bunyi-bunyian atau tetabuhan yang terdiri dari beberapa buah saja kemudian berubah menjadi gamelan slendro dan pelog. Sementara tempat pemujaan beralih ke panggung pertunjukan dengan gedebog/batang pisang.
Sebelum pertunjukan wayang dimulai biasanya dilantunkan gendhing-gendhing patalon atau talu yaitu: Gendhing Cucurbawuk, Srikaton, Pareanom, Suksma ilang, Ayak-ayakan, Slepegan dan Sampak. Gendhing-gendhing Patalon merupakan pertanda bahwa pertunjukan wayang akan segera dimulai. Bila gendhing Patalon sudah selesai, barulah dhalang naik ke atas panggung kemudian memukul kotak dengan cempala sebanyak lima kali sebagai tanda bahwa jejer atau adegan pertama dimulai.
Pertunjukan atau pagelaran wayang kulit semalam suntuk yang dibagi dalam beberapa babak menggambarkan bayang-bayang tahapan kehidupan manusia di dunia fana.
- Patet Nem
Berlangsung dari pukul 21.00 – 00.00 melambangkan periode anak-anak.
Jejeran – adegan Raja di persidangan sampai kembali ke Kedhaton disambut Permaisuri, melambangkan bayi yang kembali diasuh oleh ibunya.
Paseban jawi – adegan ketika Senapati mengumpulkan para prajurit, melambangkan bahwa seorang anak sudah mulai mengenal dunia luar.
Jaranan - adegan para prajurit siap menuju arena dengan menunggang binatang/gajah, kuda dsb. melambangkan watak anak yang belum dewasa. Anak tersebut masih cenderung bersifat hewani karena tidak memperhatikan tatanan yang ada dan hanya memikirkan diri sendiri.
Perang ampyak – adegan terjadinya perang karena menghadapi rintangan, melambangkan perjalanan seorang anak yang sudah beranjak dewasa dan mulai menghadapi banyak rintangan. Namun semua rintangan itu bisa dilalui dengan aman.
Sabrangan – adegan para raksasa, melambangkan seorang anak yang sudah dewasa tetapi wataknya masih didominasi emosi, nafsu dan keserakahan.
Perang gagal – adengan terakhir dari Patet Nem yaitu perang namun belum diakhiri siapa yang menang siapa yang kalah karena hanya silang jalan saja, kemudian masing-masing mencari jalan lain. Hal ini melambangkan suatu tataran hidup manusia yang masih bersikap ragu-ragu dan belum ada tujuan yang pasti. - Patet Sanga
Berlangsung dari pukul 00.00 – 03.00 ditandai dengan gunungan yang berdiri tegak di tengah kelir seperti pada awal pagelaran, kemudian jejeran.
Bambangan – adegan ketika seorang ksatria berada di tengah hutan atau sedang menghadap Pendeta, melambangkan suatu masa ketika manusia mulai mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan.
Perang kembang – adegan perang antara para raksasa seperti buta Cakil, buta Rambut geni, buta Galiuk dan bala rucah melawan ksatria yang diiring punakawan. Melambangkan suatu tataran ketika manusia sudah mulai mampu melawan dan mengalahkan nafsu angkara.
Jejeran sintren – adegan seorang ksatria yang sudah menetapkan pilihannya dalam menempuh jalan hidupnya. - Patet Manyura
Berlangsung dari pikul 03.00 – 06.00 ditandai dengan gunungan condong ke kanan dilanjutkan dengan jejeran.
Jejer Manyura – adegan ketika tokoh utama dalam cerita sudah mengetahui dengan jelas tujuan hidupnya dan sudah dekat dengan apa yang dicita-citakan.
Perang Brubuh – adegan perang yang diakhiri dengan kemenangan yang menelan banyak korban. Adegan ini melambangkan suatu tataran ketika manusia sudah bisa menyingkirkan segala rintangan hingga berhasil mencapai tujuan.
Tancep Kayon – sebagai penutup dari pagelaran, Bima menari-nari karena berhasil meraih kemenangan. Kemudian gunungan ditancapkan di tengah-tengah kelir, blencong dimatikan melambangkan proses kematian ketika jiwa meninggalkan raga menuju ke alam baka. Pagelaran wayang kulit semalam suntuk tersebut merupakan suatu bayang-bayang kehidupan manusia dari lahir sampai mati. dari berbagai sumber. Rawasemut, Juli’15
Putri Cantik Berwajah Monyet
Dalam rangka menyambut bulan budaya GKJ Nehemia, kali ini secara berturut-turut kami sajikan cerita pewayangan dengan gaya penulisan khas Gembala punya cerita.
Dewi Ragu yang sejak keluar dari kampungnya berganti nama menjadi Dewi Windradi dan dipanggil Wiwin adalah sosok seorang gadis yang sudah terkenal kecantikannya di seluruh pelosok perkampungan di lereng Gunung Mahendra bahkan sampai ke Kota Raja. Kecantikannya memang luar biasa bahkan mengalahkan kecantikan para Bidadari di Kayangan Jonggring Salaka. Kulitnya putih mrusuh, badannya weweg, rambutnya panjang bak mayang terurai. Hidungnya mbangir tidak pesek seperti teman-temannya, kalau tersenyum pipi sebelah kiri dhekik, giginya gingsul menambah kecantikannya.
Tidak mengherankan kalau banyak pria baik dari kalangan ningrat sampai buruh kasar kalau malam tidak bisa tidur karena terbayang-bayang wajah sang Dewi, bahkan sering mengigau dalam tidurnya sambil menyebut Wiwiin . . ., Wiwiin . . . sedangkan kalau siang yang dibicarakan tidak pernah lepas dari kecantikan Dewi Windradi. Bisa seharian mereka nongkrong di gardu atau warung kopi dan yang dibicarakan tidak lain hanya Dewi Windradi saja sehingga yang punya warung bekah-bekuh karena nongkrong seharian, tapi paling banyak minum dua cangkir kopi dan sepotong tempe goreng. Mereka betul-betul menjadi tergila-gila kepada Dewi Windradi dengan harapan bisa mempersuntingnya sebagai pasangan hidup maupun mati.
Di luar dugaan banyak orang, ternyata Dewi Windradi akhirnya dipersunting oleh seorang Resi atau Pendeta yang memimpin sebuah Padepokan di lereng gunung Mahendra. Pendeta yang pendiam dan alim tapi sudah agak lanjut usia itu bernama Resi Gutama. Dewi Windradi yang kinyis-kinyis itu bersedia menjadi isteri Sang Pendeta karena tiap malam selalu klisikan menjelang tidur. Matanya kethap-kethip karena Wajah Resi Gutama selalu membayangi tidurnya. Banyak orang mengira Dewi Windradi pasti di pelet oleh Resi Gutama.
Pesta perkawinan dilaksanakan dengan sangat sederhana disaksikan para Cantrik, Jejanggan, Manguyu dan penduduk sekitar yang berguru di Padepokan itu. Pestanya sangat sederhana karena makanan yang terhidang terdiri dari ubi jalar, singkong, tempe benguk, kedele, ketan woran, gethuk, gathot, wedang jahe, teh pecut dsb. seperti kalau orang Wonogiri Paskahan di Nehemia.
Melihat isterinya yang cantik jelita dan menggairahkan itu maka Resi Gutama betah banget berada di Padepokan dan jarang sekali turun gunung seperti sebelum menikah. Pelajaran untuk para muridnya diserahkan saja kepada asistennya para Cantrik Senior, karena Sang Resi merasa lebih jenak berdua saja di ruang khusus yang semribit bersama Dewi Windradi. Akibat jarang ke luar Padepokan itu maka lahirlah tiga orang anak dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya. Yang pertama lahirlah seorang anak perempuan yang tak kalah cantiknya dengan ibunya diberi nama Dewi Anjani. Berikutnya lahir sorang anak laki-laki yang glewa-glewo ndemenakake, diberi nama Raden Guwarsa yang segera disusul kelahiran anak ketiga seorang anak laki-laki pula yang mirip kakaknya diberi nama Raden Guwarsi. Sesudah anak ketiganya lahir, Dewi Windradi segera turun gunung untuk mencari Puskesmas terdekat dan memutuskan untuk ikut KB dengan tubektomi. Dengan demikian ia akan bebas bercinta tanpa perlu resah dan gelisah akan hamil lagi.
Dewi Anjani yang putri pertama ini sangat disayang oleh ibunya karena tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita sehingga banyak para Cantrik di Padepokan itu gandrung-gandrung kapirangu. Oleh ibunya dia diberi pelajaran dan pelatihan dalam rangka mengolah diri menjadi gadis yang sempuna, terutama dalam hal merawat kecantikan. Maklum, disekitar Padepokan belum ada salon kecantikan. Resi Gutama lebih memperhatikan kedua anak laki-lakinya dengan memberikan pelajaran dalam hal olah kanuragan. Dibekalinya anak-anaknya ini dengan pelajaran bela diri ciptaannya sendiri, hasil gabungan dari pencak silat, judo, aikido, hokaido, taekwondo, jiu jitsyu, kempo, karate dan karambol.
Ketiga anaknya tumbuh dengan pesat dan sehat serta cepat menjadi besar karena banyak makanan yang bergizi di sekitar Padepokan, dengan menu utama beras merah dicampur jagung dan bermacam sayuran dari pucuk daun pakis, daun mede sampai daun mengkudu. Bermacam buah dari buah mangga manalagi, golek, santog, talijiwa sampai duren petruk. Sementara lauknya dari wader kalen, ayam alas sampai iwak celeng, tak ketinggalan pula dengan sambel wijen.
Karena Dewi Windradi ini yang aslinya berasal dari Kayangan, kadang-kadang kalau Resi Gutama sedang blusukan ke pedesaan sekitar padepokan dia merasa bosan dan sepi dalam kesendirian. Oleh karena itu segera saja dia pesan tiket dan terbang dengan emprit airline menuju Kayangan tempat para Dewa berada. Karena rasa kangen akibat lama tak bersua, dia menemui bekas pacarnya yang mata keranjang karena suka mengintip orang mandi baik di sungai atau di kamar mandi tanpa atap, kecuali malam hari karena dia adalah Bathara Surya dewanya matahari yang tinggal di Kayangan Cakrabaskara.
Bathara Surya yang jauh lebih ngganteng dari Resi Gutama tentu lebih menarik buat Dewi Windradi. Akhirnya terjadilah cinta terlarang yang berulang setiap kali Resi Gutama blusukan dan tidak pulang-pulang. Demi cintanya pada Dewi Windradi maka Bathara Surya menghadiahkan sebuah cindera mata yang sangat menarik yaitu Cupu Manik Astagina. Dan karena sayangnya Dewi Windradi terhadap Dewi Anjani anak perempuan satu-satunya, maka Cupu Manik Astagina yang antik menarik itu diberikan kepada Dewi Anjani sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh belas.
Suatu saat ketika Anjani sedang bermain dengan Cupu yang unik dan menarik itu, tanpa disadarinya terlihat oleh Guwarsa dan Guwarsi. Melihat barang aneh yang dipegang adiknya itu maka Guwarsa dan Guwarsi berusaha meminjam untuk sekedar melihat saja. Karena dipinjam tidak dikasih maka Guwarsa dan Guwarsi mencoba merebut Cupu itu dari tangan Anjani. Dewi Anjani pun berusaha mempertahankan cupu itu sekuat tenaga, maka terjadilah keributan dan teriakan-teriakan yang membangunkan Resi Gutama dari tidur siang nya.
Dengan rasa gusar dan mata masih merah akibat tidur yang belum tutug, segera direbutnya Cupu Manik itu dari tangan Anjani. Melihat cupu yang aneh itu Resi Gutama bertanya pada Anjani darimana dia mendapatkannya dan dijawab dari ibunya. Pertanyaan serupa diajukan oleh Resi Gutama kepada Dewi Windradi dari mana dia memperoleh cupu itu. Namun Dewi Windradi diam seribu bahasa dan tidak berani menjawab pertanyaan Resi Gutama. Sebab kalau dia bercerita apa adanya, pasti akan terjadi kegaduhan yang luar biasa dalam rumah tangganya. Maka lebih baik dia tutup mulut rapat-rapat bagai terkunci.
Karena ditanya berkali-kali tak mau menjawab juga, Resi Gutama menjadi gusar sehingga dibentaklah Dewi Windradi. “Wong ditanya kok diam saja seperti tugu!” Resi Gutama adalah orang yang sangat sakti sehingga apa yang diucapkan terjadi, sehingga saat itu juga Dewi Windradi menjadi tugu atau patung batu seperti arca Lara Jonggrang di candi Prambanan.
Demi memenuhi rasa keadilan karena diperebutkan oleh ketiga anaknya itu maka cupu manik yang indah itu dibuang sekuat tenaga oleh Resi Gutama dan jatuhnya jauh sekali di telaga Sarangan, eh telaga Madirda maksudnya.
Demikian juga karena begitu kesalnya terhadap sumber masalah makak patung Dewi Windradi dilempar jauh dan jatuh di negeri Alengka. Konon patung itu akan berubah menjadi manusia lagi saat terjadi perang brubuh di Alengka.
Dewi Anjani, Guwarsa dan Guwarsi segera memburu jatuhnya Cupu Manik tersebut. Karena Guwarsa dan Guwarsi lebih cepat larinya maka segera diketemukannya bekas jatuhnya cupu manik itu dan ternyata tercebur ke sebuah telaga yang sangat bening airnya. Segera saja Guwarsa dan Guwarsi terjun dan menyelam untuk mencari cupu tersebut, namun setelah diubek-ubek tidak juga ketemu segera mentas dari telaga. Konon cupu yang dilempar oleh Resi Gutama itu begitu jatuh di tanah berubah menjadi telaga Madirda. Pantas saja cupu itu tidak diketemukan dalam telaga. Namun betapa terkejutnya mereka begitu keluar dari air telaga, seluruh tubuhnya berubah menjadi monyet berbulu lebat dan mereka berdua saling mengejek sehingga terjadi perkelahian seru.
Kemudian oleh Resi Gutama dipisah dan dijelaskan bahwa hal itu terjadi karena kehendak Dewata, dan nama Guwarsa diganti menjadi Subali dan Guwarsi menjadi Sugriwa. Oleh ayahnya Subali diperintahkan untuk bertapa ngalong, menggantung dengan kakinya diatas dahan seperti kelelawar dan hanya makan buah-buahan sedangkan Sugriwa bertapa ngidang, seperti kijang yang berjalan dengan empat kaki dan hanya makan rumput dan sayur-sayuran saja.
Ditepian telaga yang lain karena merasa gerah, Dewi Anjani segera meraup air untuk mencuci mukanya. Betapa terkejutnya ketika dilihatnya lewat air telaga yang kinclong itu mukanya berubah menjadi muka monyet, begitu juga tangannya berbulu lebat sementara badannya tetap berupa badan manusia. Oleh Resi Gutama, Dewi Anjani yang sekarang bermuka monyet itu diperintahkan untuk bertapa ngodhok atau duduk seperti katak di tepi telaga tersebut dan tidak boleh makan apapun kecuali yang jatuh dari langit. *dari sumber pewayangan .
Dewi Ragu yang sejak keluar dari kampungnya berganti nama menjadi Dewi Windradi dan dipanggil Wiwin adalah sosok seorang gadis yang sudah terkenal kecantikannya di seluruh pelosok perkampungan di lereng Gunung Mahendra bahkan sampai ke Kota Raja. Kecantikannya memang luar biasa bahkan mengalahkan kecantikan para Bidadari di Kayangan Jonggring Salaka. Kulitnya putih mrusuh, badannya weweg, rambutnya panjang bak mayang terurai. Hidungnya mbangir tidak pesek seperti teman-temannya, kalau tersenyum pipi sebelah kiri dhekik, giginya gingsul menambah kecantikannya.
Tidak mengherankan kalau banyak pria baik dari kalangan ningrat sampai buruh kasar kalau malam tidak bisa tidur karena terbayang-bayang wajah sang Dewi, bahkan sering mengigau dalam tidurnya sambil menyebut Wiwiin . . ., Wiwiin . . . sedangkan kalau siang yang dibicarakan tidak pernah lepas dari kecantikan Dewi Windradi. Bisa seharian mereka nongkrong di gardu atau warung kopi dan yang dibicarakan tidak lain hanya Dewi Windradi saja sehingga yang punya warung bekah-bekuh karena nongkrong seharian, tapi paling banyak minum dua cangkir kopi dan sepotong tempe goreng. Mereka betul-betul menjadi tergila-gila kepada Dewi Windradi dengan harapan bisa mempersuntingnya sebagai pasangan hidup maupun mati.
Di luar dugaan banyak orang, ternyata Dewi Windradi akhirnya dipersunting oleh seorang Resi atau Pendeta yang memimpin sebuah Padepokan di lereng gunung Mahendra. Pendeta yang pendiam dan alim tapi sudah agak lanjut usia itu bernama Resi Gutama. Dewi Windradi yang kinyis-kinyis itu bersedia menjadi isteri Sang Pendeta karena tiap malam selalu klisikan menjelang tidur. Matanya kethap-kethip karena Wajah Resi Gutama selalu membayangi tidurnya. Banyak orang mengira Dewi Windradi pasti di pelet oleh Resi Gutama.
Pesta perkawinan dilaksanakan dengan sangat sederhana disaksikan para Cantrik, Jejanggan, Manguyu dan penduduk sekitar yang berguru di Padepokan itu. Pestanya sangat sederhana karena makanan yang terhidang terdiri dari ubi jalar, singkong, tempe benguk, kedele, ketan woran, gethuk, gathot, wedang jahe, teh pecut dsb. seperti kalau orang Wonogiri Paskahan di Nehemia.
Melihat isterinya yang cantik jelita dan menggairahkan itu maka Resi Gutama betah banget berada di Padepokan dan jarang sekali turun gunung seperti sebelum menikah. Pelajaran untuk para muridnya diserahkan saja kepada asistennya para Cantrik Senior, karena Sang Resi merasa lebih jenak berdua saja di ruang khusus yang semribit bersama Dewi Windradi. Akibat jarang ke luar Padepokan itu maka lahirlah tiga orang anak dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya. Yang pertama lahirlah seorang anak perempuan yang tak kalah cantiknya dengan ibunya diberi nama Dewi Anjani. Berikutnya lahir sorang anak laki-laki yang glewa-glewo ndemenakake, diberi nama Raden Guwarsa yang segera disusul kelahiran anak ketiga seorang anak laki-laki pula yang mirip kakaknya diberi nama Raden Guwarsi. Sesudah anak ketiganya lahir, Dewi Windradi segera turun gunung untuk mencari Puskesmas terdekat dan memutuskan untuk ikut KB dengan tubektomi. Dengan demikian ia akan bebas bercinta tanpa perlu resah dan gelisah akan hamil lagi.
Dewi Anjani yang putri pertama ini sangat disayang oleh ibunya karena tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita sehingga banyak para Cantrik di Padepokan itu gandrung-gandrung kapirangu. Oleh ibunya dia diberi pelajaran dan pelatihan dalam rangka mengolah diri menjadi gadis yang sempuna, terutama dalam hal merawat kecantikan. Maklum, disekitar Padepokan belum ada salon kecantikan. Resi Gutama lebih memperhatikan kedua anak laki-lakinya dengan memberikan pelajaran dalam hal olah kanuragan. Dibekalinya anak-anaknya ini dengan pelajaran bela diri ciptaannya sendiri, hasil gabungan dari pencak silat, judo, aikido, hokaido, taekwondo, jiu jitsyu, kempo, karate dan karambol.
Ketiga anaknya tumbuh dengan pesat dan sehat serta cepat menjadi besar karena banyak makanan yang bergizi di sekitar Padepokan, dengan menu utama beras merah dicampur jagung dan bermacam sayuran dari pucuk daun pakis, daun mede sampai daun mengkudu. Bermacam buah dari buah mangga manalagi, golek, santog, talijiwa sampai duren petruk. Sementara lauknya dari wader kalen, ayam alas sampai iwak celeng, tak ketinggalan pula dengan sambel wijen.
Karena Dewi Windradi ini yang aslinya berasal dari Kayangan, kadang-kadang kalau Resi Gutama sedang blusukan ke pedesaan sekitar padepokan dia merasa bosan dan sepi dalam kesendirian. Oleh karena itu segera saja dia pesan tiket dan terbang dengan emprit airline menuju Kayangan tempat para Dewa berada. Karena rasa kangen akibat lama tak bersua, dia menemui bekas pacarnya yang mata keranjang karena suka mengintip orang mandi baik di sungai atau di kamar mandi tanpa atap, kecuali malam hari karena dia adalah Bathara Surya dewanya matahari yang tinggal di Kayangan Cakrabaskara.
Bathara Surya yang jauh lebih ngganteng dari Resi Gutama tentu lebih menarik buat Dewi Windradi. Akhirnya terjadilah cinta terlarang yang berulang setiap kali Resi Gutama blusukan dan tidak pulang-pulang. Demi cintanya pada Dewi Windradi maka Bathara Surya menghadiahkan sebuah cindera mata yang sangat menarik yaitu Cupu Manik Astagina. Dan karena sayangnya Dewi Windradi terhadap Dewi Anjani anak perempuan satu-satunya, maka Cupu Manik Astagina yang antik menarik itu diberikan kepada Dewi Anjani sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh belas.
Suatu saat ketika Anjani sedang bermain dengan Cupu yang unik dan menarik itu, tanpa disadarinya terlihat oleh Guwarsa dan Guwarsi. Melihat barang aneh yang dipegang adiknya itu maka Guwarsa dan Guwarsi berusaha meminjam untuk sekedar melihat saja. Karena dipinjam tidak dikasih maka Guwarsa dan Guwarsi mencoba merebut Cupu itu dari tangan Anjani. Dewi Anjani pun berusaha mempertahankan cupu itu sekuat tenaga, maka terjadilah keributan dan teriakan-teriakan yang membangunkan Resi Gutama dari tidur siang nya.
Dengan rasa gusar dan mata masih merah akibat tidur yang belum tutug, segera direbutnya Cupu Manik itu dari tangan Anjani. Melihat cupu yang aneh itu Resi Gutama bertanya pada Anjani darimana dia mendapatkannya dan dijawab dari ibunya. Pertanyaan serupa diajukan oleh Resi Gutama kepada Dewi Windradi dari mana dia memperoleh cupu itu. Namun Dewi Windradi diam seribu bahasa dan tidak berani menjawab pertanyaan Resi Gutama. Sebab kalau dia bercerita apa adanya, pasti akan terjadi kegaduhan yang luar biasa dalam rumah tangganya. Maka lebih baik dia tutup mulut rapat-rapat bagai terkunci.
Karena ditanya berkali-kali tak mau menjawab juga, Resi Gutama menjadi gusar sehingga dibentaklah Dewi Windradi. “Wong ditanya kok diam saja seperti tugu!” Resi Gutama adalah orang yang sangat sakti sehingga apa yang diucapkan terjadi, sehingga saat itu juga Dewi Windradi menjadi tugu atau patung batu seperti arca Lara Jonggrang di candi Prambanan.
Demi memenuhi rasa keadilan karena diperebutkan oleh ketiga anaknya itu maka cupu manik yang indah itu dibuang sekuat tenaga oleh Resi Gutama dan jatuhnya jauh sekali di telaga Sarangan, eh telaga Madirda maksudnya.
Demikian juga karena begitu kesalnya terhadap sumber masalah makak patung Dewi Windradi dilempar jauh dan jatuh di negeri Alengka. Konon patung itu akan berubah menjadi manusia lagi saat terjadi perang brubuh di Alengka.
Dewi Anjani, Guwarsa dan Guwarsi segera memburu jatuhnya Cupu Manik tersebut. Karena Guwarsa dan Guwarsi lebih cepat larinya maka segera diketemukannya bekas jatuhnya cupu manik itu dan ternyata tercebur ke sebuah telaga yang sangat bening airnya. Segera saja Guwarsa dan Guwarsi terjun dan menyelam untuk mencari cupu tersebut, namun setelah diubek-ubek tidak juga ketemu segera mentas dari telaga. Konon cupu yang dilempar oleh Resi Gutama itu begitu jatuh di tanah berubah menjadi telaga Madirda. Pantas saja cupu itu tidak diketemukan dalam telaga. Namun betapa terkejutnya mereka begitu keluar dari air telaga, seluruh tubuhnya berubah menjadi monyet berbulu lebat dan mereka berdua saling mengejek sehingga terjadi perkelahian seru.
Kemudian oleh Resi Gutama dipisah dan dijelaskan bahwa hal itu terjadi karena kehendak Dewata, dan nama Guwarsa diganti menjadi Subali dan Guwarsi menjadi Sugriwa. Oleh ayahnya Subali diperintahkan untuk bertapa ngalong, menggantung dengan kakinya diatas dahan seperti kelelawar dan hanya makan buah-buahan sedangkan Sugriwa bertapa ngidang, seperti kijang yang berjalan dengan empat kaki dan hanya makan rumput dan sayur-sayuran saja.
Ditepian telaga yang lain karena merasa gerah, Dewi Anjani segera meraup air untuk mencuci mukanya. Betapa terkejutnya ketika dilihatnya lewat air telaga yang kinclong itu mukanya berubah menjadi muka monyet, begitu juga tangannya berbulu lebat sementara badannya tetap berupa badan manusia. Oleh Resi Gutama, Dewi Anjani yang sekarang bermuka monyet itu diperintahkan untuk bertapa ngodhok atau duduk seperti katak di tepi telaga tersebut dan tidak boleh makan apapun kecuali yang jatuh dari langit. *dari sumber pewayangan .
Nguri-uri Paribasan (bagian 7)
Kencana katon wingka
Tegese: Emas kang endah iku yen sinawang katone mung kaya cuwilan grabah (kuwali lsp.) Paribasan iki nggambarake wong kang pinter ing samubarang nanging lageyane mung prasaja wae ora ngatonake kepinterane, dadi yen sinawang ya mung lumrah wae.
Utawa wong kang sugih mblegedhu nanging panganggone lan tindak-tanduke sarwa prasaja ora ngatonake yen wong sugih, dadi yen sinawang ya kaya wong lumrah wae.
Artinya: Emas yang indah itu kelihatan seperti potongan grabah (kuali dsb.)
Peribahasa ini menggambarkan orang yang mempunyai kepandaian serba bisa, tetapi penampilannya sangat sederhana tidak memperlihatkan kepandaiaannya, sehingga kalau dilihat ya seperti orang biasa saja.
Atau orang yang kaya sekali tetapi penampilan serta cara berpakaian dan tingkah lakunya sangat bersahaja, tidak memamerkan kekayaannya. Sehinga terlihat seperti orang biasa saja.
Kere munggah bale
Tegese: Kere kang uripe kapiran bisa munggah drajate.
Paribasan iki nggambarake wong cilik kang uripe kapiran, bisane mangan yen njaluk utawa diwenehi wong liya banjur oleh kabegjan lan bisa ngunggahake drajate.
Contone: Wong wadon mlarat kang uripe ngrekasa banget dipek bojo wong sugih mblegedhu.
Uripe dadi sarwa kepenak, kecukupan bandha donya malah kepara turah. Kang maune padha ngina malik grembyang padha ngurmati.
Artinya: Pengemis yang hidupnya serba kekurangan bisa naik derajatnya.
Peribahasa ini menggambarkan orang kecil yang hidupnya serba kekurangan, bisa makan hanya karena minta atau diberi oleh orang lain kemudian mendapat anugerah sehingga naik derajatnya.
Contohnya: Perempuan miskin yang hidupnya serba berkekurangan diperisteri oleh orang kaya.
Hidupnya menjadi enak, tercukupi harta bendanya bahkan lebih. Yang semula suka diremehkan orang akhirnya dihormati karena kekayaannya itu.
Kerot tanpa untu
Tegese: Kerot iku kudu nganggo untu, ora bisa liya. Yen ora ana untune tangeh bisa kerot. Paribasan iki nggambarake wong kang duwe kekarepan nanging ora duwe pawitan.
Contone: wong kang duwe gegayuhan iku pawitane kudu gelem gumregah lan ngupaya kepriye carane supaya gegayuhan mau bisa kaleksanan. Nanging wong mau ora gelem gumregah, mesthi wae tangeh gegayuhan mau bisa kaleksanan.
Artinya: Kerot (beradunya gigi pada waktu tidur sehingga menimbulkan bunyi yang tidak nyaman didengar) harus punya gigi, tidak bisa tidak. Kalau tidak ada giginya mustahil bisa kerot.
Peribahasa ini menggambarkan orang yang punya cita-cita tetapi tidak punya modal.
Contohnya: orang yang punya cita-cita harus punya modal yaitu mau berusaha bagaimana caranya agar cita-citanya itu bisa tercapai. Tetapi orang tersebut tidak mau berusaha, tentu saja mustahil cita-citanya bisa kesampaian.
Kementhus ora pecus
Tegese: wong kang seneng umuk nanging ora sembada.
Paribasan iki nggambarake wong kang seneng umuk nanging ora sumbut karo kanyatane, amarga kanggo nutupi kekurangane.
Contone: ana wong kang pamer yen lagi sinau nggesek biola. Nanging jane kangelan amarga kudu nganggo not balok. Amarga wis judheg sinau ora maju-maju lan wis kadhung pamer, menyang endi-endi nyangklong biola ben diarani yen wis pinter
Artinya: orang yang suka menyombongkan diri tetapi tidak sesuai kenyataan.
Peribahasa ini menggambarkan orang yang suka menyombongkan diri tetapi tidak sesuai dengan kenyataannya, karena untuk menutupi kekurangannya.
Contohnya: ada orang yang memamerkan bahwa dirinya sedang belajar menggesek biola.
Tetapi sebetulnya menemui kesulitan karena harus memakai not balok. Karena sudah putus asa belajar tidak maju-maju dan terlanjur pamer, kemana-mana selalu menenteng biola biar dikira kalau sudah pandai.
Kebat kliwat, gancang pincang
Tegese: tumindak sarwa kesusu mesthi asile ora kebeneran.
Paribasan iki mujudake pepeling supaya yen nandangi sawijining pakaryan iku aja sarwa kesusu kepengin ndang rampung. Kabeh kudu dipetung kanthi njlimet aja mung mburu cepet.
Contone: ana tukang batu kang mbangun tembok kanggo pager. Amarga selak kepengin rampung terus oleh bayaran, anggone mbangun dicepetake supaya enggal dhuwur.
Kamangka luluhan semen lan wedhi mau durung patia garing, mula pager mau banjur ambrol.
Artinya: bertindak secara terburu-buru pasti hasilnya tidak memuaskan.
Peribahasa ini merupakan peringatan agar setiap mengerjakan sesuatu itu jangan terburu-buru ingin segera selesai. Semua harus diperhitungkan dengan cermat jangan hanya memburu cepat. Contohnya: seorang tukang batu yang membangun sebuah tembok pagar. Karena keburu ingin selesai dan segera menerima bayarannya, pekerjaannya dipercepat supaya segera selesai sesuai ketinggiannya. Padahal adukan semen dan pasir belum begitu kering, sehingga pagar yang baru dibangun itu ambruk.
Landhak kecengklak
Tegese: wong kang angkuh nemahi kacilakan amarga kelakuane dhewe.
Paribasan iki ngelingake supaya ing saben tumindak, wong iku ora sah kumlungkung ngendel-endelake keprigelane. Akibat saka kumlungkunge mau bisa nemahi kacilakan.
Contone: ana bocah trek-trekan motor ana dalan gedhe. Amarga rumangsa wis prigel anggone numpak motor, banjur kumlungkung lan motore ora nganggo rem. Sawijining wengi ngebut ana dalan banter banget, ujug-ujug ana asu nyabrang dalan. Amarga kaget lan ora bisa ngerem, motore nabrak trotoar lan nuwuhake kacilakan kang ndrawasi.
Artinya: orang yang angkuh mengalami kecelakaan akibat kelakuannya sendiri.
Peribahasa ini mengingatkan agar setiap melakukan sesuatu, orang itu tidak usah angkuh dan sombong karena mengandalkan kepiawaiannya. Akibat dari kesombongannya tadi akan menimbulkan kecelakaan yang fatal.
Contohnya: ada anak yang trek-trekan motor di jalan raya. Karena merasa sudah mahir menguasai motornya lalu menyombongkan dirinya dengan mencopot rem motornya.
Suatu malam ketika ngebut dijalan dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba ada anjing yang menyeberang jalan. Karena kaget dan tidak bisa mengerem, motornya menabrak trotoar mengakibatkan kecelakaan yang fatal.
(berlanjut . . .)
Tegese: Emas kang endah iku yen sinawang katone mung kaya cuwilan grabah (kuwali lsp.) Paribasan iki nggambarake wong kang pinter ing samubarang nanging lageyane mung prasaja wae ora ngatonake kepinterane, dadi yen sinawang ya mung lumrah wae.
Utawa wong kang sugih mblegedhu nanging panganggone lan tindak-tanduke sarwa prasaja ora ngatonake yen wong sugih, dadi yen sinawang ya kaya wong lumrah wae.
Artinya: Emas yang indah itu kelihatan seperti potongan grabah (kuali dsb.)
Peribahasa ini menggambarkan orang yang mempunyai kepandaian serba bisa, tetapi penampilannya sangat sederhana tidak memperlihatkan kepandaiaannya, sehingga kalau dilihat ya seperti orang biasa saja.
Atau orang yang kaya sekali tetapi penampilan serta cara berpakaian dan tingkah lakunya sangat bersahaja, tidak memamerkan kekayaannya. Sehinga terlihat seperti orang biasa saja.
Kere munggah bale
Tegese: Kere kang uripe kapiran bisa munggah drajate.
Paribasan iki nggambarake wong cilik kang uripe kapiran, bisane mangan yen njaluk utawa diwenehi wong liya banjur oleh kabegjan lan bisa ngunggahake drajate.
Contone: Wong wadon mlarat kang uripe ngrekasa banget dipek bojo wong sugih mblegedhu.
Uripe dadi sarwa kepenak, kecukupan bandha donya malah kepara turah. Kang maune padha ngina malik grembyang padha ngurmati.
Artinya: Pengemis yang hidupnya serba kekurangan bisa naik derajatnya.
Peribahasa ini menggambarkan orang kecil yang hidupnya serba kekurangan, bisa makan hanya karena minta atau diberi oleh orang lain kemudian mendapat anugerah sehingga naik derajatnya.
Contohnya: Perempuan miskin yang hidupnya serba berkekurangan diperisteri oleh orang kaya.
Hidupnya menjadi enak, tercukupi harta bendanya bahkan lebih. Yang semula suka diremehkan orang akhirnya dihormati karena kekayaannya itu.
Kerot tanpa untu
Tegese: Kerot iku kudu nganggo untu, ora bisa liya. Yen ora ana untune tangeh bisa kerot. Paribasan iki nggambarake wong kang duwe kekarepan nanging ora duwe pawitan.
Contone: wong kang duwe gegayuhan iku pawitane kudu gelem gumregah lan ngupaya kepriye carane supaya gegayuhan mau bisa kaleksanan. Nanging wong mau ora gelem gumregah, mesthi wae tangeh gegayuhan mau bisa kaleksanan.
Artinya: Kerot (beradunya gigi pada waktu tidur sehingga menimbulkan bunyi yang tidak nyaman didengar) harus punya gigi, tidak bisa tidak. Kalau tidak ada giginya mustahil bisa kerot.
Peribahasa ini menggambarkan orang yang punya cita-cita tetapi tidak punya modal.
Contohnya: orang yang punya cita-cita harus punya modal yaitu mau berusaha bagaimana caranya agar cita-citanya itu bisa tercapai. Tetapi orang tersebut tidak mau berusaha, tentu saja mustahil cita-citanya bisa kesampaian.
Kementhus ora pecus
Tegese: wong kang seneng umuk nanging ora sembada.
Paribasan iki nggambarake wong kang seneng umuk nanging ora sumbut karo kanyatane, amarga kanggo nutupi kekurangane.
Contone: ana wong kang pamer yen lagi sinau nggesek biola. Nanging jane kangelan amarga kudu nganggo not balok. Amarga wis judheg sinau ora maju-maju lan wis kadhung pamer, menyang endi-endi nyangklong biola ben diarani yen wis pinter
Artinya: orang yang suka menyombongkan diri tetapi tidak sesuai kenyataan.
Peribahasa ini menggambarkan orang yang suka menyombongkan diri tetapi tidak sesuai dengan kenyataannya, karena untuk menutupi kekurangannya.
Contohnya: ada orang yang memamerkan bahwa dirinya sedang belajar menggesek biola.
Tetapi sebetulnya menemui kesulitan karena harus memakai not balok. Karena sudah putus asa belajar tidak maju-maju dan terlanjur pamer, kemana-mana selalu menenteng biola biar dikira kalau sudah pandai.
Kebat kliwat, gancang pincang
Tegese: tumindak sarwa kesusu mesthi asile ora kebeneran.
Paribasan iki mujudake pepeling supaya yen nandangi sawijining pakaryan iku aja sarwa kesusu kepengin ndang rampung. Kabeh kudu dipetung kanthi njlimet aja mung mburu cepet.
Contone: ana tukang batu kang mbangun tembok kanggo pager. Amarga selak kepengin rampung terus oleh bayaran, anggone mbangun dicepetake supaya enggal dhuwur.
Kamangka luluhan semen lan wedhi mau durung patia garing, mula pager mau banjur ambrol.
Artinya: bertindak secara terburu-buru pasti hasilnya tidak memuaskan.
Peribahasa ini merupakan peringatan agar setiap mengerjakan sesuatu itu jangan terburu-buru ingin segera selesai. Semua harus diperhitungkan dengan cermat jangan hanya memburu cepat. Contohnya: seorang tukang batu yang membangun sebuah tembok pagar. Karena keburu ingin selesai dan segera menerima bayarannya, pekerjaannya dipercepat supaya segera selesai sesuai ketinggiannya. Padahal adukan semen dan pasir belum begitu kering, sehingga pagar yang baru dibangun itu ambruk.
Landhak kecengklak
Tegese: wong kang angkuh nemahi kacilakan amarga kelakuane dhewe.
Paribasan iki ngelingake supaya ing saben tumindak, wong iku ora sah kumlungkung ngendel-endelake keprigelane. Akibat saka kumlungkunge mau bisa nemahi kacilakan.
Contone: ana bocah trek-trekan motor ana dalan gedhe. Amarga rumangsa wis prigel anggone numpak motor, banjur kumlungkung lan motore ora nganggo rem. Sawijining wengi ngebut ana dalan banter banget, ujug-ujug ana asu nyabrang dalan. Amarga kaget lan ora bisa ngerem, motore nabrak trotoar lan nuwuhake kacilakan kang ndrawasi.
Artinya: orang yang angkuh mengalami kecelakaan akibat kelakuannya sendiri.
Peribahasa ini mengingatkan agar setiap melakukan sesuatu, orang itu tidak usah angkuh dan sombong karena mengandalkan kepiawaiannya. Akibat dari kesombongannya tadi akan menimbulkan kecelakaan yang fatal.
Contohnya: ada anak yang trek-trekan motor di jalan raya. Karena merasa sudah mahir menguasai motornya lalu menyombongkan dirinya dengan mencopot rem motornya.
Suatu malam ketika ngebut dijalan dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba ada anjing yang menyeberang jalan. Karena kaget dan tidak bisa mengerem, motornya menabrak trotoar mengakibatkan kecelakaan yang fatal.
(berlanjut . . .)